Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 9 - Chapter 9 : Festival(2)

Chapter 9 - Chapter 9 : Festival(2)

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 9 : Festival(2)

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

{ Peringatan! Di chapter ini mengandung unsur Gore dan darah, jika yang tidak nyaman bisa baca secara cepat atau hindari bagian tersebut. }

Langit malam menggantung pekat di atas arena, bintang-bintang terasa lebih jauh dari biasanya, seolah mereka pun enggan menyaksikan apa yang akan terjadi di bawah. Api obor yang menyala di sekeliling panggung utama bukan lagi sumber kehangatan, melainkan bayangan bergerak yang menari liar di dinding batu, menciptakan bentuk-bentuk aneh yang seakan berbisik tentang kematian.

Suasana yang semula masih mengandung sisa-sisa perayaan kini menguap sepenuhnya, digantikan dengan hawa yang lebih berat, lebih menyesakkan. Wisnu merasakan udara malam seperti menekan dadanya, membuat napasnya terasa lebih berat dari biasanya.

Dan kemudian, dia menyadari sesuatu.

Tatapan.

Mata-mata dari kedua sisi arena—suku Ranaha di kiri dan suku Vahaya di kanan—bercahaya samar di bawah nyala obor. Cahaya yang bukan berasal dari pantulan api, melainkan dari sesuatu yang lebih dalam, lebih primal. Mata-mata itu dipenuhi sesuatu yang sulit dijelaskan, campuran gairah, kebencian, dan dahaga yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah tumbuh dalam budaya pertempuran ini.

Wisnu menelan ludah, tubuhnya kaku.

Seorang pria bertubuh besar berdiri di tengah arena, wajahnya seperti diukir dari batu—tanpa emosi, tanpa belas kasihan. Dia adalah wasit sekaligus eksekutor di dalam pertempuran ini. Dengan suara berat yang bergema di seluruh arena, dia mulai membacakan peraturan.

Dan di situlah segalanya berubah.

"Mulai detik ini, siapapun boleh menginjakkan kaki di dalam arena untuk menantang pihak dari suku berlawanan yang memiliki dendam atau kebencian. Tidak boleh ada penolakan, dan kabur adalah hal yang menyedihkan."

Suasana yang sudah berat kini terasa seperti membeku.

"Pertempuran hanya akan berhenti jika salah satu dari mereka mati."

Wisnu merasakan seluruh tubuhnya menjadi dingin.

"Jika ada yang berusaha kabur, mereka akan dieksekusi oleh para penjaga."

Sederhana. Singkat. Tidak ada ruang untuk negosiasi.

Wisnu mencengkeram lututnya, mencoba memastikan bahwa dia masih bisa bernapas dengan normal. Tapi bahkan udara terasa tidak bersahabat. Itu tadi peraturan, bukan? Tapi ... bagaimana mungkin peraturan seperti ini masih bisa ada?

Otaknya mencoba mencari akal sehat dalam situasi ini, tapi detik berikutnya, sesuatu menarik perhatiannya.

Ada gerakan di tengah arena.

Para anggota suku mulai maju ke depan.

Mereka bukan lagi pemuda yang berlatih dengan pedang kayu tadi siang. Bukan lagi orang-orang yang sekadar ingin mengasah keterampilan mereka.

Kini, mereka melangkah dengan mata yang telah memutuskan.

Dan di tangan mereka, senjata asli berkilau di bawah cahaya api, memantulkan cahaya dengan ketajaman yang tidak perlu diragukan.

Tidak ada lagi permainan.

Wisnu menyaksikan mata mereka, menyaksikan bagaimana tubuh mereka bergerak—tidak ada keraguan, tidak ada belas kasihan, hanya tekad untuk bertahan hidup dan menjatuhkan lawan.

Dada Wisnu naik turun, jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di tenggorokannya.

Festival ini bukan sekadar tradisi.

Ini adalah acara berdarah.

Tiba-tiba saja, terdengar teriakan lantang yang meledak di tengah keheningan yang mencekam.

"VAZHRAN!!"

Suara itu datang dari seorang pria di sisi suku Vahaya. Wajahnya menegang, matanya menyala dengan amarah yang telah dipendam sekian lama. Matanya penuh dengan kebencian yang tak terbendung, dan suaranya mengguncang udara seakan petir yang menyambar di tengah malam.

"Ayo turun ke sini! Kau pikir aku lupa bagaimana kau merusak ladangku?! Datanglah dan bayar hutangmu, dasar pengecut!"

Seluruh arena terdiam. Semua mata langsung tertuju pada seorang pria dari suku Ranaha yang duduk di antara kaumnya. Namanya telah dipanggil.

Pria itu—yang ternyata bernama Vazhran—bangkit dari kursinya tanpa ekspresi. Gerakannya tenang, tapi matanya berbicara sesuatu yang berbeda. Ia tidak terkejut. Tidak terintimidasi. Seolah sudah tahu bahwa hari ini akan tiba.

Tanpa berkata apa pun, Vazhran berjalan turun dari kursinya, langkahnya mantap. Para penjaga sudah menyiapkan senjata di sisi arena, dan tanpa ragu, dia mengangkat sebuah pedang panjang dengan bilah yang begitu tajam hingga sinarnya menusuk mata Wisnu.

Penantangnya dari suku Vahaya telah lebih dulu bersiap dengan kapak besar di tangan, napasnya berat seperti banteng yang siap menerjang. Kakinya menghentak tanah, wajahnya merah oleh amarah.

Dan kemudian ...

Gendang perang mulai berbunyi.

Tak ada aba-aba. Tak ada hitungan mundur.

Mereka langsung bergerak.

Kapak itu mengayun terlebih dahulu, menebas udara dengan kecepatan yang tidak seharusnya dimiliki oleh senjata seberat itu. Vazhran melangkah ke samping, menghindarinya dengan nyaris tanpa usaha. Namun, begitu dia mencoba menyerang balik, lawannya sudah berputar dengan ayunan kedua, lebih cepat, lebih kuat.

*KRANG!*

Pedang dan kapak bertemu di udara, percikan api kecil berhamburan. Wisnu tersentak. Dia tidak pernah melihat pertempuran langsung seperti ini. Tidak dalam kehidupan nyata.

Kapak kembali ditebaskan ke bawah dengan kekuatan luar biasa, tapi Vazhran mengangkat pedangnya untuk menangkis—dan ketika logam bertemu logam, tubuhnya terdorong ke belakang oleh tenaga yang sangat besar.

Namun dia tidak berhenti.

Dengan kelincahan yang kontras dengan tubuhnya yang besar, Vazhran menekuk lutut, lalu menerjang maju, mengarahkan bilah pedangnya ke dada lawan. Tapi petarung Vahaya itu dengan cepat menarik kapaknya, membelokkannya di udara untuk menahan serangan itu dengan gagang senjata.

Benturan itu menggetarkan tulang.

Wisnu merasakan tubuhnya menegang. Arena ini terasa terlalu nyata. Tidak seperti di film, tidak ada gerakan dramatis yang berlebihan. Hanya gerakan cepat dan efisien yang bertujuan untuk membunuh lawan sesegera mungkin.

Lalu, kejadian itu terjadi.

Dalam satu gerakan cepat, Vazhran mengubah arah serangannya dan menebas ke bawah—tepat ke lengan kanan lawannya.

*CRACK!!*

Darah muncrat ke tanah.

Teriakan nyaring menggema di arena.

Kapak raksasa itu jatuh ke tanah bersamaan dengan lengan yang masih mencengkeramnya. Tubuh pria Vahaya itu tersentak ke belakang, wajahnya penuh kejutan dan rasa sakit yang luar biasa.

Namun dia tidak menyerah.

Dengan tangan kirinya, dia mencabut belati dari ikat pinggang dan menyerang seperti orang gila. Vazhran menghindar dengan gesit, lalu melangkah maju, namun gerakannya sudah ditebak oleh pria itu.

*CRACK!!*

Lengan kiri Vazhran kini ikut terpotong.

Penonton berteriak histeris, beberapa bersorak, beberapa terdiam dengan wajah tegang. Wisnu merasakan kakinya lemas. Dia ingin berpaling, ingin menutup matanya, tapi tubuhnya seakan dikunci oleh pemandangan mengerikan di depannya.

Pria Vahaya itu lalu jatuh berlutut ketika ternyata pedang Vazhran juga menebas pinggangnya dengan lebar, bahkan mengeluarkan sebagian isi tubuhnya. Darah juga mengalir deras dari bahunya yang kini kehilangan lengan. Matanya penuh dengan keterkejutan, seperti baru menyadari nasib yang menunggunya.

Vazhran tidak berkata apa-apa.

Dia hanya mengangkat pedangnya.

Dan dengan satu gerakan kuat—

*SCHLUK!*

Pedang itu menembus lehernya.

Darah menyembur tinggi ke udara, seperti air mancur yang mewarnai tanah arena dengan merah pekat. Tubuh pria itu bergetar beberapa detik sebelum akhirnya ambruk ke tanah, tak bergerak lagi.

Suara gendang kembali terdengar, kali ini dengan ritme yang lebih pelan.

Pertarungan telah usai.

Wisnu menelan ludah, tangannya mencengkeram keras kursinya. Kakinya gemetar, napasnya tidak teratur. Dadanya naik turun dengan cepat.

Hanya dalam tiga menit ... segalanya telah berakhir. Tidak seperti di dalam cerita, tidak seperti di film. Perkelahian itu berlangsung cepat karena memang tujuannya adalah membunuh satu sama lain.

Jasad pria dari suku Vahaya terbaring di tanah berpasir arena, matanya terbuka lebar tanpa nyawa. Darah yang mengalir dari tubuhnya mulai membentuk genangan merah di bawahnya, seakan arena itu sendiri haus akan darah.

Tak ada yang bergerak selama beberapa detik. Bahkan suara gendang pun hanya berdetak perlahan, menciptakan suasana yang semakin menyesakkan dada.

Lalu, dari sisi arena, beberapa pria berpakaian sederhana—mungkin dari pihak medis—bergegas masuk. Mereka langsung menuju Vazhran, yang meskipun menang, tidak keluar tanpa luka. Lengan kirinya yang terpotong segera diangkat oleh salah satu dari mereka, sementara yang lain menopang tubuhnya untuk membawanya ke bagian dalam arena, mungkin untuk mengobatinya.

Namun, mayat di tengah arena?

Dibiarkan begitu saja.

Wisnu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pemandangan itu. Ia sudah tahu dari peraturannya bahwa pertarungan hanya akan berhenti saat salah satu pihak mati, tapi ia tidak menyangka bahwa mereka akan benar-benar membiarkan jasadnya begitu saja di sana, seakan itu hanya bagian dari pertunjukan.

Sebelum ia bisa mencerna semuanya, suara lantang lainnya menggema.

"BASTHARI!"

Teriakan penuh kemarahan itu datang dari sisi suku Ranaha. Seorang pria bertubuh kekar maju ke tepi arena, dadanya naik turun karena emosi yang membakar di dalamnya. Matanya penuh kebencian saat ia menunjuk seseorang dari sisi suku Vahaya.

"Aku sudah menunggu saat ini selama bertahun-tahun! Aku tahu kau pengecut, tapi aku ingin mendengar langsung dari mulutmu! Kau pikir aku lupa bagaimana kau mempermalukan kakakku di hadapan semua orang?! SEKARANG TURUN KE SINI, DAN HADAPI AKU!!"

Kerumunan di sisi suku Ranaha mulai bersorak, mendukung pria itu. Sorakan mereka bukan sekadar dukungan, tapi tuntutan.

Mereka menginginkan darah.

Dari sisi suku Vahaya, seorang pria berdiri perlahan. Tubuhnya lebih ramping dibanding pria Ranaha yang memanggilnya, tapi tatapannya penuh percaya diri. Dengan langkah santai, ia mulai berjalan turun dari kursinya, melewati rekan-rekannya yang hanya menatap tanpa ekspresi.

Setelah sampai di arena, pria bernama Basthari itu berhenti, memandang lawannya dengan ekspresi meremehkan.

Tanpa tergesa-gesa, ia mengambil sepasang belati yang sudah disiapkan di rak senjata. Mata pisau itu tipis dan tajam, memantulkan cahaya obor di sekitar arena.

Sementara itu, pria Ranaha mengambil tombak panjang dengan ujung yang juga berkilau, tangannya mencengkeramnya erat seolah tak akan pernah melepaskannya.

Dari kursinya, Wisnu bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat.

Seakan bara dendam yang telah lama terpendam kini disulut menjadi kobaran api yang tak dapat dikendalikan, orang-orang dari kedua suku mulai berdiri satu per satu, meninggalkan kursi mereka dan turun ke dalam arena. Beberapa berteriak, mengumumkan nama musuh bebuyutan mereka. Beberapa hanya menatap tajam sebelum dengan mantap melangkah ke dalam arena kematian itu.

Awalnya hanya dua orang yang turun.

Kemudian empat.

Lalu enam. Hingga mencapai puluhan orang yang ada di dalam arena.

Suara logam beradu memenuhi udara ketika senjata-senjata diangkat. Cahaya api obor yang berjejer di sekeliling arena memantulkan kilatan pada mata pisau dan pedang, menambah kengerian dalam malam yang semakin larut.

Lalu ... neraka pun dimulai.

Tanpa aba-aba, mereka semua menyerang sekaligus.

Pedang menebas daging.

Tombak menembus perut.

Belati merobek tenggorokan.

Wisnu menyaksikan bagaimana seorang pria dari suku Vahaya berusaha menghindari tebasan lawannya, hanya untuk ditusuk dari belakang oleh seseorang yang tidak ia sadari. Ia berteriak, darah menyembur dari mulutnya sebelum tubuhnya limbung dan jatuh dengan wajah menghantam pasir. Tak jauh dari sana, seorang petarung Ranaha yang kehilangan lengan kanannya masih mencoba bertarung, menggigit pisau yang terselip di antara giginya, sebelum akhirnya sebuah kapak besar menghantam kepalanya, memecahkannya seperti buah matang.

Jasad mulai menumpuk.

Darah mengalir seperti sungai kecil, meresap ke dalam tanah, mengubah arena menjadi lautan merah yang lengket. Aroma besi memenuhi udara, bercampur dengan bau anyir yang memuakkan. Wisnu merasakan perutnya bergejolak, tapi ia tidak bisa mengalihkan pandangan.

Ia bahkan lupa berkedip.

Setengah jam berlalu.

Jumlah jasad di arena sudah terlalu banyak, tubuh-tubuh yang tak lagi bergerak berserakan di mana-mana. Sebagian masih memiliki bentuk manusia, sementara yang lain hanya sekumpulan potongan daging yang kehilangan identitasnya.

Akhirnya, seseorang dari kursi kehormatan berdiri dan mengangkat tangan. Itu adalah salah satu tetua suku, wajahnya tak menunjukkan emosi sedikit pun. Dengan suara lantang, ia mengumumkan bahwa pertempuran dihentikan sementara.

Para petarung yang masih berdiri menurunkan senjata mereka, dada mereka naik turun dengan napas kasar. Sementara itu, dari sudut arena, sekelompok orang berpakaian serba hitam masuk dengan gerobak kayu. Tanpa ragu, mereka mulai mengangkat jasad-jasad yang berserakan dan melemparkannya ke dalam gerobak seperti sekumpulan barang bekas.

Itu terlalu banyak untuk Wisnu.

Tanpa berpikir lagi, ia berdiri dari kursinya dan langsung berlari keluar.

Ia tidak peduli apakah itu akan dianggap tidak sopan. Ia tidak peduli jika ada yang melihatnya. Ia hanya tahu bahwa jika ia tetap di sana, ia akan muntah di tempat.

Malam yang dingin terasa tidak berarti dibandingkan dengan kengerian yang baru saja ia saksikan.

***

Wisnu berlari.

Bahu dan lengannya menyenggol orang-orang yang masih duduk di tribun, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menjauh dari arena itu—dari genangan darah, dari jeritan kesakitan, dari mayat-mayat yang tergeletak tanpa kepala atau kehilangan anggota tubuh mereka.

Kakinya melangkah cepat, mengikuti petunjuk yang tergantung di dinding lorong. Udara di dalam lebih sejuk dibandingkan dengan panas yang membakar di arena, tetapi itu tidak membantu mengusir mual yang bergolak dalam perutnya.

Ketika akhirnya ia menemukan kamar mandi laki-laki, ia langsung masuk, berlari ke salah satu bilik, dan menunduk ke wastafel.

Lalu semuanya keluar.

Wisnu memuntahkan isi perutnya. Cairan asam membakar tenggorokannya, dan ia terbatuk beberapa kali, sebelum muntah lagi. Tangannya mencengkeram tepi wastafel dengan erat, sementara tubuhnya gemetar akibat kejutan yang baru saja dialaminya.

Setelah merasa tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan, Wisnu memutar keran dan mencuci mulutnya. Ia meneguk sedikit air, berkumur, lalu membasuh wajahnya berkali-kali. Tapi rasa mual dan gambaran kengerian itu masih terpatri jelas di benaknya.

'Apa yang baru saja kulihat ...?'

Ia menatap wajahnya di cermin. Wajah yang tampak lebih pucat dari biasanya. Napasnya masih berat, dan di dadanya masih terasa tekanan yang sulit dijelaskan.

Sepuluh menit berlalu.

Setelah merasa sedikit lebih baik, Wisnu menarik napas panjang dan melangkah keluar dari kamar mandi, mengusap wajahnya sekali lagi agar tidak terlihat terlalu berantakan. Tapi begitu ia melangkah keluar ke lorong yang sepi, langkahnya terhenti.

Di seberang lorong, bersandar dengan santai ke dinding, seseorang menunggunya.

Vaya.

Ia menatap Wisnu dengan senyum khasnya, yang entah kenapa terasa lebih menyebalkan daripada biasanya. Tatapan matanya seperti sedang mengevaluasi sesuatu—atau mungkin sedang menahan tawa.

"Tidak kusangka kau benar-benar sampai ke kamar mandi," katanya, suaranya terdengar seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang lucu. "Kau ternyata lemah, ya?"

Wisnu menatapnya dengan ekspresi lelah dan masih sedikit terguncang. "Kenapa nona ada di sini?"

Vaya terkekeh, lalu mendorong tubuhnya dari dinding, mendekati Wisnu dengan langkah ringan. "Kamar mandi wanita ada di sebelah sini," katanya, menunjuk ke pintu yang hanya berjarak beberapa meter. "Saat aku sedang mencuci muka, aku mencium bau mencium bau orang luar yang sangat tidak asing mendekat ... yah, aku jadi tahu kalau kau ada di sini."

Wisnu menelan ludah, masih mencoba memahami ucapannya. "Jadi ... kau menungguku di sini?"

"Mm-hm." Vaya tersenyum. "Kupikir akan lucu melihat ekspresimu setelah mengalami pengalaman pertamamu di Festival Baranthaka."

Wisnu menghela napas. "Aku tidak tahu apa yang lebih mengerikan ... festivalnya, atau fakta bahwa kau menungguku hanya untuk melihat ekspresiku."

Vaya tertawa pelan. "Keduanya?"

Wisnu masih berusaha mengatur napasnya ketika Vaya melangkah mendekat, sudut bibirnya melengkung dalam senyum khasnya—senyum yang seakan menyimpan banyak rencana di baliknya.

"Aku menyukai ekspresimu tadi," katanya tiba-tiba.

Wisnu menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"

"Sewaktu kau menonton dari tribun," lanjutnya, masih dengan nada santai. "Aku melihatmu dari atas, tempat para petinggi. Kau terlihat ngeri ... tapi juga tidak bisa mengalihkan pandangan."

Wisnu terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. "Aku—"

"Tidak perlu menyangkal," potong Vaya, terkekeh. "Aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Kau menegang, rahangmu mengeras, tapi matamu tetap terpaku. Kau bahkan tak menyadari tanganmu gemetar."

Wisnu menghela napas, mengacak rambutnya dengan frustrasi. "Apa yang kau harapkan? Aku tidak pernah melihat sesuatu seperti ini seumur hidupku."

Vaya menatapnya sejenak, lalu tersenyum. "Itulah sebabnya aku mengamati reaksimu. Aku ingin tahu bagaimana seseorang dari dunia luar akan melihat festival ini."

"Apa ini semacam eksperimen sosial bagimu?"

Vaya hanya mengangkat bahu. "Mungkin."

Wisnu mendengus, lalu menyandarkan punggungnya ke dinding lorong. "Jadi ... kau sengaja datang ke sini hanya untuk menggodaku?"

"Salah satu alasannya," jawabnya ringan. "Tapi alasan lainnya adalah ..."

Sebelum Vaya menyelesaikan kalimatnya, suara berat dan dalam tiba-tiba terdengar dari ujung lorong.

"Vaya."

Suara itu bergema, menekan udara di sekitar mereka. Wisnu bahkan merasakan dadanya sedikit sesak.

Dari kegelapan lorong yang tidak terlalu terang, sosok tinggi besar melangkah mendekat. Langkahnya mantap, penuh wibawa, membawa aura yang begitu kuat hingga Wisnu merasa tubuhnya mengecil.

Ayahnya Vaya.

Pemimpin suku Vahaya.

Ia lebih tinggi dari yang dibayangkan Wisnu, sedikit lebih dari dua meter. Posturnya kekar, tubuhnya besar seperti pejuang yang telah menghadapi ratusan pertempuran. Wajahnya keras, ekspresinya tajam, dan matanya seperti sedang mengevaluasi segala sesuatu yang ada di depannya.

Saat sampai di depan Vaya, tatapannya turun ke arah Wisnu.

"Siapa dia, Vaya?" tanyanya dengan suara berat yang terasa bergetar di dada Wisnu.

Vaya, tanpa ragu sedikit pun, menjawab dengan santai, "Yang kuceritakan padamu, Yah."

Ayahnya mengerutkan dahi. "Wisnu?"

"Yup," jawab Vaya ringan.

Wisnu tak tahu mana yang lebih mengejutkan—fakta bahwa Vaya pernah menceritakan dirinya kepada ayahnya, atau fakta bahwa sekarang ia berdiri di hadapan seseorang yang tampaknya bisa meremukkannya dalam sekali genggaman.

Ketegangan di udara semakin terasa.

Namun tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Suara sapaan ramah, lembut dan hangat, keluar dari bibir pria besar itu.

"Oh, jadi ini kau!"

Hanya dalam sekejap, atmosfer menekan itu lenyap begitu saja. Seakan-akan seluruh udara berat yang menyelimuti Wisnu tadi menguap.

Sebelum Wisnu bisa memproses perubahan ini, tangan besar pria itu meraih tangannya dan menjabatnya dengan erat.

"Sungguh senang bertemu denganmu, Wisnu! Aku ayahnya Vaya, Subranta." katanya dengan senyuman yang begitu polos, seakan-akan bukan orang yang sama yang baru saja menciptakan suasana mencekam tadi.

Wisnu masih dalam keadaan syok ketika pria itu, tanpa ragu, menariknya ke dalam sebuah pelukan erat.

Wisnu membeku.

"Terima kasih," kata ayahnya Vaya, masih dalam nada hangat. "Terima kasih telah meladeni anakku di toko rotimu. Aku tahu dia bisa sangat ... unik."

Vaya memutar matanya. "Yah ...."

"Sungguh, aku benar-benar berterima kasih," lanjutnya, masih memeluk Wisnu. "Aku yakin dia membuatmu kerepotan, bukan? Aku mendengar tentang bagaimana dia menyuruhmu beradu argumen dengan pengawalnya. Ahaha! Itu konyol sekali!"

Wisnu tidak tahu harus berkata apa.

"Lalu menyuruhmu memakai seragam pelayan wanita?" tambahnya dengan tawa lepas. "Itu bahkan lebih konyol! Aku jadi penasaran seperti apa rupamu dalam pakaian itu."

Wajah Wisnu berkedut. "Aku ... lebih baik tidak membahas itu."

Ayahnya Vaya menepuk bahunya keras. "Ahaha! Aku suka anak muda sepertimu! Kau pasti punya kesabaran tinggi untuk menghadapi anakku!"

Vaya tampak tidak terlalu terhibur. "Yah, cukup. Kau bisa berteman dengannya nanti. Kau harus kembali ke arena sekarang."

Ayahnya Vaya menghela napas, tapi tetap tersenyum. "Baik, baik. Tapi sebelum itu ..."

Ia menepuk dada Wisnu dengan lembut. "Kau tahu, Wisnu. Vaya adalah keturunan mendiang ibunya. Sifat uniknya banyak diwarisi dari ibunya, dan aku sangat menyayanginya. Jadi aku senang ada seseorang yang bisa menemaninya, bahkan jika hanya dalam bentuk permainan kecilnya."

Wisnu tidak tahu harus berkata apa.

Ayahnya Vaya tersenyum lebih lebar. "Jangan khawatir. Jika dia membuatmu kesulitan lagi, katakan saja padaku! Aku akan memastikan dia tidak berlebihan! Hahaha!"

Vaya mendesah keras, lalu meraih lengan ayahnya dan mulai menariknya menjauh.

"Yah, cukup. Kita harus kembali."

Ayahnya Vaya tertawa. "Baik, baik! Senang bertemu denganmu, Wisnu! Kita harus berbicara lagi nanti!"

Ia melambai dengan antusias sebelum akhirnya mengikuti langkah putrinya kembali ke arena.

Wisnu masih berdiri di tempatnya, masih mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.

Dia baru saja bertemu dengan pemimpin suku Vahaya—dan semuanya berjalan diluar ekspektasinya.

>> B E R S A M B U N G <<

› Kaze