Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 5 - Chapter 5 : Pertikaian

Chapter 5 - Chapter 5 : Pertikaian

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 5 : Pertikaian

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

Panas dari oven menusuk kulitnya lebih dari biasanya. Wisnu menelan ludah, matanya terpaku pada adonan yang harusnya ia masukkan ke dalam pemanggang. Tangannya gemetar, pikirannya melayang ke kejadian di bukit—ke mata dingin itu, ke darah yang mengalir di atas tanah kering, ke tubuh yang diseret dan dimasukkan ke dalam plastik seperti sampah yang tak bernilai.

Kepalanya mendadak pening. Tangannya yang membawa nampan hampir meleset dari genggaman.

"Wisnu!"

Sebuah tangan menahan pergelangannya sebelum ia benar-benar menjatuhkan nampan panas itu ke dirinya sendiri. Wira menatapnya dengan dahi berkerut.

"Hei, lu kenapa?" Wira menarik nampan dari tangan Wisnu, lalu meletakkannya di meja. "Kau hampir saja bikin tanganmu gosong."

Wisnu membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa pun. Namun, kata-kata seakan tertahan di tenggorokannya.

"... cuma ngelamun."

Tama, yang sedari tadi sibuk dengan adonan, menoleh. "Lu beneran gapapa?"

"Sudahlah." Wira menepuk pundak Wisnu, lalu mendorongnya pelan ke arah meja kecil di sudut dapur. "Duduk sana. Minum teh dulu."

Tanpa perlawanan, Wisnu melangkah ke sana, meraih cangkir teh yang disiapkan Wira, lalu menghirup uap hangatnya.

Tapi, bahkan rasa teh yang biasa menenangkan itu pun tak bisa menghilangkan bayangan yang menari-nari di kepalanya.

Ia tak bisa memberitahukan hal ini pada Wira dan Tama. Bagaimana mungkin? Yang ia lihat bukan hanya pembunuhan, tetapi juga pelakunya—Putri Vaya.

Putri suku mereka.

Jika ia berbicara, jika ia membuka mulut dan membiarkan kengerian itu keluar, maka apa yang akan terjadi? Apakah Wira dan Tama akan percaya padanya? Ataukah mereka justru akan menganggapnya musuh?

Tama menyusulnya, duduk di seberang meja dengan tangan terlipat. "Kau sakit, Wis?"

Wisnu menggeleng, berusaha tersenyum. "Nggak, cuma ... capek aja."

Wira mengangkat alis. "Capek kok mukanya kayak lihat setan?"

Wisnu terkekeh kecil, meskipun tawanya terdengar hampa.

Tama menghela napas, lalu menyenggol lengannya. "Dengar, kalau ada yang ganggu pikiranmu, bilang aja. Kita udah di sini bareng-bareng sebulan lebih, bukan orang asing lagi."

Wisnu menatap mereka bergantian. Ada kekhawatiran di mata mereka, dan untuk sesaat, ia hampir tergoda untuk mengatakannya. Untuk membiarkan mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Tapi, ia menelan kembali kata-kata itu.

"Nggak ada apa-apa," katanya akhirnya. "Serius."

Wira menghela napas panjang. "Ya udah. Tapi kalau ada apa-apa, jangan sok jadi pahlawan sendirian, oke?"

Wisnu tersenyum kecil, meski di dalam kepalanya, ia tahu bahwa ada rahasia yang harus ia bawa sendiri.

Ia harus melupakan ini. Ia harus mengubur kejadian itu dalam-dalam dan bersikap seolah tak pernah terjadi.

Wisnu mengembuskan napas panjang.

Saatnya kembali bekerja.

***

Hari demi hari berlalu, dan Wisnu mulai merasa lebih baik. Bukan berarti ia sudah melupakan kejadian di bukit—bayangan itu masih sering menghantuinya di malam hari, dan terkadang muncul saat ia tanpa sadar menatap lengan kanannya yang kini telah sembuh. Tapi ia memilih untuk menimbun kenangan baru, mencoba membanjiri pikirannya dengan hal-hal lain agar tidak terus-menerus dihantui masa lalu.

Dan hari ini, setelah dua minggu, ia kembali berkeliling dengan sepedanya.

Udara pagi masih sejuk, angin laut membawa aroma asin yang khas, dan jalanan terasa lebih hidup. Beberapa warga menyapa Wisnu seperti biasa, dan kali ini, ia benar-benar merasa telah menjadi bagian dari tempat ini.

Namun ... sesuatu menarik perhatiannya.

Di tengah perjalanan, ia melihat kerumunan besar di salah satu jalan utama desa. Orang-orang berkumpul, berbisik-bisik dengan ekspresi tegang.

Penasaran, Wisnu menurunkan kecepatan dan berhenti tak jauh dari sana.

"Ada apa?" gumamnya, lalu tanpa sadar kakinya melangkah mendekat.

Semakin ia melihat lebih jelas, semakin ia menyadari pusat dari perhatian ini.

Dua wanita berdiri berhadapan di tengah kerumunan.

Keduanya begitu menawan, mencolok di antara yang lain. Gaun mereka berbeda dari pakaian sederhana penduduk sekitar—lebih mewah, lebih elegan, tetapi tetap mencerminkan identitas mereka.

Salah satunya adalah Putri Vaya.

Dan satunya lagi ...

Seorang wanita dengan rambut panjang berwarna putih keperakan, yang tampak kontras dengan matanya yang merah tajam.

Wisnu mendengar seseorang di kerumunan berbisik, menyebut nama wanita itu.

"Riana ..."

Putri kepala suku Ranaha.

Dua putri dari dua suku yang berbeda, berdiri berhadapan dengan aura ketegangan yang begitu nyata.

Tidak ada yang berani menyela. Bahkan udara terasa lebih berat saat kedua wanita itu saling menatap, mata mereka penuh dengan ketegasan dan sesuatu yang nyaris seperti permusuhan.

Wisnu menelan ludah.

Apa yang sedang terjadi?

"Jangan mengada-ada, Riana." Suara Vaya terdengar tajam, menusuk udara di antara mereka. "Kau lah yang pertama kali mengubah alokasi ini. Aku hanya menyesuaikan diri dengan perubahan yang kalian buat."

Riana mendengus, melipat tangannya di depan dada. "Itu omong kosong. Pembagian sumber daya yang telah disepakati dari awal sudah jelas, dan data yang ada menunjukkan bahwa KAU! Vaya, yang pertama kali mengambil lebih dari seharusnya."

Kedua putri suku itu saling bertukar tatapan tajam, seolah siap bertarung hanya dengan kata-kata.

Orang-orang di sekitar mereka menahan napas, tak ada yang berani ikut campur.

Lalu ... suasana mendadak hening.

Vaya mengerutkan kening, mengangkat dagunya sedikit, seperti sedang mencium sesuatu di udara.

Matanya mencari ke sekeliling, sebelum akhirnya ... pandangannya berhenti tepat pada Wisnu.

Senyuman kecil terukir di wajahnya.

"Ah ... Pas sekali. Ada orang luar di sini," gumamnya di dalam hati , nada suaranya penuh arti. "Kau yang berdiri disana, ke sini sebentar."

Wisnu menegang, dia sangat kaget saat Vaya memanggil namanya. Tampaknya ia masih ingat wajah Wisnu dari pertemuan pertama mereka.

Seluruh perhatian kini tertuju padanya. Ia bisa merasakan tatapan-tatapan penasaran dari orang-orang di sekitarnya.

Namun, menolak bukanlah pilihan. Dengan hati berdebar, ia maju ke depan, berdiri di antara dua putri suku yang sama-sama memiliki aura mengintimidasi.

Vaya menatapnya dengan senyum yang sulit diartikan. "Kebetulan sekali. Kau cukup lama di sini, tapi tetap berasal dari luar. Itu berarti kau bisa menilai dari sudut pandang netral, bukan?"

Wisnu langsung menyadari ke mana arah pembicaraan ini.

Riana menoleh ke arahnya dengan ekspresi penuh harap, sementara Vaya ... ada sesuatu di balik senyumannya. Seperti dia merencanakan sesuatu.

"Jadi ... menurutmu, siapa yang benar?"

Wisnu menutup matanya, kebingungan. Ia lalu membukanya, dan melirik keduanya keduanya, Wisnu mencoba mengingat kembali argumen yang mereka lontarkan.

Dari data yang disebutkan, jelas ada ketidakseimbangan dalam pembagian sumber daya. Kesalahan ini terjadi bukan karena salah prediksi Riana, melainkan karena perubahan yang dibuat Vaya setelahnya.

Dan Wisnu mengerti betul bagaimana pembagian alokasi dan neraca keseimbangan bekerja.

Bagaimanapun, ia adalah lulusan SMK akuntansi ekonomi.

Jadi ... kesalahan ini ada pada Vaya.

Tapi ... Wisnu menelan ludah.

Jika ia mendukung Riana, itu berarti ia secara tidak langsung menentang Vaya. Dan setelah melihat apa yang wanita itu lakukan di bukit dua minggu lalu ... apakah itu keputusan yang tepat?

Namun, di sisi lain ....

Jika ia berbohong, jika ia memilih berpihak pada Vaya hanya karena takut, apakah ia benar-benar bisa menerima dirinya sendiri setelahnya?

Hening terasa semakin panjang.

Wisnu menghela napas, lalu menegakkan bahunya.

"Sebenarnya ...." katanya dengan hati-hati, "jika dilihat dari alokasi awal dan perubahan yang terjadi, tampaknya kesalahan memang ada di pihak nona Vaya."

Kerumunan mulai berbisik-bisik.

Riana langsung tersenyum, ekspresinya penuh kemenangan. "Lihat? Bahkan orang luar bisa melihatnya dengan jelas."

Sementara itu ...

Senyum Vaya sedikit memudar.

Matanya menajam, menatap Wisnu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada sesuatu di balik tatapan itu—bukan kemarahan, tapi sesuatu yang lebih berbahaya.

Namun, ia tidak berkata apa-apa.

Hanya seringai tipis yang terbentuk di wajahnya, sebelum ia akhirnya tertawa pelan.

"Begitu ya," katanya santai.

Wisnu bisa merasakan bulu kuduknya meremang.

Ia baru saja memilih Riana. Itu membuat Vaya langsung berbalik dengan kesal mencoba meninggalkan tempat ini.

Riana menatap punggung Vaya yang berbalik, lalu mendengus sambil melipat tangan. "Hah, kau memang selalu begini. Tidak mau mengakui kesalahan sendiri."

Vaya berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum tipis, tetapi matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. "Ya, ya, ya ... Kau menang kali ini, Riana."

Wisnu memperhatikan ekspresi Vaya dengan saksama.

Wajahnya tampak kesal, seolah menahan sesuatu. Itu bukan kemarahan biasa, melainkan lebih seperti ... rasa kesal karena rencananya terganggu.

Wisnu mulai sadar. Keputusannya barusan telah merusak salah satu rencana Vaya. Dan itu bukanlah hal yang baik.

Seakan merasakan tatapan Wisnu, Vaya melirik ke arahnya dengan sorot mata yang tajam. Senyumnya melebar sedikit.

"Kita akan bertemu lagi, Wisnu."

Suaranya terdengar santai, tapi di telinga Wisnu, itu lebih terdengar seperti sebuah peringatan.

Wisnu merinding. Semakin menyeramkan lagi rasanya karena Vaya masih mengingat namanya.

Setelah itu, Vaya berbalik dan melangkah pergi bersama para penduduk suku Vahaya yang mengikutinya.

Kerumunan perlahan mulai bubar, kecuali bawahan Riana dari suku Ranaha. Wisnu masih terdiam di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Tiba-tiba, suara lembut tapi tegas terdengar di sampingnya.

"Terima kasih."

Wisnu menoleh dan mendapati Riana berdiri di sebelahnya. Wanita itu tersenyum hangat, meskipun tadi jelas-jelas terlihat kesal.

"Sungguh. Aku berterima kasih karena kau berani mengatakan yang sebenarnya," lanjutnya.

Wisnu menggaruk belakang kepalanya. "Ah ... Aku hanya melakukan apa yang memang benar."

Riana terkekeh pelan. "Itu bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi jika berhadapan dengan seseorang seperti Vaya."

Wisnu menatap Riana lebih jelas kali ini. Jika tadi ia terlalu fokus pada situasi yang menegangkan, kini ia baru benar-benar memperhatikan wanita di hadapannya.

Riana memiliki rambut putih yang jatuh dengan anggun, berkilauan di bawah cahaya matahari. Matanya merah, tajam tetapi juga menenangkan. Pakaiannya, meskipun elegan, tetap tampak praktis, menunjukkan bahwa ia bukan hanya seseorang yang hidup dengan kemewahan, tetapi juga terbiasa menghadapi situasi sulit.

Jika Vaya memiliki aura intimidasi yang kuat, Riana lebih seperti angin yang menyejukkan—tapi tetap mampu berubah menjadi badai jika diperlukan.

Dan yang pasti ... kecantikannya tak kalah dengan Vaya. Wisnu tersadar bahwa ia mungkin saja telah menarik perhatian dua wanita yang sama-sama berbahaya. Sebuah situasi yang mungkin lebih rumit daripada yang ia bayangkan.

Riana menatap Wisnu sejenak, lalu mengulurkan tangannya dengan anggun.

"Namaku Riana, putri dari kepala suku Ranaha," katanya dengan suara yang jelas dan tenang.

Wisnu menatap tangan yang terulur itu sebelum akhirnya menjabatnya dengan sedikit ragu. Genggaman Riana terasa lembut, tetapi di baliknya ada kekuatan yang tersembunyi.

"Ah, aku Wisnu," balasnya singkat.

Riana tersenyum. "Senang berkenalan denganmu."

"Bagaimanapun juga, aku sekali lagi berterima kasih atas keberanianmu. Aku harus segera mengurus masalah sumber daya ini, jadi aku pamit dulu," ucap Riana dengan nada formal, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormat sebelum berbalik dan melangkah pergi.

Wisnu hanya bisa mengangguk, melihat sosoknya menjauh bersama beberapa bawahannya suku Ranaha yang mengikutinya.

Setelah semuanya benar-benar bubar, Wisnu menarik napas panjang dan berjalan menuju sepedanya yang terparkir di tepi jalan. Ia duduk di sana sejenak, membiarkan pikirannya memproses semua yang baru saja terjadi.

Dua minggu yang lalu, ia masih menjalani hidupnya dengan tenang sebagai pegawai toko roti di pulau ini. Tapi sekarang?

Ia terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia pahami.

Sebuah perseteruan antara dua wanita kuat dari dua suku besar. Dan entah bagaimana, ia sekarang berada di tengah-tengahnya.

Wisnu mengusap wajahnya, lalu menatap langit yang mulai berwarna jingga.

"Apa yang sebenarnya sudah aku masuki ...?" gumamnya pelan, sebelum akhirnya mengayuh sepedanya kembali ke toko roti.

> B E R S A M B U N G <

> Kaze