Pendatang Dan Takdirnya
Chapter 7 : Dipermainkan
Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)
Dua Minggu pun berlalu, dan selama dua minggu itu, Vaya datang ke toko roti hampir setiap beberapa hari sekali. Kadang ia datang di jam-jam sibuk, duduk di sudut ruangan dengan tenang, hanya menyaksikan Wisnu sibuk bekerja sambil memasang senyum yang mencurigakan, setiap kali Vaya datang dengan ekspresi itu, sesuatu pasti akan terjadi.
Awalnya, kunjungannya terasa biasa saja. Ia memesan, makan dengan elegan, lalu pulang. Tapi lama-kelamaan, permainannya mulai terlihat. Dan Wisnu—entah bagaimana—selalu menjadi targetnya.
Contohnya ketika suatu hari, saat suasana toko sedang agak sepi, Vaya tiba-tiba menatap salah satu pengawalnya yang berdiri tegap di dekat pintu. "Aku bosan. Bagaimana kalau kita melihat apakah Wisnu bisa berargumen dengan baik, seperti saat dia membela Riana daripada diriku?"
Wisnu, yang sedang membersihkan meja di dekatnya, langsung merasa ada firasat buruk. "Apa maksudnya?"
Vaya menyeringai. "Coba kau adu argumen dengannya. Aku ingin tahu seberapa pintar kau dalam berbicara."
Sebelum Wisnu bisa menolak, pengawal itu sudah melipat tangannya dengan ekspresi serius. "Baiklah. Topiknya apa?"
"Apa saja," kata Vaya, masih tersenyum jahil.
Dan begitulah, Wisnu terjebak dalam perdebatan dadakan dengan seorang pengawal profesional yang berbicara dengan logika dingin dan tegas. Awalnya ia ragu-ragu, tetapi setelah beberapa menit, sisi argumentatifnya yang pernah ia asah di sekolah mulai keluar.
Mereka berdebat tentang apakah lebih baik tinggal di kota besar atau di pedesaan, tentang efisiensi kerja, bahkan sampai ke hal-hal konyol seperti apakah kucing lebih superior dibandingkan anjing. Vaya menikmati setiap detik dari debat itu, senyumnya kadang berubah menjadi tawa kecil saat melihat Wisnu yang semakin serius menanggapi argumen lawannya.
Akhirnya, setelah hampir satu jam beradu argumen, Vaya mengangkat tangannya. "Cukup. Aku puas," katanya dengan senyum tulus kali ini. "Wisnu, kau cukup pintar ternyata."
Wisnu hanya bisa menghela napas lega.
Dua hari setelah itu, saat toko mulai ramai pelanggan, Vaya kembali dengan tatapan penuh rencana. Kali ini, ia memesan sesuatu yang lebih dari sekadar roti.
"Aku ingin kau membacakan menu untukku," katanya santai.
Wisnu mengernyit. "Baik, menu kita hari ini ada—"
"—Tapi dengan cara yang berbeda," potong Vaya cepat. "Aku ingin kau berpura-pura menjadi seorang yang membacakan menu untuk putri bangsawan. Lakukan dengan semangat."
Wisnu hampir menjatuhkan nampan yang dipegangnya. "Apa?"
Tama dan Wira, yang sedang sibuk di dapur, menyadari apa yang terjadi dan mulai memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. Beberapa pelanggan yang duduk di meja sekitar juga melirik, penasaran.
Wisnu merasakan tekanan yang begitu besar, tapi melihat Vaya yang menatapnya dengan senyuman yang penuh tekanan, ia tahu bahwa menolak bukanlah pilihan. Maka, dengan napas berat, ia mengubah posturnya, mencoba terlihat lebih gagah—atau setidaknya, tidak terlihat terlalu kaku.
"Duhai nona bangsawan yang anggun," ucapnya dengan suara yang lebih dalam, mencoba meniru gaya bicara seorang pangeran dalam dongeng. "Hari ini, kami menyajikan aneka roti yang tak hanya menggoda lidah, tetapi juga membangkitkan semangat. Dari roti cokelat lembut yang akan memeluk indra pengecapanmu hingga croissant emas yang renyah dan sempurna. Maukah nona memilih makanan yang paling berkenan di hati?"
Toko seketika hening selama beberapa detik sebelum tawa kecil terdengar dari Vaya. Ia menepuk tangan dengan penuh kepuasan. "Bagus sekali! Kau berbakat juga, Wisnu."
Sementara itu, Tama dan Wira di dapur tertawa setengah mati, sedangkan Wisnu hanya bisa menundukkan kepala, berharap bumi menelannya hidup-hidup.
Beberapa hari kemudian lagi, saat toko hendak tutup. Vaya datang dengan sesuatu di tangannya—sesuatu yang langsung membuat Wisnu ingin kabur saat melihatnya.
"Aku ingin melihat sesuatu yang menghibur," kata Vaya sambil meletakkan seragam pelayan wanita di atas meja. "Bagaimana kalau kau mengenakan ini?"
Wisnu menatap pakaian itu, lalu kembali menatap Vaya dengan ekspresi ngeri. "Tolong katakan kalau ini bercanda."
"Apa menurutmu aku tipe orang yang suka bercanda?" ulang Vaya dengan seringai khasnya.
Tama dan Wira yang mendengar percakapan itu langsung mendekat dengan penuh antusias. "Ayo, Wisnu, ini kesempatan emas!" kata Tama, jelas ingin melihat temannya dipermalukan.
"Benar," tambah Wira sambil tertawa. "Kau tak bisa mengecewakan pelanggan kita yang paling berharga, kan?"
"Jangan khawatir, aku akan memberimu bonus kali ini, kau akan menyukainya," tambah Vaya dengan seringainya.
Dengan perasaan berat, Wisnu akhirnya mengenakan seragam itu, yang tentu saja hampir tak muat dengan baik di badannya. Ia keluar dari dapur dengan wajah merah padam, sementara Vaya menyandarkan dagunya di tangan, menatapnya dengan mata berkilat penuh kesenangan.
"Kau terlihat manis," katanya ringan.
Tawa Tama dan Wira bergema di dapur, sementara Wisnu hanya bisa berdiri dengan ekspresi putus asa. Vaya lalu meminta dilayani, beruntung tak ada satupun pelanggan selain Vaya saat itu.
Saat Wisnu mengira permainannya sudah selesai, Vaya tidak berhenti.
Di hari lain, saat toko hampir tutup, Vaya datang dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. Ia tampak agak kesal, seperti sesuatu tak berjalan sesuai rencananya
Ia duduk di meja biasnya, dan berkata, "Aku lapar, tapi aku terlalu malas untuk makan sendiri. Wisnu, suapi aku."
Sekali lagi, Wisnu hanya bisa terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja ia dengar. "Apa?"
"Ada apa? Apakah aku kruang jelas?" ulang Vaya, kali ini dengan nada lebih menekan.
Ini sudah terlalu jauh. Tapi sekali lagi, tatapan Vaya yang menekan tidak memberi ruang untuk protes. Wisnu akhirnya mengambil garpu, menusuk sepotong roti, dan dengan hati-hati menyuapkannya ke mulut Vaya.
Vaya menerima suapan itu dengan penuh kepuasan, tersenyum kecil sebelum berkata, "Bagus. Aku suka dirimu yang menurut."
Wisnu benar-benar merasa bahwa hidupnya sudah berubah drastis sejak Vaya muncul. Ia tak pernah tahu kapan gadis itu akan datang lagi, atau tantangan aneh apa yang akan diberikan padanya.
Satu hal yang pasti—Vaya menikmati permainan ini, dan ia tidak akan berhenti dalam waktu dekat.
***
Seminggu kemudian>
Begitu pintu toko tertutup dan tanda "Tutup" digantung, Wisnu langsung menuju dapur, meletakkan nampan dengan kasar di atas meja, dan mengangkat kedua tangannya ke udara sebelum akhirnya berteriak,
"AKU SUDAH MUAK!"
Tama dan Wira yang sedang merapikan dapur menoleh ke arahnya, lalu saling bertukar pandang sebelum akhirnya tertawa.
"Kasihan sekali kau, Wisnu," ujar Tama dengan nada mengejek. "Hari ini apa lagi? Disuruh berdansa? Disuruh menghafal puisi romantis?"
Wisnu menatapnya dengan ekspresi datar. "Kok kau tau?"
Tawa Tama dan Wira langsung meledak. Wira bahkan sampai bersandar ke meja sambil menepuk-nepuk perutnya. "HAHAHA! Kau benar-benar disukai olehnya ya?"
"Sial, kenapa harus aku? Kenapa bukan kalian?" Wisnu meremas rambutnya frustrasi.
Tama menepuk pundaknya dengan senyum penuh arti. "Karena kau yang dipilih, bung. Itu kehormatan!"
"KEHORMATAN PALA LO!" Wisnu menggerutu.
Wira menggeleng sambil masih menahan tawa. "Yah, setidaknya ada sisi baiknya, kan?"
Wisnu mengangkat alis. "Sisi baiknya?"
Tama dan Wira saling berpandangan, lalu serempak berkata, "Uang."
Wisnu terdiam.
"Sadar nggak sih, Wisnu? Tip yang kita dapatkan dalam dua minggu ini bahkan sudah melebihi gaji kita dalam sebulan," kata Tama sambil melipat tangannya.
"Benar," timpal Wira. "Nona Vaya selalu meninggalkan tip yang luar biasa besar setiap kali berkunjung. Dan bukan cuma kita yang diuntungkan—toko roti ini jadi semakin terkenal. Orang-orang penasaran, kenapa seorang putri suku bisa sampai betah di sini? Itu menaikkan reputasi kita!"
Wisnu hanya bisa menghela napas panjang. "Tapi tetap saja ... kenapa aku harus yang jadi korban?"
Tama menepuk bahunya lagi. "Karena kau spesial."
"HALAAHH," balas Wisnu malas.
Mereka bertiga tertawa sejenak sebelum akhirnya mulai merapikan sisa pekerjaan terakhir. Namun, saat mereka hampir selesai, Wira tiba-tiba berkata,
"Oh ya, ngomong-ngomong, besok lusa toko tutup selama tiga hari."
Wisnu yang sedang mencuci tangan langsung menoleh dengan bingung. "Hah? Kenapa? Bukankah lusa hari Senin?"
Tama mengangguk. "Betul. Tapi Senin juga kebetulan awal dari Festival Baranthaka."
Wisnu mengernyit. "Festival Baranthaka?"
"Ya," jawab Wira. "Festival pertempuran tahunan yang diadakan untuk menyelesaikan konflik antar suku. Seperti yang kau tahu, peraturan di pulau ini sangat ketat soal pertikaian. Di kehidupan sehari-hari, kedua suku dilarang bertengkar atau menyelesaikan dendam mereka dengan kekerasan."
Tama menambahkan, "Tapi di Festival Baranthaka, semua aturan itu dilepaskan. Jika ada perselisihan, dendam lama, atau rasa ingin membuktikan diri, ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyelesaikannya secara langsung. Mereka bisa bertarung di arena tanpa takut dihukum."
Wisnu menatap mereka berdua dengan ekspresi tak percaya. "Jadi ... ini semacam festival balas dendam?"
Wira tertawa. "Kurang lebih."
"Dan kau tahu yang lebih luar biasa?" Tama menyeringai. "Festival ini bukan hanya untuk laki-laki. Banyak para wanita dari kedua suku juga ikut bertarung. Bahkan Putri Riana pernah ikut tahun lalu."
Wisnu semakin terkejut. "Putri kepala suku ikut bertarung?"
"Ya," jawab Wira. "Dan dia menang."
Wisnu menelan ludah. Impresi pertamanya pada Riana adalah dua wanita yang agak ketat, namun terkesan lembut dan ramah. Dia tak bisa membayangkannya ketika dalam pertempuran ....
Dan juga ... sepertinya, dalam beberapa hari ke depan, pulau ini akan penuh dengan ketegangan.
>> B E R S A M B U N G <<
› Kazehiro