Pendatang Dan Takdirnya
Chapter 12 : Festival(5-End)
Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)
Kekacauan melanda festival.
Apa yang seharusnya menjadi malam penuh perayaan kini berubah menjadi ajang pertikaian. Terang lampu-lampu festival tidak lagi terasa hangat—mereka kini hanya menerangi wajah-wajah yang dipenuhi amarah dan kekecewaan.
Teriakan dan makian terus menggema di udara. Suku Ranaha menuntut keadilan atas kematian dua pangeran mereka, sementara suku Vahaya mati-matian membela diri, menyangkal tuduhan bahwa semua ini adalah bagian dari rencana mereka.
Di antara kerumunan yang memanas, suara dentingan logam terdengar. Pasukan penjaga festival mulai membentuk barikade, mencoba mencegah bentrokan fisik terjadi. Namun, ketegangan sudah begitu tinggi.
Kemudian, seseorang melangkah ke depan.
Sosok Kepala Suku Ranaha akhirnya turun tangan.
Meski telah kehilangan dua anaknya dalam dua malam berturut-turut, wajahnya tetap kuat. Tidak ada air mata, tidak ada amukan. Hanya tatapan dingin dan tajam yang membuat semua orang di sekitarnya terdiam sejenak.
Ia berdiri tegak, seolah tidak terguncang sedikit pun oleh tragedi yang menimpa keluarganya. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, ada sesuatu yang kosong di matanya—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Suasana festival yang tadinya penuh teriakan perlahan mereda saat semua mata tertuju padanya.
Lalu, dari sisi lain, Kepala Suku Vahaya juga melangkah maju. Tidak seperti Kepala Suku Ranaha, raut wajahnya jelas menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan yang dalam.
Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara, suaranya tegas namun penuh beban.
"Atas nama suku Vahaya, aku meminta maaf."
Kata-kata itu mengalir dengan berat, namun tidak ada yang meragukan ketulusannya.
"Kami tidak akan menyangkal bahwa peristiwa ini telah menghancurkan keseimbangan yang selama ini kita jaga. Aku tidak bisa mengembalikan yang telah hilang, tapi aku bisa memastikan bahwa suku Vahaya akan bertanggung jawab atas konsekuensi yang terjadi."
Ia menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan, sebuah tindakan yang jarang terlihat dalam hubungan antara dua suku ini.
Kepala Suku Ranaha tetap diam selama beberapa detik yang terasa begitu lama.
Namun akhirnya, ia mengangguk pelan.
"Tidak akan ada hari ketiga."
Keputusan itu bagaikan palu yang mengetuk akhir festival ini.
"Festival ini berakhir malam ini juga."
Keheningan menyelimuti area festival. Tidak ada yang berani membantah.
Kepala Suku Vahaya juga mengangguk setuju. "Kami akan memberikan kompensasi atas kerugian yang telah dialami Ranaha. Kami akan memastikan tidak ada ketidakadilan dalam keputusan ini."
Dengan demikian, keputusan telah diambil. Setelah keputusan kedua kepala suku diumumkan, suasana festival secara perlahan berubah.
Teriakan dan makian yang sebelumnya memenuhi udara perlahan mereda, meskipun ketegangan masih terasa begitu kental. Orang-orang dari kedua suku mulai bergerak, namun bukan untuk melanjutkan pertikaian—melainkan untuk pulang.
Di berbagai sudut festival, para penjaga dari masing-masing suku terlihat bersiaga. Mereka berdiri di antara kerumunan, memastikan tidak ada yang mencoba memicu bentrokan lanjutan.
Penjaga dari Ranaha tampak waspada, sesekali menatap tajam ke arah orang-orang Vahaya yang lewat di depan mereka. Di sisi lain, penjaga Vahaya juga melakukan hal yang sama, menjaga barisan mereka tetap terkendali.
Beberapa anggota suku masih menggerutu, ada yang berbisik marah di antara mereka, namun tak ada yang berani mengambil tindakan lebih jauh.
Mereka tahu—pertikaian di luar arena festival bukanlah sesuatu yang bisa diterima.
Wisnu memperhatikan semua itu sambil berjalan perlahan di tengah festival yang kini mulai sepi.
Toko-toko mulai menutup kios mereka. Lampu-lampu yang sebelumnya menerangi jalanan dengan cahaya hangat satu per satu dipadamkan. Sisa-sisa keramaian perlahan menghilang, digantikan oleh suasana yang berat dan dingin.
Sebelum pulang, Wisnu memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu kios makanan yang masih buka.
Pemilik kios, seorang pria paruh baya dari penduduk luar, tampak lelah saat ia mulai merapikan dagangannya. Wisnu menunjuk beberapa makanan yang masih tersisa—beberapa potong daging panggang, sepotong roti, dan minuman dingin.
Sambil menunggu pesanannya dikemas, Wisnu membiarkan pikirannya mengembara.
Apa yang baru saja terjadi terasa begitu cepat, namun dampaknya begitu besar.
Dua hari lalu, festival ini dimulai dengan suara sorak-sorai dan kegembiraan. Sekarang, festival berakhir lebih cepat—bukan karena waktu yang telah habis, melainkan karena darah yang telah tumpah.
Ketika makanan yang dibelinya diserahkan, Wisnu mengucapkan terima kasih singkat sebelum kembali berjalan.
Langkahnya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Malam ini, tidak ada lagi suara riuh orang-orang yang merayakan. Tidak ada lagi musik atau pertunjukan yang meramaikan jalanan.
Yang tersisa hanyalah sisa-sisa dari sesuatu yang telah hancur.
Dan Wisnu tahu, ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar.
***
Malam semakin larut, dan festival yang tadinya riuh kini hanya menyisakan suara langkah-langkah terakhir orang-orang yang beranjak pergi. Udara dingin membawa sisa aroma asap dari obor yang mulai padam, bercampur dengan bau tanah yang lembap.
Wisnu berjalan perlahan di sepanjang jalan utama, menikmati ketenangan yang akhirnya datang setelah begitu banyak kekacauan. Tangannya masih membawa kantong makanan yang dibelinya sebelum kios-kios tutup.
Namun, ketika ia hendak menyantap makanannya—
"Wisnu."
Sebuah suara lembut, namun tak dapat diabaikan, terdengar dari belakangnya.
Wisnu menoleh.
Di sana, berdiri seorang wanita dengan rambut panjang yang bergerak sedikit terkena angin. Senyum menghiasi wajahnya seperti biasa.
Vaya.
Ia berjalan mendekat dengan langkah santai, matanya menatap seolah mereka hanya bertemu secara kebetulan. "Kebetulan sekali?"
Wisnu menelan makanannya sebelum menjawab. "Ah, Nona Vaya?"
"Apa yang sedang kau lakukan disini?" Secara perjalanan Vaya mendekat dengan langkah yang pelan.
"Ha-hanya jalan-jalan dan membeli makanan," jawab Wisnu.
"Oh? Jalan-jalan?"
Senyumnya tetap terpasang, tapi ada sesuatu yang aneh dalam suaranya.
Ia melangkah semakin dekat lagi.
Wisnu baru menyadari betapa dekatnya Vaya saat ini.
Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa-apa lagi—
Vaya berhenti.
Senyumnya sedikit memudar.
Ia mengedipkan mata beberapa kali, seolah sedang mencoba memastikan sesuatu.
Lalu, tiba-tiba saja ekspresinya berubah total.
Matanya menyipit, alisnya berkerut dalam. Ia mengendus udara, lalu kembali menatap Wisnu—tatapan tajam yang menusuk, jauh berbeda dari senyuman hangatnya tadi.
"Kenapa ada bau dia di tubuhmu?"
Suaranya terdengar pelan, tapi dingin.
Wisnu mengerutkan dahi. "Apa?"
"Bau ini ...." Vaya mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, menghirup udara di sekitar Wisnu, sebelum menyipitkan matanya lebih dalam. "Ini bau Riana."
Dalam hitungan detik, sebelum Wisnu sempat bereaksi—
BAM!
Punggungnya menghantam tembok.
Vaya mendorongnya dengan cukup kuat, ekspresinya kini sepenuhnya kosong dari keceriaan.
"Aku tanya sekali lagi."
Senyumnya sudah hilang.
Yang tersisa hanya mata gelap yang menatapnya tajam, penuh ketidakpercayaan.
"Kenapa bau Riana ada di tubuhmu?"
Wisnu sedikit terkejut dengan reaksi ini, tapi ia tetap berusaha menjawab dengan tenang. "Aku bertemu dengannya saat berbelanja tadi. Kami hanya berkeliling sebentar."
Namun, bukannya mereda, ekspresi Vaya justru semakin mengeras.
"Berarti kau menghabiskan waktu dengannya."
Wisnu mendesah. "Itu bukan masalah besar. Dia terlihat tidak baik, jadi—"
"Jadi kau mencoba menghiburnya?"
Kata-kata itu diucapkan dengan nada yang hampir terdengar geli—tapi Wisnu tahu, itu bukan karena Vaya benar-benar merasa lucu.
"Aku hanya mengajaknya berjalan-jalan. Tidak lebih."
Vaya menatapnya lama, lalu tertawa kecil.
Namun, itu bukan tawa riang seperti biasa.
"Lucu sekali, Wisnu."
Suaranya terdengar manis, tapi ada sesuatu yang berbahaya di baliknya.
Dan sebelum Wisnu sempat memahami maksudnya—
PSHHH!
Wajahnya tiba-tiba diselimuti semprotan dingin. Dan tubuhnya disemprot beberapa kali dengan semprotan yang sama.
"Hei!" Wisnu terbatuk kecil, mengibas-ngibaskan tangannya untuk menyingkirkan aroma kuat yang langsung menyebar.
Saat ia menatap Vaya lagi, wanita itu sudah menyimpan kembali botol kecil kaca ke dalam saku pakaiannya.
"Sekarang lebih baik."
Wisnu mengerjapkan mata. "Apa? Apakah aku baru saja disemprot dengan parfum?"
Vaya tersenyum lagi, tapi kali ini berbeda.
Senyum itu bukan senyum ceria.
"Aku hanya tidak suka baumu bercampur dengan sesuatu yang menjijikkan."
Matanya kembali menatap Wisnu—tapi kali ini, sorotnya dalam dan tak bisa dibaca.
Lalu, dengan nada yang lebih pelan, lebih dingin, ia berkata:
"Jangan sampai aku menangkap bau Riana di tubuhmu lagi."
Keheningan menggantung di antara mereka.
Untuk pertama kalinya malam itu, Wisnu merasa udara di sekitarnya menjadi jauh lebih dingin..
Wisnu menatap Vaya, masih mencoba memahami situasi ini. Ia bisa merasakan aroma parfum yang kini memenuhi tubuhnya, menggantikan bau samar Riana yang sempat melekat di sana.
Namun, ia tidak segera menjawab.
Dan itu ... adalah kesalahan.
"Wisnu."
Suara Vaya terdengar lembut, namun ada ketegasan di dalamnya.
"Jangan sampai aku menangkap bau Riana di tubuhmu lagi."
Nada suaranya tidak meninggi. Tidak ada tanda-tanda kemarahan yang meledak. Namun, entah kenapa, setiap kata yang ia ucapkan justru terasa lebih menekan. Lebih dalam.
Seolah kalimat itu bukan sekadar peringatan ... melainkan sesuatu yang lebih serius dari itu.
Senyum masih terukir di wajahnya, tapi kini ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan di balik sorot matanya.
Perasaan yang sulit dipahami.
Wisnu akhirnya mengangguk pelan. "Aku mengerti."
Seketika, ketegangan menghilang begitu saja.
Senyuman Vaya kembali menghangat, dan kali ini lebih anggun, seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan percakapan yang menyenangkan.
"Bagus."
Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah yang masih sedikit lembab setelah seharian penuh festival berlangsung.
Vaya melangkah mendekat. Kali ini, gerakannya lebih lambat, lebih lembut, seolah ia sedang mempertimbangkan sesuatu.
Lalu, dengan nada yang lebih ringan, ia berkata, "Sekarang ... ikut aku."
Wisnu menatapnya ragu. "Kemana?"
Vaya tidak langsung menjawab.
Sebaliknya, ia hanya menoleh sedikit ke arahnya, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan.
Lalu, ia tersenyum.
Senyuman yang begitu tenang ... tetapi justru terasa berbahaya.
Dan untuk alasan yang bahkan Wisnu sendiri tidak mengerti, ia hanya bisa menurut.
Mereka berjalan menyusuri area festival yang kini nyaris kosong. Suara bising yang sebelumnya memenuhi udara telah menghilang sepenuhnya, meninggalkan kesunyian yang hanya dipecahkan oleh langkah kaki mereka berdua.
Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya, dan Wisnu menyadari bahwa Vaya berjalan dengan tempo yang tidak terburu-buru, seolah ia menikmati perjalanan ini.
Setelah beberapa menit, mereka sampai di sebuah bangunan besar.
Dari luar, tempat ini tampak seperti ruangan pusat atau ruang pertemuan penting, dengan beberapa penjaga berjaga di dekatnya. Namun, mereka tidak menghentikan langkah Vaya.
Begitu pintu terbuka, Wisnu dan Vaya melangkah masuk ke dalam ruangan, suara keluhan yang terus-menerus terdengar memenuhi udara.
"Aku sudah tahu ini akan terjadi! Aku sudah bilang! Aku sudah peringatkan semuanya!"
Di tengah ruangan, seorang pria paruh baya berjalan mondar-mandir, tangannya terus bergerak, mengusap wajahnya, meremas rambutnya, atau sekadar menunjuk-nunjuk udara tanpa arah yang jelas.
"Dua sekaligus! Dalam dua hari berturut-turut! Apa kita bisa mengatasi ini?!"
Wisnu hanya berdiri diam, menatap pria itu dengan sedikit bingung.
"Aku belum tidur sejak festival dimulai! Aku belum makan dengan benar! Aku belum—"
"Ayah," suara lembut menghentikan ocehannya.
Wisnu menoleh ke arah sumber suara itu.
Di sudut ruangan, seorang anak perempuan duduk diam, mengenakan pakaian sederhana yang elegan. Rambutnya tergerai rapi, dan wajahnya tampak tenang, terlalu tenang untuk seorang anak berusia 10 tahun.
Berbeda dengan ayahnya yang terlihat sangat gelisah, gadis kecil itu benar-benar anggun, dengan sorot mata yang tajam namun lembut.
Ayahnya langsung berhenti bergerak, menatap putrinya dengan napas yang masih tersengal. "Apa?"
"Duduklah sebentar," katanya tanpa mengubah ekspresinya. "Kau terlalu banyak bicara."
Pria itu tampak ragu, tetapi akhirnya menghempaskan diri ke kursi dengan gerakan dramatis. Ia mengusap wajahnya, mendesah panjang, ia kemudian menyadari bahwa Vaya masuk ke ruangan. Dan kembali berbicara.
"Vaya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan! Ini bencana! Suku Ranaha pasti akan menuntut kompensasi yang gila-gilaan! Mereka mungkin bahkan menginginkan lebih dari sekadar kompensasi! Apa yang harus kita lakukan?! Kenapa aku yang harus menyelesaikan ini semua?! Kenapa?!"
Vaya hanya tersenyum.
Senyuman yang sangat lembut, tetapi Wisnu sudah cukup mengenalnya untuk tahu bahwa di balik itu ada sesuatu yang akan merepotkannya lagi.
Ia kemudian menoleh pada Wisnu dan berkata dengan nada tenang, "Aku ingin kau berbicara dengannya."
Wisnu berkedip. "Apa?"
"Alihkan pikirannya sebentar. Dia selalu seperti ini ketika situasinya menjadi berat. Jika dia terus seperti ini, itu hanya akan merepotkanku dalam mengatasi masalahnya."
Wisnu menatapnya, lalu kembali melihat ke arah ayahnya yang kini tengah berbicara sendiri lagi, seolah ia lupa ada orang lain di ruangan itu.
"Aku bahkan tidak tahu harus bicara apa padanya."
"Bukan urusanku." Vaya menjawab dengan ringan, senyum masih terukir di wajahnya.
Wisnu menghela napas pelan.
Kini, ia berdiri di antara seorang kepala suku yang terlalu banyak berpikir dan berbicara, seorang gadis kecil yang diam-diam mengamati segalanya, dan seorang wanita yang memberinya perintah dengan senyum yang terasa terlalu tenang.
Matanya kemudian beralih ke gadis kecil yang masih duduk dengan tenang di sudut ruangan. Berbeda dengan ayahnya yang ekspresif dan bicara tanpa henti, gadis itu tampak begitu tenang—terlalu tenang untuk seseorang seusianya.
Merasa canggung berdiri tanpa melakukan apa pun, Wisnu akhirnya melambaikan tangan ke arahnya.
Gadis itu menatap Wisnu dengan mata hitamnya yang dalam, sebelum akhirnya tersenyum kecil dan melambaikan tangan balik dengan anggun.
Sebuah sikap sederhana, namun terasa begitu kontras dibandingkan dengan energi berlebihan yang ditunjukkan ayahnya.
Sementara itu, Vaya berjalan melewati Wisnu tanpa berkata apa-apa dan langsung menuju meja lain yang tidak jauh dari adiknya.
Meja itu dipenuhi dengan berkas-berkas, beberapa tablet menyala dengan tampilan dokumen dan laporan keuangan. Vaya mengambil salah satu tablet, matanya segera fokus membaca isinya.
Adiknya ikut melihat berkas-berkas di meja, tangannya dengan tenang membuka satu dokumen ke dokumen lainnya.
Tak ada suara dari mereka berdua, hanya gerakan halus jari-jemari di atas layar dan lembaran kertas yang berpindah dengan rapi.
Dari ekspresi mereka, Wisnu bisa melihat bagaimana mereka benar-benar fokus mencari solusi. Mereka tidak tergesa-gesa, hanya menelusuri informasi dengan ketenangan yang begitu anggun dan terkendali.
Vaya mengetuk layar tablet beberapa kali sebelum menyerahkannya ke adiknya. Gadis kecil itu menerima tablet tersebut tanpa ragu, membaca isinya sejenak, lalu mengangguk pelan.
Mereka tampak begitu sinkron, seolah tak perlu berkata-kata untuk memahami apa yang harus dilakukan.
Sementara itu, Wisnu hanya berdiri di tempatnya, menyadari satu hal—
Ia baru saja ditinggalkan sendirian dengan kepala suku Vahaya.
Dan pria itu ... masih terus mengoceh sendiri.
"Aku sudah tahu ini akan terjadi! Aku sudah bilang sejak awal, festival tahun ini terasa aneh! Tapi tidak, semua orang bilang 'Ah, tidak mungkin terjadi apa-apa, semuanya akan baik-baik saja'. Lihat sekarang?! APA INI NAMANYA BAIK-BAIK SAJA?!"
Wisnu menatapnya dengan ekspresi bingung.
"Kita bisa menebus kerugian dengan kompensasi?" Kepala suku itu tertawa kecil, tapi jelas bukan tawa bahagia. "Kompensasi apa?! Berapa harga dua nyawa?! Berapa harga perdamaian?! Kalau aku bisa membayarnya dengan uang, aku sudah melakukannya sejak dulu!"
Wisnu melirik ke arah Vaya dan adiknya yang masih sibuk dengan dokumen-dokumen mereka. Keduanya tampak begitu tenang dan anggun, kontras dengan sosok pria yang duduk di sisi lain ruangan.
Subranta menghela napas panjang untuk entah yang keberapa kali, menggerakkan jemarinya di atas meja dengan gelisah. Ia bergumam pada dirinya sendiri, mengulang-ulang berbagai keluhan tentang situasi yang mereka hadapi, tentang tanggung jawab yang terlalu berat, dan tentang bagaimana semuanya terasa begitu menyebalkan.
Wisnu memperhatikan pria itu dengan saksama. Dari sudut pandang mana pun, ekspresinya terlihat sangat stres, tapi di saat yang sama ... ada sesuatu yang agak berlebihan dalam caranya mengeluh.
Akhirnya, Wisnu memutuskan untuk berbicara. "Tuan Subranta?"
Pria itu terdiam sejenak sebelum menoleh dengan cepat, seperti baru menyadari keberadaan Wisnu.
"Hah? Oh, anak ini! Sejak kapan kau ada di sini?"
Wisnu tersenyum sopan. "Sejak beberapa waktu lalu, Tuan."
Subranta menatapnya dengan ekspresi bingung sebelum menghela napas panjang lagi. "Astaga ... aku sampai tidak sadar ada orang lain di sini. Maaf, maaf, aku terlalu banyak pikiran."
Wisnu mengangguk. "Itu wajar. Kejadian tadi benar-benar di luar dugaan."
Subranta mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menopang kepalanya di meja. "Ini semua benar-benar merepotkan ... Seharusnya festival berjalan seperti biasa, tidak ada insiden seperti ini. Sekarang aku harus memastikan semuanya tetap terkendali, menghindari konflik lebih besar, dan di saat yang sama harus menjaga nama baik suku kami ...."
Ia mulai berbicara lebih cepat, membahas kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, apa yang harus dilakukan untuk mencegah perpecahan, hingga bagaimana suku mereka mungkin dipandang lemah karena peristiwa ini.
Wisnu menyimak dalam diam. Ia tahu bahwa pria ini sedang berusaha melampiaskan kegelisahannya dengan berbicara terus-menerus, mungkin sebagai cara untuk mengatur pikirannya sendiri.
Setelah beberapa saat, Wisnu menggeser posisinya sedikit, lalu mengamati ruangan dengan lebih seksama. Pandangannya tertuju pada sebuah rak di sudut ruangan. Ada kotak kayu dengan ukiran sederhana di sana—bentuknya cukup familiar.
Wisnu memperhatikannya sebentar sebelum menyadari apa itu. Sebuah kotak catur.
Sebuah ide muncul di kepalanya.
"Tuan Subranta."
"Hm?"
"Aku melihat ada papan catur di sana," kata Wisnu sambil menganggukkan kepala ke arah rak. "Bagaimana kalau kita bermain sebentar?"
Subranta menatapnya dengan ekspresi kosong selama beberapa detik sebelum menoleh ke rak. Saat ia menyadari apa yang dimaksud Wisnu, ekspresinya berubah drastis. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan kesayangannya.
"ASTAGA!" Serunya sambil berdiri, berjalan cepat ke rak dan mengambil kotak kayu itu. Ia meniup debunya, lalu menatapnya dengan penuh nostalgia. "Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memainkannya!"
Ia berbalik menatap Wisnu dengan penuh semangat. "Kau suka main catur?"
Wisnu tersenyum tipis. "Aku tidak terlalu jago, tapi cukup bisa."
Subranta tertawa keras. "Hah! Bagus, bagus! Akhirnya ada yang mau bermain denganku!"
Ia melirik ke arah Vaya dan adiknya sebelum mendekatkan wajahnya ke Wisnu dengan gerakan yang agak dramatis. "Kau tahu, dua gadis itu tidak pernah mau bermain denganku. Aku sudah mencoba meyakinkan mereka berkali-kali, tapi mereka selalu menolak!"
Dari meja lain, Vaya mendesah pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang sedang ia baca. Adiknya tetap diam, seolah tidak terpengaruh oleh keluhan ayah mereka.
Wisnu tertawa kecil. "Kalau begitu, anggap saja aku lawan main sementara, Tuan."
Subranta mengangguk puas. "Bagus, bagus! Tapi jangan harap aku akan mengalah begitu saja!"
Ia segera membuka kotak catur dan mulai menyusun bidak-bidaknya di atas papan. Wisnu duduk di seberangnya, merasa bahwa pria di hadapannya sudah melupakan stres yang tadi begitu menghantuinya.
***
Suara bidak catur yang dipindahkan ke papan terdengar berulang kali di dalam ruangan. Wisnu menatap papan catur di depannya dengan ekspresi serius, sementara di seberangnya, Subranta duduk dengan penuh percaya diri, tangannya menopang dagunya, bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan.
"Hah! Sekali lagi kau kena jebakan bodoh itu!" seru Subranta dengan penuh semangat, lalu dengan gerakan cepat, ia menggerakkan bentengnya dan mengucapkan dengan suara penuh kemenangan, "Skakmat!"
Wisnu menghela napas pelan dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Sepertinya aku memang bukan tandinganmu, Tuan."
Subranta tertawa keras. "Hahaha! Tentu saja! Kau masih kurang pengalaman, anak muda!"
Mereka telah bermain tujuh pertandingan, dan hasilnya sudah cukup jelas. Wisnu hanya berhasil menang dua kali, sementara sisanya adalah kekalahan baginya. Meski begitu, permainan yang panjang ini telah membuat Subranta jauh lebih tenang daripada sebelumnya.
Pria itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas panjang, tetapi kali ini bukan napas penuh stres, melainkan napas yang lebih ringan. "Terima kasih sudah bermain denganku, Nak. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir aku menikmati permainan seperti ini."
Wisnu tersenyum tipis. "Aku juga cukup menikmati, meskipun kalah telak."
Subranta tertawa lagi, lebih pelan dari sebelumnya. "Kalau kau ingin bermain lagi, datanglah kapan saja!"
Wisnu melirik ke arah jam di dinding, sudah menunjukkan semakin malam. Ia sadar bahwa ia harus segera pulang sebelum terlalu larut.
Ia mulai bangkit dari kursinya. "Kalau begitu, aku pamit dulu, Tuan Subranta."
Namun, baru saja ia berdiri tegak, sebuah kehadiran muncul tepat di belakangnya.
"—!"
Refleks, Wisnu berbalik dan sedikit tersentak melihat Vaya sudah berdiri di sana, tanpa suara, tanpa tanda-tanda kedatangannya. Wajahnya tetap anggun seperti biasa, tetapi matanya menatap lurus padanya dengan sorot yang sulit diartikan.
Wisnu menelan ludah. Bagaimana bisa dia tidak menyadari kehadirannya?
Vaya tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berbalik dan berjalan menuju pintu, membukanya dengan gerakan lembut. Sebelum melangkah keluar, ia berhenti sejenak dan menolehkan wajahnya ke arah Wisnu. Pandangannya menyiratkan sesuatu. Sebuah isyarat.
Wisnu mengerti. Ia harus mengikutinya.
Namun sebelum itu, ia menoleh kembali ke arah Subranta dan adiknya. "Sekali lagi, terima kasih sudah mengizinkanku berada di sini."
Adik Vaya yang ada di pojok, tersenyum dan melambaikan tangannya. "Dadah, Kakak! Mari bertemu lagi!" ucapnya dengan suara lembut dan ramah.
Wisnu tersenyum dan melambaikan tangan balik sebelum akhirnya melangkah keluar ruangan.
Begitu pintu tertutup di belakang mereka, hanya ada Wisnu dan Vaya di lorong yang sepi. Suasana di luar ruangan terasa lebih dingin, lebih sunyi.
Vaya berjalan pelan, sedikit mendahului Wisnu. Tidak ada senyum di wajahnya kali ini, hanya ketenangan yang menusuk. Setelah beberapa langkah, ia berhenti, membiarkan Wisnu mengejarnya.
Ketika Wisnu akhirnya berdiri di sampingnya, Vaya menoleh sedikit, menatapnya dengan sudut matanya yang tajam.
Lalu, dengan suara rendah, hampir seperti bisikan, ia bertanya,
"Apa kau masih ingat pesanku padamu?"
Angin malam berembus pelan, membawa keheningan yang aneh di antara Wisnu dan Vaya. Jalanan sekitar mereka hampir sepi, hanya ada beberapa cahaya yang masih menyala dari bangunan di kejauhan. Wisnu berdiri diam, berusaha membaca ekspresi Vaya yang anggun tetapi penuh rahasia.
"Kau lambat menjawab," suara Vaya terdengar lembut, tetapi ada tekanan di baliknya.
Wisnu menelan ludah, mencoba menata pikirannya. "Maaf, aku hanya ... memastikan aku mengingatnya dengan benar."
Senyum Vaya sedikit merekah, tetapi bukan senyum yang sepenuhnya menenangkan. Ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang terasa tidak wajar.
"Ingat baik-baik, Wisnu," katanya pelan, suaranya begitu halus seolah angin malam membisikannya. "Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya. Jangan sampai aku menemukan bau wanita lain di tubuhmu."
Wisnu merasakan tenggorokannya mengering. "Maksudnya?"
Namun, tatapan Vaya yang begitu dalam di matanya membuat Wisnu hanya bisa mengangguk meski kebingungan dengan situasi yang terjadi saat ini.
Tiba-tiba, sebelum Wisnu sempat bereaksi, Vaya melangkah maju. Jemari rampingnya meraih dagu Wisnu dengan gerakan yang begitu anggun, tetapi mencengkeramnya cukup kuat untuk menahan pergerakannya.
"Aku ingin mendengarnya darimu langsung," kata Vaya. Matanya yang tajam meneliti wajah Wisnu, seolah mencari tanda-tanda kebohongan sekecil apa pun.
Wisnu menahan napas, suara hatinya berteriak. "Kenapa situasinya jadi seperti ini?"
Ia tidak mengerti. Vaya selalu terlihat anggun, tetapi malam ini ada sesuatu yang lain dalam sorot matanya. Sesuatu yang membuat Wisnu merasa seperti buruan yang terjebak.
"A-aku mengerti, Nona Vaya. Aku akan coba untuk tidak akan melanggar pesanmu."
Vaya menatapnya selama beberapa detik lagi, seakan menimbang apakah ia benar-benar bisa mempercayai kata-kata Wisnu. Lalu, perlahan, senyumnya kembali muncul.
"Bagus," katanya sambil melepas genggamannya dari dagu Wisnu, jemarinya meluncur turun dengan gerakan yang hampir seperti belaian.
Namun, sebelum benar-benar melepaskannya, Vaya menekan ujung jarinya ke leher Wisnu sebentar—sebuah tanda, sebuah peringatan.
"Aku tidak suka berbagi dengan sesuatu yang menjadi milikku."
Suaranya tetap lembut, tetapi kata-kata itu terasa seperti ukiran yang tertanam dalam kepala Wisnu.
Saat Vaya berbalik dan melangkah pergi, Wisnu hanya bisa berdiri diam di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Miliknya?"
Suara hatinya bergema dalam kepalanya.
"Apa yang sebenarnya aku hadapi di sini?"
>> B E R S A M B U N G <<
› Kazehiro