Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 10 - Chapter 10 : Festival(3)

Chapter 10 - Chapter 10 : Festival(3)

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 10 : Festival(3)

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

Wisnu menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih berantakan. Pemandangan yang baru saja ia saksikan di arena terus berputar di benaknya—kilatan pedang, jeritan kesakitan, darah yang membasahi tanah, dan tubuh-tubuh yang bergelimpangan tanpa nyawa. Rasa mual masih mengendap di perutnya, tapi ia memaksakan diri untuk melangkah. Dengan langkah ragu, ia berjalan menyusuri lorong-lorong panjang dan remang, mempertimbangkan apakah ia harus kembali ke tempat duduknya atau tidak.

Namun, semakin jauh ia berjalan, semakin banyak orang yang ia temui. Mereka bergerak di lorong dengan tenang, mengenakan pakaian longgar khas penduduk pulau ini, namun ada satu kesamaan mencolok yang membuat Wisnu berhenti di tempat—semua dari mereka memiliki bagian tubuh yang diperban. Beberapa memiliki lengan yang dibebat kain putih hingga ke bahu, beberapa berjalan tertatih dengan kaki yang terbungkus perban tebal, sementara yang lain memiliki luka sayatan yang masih terlihat segar di sekitar leher dan wajah mereka.

Wisnu menelan ludah, perasaan tidak nyaman merayap di punggungnya. Ia tidak mengenal mereka secara pribadi, tapi wajah-wajah itu tidak asing. Ia tahu persis siapa mereka—orang-orang ini adalah para petarung yang tadi ia lihat di arena. Mereka yang seharusnya kehilangan anggota tubuhnya, yang tangannya terputus, yang kakinya terbelah, yang bahkan ia lihat jatuh bersimbah darah ... mereka kini berjalan melewati dirinya dengan tubuh yang tampaknya sudah tersambung kembali.

Wisnu berdiri diam di lorong, matanya tak lepas dari orang-orang yang melewatinya. Mereka berjalan dengan ekspresi yang tenang, seolah-olah tidak ada yang aneh. Tidak ada ketakutan, tidak ada trauma, tidak ada ekspresi bahwa mereka baru saja mengalami pertarungan hidup dan mati di arena yang mengerikan.

Beberapa dari mereka bahkan berbicara satu sama lain dengan santai, tertawa kecil, seakan-akan kejadian beberapa jam lalu hanyalah bagian dari rutinitas biasa. Ada seorang pria yang Wisnu ingat kehilangan lengan kanannya dalam pertarungan brutal, kini berjalan dengan tangan yang tampaknya sudah kembali pada tempatnya, hanya terbungkus perban dari bahu hingga pergelangan. Di sisi lain lorong, seorang wanita yang tadi sore kakinya tertebas hingga lutut, kini berjalan, hanya sedikit tertatih seperti seseorang yang baru sembuh dari cedera ringan.

Semuanya ... tampak terlalu normal.

Wisnu merasakan bulu kuduknya berdiri. Ini tidak masuk akal.

Memang, ia tahu bahwa dunia modern memiliki teknologi medis yang luar biasa. Di rumah sakit-rumah sakit canggih, ada prosedur yang memungkinkan seseorang menerima transplantasi organ, bahkan beberapa negara telah mengembangkan teknologi prostetik yang bisa menggantikan anggota tubuh yang hilang. Tapi tetap saja, ada batasannya. Operasi besar seperti menyambungkan kembali tangan atau kaki yang terputus membutuhkan waktu yang lama, proses yang rumit, dan rehabilitasi bertahun-tahun.

Tapi di sini?

Dalam waktu beberapa jam, puluhan—tidak, mungkin ratusan orang yang seharusnya cacat permanen sekarang sudah kembali berjalan dengan anggota tubuh yang tersambung kembali. Bahkan jika ada semacam teknologi canggih yang bisa melakukan operasi rekonstruksi dalam sekejap, bagaimana mungkin jumlah pasien sebanyak ini bisa mendapatkan perawatan dalam waktu sesingkat itu?

Pikirannya berusaha menemukan penjelasan yang masuk akal. Apakah ada fasilitas medis rahasia yang memiliki teknologi regenerasi tingkat tinggi? Ataukah ini adalah semacam ilmu kedokteran kuno yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya?

Atau mungkin ... sesuatu yang lebih dari itu?

Wisnu menggelengkan kepalanya, mencoba membuang pikiran-pikiran aneh yang mulai muncul di benaknya. Tapi satu hal yang pasti—apapun yang terjadi di pulau ini, ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pertempuran antar suku. Ada sesuatu yang belum ia ketahui ... sesuatu yang tersembunyi di balik tradisi brutal ini.

Wisnu menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau menimbun kekacauan di kepalanya dengan sebuah kebingungan lainnya. Ia lalu

memilih menjauh dari lorong dan berjalan ke bagian belakang arena. Suasananya berubah drastis. Jika di dalam arena terasa mencekam dengan pertarungan berdarah, di sini justru sebaliknya—seperti pasar malam yang ramai.

Tenda-tenda berjejer dengan berbagai makanan khas, aroma daging panggang dan rempah-rempah memenuhi udara. Orang-orang duduk di meja panjang, tertawa lepas sambil menikmati makanan mereka. Pedagang berteriak menawarkan dagangan, anak-anak berlarian dengan riang, dan beberapa pemuda terlihat berlatih ringan, masih membawa senjata mereka namun dengan ekspresi santai.

Wisnu menatap semua itu dengan ekspresi bingung. Bagaimana mungkin?

Baru beberapa saat yang lalu, puluhan orang saling membantai di arena. Darah masih membasahi pasir, tubuh-tubuh berserakan, dan kini ... mereka di sini, bersenang-senang seolah tidak ada yang terjadi. Bahkan anak-anak kecil pun tampak tenang, duduk di pangkuan orang tua mereka sambil menikmati makanan. Seolah-olah melihat orang-orang bertarung dan mati adalah hal yang biasa.

Apa ini memang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka?

Wisnu menghela napas panjang. Ia akhirnya memutuskan untuk membeli sesuatu. Ia tidak lapar, tapi perutnya terasa kosong setelah semua yang ia lihat. Ia berhenti di sebuah lapak yang menjual semacam pangsit goreng dan membelinya. Rasanya enak, hangat, dan sedikit pedas. Anehnya, itu sedikit menenangkan pikirannya.

Tapi meskipun ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan makanan, kegelisahan tetap ada.

Ia melihat sekelilingnya sekali lagi. Terlihat orang-orang duduk berdampingan, menikmati makanan bersama. Beberapa orang yang tubuhnya diperban tampak bercanda dengan teman-teman mereka.

Sebuah dunia yang benar-benar berbeda dari yang pernah ia kenal.

Setelah selesai makan, Wisnu tidak tahu apa yang merasukinya, tapi langkahnya secara otomatis membawanya kembali ke kursinya.

Suasana kembali berat begitu ia duduk.

Di bawah sana, pasir arena yang tadinya bersih kini kembali dinodai darah. Para petarung baru mulai memasuki arena, senjata mereka berkilauan di bawah cahaya api obor yang menyala di sekeliling stadion.

Seketika, suara gendang perang kembali bergema.

Pertempuran dimulai lagi.

***

Waktu berlalu, malam semakin larut, dan hawa di arena terasa semakin menekan. Wisnu duduk diam di tempatnya, matanya menatap tajam ke tengah arena, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Lalu, sesuatu terjadi.

Seorang pria dari suku Vahaya berdiri dari kursinya, lalu melangkah ke tepi tribun. Suaranya menggema, penuh keberanian dan kemarahan.

"Aku menantang Kaevan dari suku Ranaha!"

Suasana langsung berubah drastis. Keheningan menyelimuti arena, seakan semua orang menahan napas pada saat yang sama.

Wisnu tidak mengenali nama itu, tapi dari reaksi orang-orang di sekelilingnya, ini adalah sesuatu yang besar. Ia mendengar gumaman di belakangnya dari beberapa warga luar yang juga menonton.

"Dia menantang adik Riana ... pangeran suku Ranaha?" bisik seseorang dengan nada tidak percaya.

"Ini ... melanggar aturan tak tertulis," jawab yang lain.

"Orang biasa dilarang menantang keluarga petinggi suku. Tapi di dalam arena, tantangan tidak bisa ditolak." Para penonton dari suku luar lainnya membahas hal tersebut, membuat Wisnu mengetahui apa yang terjadi.

Wisnu menelan ludah. Matanya kembali ke tribun Ranaha. Tidak butuh waktu lama bagi Kaevan untuk berdiri dari tempat duduknya.

Meskipun jaraknya jauh, Wisnu bisa melihat ekspresi di wajah pemuda itu. Tidak ada kemarahan meledak-ledak seperti warga suku Ranaha lainnya. Tidak ada tanda-tanda dia terguncang. Ia hanya berdiri, dengan tatapan yang sulit dijelaskan—campuran keseriusan dan ketenangan.

Kaevan turun dari tribun dengan langkah pasti, diikuti oleh beberapa pengawal yang segera menyiapkan perlengkapannya. Ia mengenakan seragam tempurnya dengan tenang, gerakannya menunjukkan bahwa ini bukan pertama kalinya ia memasuki arena.

Sementara itu, di kursi petinggi suku Ranaha, ekspresi Riana berubah drastis. Dari seseorang yang sebelumnya tenang dan penuh percaya diri, kini wajahnya dipenuhi kekesalan dan kekhawatiran.

Di sisi lain, suku Ranaha tampak begitu murka. Banyak yang sudah berdiri dari tempat duduk mereka, wajah mereka menunjukkan kemarahan yang luar biasa, seolah mereka ingin turun sendiri ke arena dan menyerang pria dari suku Vahaya yang baru saja menantang Kaevan.

Namun, aturan adalah aturan.

Di dalam arena, tantangan harus dijawab.

Tak ada aba-aba, tak ada perintah—namun semua orang secara naluriah mulai mundur dari tepian arena, memberi ruang bagi dua petarung yang akan bertarung.

Gendang perang kembali berdentum.

Pertarungan ini ... akan berbeda dari yang sebelumnya.

***

Angin malam terasa menusuk, namun tidak ada yang peduli. Semua mata tertuju pada dua sosok di tengah arena—Kaevan dari suku Ranaha dan pria dari suku Vahaya yang menantangnya.

Mereka berdiri berhadapan, tubuh tegang, mata saling mengunci. Gendang perang berdentum keras, menandakan dimulainya pertarungan.

Hanya dalam sekejap, keduanya melesat ke depan.

Bunyi benturan logam memenuhi udara saat pedang mereka beradu dengan kekuatan penuh. Percikan api kecil sesekali muncul dari gesekan senjata mereka, menambah suasana yang semakin memanas.

Wisnu menyaksikan dengan mata membelalak. Gerakan mereka sangat cepat—terlalu cepat. Setiap tebasan, setiap serangan, terlihat begitu terlatih dan mematikan.

Namun, sesuatu terjadi.

Sebuah tebasan kuat dari pria suku Vahaya berhasil membuat pedang Kaevan terlepas dari genggamannya, melayang ke udara.

Wisnu nyaris berteriak, mengira pertarungan sudah berakhir. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Kaevan melakukan sesuatu yang membuat napasnya tertahan.

Dalam sepersekian detik, Kaevan mengangkat tangannya ke depan.

Dan saat itu juga, di depan telapak tangannya, cahaya samar berkilauan. Dalam hitungan detik, sebuah pedang baru terbentuk dari cahaya itu—bukan diambil dari tanah, bukan dilemparkan oleh seseorang, tapi 'tercipta' begitu saja.

Pedang itu seketika berada di tangannya, dan tanpa membuang waktu, Kaevan kembali menyerang.

"M-Mustahil ...." Wisnu bergumam pelan.

Tapi kejutan belum berakhir.

Beberapa saat kemudian, pria suku Vahaya terpukul mundur. Tebasan Kaevan nyaris mengenai bahunya, dan dalam upayanya menghindar, pedangnya terlempar ke udara.

Namun, ia tidak panik.

Dengan gerakan cepat, ia mengulurkan tangannya ke arah senjatanya yang melayang.

Dan saat itu juga, pedangnya bergetar, lalu melesat kembali ke genggamannya seolah tertarik oleh kekuatan tak kasat mata.

Wisnu hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Apa-apaan ini ...?" pikirnya, jantungnya berdebar kencang.

Kaevan dan pria suku Vahaya itu kembali bertarung, tapi kini pertarungan mereka tidak hanya soal keahlian menggunakan pedang. Mereka menggunakan sesuatu yang lebih dari sekadar keterampilan bertarung—mereka menggunakan 'kekuatan' yang melampaui nalar.

Pria suku Vahaya itu bahkan mulai melemparkan pedangnya ke Kaevan, lalu menariknya kembali ke tangannya sebelum Kaevan sempat membalas. Kadang, ia bahkan menggunakan teknik itu untuk menyerang dari sudut yang tidak terduga, membuat Kaevan harus semakin waspada.

Pria dari suku Vahaya menggertakkan giginya, napasnya memburu. Tangannya terangkat tinggi, seolah bersiap untuk melakukan serangan terakhir.

"Aku hanya punya satu kesempatan lagi untuk menggunakan kekuatan ini ... tapi cukup untuk membunuhmu!" teriaknya, suaranya menggema di seluruh arena.

Kaevan tetap diam, kedua matanya menatap tajam, penuh fokus. Ia masih memegang pedangnya, tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Namun, Wisnu bisa melihatnya—ketegangan di pundak Kaevan, kecepatan napasnya yang sedikit lebih berat dari sebelumnya.

Gendang perang kembali bertalu, memecah kesunyian malam.

Lalu, mereka bergerak.

Dua bayangan itu berkelebat di arena, pedang mereka beradu dengan kecepatan yang nyaris mustahil diikuti mata biasa. Percikan api beterbangan setiap kali bilah senjata mereka berbenturan. Wisnu merasa seperti sedang menonton sesuatu yang bukan berasal dari dunia nyata—dua sosok yang bergerak melebihi batas manusia biasa.

Namun, hanya butuh beberapa detik bagi Wisnu untuk menyadari kenyataannya.

Kaevan ... mulai tertinggal.

Langkahnya masih stabil, gerakannya masih presisi, tapi pria suku Vahaya itu semakin cepat. Serangannya semakin deras, semakin sulit dihindari. Telekinetiknya tidak hanya digunakan untuk mengambil senjata, tetapi juga untuk mengontrol lintasan serangannya—membuat pedangnya meluncur dari sudut yang mustahil, menyerang dari arah yang tidak terduga.

Kaevan bertahan, menangkis setiap serangan dengan akurat. Namun, ada batas dari apa yang bisa dilakukan tubuh manusia dalam kecepatan seperti ini.

Dan akhirnya, satu celah kecil muncul.

Terlalu kecil, hampir tak terlihat ... tapi bagi lawannya, itu lebih dari cukup.

Pria suku Vahaya mengayunkan pedangnya ke samping dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Kaevan berhasil menangkisnya, tapi saat itu terjadi, tangan lawannya sudah terangkat, dan dalam sekejap—

Pedangnya menebas melintasi tubuh Kaevan.

Kaevan terhuyung. Wisnu melihatnya menatap kosong ke depan, sebelum akhirnya darah menyembur dari dadanya. Pedangnya terlepas dari genggamannya, jatuh ke tanah dengan suara nyaring.

Tubuhnya lalu berlutut.

Beberapa detik kemudian, ia tumbang.

Dan arena pun menjadi sunyi.

Semua orang dari suku Ranaha terpaku, wajah mereka dipenuhi keterkejutan dan ketidakpercayaan. Pangeran mereka ... kalah.

Lalu, kemarahan mulai bangkit.

Wisnu bisa melihat orang-orang suku Ranaha mencengkeram senjata mereka, ekspresi mereka berubah drastis. Mereka yang tadinya hanya menjadi penonton kini tampak siap untuk turun ke arena, dendam mereka membara lebih panas dari sebelumnya.

Udara di arena bergetar, bukan hanya karena emosi, tetapi juga karena sesuatu yang lebih dalam ... sesuatu yang terasa seperti kebencian yang sudah terpendam begitu lama, kini siap dilepaskan sepenuhnya. Wisnu bisa melihatnya—tatapan mereka yang membara, tangan-tangan yang mencengkeram senjata, tubuh-tubuh yang mulai bergerak maju seolah siap menerkam.

Namun, sebelum keadaan benar-benar meledak, sebuah suara tua namun penuh wibawa menggema di arena.

"Cukup!"

Semua kepala menoleh ke satu arah.

Dari barisan suku Vahaya, seorang pria tua melangkah turun. Rambutnya sudah memutih, kulitnya dipenuhi garis-garis usia, namun auranya begitu menekan. Ia adalah salah satu tetua suku Vahaya—sosok yang dihormati dan ditakuti sekaligus.

Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju tengah arena, langsung berhadapan dengan pria suku Vahaya yang baru saja memenangkan pertarungan.

"Kau tahu peraturan tak tertulis itu," suara tetua itu dingin, "dan kau tetap melanggarnya."

Lelaki suku Vahaya itu, yang masih berdiri di atas tubuh Kaevan, hanya tertawa. Tertawa puas, seolah tak peduli dengan apa yang akan terjadi padanya.

"Hah! Apa peduliku? Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan."

Tetua suku Vahaya menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah para petinggi suku Ranaha.

"Seperti hukuman yang disebut, kau akan dieksekusi ditempat. Tak ada pengecualian."

Lalu, tanpa banyak kata lagi, ia mengangkat tangannya.

Dan dalam sekejap, beberapa penjaga suku Vahaya langsung bergerak.

Lelaki itu tidak berusaha melawan. Ia hanya tersenyum—senyuman seseorang yang sudah menerima nasibnya.

Detik berikutnya, bilah tajam menembus lehernya.

Darah menyembur, dan tubuhnya terjatuh di sebelah tubuh Kaevan, nyawanya lenyap seketika.

Sebuah keheningan berat menyelimuti arena.

Tetua suku Vahaya menatap tubuh yang telah tak bernyawa itu, lalu berbicara dengan nada yang menggema ke seluruh penjuru arena.

Kemudian, kepala suku Ranaha segera berkata, "Acara selesai. Semua orang pulang."

Ayahnya Vaya juga berdiri, ia lalu melanjutkan kalimat tersebut, "Acara akan dilanjutkan besok."

Tak ada yang membantah.

Namun, meski acara telah disudahi, Wisnu bisa merasakan bahwa hal ini tidak benar-benar menyelesaikan masalah.

Ketika orang-orang mulai bergerak meninggalkan arena, tatapan suku Ranaha terhadap suku Vahaya telah berubah. Jika sebelumnya ada persaingan dan dendam yang masih terpendam, maka kini ... kebencian itu telah menyala terang.

Mereka tak berbicara, tak berteriak, namun tatapan mata mereka berbicara lebih dari cukup.

Wisnu merasakan bulu kuduknya berdiri.

Sesuatu telah berubah malam ini. Sesuatu yang akan sulit dikembalikan seperti semula.

>> B E R S A M B U N G <<

› Kaze