Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 13 - Chapter 13 : Akhirnya

Chapter 13 - Chapter 13 : Akhirnya

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 13 : Akhirnya

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

Langkah Wisnu bergema di lorong yang mulai sepi, hanya ditemani suara angin malam yang berhembus pelan. Pikirannya masih berputar-putar, terjebak dalam satu kata yang baru saja dilontarkan Vaya.

"Miliknya?"

Apa maksudnya? Apa itu hanya cara bicara Vaya, atau ada makna lebih dalam yang belum bisa ia pahami?

Wisnu menghembuskan napas berat, mencoba mengusir pikirannya. Namun, tepat saat ia hendak mengayunkan langkah lebih jauh, ia tersadar—jajanan yang tadi ia beli tertinggal.

"Haruskah aku kembali?"

Tapi setelah kejadian barusan, kembali ke sana jelas ide buruk. Wisnu menghela napas dan memutuskan untuk membiarkannya saja.

Saat ia hampir sampai di tempat sepedanya terparkir, sebuah pikiran lain melintas.

Bagaimana tampaknya arena utama saat sudah sepi seperti ini?

Festival sudah dibubarkan, semua orang sudah kembali, dan tempat yang tadi dipenuhi sorakan serta riuh rendah kini pasti benar-benar kosong.

"Hanya beberapa menit saja."

Dengan keputusan yang mendadak, Wisnu membelokkan langkahnya, menyelinap ke area dalam. Ia berjalan melewati kursi-kursi kosong, panggung yang kini tidak lagi diterangi lampu, dan arena pertarungan yang terlihat begitu sunyi tanpa keramaian.

"Suasana di sini ... berbeda."

Tidak ada sorakan, tidak ada euforia—hanya kesunyian yang hampir terasa menelan segalanya. Ada sesuatu yang berat di udara, sesuatu yang menyisakan bekas dari tragedi yang baru saja terjadi.

Tiba-tiba—

"Wisnu?"

Wisnu tersentak.

Suara itu datang dari belakangnya.

Ia berbalik dengan cepat, dan matanya membesar saat melihat siapa yang berdiri di sana.

Riana.

Dia tampak berbeda dari biasanya. Gaun yang selalu tampak sempurna kini sedikit kusut, rambutnya tidak tersusun serapi biasanya, dan—yang paling mencolok—matanya tampak merah dan sembab, seperti seseorang yang baru saja menangis.

Namun, begitu menyadari Wisnu memperhatikannya, Riana segera menarik napas dan mengangkat dagunya sedikit, mengembalikan postur anggunnya.

Seolah-olah ia ingin menyembunyikan kelemahannya, seolah-olah ia ingin tetap terlihat kuat.

Wisnu menatap Riana dalam diam untuk beberapa saat. Ada sesuatu dalam sorot mata wanita itu—sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia terlihat ... rapuh.

Namun, sebelum Wisnu bisa berkata apa-apa, Riana lebih dulu mengalihkan pandangannya, seolah menyadari tatapan Wisnu yang sedikit terlalu lama. Ia menarik napas dalam, lalu menampilkan senyum tipis yang nyaris dipaksakan.

"Kau masih di sini?" Riana membuka percakapan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.

Wisnu mengangguk pelan. "Iya, aku ... hanya ingin melihat seperti apa tempat ini setelah semua orang pergi."

Riana menoleh ke sekeliling mereka. "Sepi, ya?"

"Hm." Wisnu mengamati sekeliling, lalu kembali menatap Riana. "Kau ... baik-baik saja?"

Sejenak, tidak ada jawaban. Riana hanya diam, bibirnya sedikit terbuka namun tak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi kemudian, ia tersenyum lagi—senyum yang terasa tidak benar-benar sampai ke matanya.

"Tentu saja," jawabnya akhirnya. "Aku selalu baik-baik saja."

Jawaban itu terasa terlalu cepat, terlalu sempurna, hingga membuat Wisnu semakin yakin bahwa sebaliknya-lah yang sebenarnya terjadi.

Namun, sebelum Wisnu sempat mendesaknya lebih jauh, pikirannya terseret kembali ke sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih mengusik.

"Aku tidak ingin mencium bau wanita lain di tubuhmu."

Perkataan Vaya berputar di kepalanya, membuatnya tanpa sadar menegang.

Sekarang, berdiri di hadapan Riana, Wisnu merasa seperti sedang melangkah di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja. Vaya jelas tidak main-main. Dan di satu sisi, Riana tampak benar-benar membutuhkan seseorang untuk bicara.

Tapi jika Vaya tahu ia ada di sini ...

"Kenapa wajahmu tiba-tiba seperti itu?" tanya Riana, memiringkan kepala dengan bingung.

"Hm?" Wisnu tersadar, lalu dengan cepat menggeleng. "Tidak, aku hanya ... berpikir."

"Memikirkan apa?"

Wisnu ragu untuk menjawab. Ia bisa saja mengatakan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih ringan dan tidak mencurigakan. Tapi di saat yang sama, ia juga tahu bahwa Riana tidak akan mudah dibodohi.

Akhirnya, ia hanya menghela napas dan berkata, "Tidak terlalu penting."

Riana mengamatinya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kau tidak pandai berbohong, ya?"

Wisnu terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Riana, dengan segala kebingungannya yang masih tersisa. Udara malam yang mulai dingin menyapu tengkuknya, membawa serta perasaan gamang yang belum sepenuhnya bisa ia singkirkan.

Di satu sisi, pikirannya masih bergulat dengan perkataan Vaya. Tapi di sisi lain, ia tak bisa begitu saja mengabaikan Riana yang jelas sedang berada dalam kondisi terburuknya.

Akhirnya, tanpa banyak berpikir lagi, ia membuka suara.

"Aku bisa menemanimu sebentar," katanya, nada suaranya datar namun tetap terdengar tulus. "Tapi kalau kau tidak mau, aku juga bisa langsung pulang."

Sejujurnya, Wisnu sudah sedikit menduga bahwa Riana akan menolak. Dengan posisinya, dengan kepribadiannya yang selalu tampak kuat dan mandiri, tentu saja ia bukan tipe orang yang akan meminta bantuan orang lain.

Namun, di luar dugaan, Riana justru menatapnya cukup lama sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, "Boleh."

Wisnu sempat terpaku. Sekilas, ia nyaris mengira bahwa ia salah dengar. Tapi tidak—Riana benar-benar mengatakannya.

Tanpa banyak berkata lagi, ia akhirnya duduk di sampingnya.

Mereka tidak langsung berbicara. Ada jeda di antara mereka—sebuah keheningan panjang yang seakan membiarkan keduanya menyerap keberadaan satu sama lain.

Angin malam bertiup lembut, membawa aroma tanah dan dupa yang masih tersisa dari festival. Suasana begitu hening, seakan seluruh dunia sedang menahan napas. Riana duduk dengan tenang di samping Wisnu, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tak bisa ia sembunyikan.

Wisnu tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menunggu, memberi ruang bagi Riana untuk berbicara jika ia mau.

Beberapa menit berlalu. Dari sudut matanya, Wisnu bisa melihat bagaimana ekspresi Riana perlahan-lahan melunak. Ia masih tampak rapuh, masih tampak seperti seseorang yang mencoba mempertahankan dirinya sendiri agar tidak hancur.

"Adik bungsuku ... dia baru tujuh belas tahun," katanya pelan, hampir seperti bisikan. "Dan adik pertamaku baru delapan belas."

Wisnu menoleh, memperhatikannya.

"Dulu, mereka selalu menggangguku," lanjutnya, dengan suara yang terdengar jauh. "Si bungsu sangat manja, dia tidak pernah bisa melakukan sesuatu sendiri tanpa bertanya padaku dulu. Sedangkan yang sulung ... dia selalu ingin membuktikan sesuatu. Selalu ingin terlihat kuat."

Ia tertawa kecil, tapi nada itu dipenuhi dengan kepedihan.

"Mereka berdua selalu bertengkar, tapi pada akhirnya, mereka selalu pulang ke rumah bersama."

Suaranya sedikit bergetar. Wisnu melihat jemari Riana mengepal erat di atas pangkuannya.

"Mereka seharusnya pulang bersama malam itu juga."

Keheningan menyelimuti mereka. Wisnu tidak bisa melihat ekspresi Riana dengan jelas, tetapi ia tahu bahwa wanita di sampingnya sedang menahan sesuatu yang berat.

"Tidak seharusnya mereka berada di sana," gumamnya. "Aku seharusnya bisa melakukan sesuatu. Aku seharusnya bisa menghentikan mereka ..."

Tangannya semakin mengepal.

"Aku ini kakak mereka." Suaranya melemah, penuh rasa bersalah yang dalam. "Aku seharusnya melindungi mereka. Tapi nyatanya ... aku hanya berdiri di sana dan melihat mereka mati."

Suasana di sekitar mereka semakin terasa berat. Wisnu menatapnya, tidak tahu harus berkata apa.

"Semua orang bilang ini bukan salahku," lanjutnya. "Mereka bilang aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi kata-kata mereka tidak berarti apa-apa. Karena pada akhirnya, aku masih kehilangan mereka."

Keheningan panjang menyusul setelah itu. Wisnu merasa ada sesuatu yang membebaninya, perasaan yang seakan bisa menular hanya dengan mendengar suara Riana.

"Aku sudah kehilangan mereka berdua," katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Wisnu melihat Riana mengalihkan wajahnya. Bahunya sedikit bergetar, meskipun ia mencoba menyembunyikannya.

Entah bagaimana, pemandangan itu membuat dadanya sedikit sesak. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang terasa cukup.

Akhirnya, tanpa berpikir lebih jauh, ia mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas punggung tangan Riana.

Wanita itu terkejut, menoleh ke arahnya. Matanya yang biasanya penuh kewibawaan kini dipenuhi oleh kesedihan yang tak tersembunyikan.

"Kau tidak sendiri," kata Wisnu, sederhana.

Riana menatapnya lama, seakan mencoba menemukan sesuatu dalam dirinya. Dan untuk pertama kalinya, Wisnu melihat sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya.

Perlahan, Riana menarik napas dalam-dalam, lalu menutup matanya. Waktu terus berjalan tanpa terasa. Wisnu tetap duduk di samping Riana, tanpa tergesa-gesa, tanpa tekanan. Ia tahu, terkadang seseorang tidak membutuhkan jawaban atau solusi—hanya kehadiran seseorang yang bisa mendampingi mereka melewati kesedihan.

"Aku yakin mereka tidak ingin melihatmu menyalahkan diri sendiri," kata Wisnu pelan, menatap ke depan.

Riana tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada tanah, seakan masih berada dalam pikirannya sendiri. Namun, perlahan, bahunya yang tegang mulai sedikit mengendur.

"Mungkin," gumamnya. "Tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa mereka sudah tidak ada."

Wisnu mengangguk pelan. Ia memahami rasa kehilangan itu. Tidak ada kata-kata yang benar-benar bisa menghilangkan rasa sakitnya.

Namun, ia tetap mencoba.

"Aku tidak akan mengatakan bahwa kau harus melupakan mereka atau berhenti bersedih," katanya. "Tapi ... mungkin kau bisa mencoba untuk mengingat mereka dengan cara yang lebih baik. Dengan cara yang mereka sendiri akan banggakan."

Riana akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Wisnu. Ada sesuatu dalam matanya—sesuatu yang rapuh, tetapi juga sesuatu yang perlahan menemukan ketenangan.

"Kau terdengar seperti orang yang bijak," katanya dengan senyum tipis yang samar. "Padahal aku yakin kau tidak benar-benar tahu harus mengatakan apa, kan?"

Wisnu tertawa kecil. "Tidak sama sekali."

Untuk pertama kalinya malam itu, ekspresi Riana sedikit melunak. Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

"Terima kasih," katanya pelan.

Mereka terus duduk di sana, hanya berbicara ringan setelahnya—tentang masa kecil Riana, tentang kenangan bersama adik-adiknya, tentang hal-hal kecil yang dulu terasa biasa tetapi kini begitu berharga.

Tanpa disadari, hampir satu jam telah berlalu.

Riana tampaknya mulai kembali ke dirinya yang biasa. Ia mengusap wajahnya, seolah mencoba menghilangkan sisa-sisa kesedihan yang masih tersisa.

"Aku harus kembali," katanya akhirnya. "Orang-orang pasti sudah mencariku."

Wisnu mengangguk, berdiri bersamaan dengannya. "Aku juga harus pulang."

Riana menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya tersenyum kecil. Kali ini, senyum itu terasa lebih tulus. "Aku akan mengingat kata-katamu."

Mereka berpisah di sana, di bawah langit malam yang mulai mendingin.

Dan untuk sesaat, Wisnu berpikir bahwa mungkin, setidaknya malam ini, ia telah melakukan sesuatu yang benar.

***

Wisnu menghela napas panjang saat ia akhirnya melangkah pergi, meninggalkan arena festival yang kini terasa lebih sunyi. Meski suasana masih menyisakan jejak kekacauan yang terjadi sebelumnya, ada perasaan yang sedikit lebih ringan dalam dirinya setelah berbicara dengan Riana.

Ia berjalan menuju tempat ia memarkir sepedanya. Udara malam cukup sejuk, angin bertiup lembut melewati jalanan yang kini tidak seramai tadi. Meski festival telah berakhir, masih ada beberapa kelompok kecil yang berkumpul di sudut-sudut jalan, beberapa berbicara pelan, beberapa tampak hampir beradu argumen. Wisnu memilih untuk mengabaikannya.

Ia menaiki sepedanya, mulai mengayuh dengan santai menyusuri jalanan yang semakin lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, memberikan cahaya samar yang cukup untuk menerangi rute kepulangannya. Setiap kali angin bertiup, ia bisa merasakan dinginnya menyentuh kulitnya, membawa aroma laut yang khas.

Tidak ada suara bising, hanya suara gemerisik dedaunan dan kadang-kadang suara cicak dari kejauhan. Sesekali, ia berpapasan dengan beberapa warga yang masih berkeliaran di luar, entah karena urusan yang belum selesai atau sekadar menikmati sisa malam.

Setelah beberapa menit, Wisnu akhirnya tiba di rumahnya. Ia turun dari sepeda, meletakkannya di samping rumah, lalu masuk ke dalam. Suasana rumahnya gelap dan tenang, begitu berbeda dibandingkan dengan hiruk-pikuk festival tadi.

Dengan langkah malas, ia mulai beres-beres, menaruh barang-barang yang ia bawa di tempatnya, lalu membuka lemari untuk mencari pakaian bersih.

Tanpa pikir panjang, ia langsung menuju kamar mandi. Air dingin menyentuh kulitnya saat ia membasuh wajahnya, menghapus rasa lelah yang menggantung sejak tadi. Mandi malam ini terasa lebih menyegarkan dari biasanya, seolah membersihkan bukan hanya keringat, tetapi juga beban pikiran yang sempat menumpuk.

Begitu selesai, ia mengenakan pakaian tidur dan berjalan ke tempat tidurnya. Kasurnya terasa begitu nyaman, begitu menggoda untuk segera menenggelamkannya ke dalam tidur.

Namun sebelum benar-benar terlelap, pikirannya masih sempat memutar kembali semua kejadian malam ini—dari pertemuannya dengan Vaya, percakapannya dengan Riana, hingga suasana aneh yang masih menyelimuti festival.

Akhirnya, dengan hembusan napas panjang, Wisnu membiarkan kelopak matanya menutup perlahan.

Malam ini, akhirnya berakhir.

>> B E R S A M B U N G <<

› Kazehiro