Pendatang Dan Takdirnya
Chapter 6 : Hasil dari keputusan
Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)
Pagi itu, Wisnu akhirnya memutuskan untuk menceritakan kejadian kemarin kepada Wira dan Tama. Sebenarnya, ia sudah tahu bahwa reaksinya tidak akan menyenangkan, tapi beban ini terlalu berat untuk dipendam sendiri. Maka, ketika mereka bertiga sedang sibuk di dapur, dengan tangan yang terus bergerak memanggang dan menyiapkan adonan, Wisnu membuka suara. Ia menjelaskan bagaimana ia tiba di tengah perdebatan Vaya dan Riana, bagaimana ia dipanggil ke depan, bagaimana ia dipaksa memberikan pendapat, dan bagaimana ia akhirnya memilih untuk mendukung Riana, meskipun ia tahu bahwa itu berarti menentang Vaya. Seperti yang diduganya, ekspresi kedua temannya langsung berubah.
Wira yang tadinya sedang menyusun roti di rak hanya terdiam, sementara Tama yang sedang membersihkan loyang mendadak berhenti dan memandang Wisnu dengan sorot mata tak percaya. Hening sejenak menyelimuti dapur, hanya suara gemuruh oven dan dentingan peralatan yang terdengar. Kemudian, Wira meletakkan rotinya agak kasar dan mendesah panjang, sementara Tama mengusap wajahnya dengan frustrasi.
"Jadi ... kau memilih Riana?" tanya Wira dengan suara datar, nyaris seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Wisnu mengangguk, tidak bisa mengelak. Ia tahu bahwa tindakannya ini seperti mengkhianati suku Vahaya, tapi ia yang baru saja menerima tanda sebagai penduduk asli, tidak bisa membohongi dirinya sendiri dan semua penduduk lain yang menonton. Jika ia berpura-pura membenarkan Vaya, ia hanya akan semakin terperangkap dalam sesuatu yang ia tidak pahami.
Tama mendecakkan lidah, ekspresinya masih kesal. "Kau sadar kan, kau baru saja menantang putri dari kepala suku kita? Kau pikir dia bakal diam saja setelah ini?"
"Aku tahu," Wisnu menjawab dengan tenang, meskipun dalam hatinya ada rasa cemas yang tak kunjung hilang. "Tapi aku juga tahu bahwa kalau aku bilang Vaya benar, aku hanya menutupi kesalahannya. Aku nggak bisa melakukan itu."
Wira menatapnya lama, ekspresinya sulit ditebak. Seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia menahannya. Setelah beberapa detik yang terasa lebih panjang dari seharusnya, ia akhirnya mengembuskan napas panjang, lalu menggelengkan kepala. "Setidaknya kau jujur ...." gumamnya, meskipun nadanya masih terdengar berat.
Tama hanya mengangguk kecil, meski jelas dari ekspresinya bahwa ia masih belum sepenuhnya puas. Tapi mereka tidak mengatakan apa-apa lagi. Pembicaraan pun berakhir di situ, dan mereka kembali bekerja seperti biasa.
Hari berlalu tanpa ada kejadian aneh. Pelanggan datang dan pergi, aroma roti yang baru dipanggang memenuhi ruangan, dan suara tawa serta obrolan santai para pelanggan di meja-meja terdengar seperti hari-hari sebelumnya. Sepertinya, hidup di pulau ini tetap berjalan seperti biasa. Matahari semakin merendah di cakrawala, mengubah langit menjadi campuran jingga dan merah keemasan. Angin sore bertiup lembut dari arah pantai, membawa aroma laut yang khas. Wisnu, Wira, dan Tama mulai bersiap-siap untuk menutup toko.
Namun, beberapa menit sebelum mereka benar-benar menutup pintu, sebuah suara mesin terdengar mendekat. Suara halus tapi bertenaga, bukan suara motor atau kendaraan biasa yang sering melintas di depan toko mereka. Wisnu yang sedang mengelap meja tiba-tiba saja merasa dadanya agak sesam.
Ketika ia berbalik dan melongok ke luar jendela, matanya langsung membelalak.
Sebuah mobil hitam berkilau berhenti tepat di depan toko, mesin masih menyala, lampu depan memantulkan cahaya yang mulai redup. Mobil itu terlihat begitu mencolok di antara bangunan-bangunan sederhana di sekitar toko. Tidak ada yang memiliki mobil semewah itu di daerah ini, kecuali segelintir orang. Dan Wisnu sangat hapal siapa pemilik kendaraan ini.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Napasnya terasa lebih berat. Pintu mobil itu perlahan terbuka. Seseorang itu keluar dan bergerak menuju pintu.
Pintu toko berderit pelan saat terbuka, dan udara yang semula nyaman mendadak terasa lebih berat. Seakan seluruh ruangan ini kehilangan kehangatannya hanya dalam sekejap bagi Wisnu. Wisnu yang masih berdiri di belakang meja kasir menelan ludah, jantungnya berdebar lebih kencang. Langkah-langkah anggun terdengar memasuki ruangan, diiringi suara gesekan kain lembut dan bunyi sepatu hak rendah yang menyentuh lantai kayu.
Di ambang pintu, dengan cahaya senja yang masih menyelinap dari luar, sosok Vaya berdiri dengan elegan, seakan ruangan ini adalah miliknya sejak awal. Gaun sutra berwarna gelap yang membalut tubuhnya tampak begitu kontras dengan atmosfer toko yang sederhana. Wajahnya tetap sama seperti sebelumnya—indah, tajam, dan dingin, dengan mata yang seolah bisa melihat langsung ke dalam pikiran seseorang. Namun, ada sesuatu di balik senyuman tipisnya yang membuat Wisnu semakin waspada.
Di belakangnya, dua orang bawahannya berdiri tegap, mengenakan seragam hitam rapi, masing-masing dengan tatapan tajam yang mengawasi sekitar. Mereka tidak masuk ke dalam, hanya berdiri di depan pintu, memastikan tidak ada yang mendekat atau mengganggu.
Vaya melangkah lebih jauh ke dalam toko, matanya menyapu seluruh ruangan sebelum akhirnya tertuju pada Wisnu.
"Selamat sore, Wisnu," sapanya dengan nada yang terdengar santai, namun menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
Wisnu menegakkan punggungnya, berusaha mengendalikan kegugupannya. "Sore juga, Nona Vaya," jawabnya, suaranya sedikit tertahan. Ia buru-buru bergerak dari balik meja, mendekat dan menarik salah satu kursi untuknya. "Silakan duduk."
Vaya tersenyum tipis, seolah puas dengan sikapnya. Ia melangkah dengan tenang, duduk dengan gerakan yang begitu anggun dan alami, lalu menyanggahkan dagunya di atas tangan yang bertumpu di meja.
"Aku dengar toko roti ini sedang cukup populer belakangan," katanya, suaranya terdengar ringan, hampir seperti candaan. "Jadi ... aku ingin mencicipi sendiri. Bawakan aku roti terbaik yang kalian punya. Aku lapar."
Meski kalimatnya terdengar seperti permintaan biasa, Wisnu tahu bahwa tidak ada yang benar-benar 'biasa' jika datang dari mulut Vaya. Ada sesuatu di balik perkataannya yang membuat bulu kuduknya sedikit meremang.
Namun, ia tidak punya pilihan selain menurut.
"Baik, aku akan siapkan sesuatu yang spesial," katanya, mencoba terdengar setenang mungkin.
Saat ia berbalik menuju dapur, ia bisa merasakan tatapan Vaya yang masih tertuju padanya—seperti seekor singa yang mengamati mangsanya dengan penuh minat.
***
Begitu Wisnu melangkah masuk ke dapur, napasnya terasa lebih berat dari biasanya. Ia menutup pintu dapur dengan sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan, membuat Tama dan Wira yang sedang sibuk membereskan peralatan menoleh dengan alis terangkat.
"Ada apa?" Tama bertanya, mengernyit saat melihat ekspresi Wisnu yang tegang.
Wisnu menelan ludah, lalu berbisik dengan nada setengah panik, "Nona Vaya ada di luar."
Hening. Hanya suara pisau yang jatuh ke meja yang terdengar setelahnya.
"Apa?" Wira langsung mendekat, matanya melebar. "Nona Vaya? Di sini?"
"Ya," Wisnu mengangguk cepat. "Dia minta roti terbaik."
Tama dan Wira saling bertukar pandang, lalu serempak melihat ke rak penyimpanan kue.
"Astaga ... kita nggak bisa kasih sembarang roti!" Tama berseru dengan suara tertahan.
"Kita harus pilih yang terbaik," Wira menimpali, tangannya bergerak cepat membuka kotak penyimpanan. "Kue mana yang paling laku belakangan ini?"
Wisnu bergegas melihat daftar penjualan yang ia simpan di papan kecil di dapur. "Yang ini," ia menunjuk salah satu roti yang baru saja mereka buat pagi ini, kue dengan lapisan gula madu dan taburan almond panggang.
"Bagus!" Tama segera mengambil satu dan memeriksa tampilannya. "Tapi ini terlalu biasa untuk nona Vaya. Kita harus kasih sesuatu yang lebih dari ini."
Wira mengangguk setuju, lalu meraih sebuah toples berisi serpihan cokelat premium yang biasanya hanya digunakan untuk pesanan khusus. "Bagaimana kalau kita tambahkan ini di atasnya?"
"Bagus!" Wisnu buru-buru mengambil piring saji terbaik yang mereka miliki, sementara Tama dengan hati-hati menambahkan hiasan ekstra pada roti tersebut. Setelah memastikan tampilannya sempurna, mereka bertiga menatap hasil akhirnya dengan puas ... dan juga ketakutan.
"Baiklah ..." Wira menghela napas dalam, "siapa yang akan membawanya?"
Mata mereka bertiga saling bertemu dalam kebingungan.
Akhirnya, Wisnu mengangkat tangannya dengan berat hati. "Aku yang akan antar. Lagipula, aku yang pertama kali bertemu dengannya."
Wira menepuk bahunya dengan simpati. "Semoga kau selamat."
Dengan hati yang berdebar, Wisnu mengambil piring itu dan melangkah keluar dari dapur. Begitu pintu terbuka, ia kembali berhadapan dengan tatapan tajam Vaya, yang masih bersandar dengan santai di meja.
"Silakan, nona," Wisnu berkata, suaranya tetap tenang meskipun tangannya sedikit berkeringat. "Ini roti terbaik yang kami miliki."
Vaya melirik kue itu sekilas sebelum menyunggingkan senyum tipis, matanya berkilat dengan sesuatu yang sulit dibaca. "Bagus ... mari kita lihat apakah rasanya sesuai dengan reputasinya."
Ruangan itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Wisnu berdiri tegak, tangannya mengepal di belakang punggungnya, berusaha tetap terlihat tenang meskipun di dalam kepalanya, berbagai skenario buruk terus berputar.
Vaya mengambil garpu kecil yang telah disediakan, menusukkan ujungnya ke bagian paling lembut dari kue itu. Gerakannya anggun, namun ada sesuatu yang membuat Wisnu merasakan tekanan luar biasa. Ia membawa potongan kue itu ke bibirnya, mengunyah dengan perlahan.
Selama beberapa detik, Wisnu tidak bisa membaca ekspresi wanita itu. Apakah ia menyukainya? Apakah ini kurang manis? Atau lebih buruk lagi, apakah ia akan kecewa dan marah?
Kemudian, Vaya mengangguk pelan. "Lumayan enak," katanya santai, meletakkan garpu di piring dengan lembut. Ia menghela napas kecil dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.
Mata Wisnu masih terfokus padanya, mencoba menangkap isyarat lebih lanjut. Ia tidak yakin apakah itu pujian tulus atau hanya basa-basi agar ia tidak panik. Namun yang pasti, ucapannya berikutnya membuat Wisnu semakin bingung.
"Kau telah selamat," kata Vaya dengan nada yang sulit diartikan.
Wisnu mengerjapkan mata, sedikit mengernyit. "Maaf, nona?"
Vaya tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengambil garpunya lagi lalu memakan beberapa suap tambahan. Tak lama kemudian, ia mengayunkan garpunya dengan gerakan malas, mengarahkannya langsung ke Wisnu, tepat di depan wajahnya. Matanya sedikit menyipit, tatapan tajam yang membuat bulu kuduk Wisnu meremang.
"Lalu ...." suaranya sedikit lebih dalam, sedikit lebih dingin. "Kenapa kau lebih memilih mendukung wanita itu daripada aku?"
Ia menelan ludah. Tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan itu, dan ia tahu, apa pun yang keluar dari mulutnya sekarang bisa menjadi hal yang menentukan nasibnya.
Wisnu menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang kusut.
"Saya hanya melakukan apa yang benar, nona," ucapnya dengan hati-hati. "Itu bukan berarti saya lebih condong ke nona Riana daripada Anda."
Vaya mengangkat alisnya sedikit, sudut bibirnya melengkung membentuk seringai kecil yang sulit ditebak maknanya. Ia meletakkan dagunya di atas telapak tangannya, matanya menatap Wisnu seakan bisa menembus langsung ke dalam pikirannya.
"Oh?" suaranya terdengar ringan, tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada lembutnya itu. "Lalu, apakah kau lebih menyukaiku atau Riana?"
Wisnu merasa seolah ada petir yang menyambar kepalanya. Ia hampir tersedak udara sendiri saat otaknya memproses pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut Vaya.
"Kenapa? Kenapa pertanyaannya jadi seperti ini?!"
Jika ia mengatakan bahwa ia lebih menyukai Riana, entah apa yang akan dilakukan Vaya kepadanya. Tapi jika ia mengatakan ia lebih menyukai Vaya ... apakah itu akan membuatnya masuk ke dalam perangkap yang lebih dalam?
Pikiran Wisnu berputar-putar, mencari jawaban yang paling aman. Ia melihat sekilas ekspresi Vaya. Matanya masih menatapnya, menunggu dengan penuh kesabaran, tetapi ada tekanan yang tidak kasatmata yang seolah menahannya di tempat.
"Saya ...." Wisnu berdeham, mencoba mengulur waktu. "Kalau dari yang saya lihat sekarang ...."
Vaya mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat Wisnu semakin panik.
Menurut logikanya, ia memang tidak mengenal Riana dengan cukup baik. Sementara Vaya, meskipun berbahaya, adalah seseorang yang sudah lebih dulu ia kenal. Ia juga tidak bisa memungkiri satu hal, Vaya memang memiliki daya tarik yang kuat.
Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, ia pun mengatakannya.
"Menurut saya, nona Vaya lebih menawan daripada nona Riana."
Keheningan singkat terjadi setelahnya. Vaya menatapnya, matanya masih sulit ditebak, sebelum akhirnya seringai kecil itu muncul lagi di wajahnya.
"Hmm ... begitu, ya?" katanya, suaranya terdengar hampir seperti bisikan.
Vaya menyeringai puas, matanya berkilat sekilas seperti seseorang yang baru saja memenangkan permainan. Jawaban Wisnu mungkin sederhana, tapi bagi Vaya, itu adalah penebusan dari kekalahan yang sebelumnya. Ia melanjutkan menyantap rotinya dengan gerakan yang tetap anggun, sesekali mengayunkan garpunya dengan penuh kelembutan, seolah tidak ada ketegangan yang baru saja terjadi.
Wisnu berdiri diam, tidak berani banyak bergerak, berharap dalam hati bahwa ia tidak salah merespons. Keringat dingin masih menempel di punggungnya. Ia bisa merasakan bagaimana atmosfer di ruangan ini begitu dikendalikan oleh Vaya.
Setelah menyelesaikan makanannya, Vaya mengambil tisu dengan gerakan anggun, lalu menepuk-nepuk bibirnya dengan lembut. Seolah puas dengan suguhan sederhana ini, ia merogoh sesuatu dari sakunya, kemudian meletakkan sejumlah uang di atas meja dengan gerakan yang sangat disengaja.
"Kerja bagus, Wisnu." Nada suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuat Wisnu merasakan tekanan yang halus namun tajam. "Aku puas kali ini. Karena katamu aku lebih menarik daripada Riana, maka aku akan meluangkan waktu berkunjung ke sini jika aku senggang."
"Tolong jangan!' Wisnu berteriak dalam hatinya. Ia sudah cukup lelah dengan tekanan ini, dan gagasan bahwa Vaya akan sering datang membuatnya semakin stres.
Namun, di sisi lain, Vaya berbicara dalam hatinya dengan perasaan yang berbeda. Ia tidak menyangka bahwa keisengannya untuk berinteraksi dengan suku luar bisa semenyenangkan ini. Sesuatu yang awalnya hanya sekadar permainan baginya kini menjadi sesuatu yang mengusir kebosanannya dan mengisi kembali energinya.
Dengan langkah anggun, ia bangkit dari kursinya, lalu melangkah keluar dari toko dengan percaya diri, diikuti oleh para pengawalnya yang masih berjaga di depan pintu. Begitu ia menghilang, Wisnu akhirnya mengembuskan napas panjang yang sejak tadi ia tahan.
Hari ini, sekali lagi, ia selamat. Tapi entah mengapa, ia merasa bahwa ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Wisnu kembali ke dapur dengan langkah lemas, seperti seseorang yang baru saja keluar dari medan pertempuran. Begitu melihatnya, Wira dan Tama langsung menghampiri dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
"Jadi, jadi! Gimana? Nona Vaya puas, kan?" Wira bertanya dengan semangat, matanya berbinar seperti anak kecil yang menunggu cerita seru.
Wisnu menghela napas panjang sebelum menjawab, "Iya ... dia bilang puas."
Sekejap, dapur itu dipenuhi sorakan kecil dari Tama dan Wira yang tampak sangat senang. Tama bahkan menepuk punggung Wisnu cukup keras hingga membuatnya sedikit terhuyung. "Gokil! Berarti kita aman, kan? Kalau dia puas, artinya toko ini bisa tetap tenang."
"Tidak tahu juga ..." Wisnu bergumam pelan, masih teringat bagaimana Vaya berbicara dengan nada penuh arti sebelum pergi.
Namun, kebahagiaan teman-temannya semakin bertambah saat mereka melihat jumlah uang yang ditinggalkan Vaya di atas meja. Tama menghitungnya dengan ekspresi tidak percaya, lalu mengulanginya lagi untuk memastikan ia tidak salah lihat.
"Ini ... serius?" Tama menatap Wisnu dengan rahang yang hampir jatuh.
Wira mendekat dan ikut melihat, lalu matanya membesar. "Gila. Ini sepuluh kali lipat dari harga asli rotinya!"
Mereka bertiga saling berpandangan sebelum akhirnya meledak dalam euforia. "Kita dapat tip gede, men!" Wira hampir melompat kegirangan. Tama tertawa puas sambil menepuk-nepuk uang itu seperti sedang memegang harta karun.
Sementara dua temannya sibuk bersorak, Wisnu hanya bisa duduk dan menghela napas panjang lagi. Tentu saja mereka senang, siapa yang tidak akan senang menerima uang sebanyak ini? Tapi bagi Wisnu, ini bukan sekadar tip besar—ini adalah tanda bahwa Vaya memang punya ketertarikan padanya, entah itu dalam bentuk permainan atau sesuatu yang lebih mengerikan.
Dan satu hal yang pasti, ini berarti Vaya pasti akan datang lagi.
>> B E R S A M B U N G <<
› kaze