Chereads / The Outsider and His Destiny / Chapter 1 - Chapter 1 : Toko Roti

The Outsider and His Destiny

🇮🇩Kazehiro
  • 35
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Chapter 1 : Toko Roti

Pendatang Dan Takdirnya

Chapter 1 : Toko Roti

Genre : Physchological, Thriller, Supranatural, Tragedi, Drama, Romance(?)

Dentingan loyang beradu dengan meja stainless steel saat Wisnu menarik napas panjang. Tangannya yang berdebu tepung meraih kain lap, menghapus sisa adonan yang menempel di kulitnya. Udara di dapur kecil itu hangat, dipenuhi aroma ragi dan mentega yang meleleh. Di luar, sinar matahari pagi mulai menembus jendela, mewarnai ruangan dengan cahaya keemasan.

"Kau terlalu lama di dapur, bro," suara berat seorang pria terdengar dari pintu belakang. Tama, salah satu rekannya, berdiri dengan tangan terlipat di dada. "Coba lihat antrian di luar, mereka udah mulai nggak sabar."

Wisnu menghela napas, mengintip ke area depan. Benar saja, beberapa pelanggan sudah berkumpul di depan etalase kaca, menunggu roti keluar dari oven. Sejak pertama kali toko ini buka sebulan yang lalu, mereka selalu datang pagi-pagi, seolah-olah takut kehabisan.

"Mana Wira?" Wisnu bertanya, mencari rekan lainnya.

"Lagi siapin kopi," jawab Tama sambil mengangkat bahu. "Biar aku yang urus ini. Kau handle kasir aja."

Wisnu mengangguk, melepas apron dapurnya dan berjalan ke bagian depan. Langkahnya terasa berat, tapi ia sudah mulai terbiasa dengan ritme kerja di sini. Saat ia tiba di balik meja kasir, seorang ibu paruh baya tersenyum padanya.

"Seperti biasa ya, Nak," katanya dengan suara lembut.

"Empat roti sobek dan dua kopi hitam?" Wisnu memastikan.

Ibu itu mengangguk, sementara Wisnu dengan cekatan memasukkan pesanan ke kantong kertas. Meski baru bekerja di sini selama sebulan, ia sudah mulai mengenal pelanggan tetap. Mereka selalu datang dengan pesanan yang hampir sama, membawa cerita-cerita kecil tentang kehidupan di pulau ini.

Saat Wisnu menyerahkan kembalian, matanya menangkap pemandangan di luar jendela—laut biru yang membentang luas, dengan kapal-kapal kecil yang berlabuh di dermaga. Ombaknya tenang pagi ini. Berbeda dari pertama kali ia tiba di pulau ini, saat angin kencang dan hujan turun tanpa ampun.

***

Dua Bulan Lalu

"Hah? Pulau?" Wisnu menatap pria di depannya dengan ekspresi setengah bingung, setengah tidak percaya.

"Ya," jawab manajer rekrutmennya dengan santai. "Kami punya rencana ekspansi yang agak … unik. Kami ingin membawa toko roti ke tempat-tempat yang belum pernah dicoba oleh perusahaan lain."

Wisnu menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Saat mengajukan lamaran, ia mengira akan bekerja di kota, mungkin di salah satu cabang besar di pusat perbelanjaan. Tapi sekarang?

"Jadi … kalian ingin buka cabang di pulau yang jauh dari kota?"

"Pulau itu cukup besar, kok. Ada pasar, sekolah, bahkan beberapa kafe. Ini bukan tempat terpencil yang nggak punya siapa-siapa. Tapi ya, tetap saja, ini tantangan baru. Kami butuh seseorang yang bisa diandalkan untuk membangun cabang ini dari nol."

Wisnu menggigit bibirnya, berpikir. Tawaran ini gila. Pergi ke pulau yang belum pernah ia dengar namanya, memulai sesuatu dari awal? Tapi justru itulah yang membuatnya merasa tertarik.

"Saya butuh waktu untuk berpikir."

Manajer itu tersenyum, seolah-olah sudah tahu jawaban yang akan diberikan Wisnu nantinya.

Dan benar saja, dua minggu kemudian, Wisnu berdiri di atas kapal feri, menatap pulau yang perlahan mendekat.

***

Suara bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya. Wisnu kembali ke kasir, melihat seorang anak kecil menunjuk-nunjuk croissant di etalase dengan mata berbinar.

Mungkin hidupnya sekarang tidak seperti yang ia bayangkan dulu. Tapi di tengah kekacauan perubahan ini, ia mulai menemukan tempatnya.

Ia melayani pelanggan lagi, hingga tanpa sadar beberapa jam pun telah berlalu. Tak lama kemudian, kejadian yang sedikit mengganggunya selama di pulau ini lagi-lagi terjadi.

Seorang pria tua dengan pakaian sederhana masuk dan memesan roti sobek seperti biasa. Beberapa detik kemudian, seorang wanita muda yang tak terlihat familier mengikuti, matanya dengan segera menangkap pria tua itu. Tatapan mereka bertemu—tidak sekadar menatap biasa, tetapi menatap dengan intensitas yang hampir terasa seperti kebencian. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, hanya kesunyian yang begitu pekat hingga Wisnu bisa merasakannya di udara.

Hal yang sama terus terjadi selama ia disini, seperti kemarin. Dua pria muda, datang dengan waktu yang hampir bersamaan. Mereka berdiri di sudut ruangan, tidak mengucapkan sepatah kata pun, tapi jelas bahwa mereka saling menyadari kehadiran satu sama lain—dan mereka tidak menyukainya.

Awalnya, ia menganggap kejadian ini sebagai kebetulan. Tatapan tajam yang dilemparkan satu pelanggan kepada pelanggan lain, keheningan kaku yang tiba-tiba memenuhi ruangan saat dua orang yang tampaknya tidak saling mengenal masuk bersamaan. Sayangnya, semakin lama semakin sering juga hal ini terjadi.

Wisnu mencoba mengabaikannya, menganggap itu hanya ketidaksengajaan. Tapi setelah kejadian itu berulang terus menerus, ia akhirnya berbicara pada Tama dan Wira saat toko mulai sepi.

"Hei," katanya, sambil membersihkan meja. "Kalian sadar nggak, kadang ada pelanggan yang kelihatan kayak ... saling benci? Kayak mereka nggak kenal, tapi setiap ketemu, tatapannya seolah pengen ngebunuh satu sama lain."

Tama dan Wira saling berpandangan. Wira, yang biasanya lebih pendiam, akhirnya membuka suara.

"Kau akhirnya sadar juga, ya?" katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke meja.

Wisnu mengernyit. "Apa maksudmu?"

Tama meletakkan nampan di tangannya dan duduk di kursi seberang Wisnu. "Di pulau ini, berdiri dari dua suku. Yaitu suku Ranaha dan suku Vahaya. Meskipun mereka sudah hidup di pulau ini selama ratusan tahun, mereka nggak pernah benar-benar berdamai."

Wisnu terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. "Dua suku? Maksudmu ... pulau ini terbagi antara dua suku?"

Wira mengangguk. "Awalnya, pulau ini ditemukan oleh nenek moyang kedua suku secara terpisah. Mereka berlayar dari tempat yang berbeda dan tiba di sini dalam waktu yang hampir bersamaan. Masalahnya, ketika mereka bertemu, mereka sama-sama mengklaim pulau ini sebagai milik mereka."

Tama melanjutkan, suaranya lebih serius. "Awalnya hanya perdebatan kecil, tapi saat mereka mulai menetapkan wilayah masing-masing, terjadi pengkhianatan. Beberapa kelompok dari satu suku menyusup ke wilayah suku lain, mengambil lebih banyak tanah daripada yang seharusnya. Itu memicu pertikaian yang berlangsung bertahun-tahun. Dan meskipun sekarang nggak ada perang terbuka, dendam itu tetap ada."

Wisnu menatap mereka dengan kening berkerut. "Jadi ... meskipun mereka hidup di pulau yang sama, mereka tetap membenci satu sama lain?"

"Lebih dari itu," kata Wira. "Beberapa keluarga bahkan melarang anak-anak mereka berinteraksi dengan anggota suku lain. Kau mungkin nggak menyadarinya, tapi setiap pelanggan yang datang ke sini? Mereka berasal dari salah satu suku itu. Dan kalau kebetulan ada dua orang dari suku berbeda di dalam toko pada waktu yang sama, ya ...."

"Makanya suasananya jadi aneh," Wisnu menyelesaikan kalimatnya.

Tama mengangguk. "Mereka nggak akan berkelahi di depan umum. Tapi dendam itu tetap ada. Tertanam dalam darah mereka sejak lahir."

Wisnu menyandarkan punggungnya ke kursi, pikirannya berputar. Ia tidak pernah membayangkan bahwa di balik ketenangan pulau ini, ada sejarah panjang yang kelam.

"Dan kau harus hati-hati," tambah Wira. "Sebagai orang luar, kau nggak terikat dengan salah satu suku. Itu bisa jadi keuntungan, tapi juga bisa jadi masalah besar."

Wisnu menatap mereka berdua. "Masalah seperti apa?"

Tama menghela napas. "Tunggu saja. Kalau kau tinggal di sini cukup lama, kau pasti akan tahu sendiri."

Di luar, ombak menghantam dermaga dengan ritme yang konstan. Tapi bagi Wisnu, ada sesuatu yang tidak stabil di bawah permukaan pulau ini—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar air laut.

> B E R S A M B U N G <

› Kaze