Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 15 - Chapter 15 : Permasalahan baru

Chapter 15 - Chapter 15 : Permasalahan baru

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 15 : Permasalahan baru

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

Sore menjelang senja, langit perlahan berubah warna menjadi jingga keemasan. Matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, menciptakan siluet indah di atas laut yang mengelilingi pulau. Udara masih hangat, tetapi angin yang bertiup membawa kesejukan yang menandakan malam akan segera tiba.

Di dalam toko roti, suasana terasa lebih tenang dari biasanya. Wira, Tama, dan Wisnu sudah mulai beres-beres. Meja-meja sudah dibersihkan, kursi mulai disusun kembali, dan aroma roti yang tersisa di udara perlahan mulai memudar.

"Hari ini lumayan santai, ya?" ujar Tama sambil mengikat celemeknya.

Wisnu hanya tersenyum kecil sambil mengelap meja terakhir. Hari ini memang berjalan dengan damai, sesuatu yang jarang ia dapatkan belakangan ini.

Namun, seperti takdir yang selalu bercanda dengannya, ketenangan itu hanya bertahan sebentar.

Tepat ketika mereka hampir siap untuk benar-benar menutup toko dan pulang, pintu terbuka.

Vaya masuk.

Namun kali ini, ada yang berbeda.

Ia tidak membawa senyum misteriusnya, tidak ada tatapan penuh intrik yang biasa ia gunakan untuk bermain kata-kata dengan Wisnu. Tidak ada aura anggun yang membuatnya tampak selalu berada di atas orang lain.

Sebaliknya, yang masuk ke dalam toko saat ini adalah seorang wanita yang tampak … lelah.

Langkahnya lebih lambat dari biasanya, seolah pikirannya sedang berada di tempat lain. Ia memilih meja di sudut ruangan dan duduk tanpa berkata apa-apa.

Begitu ia duduk, ia hanya menghela napas panjang.

Lalu lagi.

Dan lagi.

Hening.

Tidak ada perintah untuk Wisnu mendekat. Tidak ada permainan psikologis seperti biasanya.

Hanya seorang wanita yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Melihat itu, Wisnu dan dua rekannya saling bertukar pandang. Bahkan Wira dan Tama, yang biasanya paling santai, tampak sedikit khawatir.

"Ada apa dengannya?" bisik Tama.

Wira mengangkat bahu. "Entahlah. Ini pertama kalinya aku lihat dia seperti itu."

Wisnu mengangguk kecil. Ia juga merasakan hal yang sama.

Biasanya, Vaya adalah sosok yang selalu tampak terkendali. Bahkan dalam situasi yang penuh ketegangan, ia bisa tetap tersenyum, seolah segalanya berjalan sesuai keinginannya.

Tapi kali ini?

Ia tampak seperti seseorang yang kehilangan arah.

Beberapa menit berlalu tanpa ada yang berbicara. Wisnu bisa melihat Vaya terus-menerus menatap meja, mengetuk jari-jarinya pelan di atas kayu, lalu menghela napas lagi.

Seakan ada sesuatu yang sangat berat di pikirannya.

Setelah hampir lima belas menit dalam keheningan, ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Wisnu, lalu mengangkat tangan pelan—memanggilnya untuk mendekat. Wisnu dengan gugup mendekat.

Wisnu masih berdiri di dekat meja ketika Vaya mengisyaratkan agar ia duduk. Gerakannya tidak seanggun biasanya, tapi tetap ada sesuatu dalam caranya memandang Wisnu yang membuat pria itu tahu bahwa ini bukan permintaan—melainkan perintah yang terselubung.

Tanpa banyak berpikir, Wisnu menarik kursi dan duduk di hadapannya.

Vaya tidak langsung berbicara. Ia menatap meja sejenak, lalu menegakkan punggungnya, menghembuskan napas, dan untuk pertama kalinya dalam hidup Wisnu—ia bertanya sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

"Bolehkah aku mengeluh?"

Wisnu sempat mengerjap. Ia tidak yakin apakah telinganya tidak salah dengar.

"Vaya … meminta izin?"

Biasanya, Vaya melakukan sesuatu tanpa bertanya. Ia menyatakan pendapatnya, memberi perintah, atau bahkan memainkan kata-katanya dengan begitu licin hingga Wisnu sering kali tidak sadar bahwa ia sedang dipermainkan.

Tapi kali ini?

Ia meminta izin.

Hal itu cukup membuat Wisnu diam sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk. "Tentu saja."

Vaya mendesah pelan. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menatap Wisnu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Kau tahu … setelah Festival Baranthaka selesai, aku berpikir semuanya akan kembali berjalan normal." Ia mengusap dahinya pelan. "Tapi ternyata aku salah besar."

Wisnu hanya diam, menunggu kelanjutannya.

"Semenjak malam itu, semuanya semakin kacau." Vaya mulai berbicara dengan nada yang lebih berat dari biasanya. "Tetua suku, terutama Riana, terus-menerus menciptakan masalah yang membuat urusan kami di Vahaya menjadi jauh lebih sulit."

Wisnu sedikit mengernyit. "Masalah seperti apa?"

Vaya menyandarkan satu siku ke meja, menopang dagunya. "Sumber daya."

Itu cukup membuat Wisnu terdiam.

Pulau ini memang bukan pulau dengan sumber daya yang bisa mencukupi dirinya sendiri sepenuhnya. Meski kaya akan beberapa komoditas, ada banyak hal yang masih harus didatangkan dari luar. Dan jika ada gangguan dalam rantai pasokannya …

"Maksudmu … ada gangguan dengan pasokan barang dari luar?" tanya Wisnu memastikan.

Vaya mengangguk. "Khususnya minyak dan bahan bakar." Ia berdecak pelan, lalu melanjutkan, "Suku Vahaya selama ini memiliki jalur perdagangan yang stabil untuk mendatangkan bahan bakar dari luar pulau. Kami punya sistem distribusi yang jelas, harga yang bisa dikendalikan, dan semuanya berjalan lancar."

Ia menyandarkan punggung ke kursi. "Tapi setelah festival … segalanya mulai berantakan."

Wisnu masih mendengarkan dengan saksama.

Vaya melanjutkan, "Harga bahan bakar mulai meningkat. Tidak stabil. Beberapa pengiriman yang seharusnya datang tepat waktu malah tertunda. Kami bahkan terancam mengalami kekurangan stok selama seminggu kedepan."

Wisnu menyipitkan matanya. "Apa yang menyebabkan keterlambatan itu?"

Vaya tersenyum miring, tapi tidak ada sinar licik di matanya seperti biasa. "Banyak faktor." Ia mengangkat bahu. "Ada yang bilang karena kondisi cuaca buruk, ada yang menyalahkan koordinasi buruk di pelabuhan. Tapi aku tahu lebih baik daripada percaya alasan-alasan seperti itu."

Wisnu mulai mengerti arah pembicaraan ini. "Seseorang mengganggu distribusinya?"

Vaya mengetuk jari-jarinya ke meja, ekspresinya tetap datar. "Bukan hanya seseorang. Suku Ranaha, melalui pengaruh para tetuanya, mulai bermain dalam sistem yang seharusnya berjalan lancar."

Wisnu mengerutkan kening. "Mereka … mencoba menghambat pasokan bahan bakar?"

"Bukan mencoba," Vaya menatapnya. "Mereka sudah melakukannya."

Wisnu menghela napas pelan. Ini bukan hal yang sederhana.

Bahan bakar adalah salah satu elemen penting dalam keseharian suku Vahaya. Banyak teknologi mereka bergantung pada ketersediaan sumber daya ini, mulai dari transportasi, mesin-mesin industri kecil, hingga generator yang memasok listrik ke beberapa bagian pulau.

Jika pasokannya terganggu … dampaknya bisa sangat luas.

"Bagaimana caranya mereka mengganggu?" tanya Wisnu.

Vaya mengangkat satu alis, seolah tertarik dengan pertanyaan itu. "Kau mulai memahami masalahnya, ya?"

Wisnu hanya diam.

Vaya menghela napas, lalu melanjutkan, "Ada banyak cara. Salah satunya adalah dengan mengendalikan izin dan regulasi impor. Suku Ranaha punya hubungan dengan beberapa pihak yang mengurus administrasi di pelabuhan, jadi mereka bisa memperlambat pengiriman tanpa terlihat mencurigakan."

"Lalu?"

Vaya memutar gelas kosong di depannya, matanya menatapnya tanpa fokus. "Mereka juga menyabotase harga. Dengan menekan beberapa pedagang dan pemasok yang bekerja sama dengan kami, mereka bisa menaikkan harga bahan bakar sedikit demi sedikit, hingga biaya operasional kami membengkak."

Wisnu menyentuh dagunya. "Itu … bukan sesuatu yang bisa mereka lakukan dalam semalam."

"Memang tidak," Vaya mengangguk setuju. "Tapi mereka sudah memiliki pondasinya sejak lama. Festival hanya menjadi pemicu untuk mempercepatnya."

Wisnu terdiam.

Selama ini, ia hanya melihat permukaan dari konflik antar suku. Ia tahu ada ketegangan, tapi ia tidak menyangka ada permainan yang jauh lebih kompleks di baliknya.

"Dan bagian terburuknya?" Vaya menyandarkan dagunya ke tangannya. "Riana adalah otak utama di balik semua ini."

Wisnu hampir ingin menyangkal, tapi ia menahan diri. Ia tidak mengenal Riana sedalam itu. Tapi jika Vaya mengatakan sesuatu seperti ini, berarti ia punya alasan kuat untuk mempercayainya.

"Dia tahu cara bermain di belakang layar," lanjut Vaya. "Dengan membungkus semuanya dalam alasan 'kepentingan suku', dia bisa membuat keputusan-keputusan seperti ini tampak masuk akal di mata banyak orang."

Wisnu menghela napas. "Jadi sekarang … apa yang akan kau lakukan?"

Vaya tersenyum samar, tapi ada kelelahan di matanya. "Itulah masalahnya. Aku tidak bisa bereaksi terlalu agresif, karena itu hanya akan memperkeruh keadaan. Aku harus mencari cara lain."

Hening sejenak.

Wisnu menatapnya, sedikit ragu, lalu bertanya, "Apa kau ingin aku melakukan sesuatu?"

Vaya menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil.

"Tidak untuk saat ini," jawabnya pelan. "Aku hanya ingin mengeluh."

Wisnu menatap Vaya yang masih duduk di depannya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Perempuan itu jelas terlihat lebih lelah daripada biasanya, tidak ada senyum licik atau tatapan tajam yang sering kali membuatnya kesal. Kali ini, Vaya benar-benar tampak seperti seseorang yang sedang menghadapi masalah besar.

Tanpa sadar, Wisnu menghela napas. "Kau terlihat seperti seseorang yang memaksakan diri," katanya akhirnya."Jadi, bagaimana kabarmu sebenarnya?"

Vaya mengangkat alis, seolah sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun, alih-alih menjawab langsung, ia hanya tersenyum tipis.

"Kenapa kau bertanya?" tanyanya balik.

Wisnu mengangkat bahu. "Karena aku ... khawatir?"

Vaya tertawa kecil dan menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menghembuskan napas perlahan. "Aku … baik-baik saja," jawabnya akhirnya. "Atau setidaknya, aku berusaha untuk tetap baik-baik saja."

Wisnu menyipitkan mata. "Berusaha tetap baik-baik saja bukan berarti kau benar-benar baik-baik saja."

Vaya menatapnya sebentar sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Kau benar."

Hening sejenak di antara mereka.

Wisnu menatap meja, berpikir sejenak sebelum berbicara lagi. "Kalau begitu … apa kau butuh saran?"

Untuk pertama kalinya sejak percakapan ini dimulai, Vaya terlihat sedikit tertarik. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Wisnu dengan penuh perhatian.

"Saran?" ulangnya.

Wisnu mengangguk. "Ya. Kau tadi bilang suku Ranaha sedang menekan harga bahan bakar, kan? Dan mereka punya cukup pengaruh untuk mengendalikan izin impor tentang minyak dan bahan bakar, serta memanipulasi harga di pasaran."

Vaya mengangguk pelan. "Benar."

"Jadi," lanjut Wisnu, "bagaimana kalau kau mencoba strategi yang berbeda?"

Vaya mengangkat alis, jelas tertarik dengan arah pembicaraan ini. "Ceritakan lebih lanjut."

Wisnu berpikir sejenak sebelum mulai menjelaskan. "Kalau mereka bisa menekan harga dengan membatasi pasokan, maka kau harus menemukan cara untuk menstabilkan harga meskipun pasokan berkurang."

Vaya menatapnya dengan penuh perhatian. "Dan bagaimana caranya?"

Wisnu menyandarkan punggungnya ke kursi, mengatur pikirannya. "Ada beberapa cara. Yang pertama, kau bisa mencari pemasok alternatif. Jika sumber utama terganggu, maka mencari jalur distribusi lain bisa menjadi solusi."

Vaya mengangguk kecil. "Itu memang sudah terpikirkan. Tapi masalahnya, jalur baru tidak selalu menjamin stabilitas yang sama. Proses negosiasi dengan pemasok baru juga butuh waktu."

Wisnu mengangguk. "Benar. Tapi itu tetap opsi yang harus kau pertimbangkan. Setidaknya sebagai langkah jangka panjang."

Vaya menyilangkan tangan di depan dada. "Dan untuk jangka pendek?"

Wisnu berpikir sejenak sebelum menjawab. "Kalau mereka menaikkan harga dengan membatasi pasokan, kau bisa membalikkan situasi dengan cara lain. Alih-alih hanya menerima kenaikan harga, kau harus mengontrol permintaan."

Vaya mengerutkan kening. "Maksudmu?"

Wisnu mengangkat jari telunjuknya. "Jika permintaan tetap tinggi sementara pasokan berkurang, maka harga akan terus naik. Tapi jika kau bisa mengurangi penggunaan pada bahan bakar dalam kurun waktu tertentu, maka tekanan pasar bisa berkurang."

Vaya mengetuk jarinya ke meja, memikirkan kata-kata Wisnu. "Mengurangi penggunaan … itu terdengar masuk akal."

Vaya melanjutkan, "Contohnya jika kita mengoptimalkan transportasi. Jika biasanya setiap orang menggunakan kendaraan berbahan bakar sendiri, mungkin akan bagus meningkatkan penggunaan transportasi umum, tentu saja untuk sementara waktu. Kita juga bisa Mengurangi aktivitas yang membutuhkan konsumsi bahan bakar tinggi untuk sementara."

Wisnu tersenyum, "Itu benar."

Wisnu melanjutkan, "Selain itu, kau juga bisa memainkan psikologi pasar. Jika kau bisa meyakinkan orang-orang bahwa kenaikan harga hanya bersifat sementara, mereka tidak akan terlalu panik dan membeli dalam jumlah besar. Ini bisa mengurangi lonjakan harga yang disebabkan oleh kepanikan."

Vaya menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. "Kau berpikir seperti seorang pedagang."

Wisnu tertawa kecil. "Aku sekolah tentang ekonomi, dan ku bekerja toko roti. Setidaknya aku tahu sedikit tentang bagaimana mengelola harga dan pasokan."

Vaya mengangguk, tampak berpikir. "Jadi, intinya kau menyarankan agar aku tidak hanya bereaksi terhadap tekanan, tapi juga mencoba mengontrol situasi dari sisi yang berbeda?"

"Kurang lebih seperti itu," jawab Wisnu. "Kalau kau hanya bertahan dan mengikuti permainan mereka, kau akan terus berada di bawah kendali mereka. Tapi kalau kau bisa mengubah cara bermain, kau bisa mendapatkan kembali kendalinya."

Vaya menatap Wisnu dalam diam, lalu tersenyum kecil. "Kau tahu? Aku tidak menyangka kau bisa memberikan saran yang cukup masuk akal."

Wisnu mengangkat bahu. "Aku hanya mencoba membantu."

Vaya menghembuskan napas, lalu bersandar di kursinya. "Aku harus memikirkannya lebih dalam. Tapi setidaknya, sekarang aku punya lebih banyak perspektif."

Wisnu tersenyum tipis. "Itu sudah cukup baik untuk permulaan."

Vaya menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. "Terima kasih, Wisnu."

Wisnu hanya diam, sedikit terkejut mendengar ucapan itu. Biasanya, Vaya tidak pernah mengucapkan terima kasih dengan tulus.

Tapi kali ini … ia terdengar benar-benar serius.

Wisnu sudah merasa pembicaraan ini cukup panjang dan cukup dalam. Ia sudah memberikan sudut pandangnya, dan Vaya tampaknya benar-benar mempertimbangkan apa yang ia katakan. Ini harusnya menjadi akhir percakapan mereka kali ini—harusnya.

Namun, saat Wisnu bersiap untuk berdiri, sesuatu membuatnya berhenti.

Senyuman itu.

Senyuman yang sebelumnya hilang dari wajah Vaya sejak awal pertemuan mereka hari ini, kini perlahan kembali. Sebuah senyuman halus, samar, namun menyimpan sesuatu di baliknya. Sesuatu yang membuat Wisnu merasakan firasat buruk.

"Apa?" tanyanya dengan waspada.

Vaya menopang dagunya dengan tangan, ekspresinya masih tampak lembut dan santai. "Kau tahu, Wisnu," katanya pelan, "aku semakin tertarik padamu."

Wisnu memiringkan kepalanya sedikit. "Oke … dan kenapa kau tiba-tiba mengatakan itu?"

Vaya tidak langsung menjawab. Ia menatap Wisnu dengan mata yang sulit diartikan, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Kemudian, dengan nada yang hampir terdengar seperti obrolan ringan, ia berkata, "Kau tahu banyak hal, memiliki pemikiran yang tajam, dan … sepertinya juga tidak mudah dipermainkan."

Wisnu mengerutkan kening. "Kalau kau berpikir aku tidak mudah dipermainkan, kenapa kau terus mencoba?"

Vaya tertawa kecil, suaranya lembut namun menusuk. "Karena kau tetap jatuh dalam permainan itu, meski kau tidak menginginkannya."

Wisnu menghela napas. "Apa maksudmu?"

Vaya menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu berkata dengan nada ringan, "Aku ingin kau membantuku."

Wisnu terdiam.

Vaya menyusun kata-katanya dengan tenang, namun ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Wisnu merasa tidak nyaman. "Sejujurnya, berbicara denganmu selalu menyenangkan. Kau tidak hanya sekadar mendengar, tapi juga mencoba memahami situasi. Dan yang lebih penting, kau bisa memberikan saran yang cukup masuk akal."

"Dan?" tanya Wisnu dengan hati-hati.

Senyuman Vaya semakin melebar. "Dan aku pikir … akan lebih baik jika aku membawamu untuk membantuku mengatasi beberapa masalah khusus."

Wisnu menegang. Ada sesuatu dalam cara Vaya mengatakannya yang membuat kalimat itu terdengar bukan sebagai permintaan, melainkan perintah.

"Apa maksudmu 'membawa'?" tanyanya curiga.

Vaya menyandarkan dagunya di tangan, menatap Wisnu seakan ia adalah sesuatu yang sudah menjadi miliknya. "Aku membutuhkan seseorang yang bisa menemaniku melakukan beberapa pekerjaan 'khusus', dan kau baru saja meyakinkanku untuk membawamu."

Wisnu menatap kebingungan. "Aku rasa ini bukan urusanku."

"Oh?" Vaya memiringkan kepalanya sedikit. "Tapi apakah kau akan menolak?" Vaya sekali lagi tersenyum licik. Ia mengetuk jari-jarinya di atas meja dengan ritme pelan. Itu cukup membuat Wisnu tertekan.

Wisnu mengernyit. "Aku tidak yakin hal ini adalah ide yang bagus."

Vaya menatapnya sebentar, lalu tersenyum lebih lebar. "Oh, Wisnu … aku rasa kau salah paham."

Jantung Wisnu berdetak lebih cepat.

"Aku tidak benar-benar bertanya apakah kau ingin atau tidak," lanjut Vaya dengan nada lembut, tapi ada ketegasan di dalamnya. "Aku hanya memberitahumu bahwa aku akan membawamu untuk membantu tentang suatu masalah. Itu saja."

Darah Wisnu terasa sedikit mendingin. Ia menatap Vaya balik.

"Nona Vaya?

"Ya?"

"Aku punya pekerjaan."

"Oh, jangan khawatir," kata Vaya, suaranya tetap tenang. "Aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu di toko roti. Lagipula, aku cukup yakin Wira dan Tama akan mengerti jika suatu hari kau dibawah pergi karena kau harus sedikit sibuk dengan sesuatu yang lebih … penting."

Wisnu merasa dirinya mulai masuk lebih dalam ke dalam jebakan ini. "Dan jika aku menolak?"

Vaya tersenyum tipis. Dan itu sudah cukup menjadi jawaban baginya.

"Tapi, aku tidak ingin terlibat lebih dalam dalam masalah yang bukan urusanku."

Vaya tertawa pelan, suara tawanya terdengar seperti bisikan malam. "Oh, Wisnu … kau masih berpikir kau bisa tetap netral, ya?"

Wisnu berdecit pelan.

Vaya kemudian merilekskan badannya dan menatap Wisnu.

"Oh iya, aku ingin bertanya satu hal," kata Vaya, ekspresinya kembali lembut, namun tatapannya menusuk. "Jika aku dalam masalah yang benar-benar serius. Apa kau akan tetap berpura-pura tidak peduli?"

Wisnu tidak langsung menjawab. Ia berfikir keras tentang hubungan apa yang dia miliki dengan Vaya dan, Wisnu menganggap Vaya itu apa. Tapi ada sesuatu dalam cara Vaya berbicara, dalam nada suaranya yang membuatnya ragu untuk berkata tidak peduli.

Vaya mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya lebih pelan namun lebih menusuk. "Jadi? Apa kau akan membantu … atau akan berpura-pura bahwa kau tidak tahu apa-apa?"

Wisnu menelan ludah.

Ia tahu, sejak awal pertemuan mereka, bahwa Vaya adalah seseorang yang tidak mudah ditolak. Dan sekarang, ia benar-benar merasakan betapa licik dan manipulatifnya perempuan ini.

Wisnu tidak menjawab. Ia hanya menatap Vaya dalam diam, tapi dalam hati … ia tahu bahwa ia sudah kalah.

Vaya menerima keheningan Wisnu sebagai sebuah jawaban. Bukan kata 'iya' secara eksplisit, tetapi bagi seseorang seperti Vaya, diam saja sudah cukup. Ia tahu ia sudah menang.

Dengan gerakan santai, Vaya berdiri dari kursinya, merapikan rambutnya sedikit, lalu menatap Wisnu dengan ekspresi yang lebih ringan dibanding sebelumnya. Semua kelelahan yang tadi tampak di wajahnya seolah sudah menghilang, digantikan oleh ketenangan khasnya.

"Yah, ini lebih menyenangkan dari yang kukira," katanya dengan nada santai. "Aku senang bisa mengobrol denganmu, Wisnu."

Wisnu tetap diam, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Vaya mulai berjalan menuju pintu keluar, tetapi sebelum benar-benar pergi, ia berhenti tepat di samping Wisnu. Dengan gerakan yang hampir terlalu alami, ia sedikit mendekat dan berbisik pelan di dekat telinganya.

"Ingat, aku masih tidak mau mencium bau wanita lain di tubuhmu."

Wisnu merasakan tubuhnya menegang. Ia mengepalkan tangan erat-erat, menahan berbagai emosi yang berkecamuk dalam dirinya.

Vaya melangkah pergi dengan santai, meninggalkan suasana yang terasa lebih berat dibanding sebelumnya.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Wisnu akhirnya menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja keluar dari sebuah medan perang yang melelahkan.

Tama dan Wira yang sejak tadi hanya mengamati, kini menghampiri.

Tama menepuk pundaknya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran antara kasihan dan sedikit simpati. "Sekarang tampaknya kau benar-benar terjebak di sesuatu yang sulit."

Wisnu mendengus lemah, mengangkat tangannya untuk menutupi wajahnya sejenak sebelum menurunkannya kembali. "Ugh … aku harus bagaimana ini?"

Wira menghela napas dan menyandarkan dirinya di meja. "Dulu aku pikir kau hanya melebih-lebihkan soal Nona Vaya. Tapi sekarang … yah, aku rasa kami paham."

Tama mengangguk.

Wisnu menatap kosong ke arah meja, lalu mendesah dalam-dalam. "Aku butuh liburan."

Keduanya tertawa kecil, meskipun masih ada nada simpati di dalamnya.

Setelah beberapa saat, mereka bertiga akhirnya kembali pada tugas masing-masing, membereskan toko sebelum menutupnya untuk malam itu. Namun, bahkan setelah lampu dimatikan dan pintu dikunci, Wisnu tahu bahwa perasaan berat yang ia rasakan malam ini tidak akan hilang begitu saja.

Dan ia juga tahu … bahwa ini baru permulaan.

>> B E R S A M B U N G <<

> Kazehiro