Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 3 - Chapter 3 : Tanda pengenal(2)

Chapter 3 - Chapter 3 : Tanda pengenal(2)

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 3 : Tanda pengenal(2)

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

Wisnu melangkah lebih dalam ke dalam balai desa, mengikuti Tama dan Wira yang berjalan di depannya. Ruangan luas itu memiliki suasana yang lebih resmi daripada yang ia duga—bukan sekadar tempat berkumpul, tapi benar-benar pusat pemerintahan desa.

Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian rapi mendekati mereka. Dari caranya membawa diri, jelas bahwa ia adalah seseorang dengan posisi resmi di tempat ini.

"Kalian bertiga datang untuk pengurusan sertifikat tinggal?" tanyanya dengan suara tenang namun tegas.

"Ya," jawab Wira. "Dia yang membutuhkannya."

Ia mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya ke Wisnu. "Ikuti saya," katanya.

Wisnu melirik Tama dan Wira, tetapi keduanya hanya mengangguk, memberi isyarat agar ia mengikuti pria itu.

Mereka berjalan melewati lorong kayu yang terasa lebih sejuk daripada bagian luar. Dindingnya dipenuhi dengan ukiran-ukiran tradisional yang tampaknya memiliki makna tertentu, tapi Wisnu tidak punya cukup waktu untuk memperhatikannya lebih lama.

Akhirnya, mereka tiba di depan sebuah pintu kayu yang terlihat lebih tua daripada bagian bangunan lainnya.

"Masuklah," kata pria itu sambil membuka pintu.

Wisnu menghela napas pelan sebelum melangkah masuk.

Di dalam ruangan itu, seorang pria tua duduk di balik meja kayu besar. Rambut dan janggutnya sudah memutih, namun sorot matanya masih tajam, penuh wibawa. Ia mengenakan pakaian tradisional sederhana, tapi dari caranya duduk dan menatap Wisnu, jelas bahwa ia adalah seseorang yang dihormati.

"Silakan duduk," kata pria tua itu dengan suara berat.

Wisnu menurut, duduk di kursi yang telah disiapkan di depan meja.

"Namamu Wisnu, benar?"

"Benar, Pak," jawab Wisnu sopan.

Pria tua itu mengangguk pelan. "Sebelum tanda pengakuan diberikan, ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab. Aku ingin mengenalmu lebih baik."

Wisnu mengangguk. "Baik."

Pria itu mulai bertanya.

"Tanggal lahirmu?"

Wisnu menyebutkannya tanpa ragu. 15-09-2002

"Apa hobimu?"

Wisnu berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku suka membaca ... dan memasak."

Pria tua itu mengangguk, tampak mencatat sesuatu dalam ingatannya.

"Kebiasaan yang sering kau lakukan?"

"Uh ... mungkin berpikir terlalu banyak tentang sesuatu sebelum bertindak," kata Wisnu jujur.

Pria tua itu tersenyum tipis, lalu mengangguk lagi.

Namun, pertanyaan selanjutnya membuat Wisnu sedikit bingung.

"Kau lahir dengan jalan kekuatan dominan tentang apa?"

Wisnu berkedip. "... Maaf?"

Pria tua itu tidak langsung menjawab, seolah-olah pertanyaannya bukan sesuatu yang aneh. Ia hanya menatap Wisnu beberapa saat sebelum berkata, "Aku akan menentukannya sendiri."

Wisnu hanya bisa diam.

"Kemudian, warna dominan yang kau miliki adalah ungu."

Wisnu semakin tidak mengerti, tapi lagi-lagi, pria tua itu tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Seolah pertanyaan-pertanyaan itu hanya formalitas, pria tua itu lalu meraih sepotong kayu kecil di atas meja. Sekecil gantungan kunci, tapi terlihat lebih tebal dan kokoh.

Ia mengambil pisau ukir, dan tanpa ragu-ragu, mulai menggoreskan pola-pola di atasnya.

Gerakannya begitu lancar, hampir seperti ia sudah tahu persis apa yang harus ia ukir.

Wisnu menatap kayu kecil yang ada di tangan pria tua itu. Ukiran-ukiran mulai terbentuk dengan begitu lancar, seolah-olah alat ukir tersebut bergerak sendiri di bawah kendali tangan berpengalaman. Garis-garisnya begitu halus, pola yang terbentuk tampak lebih dari sekadar simbol biasa—ada sesuatu yang terasa ... hidup.

Ia menelan ludah. Entah kenapa, ukiran itu terasa begitu mendalam, seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di balik goresannya.

Dan saat pria tua itu hampir menyelesaikannya, Wisnu berkedip.

Sekilas, ia melihat sesuatu.

Cahaya ungu samar-samar mulai berkumpul di atas tanda pengenal kayu itu. Ia tidak yakin apakah itu hanya pantulan cahaya dari ruangan atau penglihatannya yang menipunya, tapi ... warna itu terlihat begitu nyata. Berputar, menyelimuti ukiran sebelum perlahan menghilang, menyatu dengan kayu itu.

Wisnu menyipitkan mata.

Apakah tadi hanya imajinasinya?

Pria tua itu menaruh alat ukirnya dan mengangkat kayu kecil yang kini telah selesai diukir. Ia menatap Wisnu dengan ekspresi yang sulit dibaca sebelum berkata dengan nada yang hampir seperti perintah.

"Jadi, di mana kamu ingin ditato?"

Wisnu tersentak dari lamunannya.

"... maaf, Pak?"

"Tanda pengenal ini bisa kau bawa ke mana-mana, tapi lebih baik kalau kau memilikinya di tubuhmu," jelas pria tua itu. "Seperti penduduk asli lainnya."

Wisnu menggaruk kepalanya, sedikit enggan.

Dia bukan orang yang takut dengan tato, tapi kalau bisa memilih, ia lebih suka tidak memilikinya. Apalagi ini bukan sekadar tato biasa—ini lebih seperti tanda kependudukan yang bersifat permanen.

Melihat keraguannya, pria tua itu menghela napas. "Kalau kau tidak melakukannya, kau yang rugi. Karena ada beberapa keuntungan yang akan kau dapatkan jika kau menerimanya di tubuhmu."

Wisnu menegang dagunya, berpikir sejenak.

Mungkin pria tua itu benar. Ia sudah tinggal di sini sebulan lebih. Kalau ia memang berencana untuk tetap di sini, bukankah lebih baik beradaptasi sepenuhnya?

Dan entah kenapa, bagian dalam dirinya mengatakan bahwa ia harus melakukannya.

"... baiklah," katanya akhirnya. "Saya akan melakukannya."

Pria tua itu mengangkat alis, sedikit terkejut, tetapi ia tersenyum tipis. "Bagus. Di mana kau ingin ditato?"

Wisnu menghela napas dan menatap lengan atasnya. "Di sini saja, seperti Tama dan Wira."

Senyum pria tua itu melebar. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke lemari kayu di pojok ruangan. Dari sana, ia mengeluarkan sebuah alat cap besi dengan gagang kayu panjang. Ujungnya berbentuk simbol yang berbeda dari yang dimiliki kedua suku di pulau ini.

Wisnu menyipitkan mata, memperhatikan pola itu lebih jelas.

"... tandanya berbeda?"

Pria tua itu mengangguk. "Ini tanda pengakuan sebagai penduduk asli ... tapi bukan bagian dari salah satu suku. Dengan ini, kau akan tetap diakui sebagai bagian dari pulau, tapi tidak berpihak ke siapa pun."

Wisnu mengangguk pelan. Entah kenapa, ada sedikit rasa lega mendengarnya.

Pria tua itu lalu mengambil mangkuk kecil berisi minyak dan menuangkannya ke ujung cap besi tersebut sebelum menyalakan api.

Wisnu bisa merasakan hawa panas mulai memenuhi ruangan.

"Kau siap?" tanya pria tua itu sambil menatapnya.

Wisnu menelan ludah dan mengangguk, meskipun tubuhnya sedikit tegang.

"Tarik napas dalam-dalam."

Ia menurut.

Lalu ....

*TSSSSHHH!*

Begitu besi panas itu menyentuh kulitnya, Wisnu langsung mengepalkan tangan sekuat tenaga. Rasa sakitnya luar biasa. Seolah-olah ribuan jarum membakar kulitnya sekaligus.

Namun, ada sesuatu yang lebih aneh dari sekadar rasa sakit biasa.

Sensasi panas itu menyebar. Tidak hanya di lengannya, tetapi juga ke seluruh tubuhnya.

Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia bisa merasakan sesuatu yang ... masuk ke dalam tubuhnya, menjalar melalui aliran darahnya, mengalir ke setiap saraf dan ototnya.

Kepalanya mulai berdenyut, napasnya memburu.

Apa ini?

Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang mengikat dirinya dengan tanda ini?

Akhirnya, pria tua itu menarik cap besi tersebut. Wisnu terengah-engah, tubuhnya hampir limbung karena rasa sakit yang masih tersisa.

Di lengannya, tanda itu kini tertanam secara permanen, berwarna kehitaman dan masih berasap samar.

Pria tua itu dengan tenang mengambil beberapa benda dari laci—krim herbal, kain bersih, dan beberapa perban.

"Kau berkeringat cukup banyak," katanya sambil menyiapkan perawatan untuk kulit Wisnu.

Wisnu hanya bisa mengangguk lemah, masih mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Pria tua itu bekerja dengan cekatan. Tangannya yang berpengalaman mengoleskan antiseptik pada tanda yang baru saja dicap di lengan Wisnu, sebelum menutupnya dengan perban bersih.

"Selama seminggu ke depan, jangan biarkan area ini terkena air terlalu lama," katanya, suaranya tenang namun tegas. "Ganti perban setiap pagi dan malam, oleskan antiseptik ini sebelum tidur. Jangan menggaruknya meskipun terasa gatal."

Wisnu mengangguk sambil menahan nyeri yang masih terasa di lengannya. Ia menerima bungkusan kecil berisi obat-obatan herbal, krim penyembuh, dan beberapa lembar perban bersih.

"Satu lagi," lanjut pria tua itu. "Jangan terlalu kaget kalau kau merasa sedikit berbeda setelah ini. Kau mungkin akan merasakan sesuatu yang belum pernah kau alami sebelumnya."

Wisnu mengangkat alis, bingung. "Maksud Bapak?"

Pria itu hanya tersenyum tipis, lalu menepuk bahunya pelan. "Kau akan mengerti nanti."

Tidak ingin memperpanjang kebingungannya, Wisnu hanya mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, ia berbalik menuju pintu, keluar dari ruangan itu.

Begitu Wisnu keluar, ia langsung disambut oleh Wira dan Tama yang sudah menunggunya dengan wajah penuh harapan.

"Kau berhasil, bro!" seru Wira sambil langsung merangkul Wisnu dengan penuh semangat.

Tama tidak mau kalah. "Selamat datang sebagai bagian dari pulau ini!" katanya sambil menepuk punggung Wisnu keras-keras.

Wisnu tertawa kecil. Ia tidak menyangka mereka akan seantusias ini. Tapi ... yang lebih mengejutkan adalah bagaimana ia sendiri merasakan hal yang sama.

Ada sesuatu yang berbeda.

Entah kenapa, ia merasa lebih dekat dengan mereka. Seolah-olah ada tali tak kasatmata yang menghubungkan mereka bertiga lebih erat dari sebelumnya.

Dan saat mereka bertiga berjalan keluar dari balai desa, hal lain yang tidak ia duga pun terjadi.

Di halaman depan, beberapa orang masih berkumpul. Beberapa dari mereka menoleh ke arah Wisnu, lalu ... tersenyum.

Wisnu sedikit terkejut, tapi ia segera membalas dengan senyum canggung.

Sepanjang perjalanan pulang menuju toko roti, kejadian ini terus berulang. Orang-orang yang tadinya tidak pernah menyapanya, kini menganggukkan kepala saat melewatinya. Beberapa bahkan menyapa dengan ramah, seolah-olah mereka sudah mengenalnya sejak lama.

Dulu, ia merasa seperti orang asing di pulau ini. Tapi sekarang ....

Untuk pertama kalinya, Wisnu benar-benar merasa diterima.

Langit mulai berubah warna saat mereka tiba di toko roti. Matahari yang mulai condong ke barat memberikan cahaya keemasan yang hangat, memantulkan sinarnya pada kaca jendela toko yang masih tertutup rapat.

Wisnu berdiri di depan toko, menatapnya sejenak.

Tempat ini dulunya hanya terasa seperti tempat kerja baginya.

Tapi sekarang ... entah kenapa, ia merasa seperti pulang ke rumah.

***

Begitu mereka bertiga masuk ke dalam toko roti, Wira langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berseru penuh semangat.

"Yo! Ini harus dirayakan! Ayo kita memanggang roti! Lagian, ada bahan sisa dari stok sebulan yang lalu. Mantap ini makan-makan!"

Tama terkekeh dan langsung berjalan ke dapur. "Setuju! Sekalian supaya Wisnu makin terbiasa dengan dapur toko ini. Lagipula, kapan lagi kita bisa memanggang roti tanpa perlu melayani pelanggan?"

Wisnu hanya bisa tertawa kecil. "Serius? Tidak akan dimarahi bos besar?"

Wira menepuk bahunya. "Wisnu, kita yang mengurus toko ini. Kalau kita sendiri tidak menikmati hasil kerja kita, siapa lagi?"

Akhirnya, tanpa ragu lagi, mereka bertiga mulai bergerak.

Dapur toko roti yang biasanya terasa sunyi saat toko tutup kini penuh dengan suara tawa dan obrolan. Mereka mengambil bahan-bahan yang masih bagus, menakar tepung, mencampur adonan, dan memanggang berbagai jenis roti.

Wira yang paling mahir dalam hal ini, dengan cekatan menguleni adonan sambil sesekali melempar lelucon. Tama sibuk mencetak adonan dengan bentuk-bentuk kreatif, sementara Wisnu mencoba mengikuti ritme mereka, meski kadang masih sedikit kikuk.

Tak lama setelah semua roti matang, aroma harum mulai menyebar ke seluruh toko, memenuhi setiap sudut dengan kehangatan yang menggugah selera.

***

Setelah semua siap, mereka bertiga membawa hasil buatan mereka ke halaman belakang toko.

Halaman belakang ini adalah sebuah kebun kecil yang dipenuhi tanaman hijau. Pepohonan rindang memberikan keteduhan alami, sementara angin sore bertiup lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan yang menenangkan.

Mereka duduk di atas tikar anyaman yang selalu tersedia di sana, menata roti-roti hangat di atas nampan kayu, dan menyeduh teh untuk menemani makan mereka.

"Tempat ini benar-benar nyaman," ujar Tama sambil menyeruput tehnya. "Tenang, sejuk, dan jauh dari keramaian."

Wira menggigit roti dengan puas. "Betul! Tidak ada yang lebih nikmat daripada makan roti hangat sambil bersantai seperti ini."

Wisnu menatap mereka berdua, lalu menghela napas pelan. "Aku tidak menyangka, sebulan lalu aku masih merasa asing di sini. Sekarang ... rasanya berbeda sekali."

Tama tersenyum dan menepuk bahunya. "Karena sekarang kau bukan orang luar lagi. Kau sudah menjadi bagian dari pulau ini."

Wisnu terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil.

Di bawah langit sore yang mulai berubah warna keemasan, mereka bertiga menikmati perayaan kecil mereka. Tertawa, berbincang, dan menghabiskan waktu bersama.

Sore itu terasa begitu hangat, bukan hanya karena teh dan roti yang mereka nikmati, tetapi juga karena perasaan persahabatan yang semakin erat di antara mereka.

> B E R S A M B U N G <

> Kazehiro