Pendatang Dan Takdirnya
Chapter 2 : Tanda pengenal
Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)
Sore hari di pulau ini terasa berbeda dibandingkan kota asal Wisnu. Udara lebih tenang, angin laut berembus lembut membawa aroma asin yang samar. Matahari mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan semburat jingga yang perlahan memudar. Toko roti sudah tutup, dan mereka bertiga—Wisnu, Tama, dan Wira—duduk santai di bangku kayu di belakang toko, menikmati sisa waktu sebelum kembali ke rumah masing-masing.
Wisnu mengusap dahinya, menghilangkan sisa tepung yang menempel. "Lumayan juga hari ini, ya. Nggak terlalu ramai, tapi cukup buat bikin pegal."
Tama tertawa kecil. "Kalau dibandingkan hari-hari pasar, ini masih santai."
Wira, yang sejak tadi diam sambil memainkan potongan kayu kecil di tangannya, akhirnya angkat suara. "Ngomong-ngomong, Wisnu. Kau sudah punya izin tinggal di sini?"
Wisnu mengernyit. "Maksudmu? Bukannya perusahaan sudah mengurus semuanya? Aku dapat surat pindah dari mereka, jadi seharusnya nggak masalah, kan?"
Tama dan Wira saling berpandangan, sebelum Tama menghela napas. "Kami bukan bicara soal surat dari perusahaan, Wisnu. Kau memang bisa tinggal dan kerja di sini, tapi itu belum cukup."
Wisnu menatap mereka dengan bingung. "Lalu, apa yang kalian maksud?"
Wira mengangkat lengan bajunya, memperlihatkan tato kecil di bagian dalam lengannya. Itu bukan sekadar gambar biasa. Itu adalah sebuah simbol berbentuk lingkaran dengan pola khas yang tampak seperti ukiran tradisional.
"Semua penduduk asli pulau ini punya tanda seperti ini," jelasnya.
"Ini bukan sekadar tato, ini simbol bahwa kau adalah bagian dari tempat ini."
Wisnu menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Jadi ... aku harus menato lenganku juga?"
Tama menggeleng. "Tidak harus kok. Kalau kau keberatan, ada alternatif lain." Ia menunjuk potongan kayu yang dipegang Wira. Itu adalah gantungan kecil dengan ukiran serupa tato di lengannya, diikat dengan tali sederhana. "Kalau kau nggak mau ditato, kau bisa punya tanda ini sebagai gantinya. Tapi kau harus membawanya ke mana pun kau pergi."
Wisnu mengambil gantungan kayu itu dan memerhatikannya dengan saksama. Ukirannya halus, seperti dibuat dengan penuh ketelitian.
"Aku masih nggak paham," katanya akhirnya. "Kenapa aku butuh ini? Aku kan cuma kerja di toko roti."
"Karena ini bukan cuma soal kerja, Wisnu," jawab Wira. "Ini soal identitas. Tanpa tanda ini, kau tetap dianggap sebagai orang luar. Itu bisa jadi masalah kalau kau ingin benar-benar diterima di sini."
Tama mengangguk. "Kami bukan bermaksud menakut-nakutimu. Tapi di pulau ini, orang luar yang tidak punya tanda ini ... bisa dipandang dengan curiga. Beberapa tempat mungkin tidak akan mengizinkanmu masuk, dan beberapa orang mungkin tidak akan mau berurusan denganmu."
Wisnu terdiam sejenak, pikirannya berputar. Ia tidak pernah membayangkan bahwa tinggal di pulau ini akan melibatkan hal-hal seperti ini. Tapi di sisi lain, ia juga ingat pepatah lama, yaitu. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Ia mengembuskan napas pelan lalu mengangkat bahu. "Baiklah. Kalau memang itu aturannya, aku akan mengambil gantungan kayu itu."
Wira tersenyum tipis. "Pilihan yang bagus. Besok pagi, kita bisa pergi ke tempat pengukiran untuk membuatkan satu untukmu."
Matahari semakin tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan warna merah keemasan di langit. Wisnu menatap ufuk barat, merasa bahwa keputusannya hari ini adalah langkah kecil menuju sesuatu yang lebih besar.
***
Pagi pun tiba. Hari itu adalah hari kamis. Satu-satunya hari dalam seminggu ketika toko roti tutup, memberi kesempatan bagi Wisnu untuk akhirnya melihat lebih banyak dari pulau ini selain jalan menuju tempat kerja dan rumah sewanya.
Jam menunjukkan pukul tujuh kurang ketika Wisnu, Tama, dan Wira mulai berjalan menyusuri jalanan aspal yang membelah permukiman. Udara pagi terasa segar, dengan cahaya matahari yang baru naik menghiasi langit dengan warna keemasan lembut. Jalanan sudah mulai hidup—beberapa warga bergegas dengan urusan mereka masing-masing, entah membawa barang dagangan, mengantar anak-anak mereka sekolah, atau sekadar berbincang di depan rumah.
Bangunan di sepanjang jalan cukup bervariasi. Ada rumah-rumah kayu dengan ukiran tradisional khas pulau ini, bercampur dengan rumah modern berdinding semen yang dicat dalam warna-warna lembut. Beberapa toko kecil berjejer di pinggir jalan, menjual kebutuhan sehari-hari. Wisnu memperhatikan bagaimana setiap sudut pulau ini seolah memiliki sentuhan budaya yang kuat—entah itu dari cara orang berpakaian, arsitektur rumah, atau bahkan aroma makanan yang sesekali tercium dari dapur-dapur terbuka.
Mereka terus berjalan, dan sepanjang perjalanan itu, beberapa orang menyapa Tama dan Wira. Ada yang melambaikan tangan, ada yang mengangguk ramah, dan beberapa berbincang sebentar sebelum melanjutkan perjalanan mereka. Namun, tidak ada satu pun yang menyapa Wisnu.
Ia menyadarinya sejak beberapa menit lalu. Setiap kali mereka berpapasan dengan seseorang, mata mereka hanya terarah kepada dua rekannya. Wisnu bukan tak terlihat, beberapa orang meliriknya sekilas. Tapi tak ada senyuman, tak ada sapaan, seolah ia hanyalah angin yang kebetulan lewat.
Mungkin karena ia orang luar?
Ia mencoba mengabaikan pikiran itu. Lagi pula, ini baru pertama kalinya ia benar-benar berjalan keliling pulau. Wajar jika mereka belum mengenalnya.
Setelah sekitar lima belas menit berjalan, mereka tiba di sebuah bangunan besar yang langsung menarik perhatian Wisnu.
Itu adalah balai desa. Atau setidaknya, begitulah yang dikatakan Wira kepadanya. Tapi bagi Wisnu, menyebut bangunan ini sebagai 'balai desa' terasa seperti penyederhanaan yang berlebihan.
Bangunan itu berdiri megah, jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan untuk sebuah kantor administratif sebuah pulau. Dengan tinggi hampir tiga lantai, dindingnya terbuat dari perpaduan batu dan kayu, menciptakan kesan kokoh sekaligus alami. Pilar-pilar kayu besar menopang bagian depan bangunan, masing-masing dihiasi dengan ukiran khas yang terlihat seperti motif suku setempat—spiral, garis-garis bersilang, dan gambar yang menyerupai ombak.
Atapnya menjulang dengan gaya yang unik, mirip dengan rumah adat yang pernah dilihat Wisnu di foto-foto tentang kebudayaan Indonesia. Ujung-ujungnya melengkung sedikit ke atas, memberi kesan anggun namun tetap berwibawa.
Jendela-jendela besar berjajar di lantai atas, dengan bingkai kayu yang dicat gelap, kontras dengan warna batu alam di dinding. Beberapa bagian dinding bahkan memiliki ukiran yang begitu halus hingga hampir terlihat seperti relief. Pintu utamanya terbuat dari kayu tebal, dihiasi dengan ukiran rumit yang menggambarkan sesuatu—mungkin kisah sejarah pulau ini.
Di halaman depannya, terdapat taman kecil dengan beberapa pohon rindang yang memberikan keteduhan. Ada bangku-bangku kayu di sepanjang jalur berbatu yang mengarah ke pintu masuk, dan sebuah papan besar berdiri di dekatnya, menampilkan pengumuman tertulis dengan aksara lokal yang tidak sepenuhnya bisa dimengerti Wisnu.
"Ini ... balai desa?" Wisnu akhirnya bersuara, masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Tama tertawa kecil. "Kau kelihatan terkejut."
"Ini lebih terlihat seperti bangunan pemerintahan kota besar daripada sekadar balai desa," ujar Wisnu. "Serius, aku nggak menyangka akan sebesar ini."
Wira mengangkat bahu. "Di pulau ini, balai desa bukan cuma tempat administrasi. Ini juga pusat komunitas, tempat pertemuan, dan simbol kebanggaan bagi penduduk setempat."
Wisnu mengangguk pelan. Sekarang ia mulai mengerti. Ini bukan sekadar gedung biasa—ini adalah inti dari pulau ini.
"Jadi, apakah balai desa sebesar ini bukan cuma satu?" Wisnu bertanya, masih mengagumi bangunan megah di hadapannya.
Tama menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, Wisnu. Di pulau ini ada delapan desa, dan setiap desa memiliki balai desa seperti ini."
Wisnu mengerutkan kening. "Delapan desa? Dan semua balai desanya sebesar ini?"
Wira mengangguk. "Benar. Masing-masing desa punya balai yang sama besar dan sama megahnya. Juga, pusat kehidupan desa sering diadakan disini. Semua keputusan penting, acara besar, dan pertemuan komunitas diadakannya ya di tempat ini."
Wisnu mengalihkan pandangannya kembali ke bangunan megah di depannya. "Kalau seperti ini, aku penasaran bagaimana balai desa di kota utama."
Tama terkekeh. "Jauh lebih besar dari ini."
Wisnu hanya bisa menghela napas pelan. Ia tak menyangka pulau yang hanya berpenduduk belasan ribu orang memiliki sistem desa yang begitu teratur dan balai desa yang begitu megah. Pulau ini jelas jauh lebih terstruktur daripada yang ia bayangkan.
Sambil masih mencerna informasi tersebut, Wisnu memperhatikan suasana di sekitar halaman balai desa. Taman luas yang mengelilinginya dipenuhi kehidupan.
Di sudut taman, sekelompok anak-anak berlarian sambil tertawa riang, bermain kejar-kejaran di antara pepohonan yang rimbun. Tak jauh dari sana, seorang ibu duduk di bangku kayu, mengawasi anaknya yang masih balita bermain di atas rerumputan. Sekelompok orang tua berbincang santai di dekat kolam kecil, sesekali terdengar suara tawa dari mereka.
Beberapa pria dewasa sedang duduk di bawah pohon besar, bercakap-cakap sambil menikmati udara pagi. Ada pula seorang pasangan yang berjalan santai di sepanjang jalur berbatu, menikmati suasana yang begitu damai.
Di sisi lain, beberapa orang duduk di bangku kayu yang tersebar di taman, berbincang santai sambil menikmati udara pagi. Seorang pria tua tampak sibuk membaca sebuah gulungan kertas, sementara di dekatnya, sekelompok ibu-ibu bercakap-cakap dengan suara riang.
Suasana ini terasa begitu harmonis. Wisnu bisa merasakan betapa eratnya hubungan antarwarga di pulau ini. Meskipun ia masih merasa seperti orang luar, ada sesuatu yang menghangatkan hatinya melihat interaksi mereka.
"Baiklah," kata Wira akhirnya. "Ayo masuk. Kita harus mengurus tanda pengenal untukmu.
Mereka bertiga mulai bergerak menuju pintu utama balai desa. Wisnu melangkah mengikuti Tama dan Wira, tangannya masih dimasukkan ke dalam saku celananya.
Namun, tepat ketika mereka akan masuk, pintu balai desa terbuka dari dalam.
Dari balik pintu, seorang wanita melangkah keluar.
Wisnu langsung terdiam, seperti tanpa sadar menahan napas. Wanita itu memiliki kecantikan yang nyaris tak nyata. Langkahnya anggun, seakan udara dan tanah pun enggan mengganggu kehadirannya. Rambutnya panjang, berwarna hitam pekat, tergerai lembut hingga punggungnya. Mata birunya begitu mencolok, seperti dua batu safir yang bersinar di bawah cahaya matahari pagi. Sorot matanya tajam tetapi lembut, memberi kesan bahwa ia adalah seseorang yang tidak hanya cerdas tetapi juga memiliki kewibawaan alami.
Pakaiannya menunjukkan kelasnya. Ia mengenakan kain panjang dengan motif yang begitu indah, warna biru gelap dan motifnya berpadu sempurna. Bagian atasannya berupa lengan panjang yang terbuat dari bahan halus, dihiasi bordiran dengan motif khas yang tampaknya memiliki makna tertentu. Beberapa perhiasan sederhana melengkapi penampilannya, sebuah gelang emas tipis di pergelangan tangannya dan anting-anting kecil yang berkilauan saat terkena sinar matahari.
Tama dan Wira, yang berada di depan Wisnu, tiba-tiba berhenti. Seketika, mereka menundukkan kepala dan berkata dengan suara penuh hormat, "Pagi, Putri."
Wisnu terkejut.
Putri?
Tanpa benar-benar mengerti, Wisnu buru-buru mengikuti gerakan mereka. Ia sedikit membungkukkan kepala, meskipun ia tak tahu pasti siapa yang sedang ia hormati saat ini.
Putri itu berhenti sejenak setelah mendengar sapaan dari Tama dan Wira. Senyum tipis yang sebelumnya hanya tersirat di wajahnya kini terlihat lebih jelas.
"Pagi juga," jawabnya dengan suara yang lembut namun penuh wibawa.
Namun, tak lama setelah itu, matanya yang biru jernih beralih ke arah Wisnu. Tatapannya seolah-olah sedang menilai sosok asing yang kini berdiri di hadapannya.
"Dan siapa ini?" tanyanya, nadanya tidak menuntut, tapi jelas ingin tahu.
Wisnu sedikit tegang, namun sebelum ia bisa menjawab, Tama sudah lebih dulu membuka suara.
"Dia Wisnu, Putri," ujar Tama dengan nada hormat. "Dia berasal dari luar pulau, bekerja di toko roti yang baru dibuka di sini."
Sang putri mengangguk kecil, lalu menatap Wisnu sekali lagi. Kali ini, tatapannya lebih lunak.
"Aku Vaya," katanya memperkenalkan diri. "Senang bertemu denganmu, Wisnu."
Wisnu, yang masih sedikit terkejut, buru-buru mengulurkan tangannya. Vaya menyambutnya dengan jabat tangan singkat, genggamannya tidak terlalu kuat, tapi cukup kokoh untuk menunjukkan bahwa ia bukan orang yang lemah.
Wira, yang tampak sedikit lebih santai sekarang, bertanya, "Putri, ada urusan apa di balai desa ini pagi-pagi begini?"
Vaya menghela napas kecil, lalu menatap Wira dengan ekspresi sedikit serius. "Masalah pupuk para petani."
Mendengar itu, Tama dan Wira saling pandang. Wisnu, yang belum mengerti apa yang sedang dibicarakan, hanya menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Persediaan pupuk di beberapa desa mulai menipis lebih cepat dari perkiraan," lanjut Vaya. "Pengiriman dari luar pulau tertunda karena masalah distribusi, dan jika dibiarkan lebih lama, sawah serta ladang mereka bisa mengalami penurunan produksi yang cukup drastis."
"Tapi, masalahnya sudah terselesaikan," lanjut Vaya dengan nada yang lebih tenang. "Aku sudah menghubungi pemasok di luar pulau, dan mereka akan mempercepat pengiriman. Jika tidak ada hambatan lagi, pupuk akan tiba dalam tiga hari ke depan."
Tama menghela napas lega. "Syukurlah ..."
"Memang selalu bisa diandalkan," tambah Wira sambil tersenyum kecil.
Vaya hanya mengangguk ringan. "Aku hanya melakukan tugasku."
Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian rapi berjalan ke arah mereka dan membisikkan sesuatu di telinga Vaya. Putri itu mengangguk kecil, lalu kembali menatap mereka bertiga.
"Aku harus pergi. Masih ada beberapa hal yang harus kuurus."
Dengan itu, Vaya melangkah pergi. Wisnu memperhatikan saat ia berjalan anggun menuju sebuah mobil yang diparkir tak jauh dari sana. Kendaraan itu tampak cukup mewah dibandingkan dengan kebanyakan mobil yang ia lihat di pulau ini—catnya mengkilap, desainnya elegan, dan sopirnya sudah menunggu dengan pintu terbuka.
Vaya masuk ke dalam mobil, lalu pintunya ditutup dengan lembut. Beberapa detik kemudian, kendaraan itu melaju perlahan, meninggalkan halaman balai desa.
Wisnu masih terpaku di tempatnya saat Wira menepuk pundaknya.
"Impresif, bukan?" katanya sambil terkekeh.
"Siapa sebenarnya dia?" Wisnu akhirnya bertanya.
Tama tersenyum. "Dia adalah putri dari Kepala Suku Vahaya."
"Kepala suku?" Wisnu mengulang kata itu, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dapatkan.
"Jadi ... kepala suku Vahaya hanya memiliki satu anak?" Wisnu bertanya, masih mencoba memahami hierarki di pulau ini.
Wira menggeleng. "Tidak. Kepala suku memiliki dua anak, dan keduanya perempuan."
"Vaya adalah anak tertua," tambah Tama. "Dia yang paling sering terlibat dalam urusan desa, membantu ayahnya mengurus berbagai masalah. Bisa dibilang, dia seperti pemimpin kedua setelah kepala suku sendiri."
Wisnu mengangguk pelan, mencoba menyerap informasi itu. Tapi kemudian, sebuah pertanyaan lain tiba-tiba saja muncul di kepalanya.
"Kalau begitu," ia berkata tanpa berpikir panjang, "apakah kepala suku Ranaha juga memiliki anak?"
Tiba-tiba, suasana berubah.
Tama dan Wira langsung menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—campuran antara keterkejutan, kekesalan, dan sedikit kebencian yang tersirat dalam sorot mata mereka.
Wisnu merasakan udara di antara mereka menjadi sedikit lebih berat. Ia segera menyadari kesalahannya.
"Sigh, bro," Wira akhirnya menghela napas, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Jangan lupa kalau kami ini penduduk asli sini. Kalau bisa, jangan sebut nama suku lain di depan suku yang berbeda."
Wisnu terdiam sejenak sebelum buru-buru berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung apa pun."
Tama dan Wira saling pandang, lalu keduanya menghela napas pelan. Ketegangan di antara mereka sedikit mereda.
"Yah, setidaknya kamu harus tahu soal itu lebih awal," kata Tama akhirnya. "Tapi baiklah, karena kamu sudah bertanya ... aku akan menjawab."
Wisnu menunggu dengan penuh perhatian.
"Kepala suku Ranaha juga memiliki anak," ujar Tama. "Satu putri dan dua putra."
Wira menambahkan, "Sang putri memiliki umur yang sama dengan Putri Vaya. Itu sebabnya mereka berdua sering saling beradu pencapaian."
"Saling beradu pencapaian?" Wisnu mengulang, penasaran.
Wira mengangguk. "Benar. Dari urusan perdagangan, pertanian, hingga masalah politik dalam pulau, keduanya selalu mencoba membuktikan siapa yang lebih unggul. Tentu saja, di mata kita, Vaya jauh lebih baik. Tapi ... bagi mereka, putri kepala suku Ranaha adalah yang terbaik."
Wisnu menyimak dengan seksama. Ia mulai memahami sedikit lebih banyak tentang hubungan di pulau ini. Persaingan antara dua suku ini tampaknya bukan hanya soal sejarah lama—itu masih hidup hingga sekarang, bahkan di antara pemimpin muda mereka.
Setelah percakapan itu, mereka bertiga akhirnya melangkah masuk ke dalam balai desa.
Begitu melewati pintu utama, Wisnu langsung dibuat terkesima.
Ruang utama balai desa ini begitu luas dan megah, jauh dari yang ia bayangkan untuk sebuah bangunan di pulau terpencil. Lantainya terbuat dari kayu yang dipoles halus, sementara pilar-pilar besar berdiri kokoh di sepanjang ruangan, dihiasi ukiran yang tampaknya memiliki makna budaya yang mendalam.
Di tengah ruangan, terdapat meja panjang dengan beberapa kursi yang tersusun rapi, mungkin tempat pertemuan atau diskusi penting. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan lukisan dan pahatan kayu yang menggambarkan kisah-kisah lama, mungkin sejarah atau mitologi suku Vahaya.
Di ujung ruangan, terdapat sebuah panggung kecil dengan kursi besar yang tampaknya diperuntukkan bagi kepala suku atau pemimpin rapat desa.
Wisnu menelan ludah.
Untuk sebuah tempat di pulau terpencil, balai desa ini memiliki atmosfer yang luar biasa berwibawa—sesuatu yang jarang ia lihat bahkan di kota besar.
"Selamat datang di pusat pemerintahan desa," kata Wira dengan nada bercanda, meskipun suaranya tetap membawa sedikit kebanggaan.
Wisnu hanya bisa mengangguk, pikirannya masih dipenuhi dengan semua hal baru yang baru saja ia pelajari. Pulau ini jelas lebih dari sekadar tempat terpencil yang ia bayangkan sebelumnya.
Dan tampaknya, ia masih harus belajar banyak hal tentang tempat ini.
> B E R S A M B U N G <
› Kazehiro