Chereads / The Last Catalyst / Chapter 3 - Bencana yang tidak terduga

Chapter 3 - Bencana yang tidak terduga

Di tengah kerumunan yang semakin memadati area Void Merah, sorotan kamera beralih ke salah satu Sentinel Rank Celestial dari Order Garuda—pria dengan tubuh atletis, rambut cepak, dan senyum khas yang selalu menghiasi wajahnya. Dia adalah Surya Insan Pradipta, salah satu Sentinel paling flamboyan dan penuh kepercayaan diri.

Seorang wartawan dari TV Ones mengarahkan mikrofon ke arahnya. "Sentinel Surya, bagaimana pendapat Anda mengenai pertempuran di dalam Void Merah kali ini?"

Surya memasang pose dramatis, satu tangan di pinggang, satu tangan menunjuk ke langit. Lalu, tiba-tiba rambutnya berubah menjadi kobaran api—salah satu ciri khas kemampuannya. Dengan suara lantang, dia menjawab,

"Ah, pertanyaan bagus! Kalau saya rangkum dalam satu kata: EPIC!"

Kerumunan langsung tertawa melihat gaya bicaranya yang penuh percaya diri.

"Tapi serius nih," lanjutnya sambil merapikan jaketnya yang sedikit terbakar akibat efek kekuatannya sendiri. "Void Merah ini beda dari yang lain. Biasanya, Void Rank S itu brutal, tapi kali ini, ada sesuatu yang lebih... nggak beres di dalamnya."

Wartawan lainnya segera menyambung, "Maksud Anda ada ancaman yang lebih besar di dalam Void ini?"

Surya tersenyum penuh percaya diri. "Ancaman lebih besar? Hmm... Bisa jadi. Tapi santai aja! Karena dengan keberadaan saya, Surya Insan Pradipta, nggak ada yang perlu dikhawatirkan!"

Dia kembali berpose, kali ini dengan tangan disilangkan di dada dan api dari rambutnya semakin membara. "Dan satu lagi... sebentar lagi gue bakal naik ke Rank Ascendant!" katanya dengan penuh semangat.

Kerumunan langsung riuh, ada yang bersorak mendukung, ada juga yang tertawa karena gaya bicaranya yang terlalu percaya diri. Bahkan beberapa Sentinel lain yang berdiri di belakangnya terlihat geleng-geleng kepala.

Larasati yang berdiri tak jauh darinya hanya menepuk dahi sambil berbisik, "Surya... Surya... Bisa nggak sih sekali aja ngomong normal?"

Namun, tak bisa dipungkiri, aura kepercayaan diri Surya menular ke banyak orang di sekitar. Dia mungkin seorang pelawak, tapi tak ada yang meragukan kekuatannya.

Di balik kerumunan, Kael yang melihat dari kejauhan hanya bisa geleng-geleng kepala. "Orang kayak gitu bisa Rank Celestial... Sementara gue masih Rank Ember... Haduhhh..."

Di dalam kafe kaldi.id, Kael, Raka, dan Chika masih duduk santai sambil menikmati kopi dan cookies mereka, sesekali mencuri pandang ke arah Void Merah yang masih dijaga ketat oleh Sentinel dari Order Garuda.

Raka menyeruput kopinya sebelum menoleh ke Kael. "Eh, ngomong-ngomong, di UI ada mahasiswa lain yang jadi Sentinel nggak, selain lu?" tanyanya penasaran.

Kael, yang sejak tadi asyik menggulir halaman tugas di laptopnya, hanya bisa mengangkat bahu. "Gatau, gua kan mahasiswa kupu-kupu. Kuliah—pulang—kuliah—pulang. Mana pernah gua ngurusin dunia per-Sentinelan di kampus."

Chika tertawa kecil, lalu menimpali, "Eh, tapi aku pernah denger! Mantan pacarnya temenku, yang kakak tingkat semester 6, katanya Sentinel juga. Rank-nya Luminous!"

Kael langsung meneguk kopinya cepat. "Gila. Rank Luminous ke atas itu udah bisa ikutan ekspedisi ke dalam Void dan dapet duit banyak tuh!" katanya sambil membayangkan angka-angka di kepalanya. "Tapi kalo Rank Ember kayak gua, sepertinya... yaa, nggak terlalu berguna sih."

Raka menggelengkan kepala. "Nggak juga, El. Sentinel Rank Ember biasanya masih bisa ikut ekspedisi, tapi jadi tukang tambang Sumber Daya Alam kayak kristal cahaya atau material Void lainnya. Cuma ya gitu, harus ikut pelatihan dulu buat jadi penambang profesional."

Kael berpikir sejenak. "Hmm... kan ada perusahaan tambang khusus yang sekarang lebih tertarik nambang Kristal Void daripada emas atau minyak. Yah... dunia memang sudah berubah sih."

Chika tiba-tiba teringat sesuatu dan langsung menepuk meja kecil di depannya. "Oiya! Aku baru inget! Kakakku yang kerja di PT Antam bilang kalau mereka bakal buka divisi baru buat nambang Kristal Cahaya di dalam Void! Lagi nyari pekerja tuh!"

Raka langsung melongo. "Loh, seriusan?! Setelah PT Freeport, sekarang PT Antam juga mau ikut-ikutan masuk ke tambang Void? Wah, tambah gila aja nih dunia."

Dia menoleh ke Kael dengan ekspresi jail. "Eh, Kael, lu kan Sentinel Rank Ember. Meskipun itu rank terendah, setidaknya lu masih lebih kuat dari manusia biasa. Bisa tuh kerja di sana!"

Kael mendesah sambil bersandar ke kursinya. "Iyaa, ngomong doang gampang. Udah tau di Indonesia nyari kerja susah, harus ada orang dalam dulu."

Chika langsung menyikut lengannya. "Kan ada gua, El! Gua bisa bilang ke kakak gua kalau gua punya temen yang udah Awakened jadi Sentinel!"

Kael masih ragu. "Hmmm... Tapi gua masih kuliah, gimana yaa?"

Chika mengangkat bahu. "Yaa, gatau juga sih bisa apa enggak buat mahasiswa yang mau kerja sambilan jadi penambang. Tapi, selagi lu udah Sentinel, mungkin aja bisa. Ntar deh gua omongin."

Kael menghela napas panjang, memikirkan tawaran itu. Meskipun dia Sentinel, statusnya sebagai Rank Ember benar-benar bikin mentalnya turun. Tapi di satu sisi... duit dari ekspedisi Void pasti lumayan juga.

Di depan Red Void, suasana dipenuhi persiapan antara Order Garuda dan tim penambang dari PT Freeport yang sudah bekerja sama. Beberapa karyawan PT Freeport berdiskusi dengan nada bercampur canda dan was-was.

"Bang, apa bener nih Void aman? Baru kali ini ada Red Void, kan?" salah satu pekerja bertanya sambil mengecek peralatannya.

Karyawan lain, yang lebih santai, menjawab dengan nada bercanda. "Tenang aja, kita kan udah dilindungi Order terkuat di Indonesia! Kata mereka tadi, Void ini sama aja kayak yang biasa, warnanya aja beda… mungkin rasa strawberry kali, hahaha!"

Mereka tertawa kecil, meskipun tetap ada ketegangan di udara.

Tak jauh dari mereka, Mandor lapangan PT Freeport, Pak Suyanto, berteriak lantang, "Udah, udah! Jangan kebanyakan ngobrol! Ayo siap-siap masuk ke dalam!"

Tim penambang pun akhirnya bergerak menuju Gate Merah, membawa perlengkapan berat dan alat ekstraksi kristal Void.

Di sisi lain, tim penyerang Order Garuda tetap berjaga-jaga. Salah satu dari mereka, seorang Sentinel Rank Radiant, Adji "Skyblade" Wicaksana, menatap Void dengan ekspresi bingung.

"Ini Void kok jadi membesar yaa, dibanding pas awal tadi? Apa cuma perasaan gue aja?" katanya sambil memicingkan mata, memperhatikan fluktuasi energi yang tidak stabil di sekitar Red Void.

Seorang Sentinel Rank Celestial, Rahmat "Thunderstrike" Santoso, hanya tertawa kecil dan menepuk bahunya. "Santai aja, bro! Lagian, kita masih di sini berjaga-jaga. Kalau ada apa-apa, Sentinel Larasati pasti langsung turun tangan." Ia berkata dengan penuh percaya diri. "Mending sekarang kita istirahat dulu sambil makan-makan. Katanya sih, ransum kali ini ada rendang enak, hahaha!"

Adji masih tampak ragu, tapi akhirnya ikut bergabung dengan Sentinel lain di tenda istirahat.

Berjam-jam berlalu. Para wartawan yang sebelumnya mengerumuni lokasi mulai bubar satu per satu, karena tidak ada kejadian menarik setelah tim penambang masuk.

Namun, tanpa disadari oleh banyak orang, percikan listrik hitam mulai muncul perlahan di sekitar Red Gate.

Sebuah pertanda… bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam sana.

Di dalam Red Void, tim penambang dari PT Freeport terus bekerja menggali Kristal Mana yang melimpah.

Seorang operator excavator kelas berat—yang telah di-enhance agar mampu menambang Kristal Mana—menggerutu sambil mengendalikan alatnya.

"Haduh, kita udah sekitar tiga harian di sini… tapi di luar mungkin baru tiga jam-an. Banyak banget sumpah ini kristal!"

Di bawah excavator, seorang pekerja yang berdiri sambil membawa beliung menimpali dengan nada santai.

"Yaa ginilah, Mas… Mau sebanyak apa pun kristal yang kita tambang, gaji mah tetep aja UMR, wkwk!"

Mereka berdua tertawa kecil, mencoba melepas stres di dalam Void yang penuh ketidakpastian.

Tak lama kemudian, Pak Suyanto, sang mandor lapangan, datang dan berteriak ke arah Mas Tono, operator excavator.

"Sudah berapa persen progres penambangan, Mas Tono?"

Dari dalam kabin excavator, Mas Tono menjawab dengan suara keras.

"Ehh, Pak Suyanto, mungkin sekitar 85%, Pak! Yang di atas sini udah beres, tinggal yang di bawah. Suruh tim surveyor buat ngecek medan dulu, biar nanti tim Exa bisa bergerak ke sana."

Pak Suyanto mengangguk dan segera memberi perintah kepada tim surveyor untuk mengecek medan ke depan.

Tim surveyor, yang terdiri dari lima orang, mulai menyusuri area yang lebih dalam. Medan di dalam Void ini semakin aneh—seperti gua, tetapi dengan kontur yang menyerupai gunung dengan tanjakan dan turunan yang curam.

Salah satu surveyor, Pak Yana, terperangah saat melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Di hadapannya, ada Kristal yang sangat indah, bening, dan memantulkan bayangan seperti cermin.

"Waduh, ini kristal jenis baru nih… Pasti mahal banget!" katanya dengan penuh kekaguman.

Ia mendekati kristal itu, mencoba melihat lebih dekat. Kristal ini tidak hanya indah, tetapi juga terasa dingin dan sedikit bergetar, seakan-akan memiliki energi misterius.

Namun, saat ia mengangkat kepalanya, matanya membelalak lebar.

Di atas kristal, berdiri sosok monster mengerikan.

Kemunculan Makhluk Misterius

Monster itu berbentuk seperti Goblin, tetapi jauh lebih besar dan kekar. Kulitnya hijau gelap dengan otot-otot yang menonjol, dan di tangannya ia menggenggam kapak raksasa yang penuh dengan ukiran aneh.

Pak Yana bahkan tidak sempat bereaksi.

SWOOSH!

Kapak itu bergerak cepat.

"AAAA—"

Jeritan singkat terdengar, lalu cipratan darah membasahi kristal bening itu.

Kristal yang tadinya memantulkan wajah Pak Yana, kini hanya memantulkan warna merah pekat.

Keempat pekerja surveyor terkejut mendengar jeritan Pak Yana.

Tanpa pikir panjang, mereka segera menyalakan HT yang tersimpan di saku dan mencoba menghubungi Pak Yana.

"Pak Yana, posisi di mana? Kami di titik awal! Kalau dengar, tolong jawab!"

Namun, tidak ada respons.

Mereka mencoba beberapa kali, tetapi yang terdengar hanyalah suara statis.

Sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres, mereka berkumpul di tempat pertama mereka turun. Salah satu dari mereka, Pak Rahmat, dengan wajah cemas segera menghubungi tim penambang di atas.

Pak Suyanto, sang mandor, menerima laporan dari tim surveyor.

"Jadi Pak Yana hilang kontak? Hmmm... Mungkin dia jatuh dan HT-nya lepas. Jangan panik dulu, kita harus tetap tenang."

Namun, sebelum mereka sempat bertindak lebih lanjut, jeritan lain terdengar dari bawah.

"AAAAAAAARGHHH!!!"

Suara itu bergema di seluruh gua.

Beberapa pekerja langsung panik, wajah mereka pucat ketakutan.

"Pak... Itu bukan suara biasa..." bisik salah satu pekerja dengan suara gemetar.

Pak Suyanto mencoba mengendalikan situasi.

"Semua tetap tenang! Kita mundur ke atas dulu, saya akan panggil Sentinel di luar!"

Tanda-Tanda Bahaya dari Luar

Di luar Red Void, Sentinel Surya, salah satu Sentinel Celestial dari Order Garuda, sedang bersantai di area istirahat.

Namun, matanya tiba-tiba menyipit saat melihat percikan listrik hitam muncul dari dalam Void.

"Hah? Ini perasaan gue doang atau Void ini makin aneh?"

Surya yang dikenal dengan kepribadiannya santai dan humoris kini tampak lebih serius.

Ia segera menoleh ke rekannya, Sentinel Adji, yang juga bertugas berjaga.

"Adji, lu lihat itu?"

Sentinel Adji, yang lebih pendiam tetapi sangat waspada, mengangguk pelan.

"Iya... Ini gak wajar. Biasanya Void biasa gak ngeluarin percikan listrik hitam kayak gini."

Surya menghela napas, lalu berdiri dan merenggangkan tubuhnya.

"Udah 4 jam lebih sejak tim penambang masuk. Di dalam sana, berarti udah 4 hari. Gimana kalau kita cek keadaan mereka?"

Adji mengangguk, setuju dengan rencana itu.

Tanpa membuang waktu, dua Sentinel Celestial itu segera bergerak menuju Red Void.

Sentinel Surya dan Sentinel Adji berdiri di depan Void, mengamati percikan listrik hitam yang semakin sering keluar.

"Lihat ini, Adji... Rasanya Void ini makin gede, kan?" ujar Surya dengan nada serius.

Adji mengangguk pelan.

"Iya. Ini gak normal. Seharusnya Void gak berubah ukuran gini."

Sebelum mereka sempat berdiskusi lebih lanjut, Sentinel Larasati datang menghampiri mereka.

Ia memejamkan mata sejenak, merasakan energi di sekitar Void.

"Ini bukan Void biasa... Aku bisa merasakannya. Ada sesuatu yang mengacaukan kestabilan ruang di dalamnya."

Mendengar itu, Surya menoleh ke Adji dan Larasati.

"Kalau gitu, kita harus masuk. Kita harus tahu apa yang terjadi di dalam sana sebelum..."

Tiba-tiba, Pak Suyanto muncul dari dalam Gate.

Namun, hanya setengah badannya yang terlihat.

"Pak Suyanto!" Surya langsung menghampirinya.

Tetapi detik berikutnya, tubuh Pak Suyanto tertahan—atau lebih tepatnya, dicengkeram oleh sesuatu dari dalam.

Saat cahaya Void memudar, terlihat sepasang tangan hijau raksasa mencengkeram tubuh Pak Suyanto dari belakang.

"APA?!"

Darah muncrat keluar dari mulut Pak Suyanto sebelum tubuhnya ditarik dengan brutal ke dalam Void.

"SIAL! KITA DISERANG!" Larasati berteriak.

Surya dan Adji langsung melompat ke belakang, mengambil posisi bertahan.

Gerombolan makhluk hijau dengan tubuh kekar, taring mencuat, dan mata bersinar merah keluar dari Gate, menyeret mayat pekerja tambang.

Mereka mulai memakan tubuh-tubuh itu seperti camilan.

"Goblin Raksasa?! Tapi kenapa bisa sebanyak ini?!" Adji berkata dengan nada terkejut.

Larasati menghunus pedang nya dan langsung berteriak memberi komando.

"BERSIAP! JANGAN BIARKAN SATU PUN MAKHLUK INI MELEWATI VOID!"

Seketika, Sentinel yang berjaga mulai mengambil posisi tempur.

Namun, sebelum pertempuran dimulai, Void mulai bergetar hebat.

BOOM!

Void membesar lebih drastis. Angin kencang bertiup, menyeret debu dan membuat orang-orang di sekitar berteriak panik.

Larasati langsung mengaktifkan komunikasi ke Markas Asosiasi Sentinel Orders.

"DISINI SENTINEL LARASATI! MELAPORKAN VOID RIFT DI JL. IR. H. DJUANDA SEDANG MENGALAMI VOID BREAK! BUTUH BALA BANTUAN SEGERA!!"

Di sebuah kafe, tidak jauh dari lokasi kejadian, Kael, Raka, dan Chika sedang mengobrol santai.

Namun, suasana sore yang cerah mendadak berubah drastis.

Langit mulai menggelap.

Angin kencang berhembus, membuat gelas dan piring di kafe bergetar.

Kael, yang sedang menyeruput kopinya, menghentikan gerakannya.

"Oi... Kalian ngerasain gak?" tanyanya dengan alis berkerut.

Raka menoleh ke luar jendela.

"Anginnya tiba-tiba jadi kenceng banget... Ini gak biasa."

Chika memegang dadanya, merasakan sesuatu yang janggal.

"Aku gak tahu kenapa, tapi rasanya... kayak ada sesuatu yang buruk bakal terjadi."

Di luar, terdengar suara orang-orang mulai berlari panik, menunjuk ke langit.

Kael bangkit dari kursinya, menatap ke arah pusat kota.

Di kejauhan, terlihat Void Rift berwarna merah membesar, dan di sekitar area itu, petir hitam mulai menyambar tanpa kendali.

"Gue rasa ini terkait dengan red void itu ." Kael berkata dengan wajah panik.

Void Rift yang menganga di persimpangan Jl. Ir. H. Djuanda kini memancarkan percikan listrik hitam, menandakan sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi. Angin yang tadinya sepoi-sepoi kini berubah liar, menerbangkan debu dan dedaunan ke segala arah. Langit sore yang cerah mendadak gelap, seolah matahari pun enggan menyaksikan apa yang akan terjadi.

Di depan gerbang yang kian melebar, Sentinel Larasati berdiri tegap, pedangnya berkilauan keemasan setelah dipenuhi Light of Dust. Di sampingnya, Sentinel Surya sudah membangkitkan armor api yang membuatnya tampak seperti dewa perang yang turun ke bumi. Rahmat, yang dijuluki Thunderstrike, berdiri dengan tubuh dikelilingi kilatan petir, sedangkan Adjie, sang Skyblade, melayang di udara dengan angin berputar liar di sekelilingnya, siap menghempaskan musuh yang berani mendekat.

Suasana menjadi semakin mencekam.

Dari dalam Void yang pekat, sesuatu mulai muncul.

Awalnya hanya suara.

Suara berat, menggelegar seperti gemuruh petir di malam badai.

"Kalian..."

Dari kegelapan, sesosok raksasa melangkah keluar. Tingginya lebih dari tiga meter, kulitnya hijau gelap dengan urat hitam yang berdenyut liar di tubuhnya. Mata merahnya bersinar bagaikan bara api, penuh kebencian terhadap dunia ini. Kapak raksasa bertatahkan kristal Void tergenggam erat di tangannya, memancarkan aura kematian.

Makhluk itu menegakkan tubuhnya, lalu mengangkat kepalanya ke langit.

Dan tertawa.

Tawa itu bergema, menusuk hingga ke tulang.

Manusia yang berada di sekitar persimpangan mulai panik, beberapa berteriak, berlari menjauh seakan bencana besar baru saja turun ke kota mereka. Mobil-mobil yang melaju di jalanan mendadak berhenti, klakson menggema di tengah kepanikan.

Larasati mempererat genggaman pedangnya, sementara Surya dan Adji sudah mengambil posisi tempur.

Makhluk itu menatap mereka satu per satu, lalu berkata dengan suara yang memenuhi seluruh area.

"AKU ADALAH ZOGTHAR, SANG PENGHANCUR. PEMBAWA KEGELAPAN. UTUSAN EKSISTENSI TERTINGGI."

Begitu kalimat itu diucapkan, udara mendadak menjadi berat.

Para Sentinel Radiant yang berdiri di barisan belakang langsung jatuh berlutut, wajah mereka memucat. Napas mereka tersengal, mata melebar penuh ketakutan. Beberapa dari mereka bahkan bergetar hebat, seakan-akan jiwa mereka sedang diperas hingga tak tersisa.

Itu adalah Skill Fear milik Zogthar.

Sebuah gelombang kekuatan yang menghancurkan mental siapapun yang lemah di hadapannya.

Larasati menyipitkan mata, tak tergoyahkan. Surya, Adji, dan Rahmat juga tetap berdiri tegap, meskipun mereka merasakan tekanan yang luar biasa.

Larasati mengayunkan pedangnya ke tanah, menciptakan gelombang cahaya keemasan yang menghancurkan sisa-sisa aura ketakutan yang merayap di udara.

"Eksistensi tertinggi?" Larasati mendengus. "Aku bahkan tidak tahu apa itu. Yang kutahu, kau hanyalah makhluk menjijikkan yang baru saja membuat kekacauan di sini."

Zogthar menatapnya tajam, matanya menyala semakin merah.

"Makhluk fana sepertimu tidak akan pernah mengerti. Tidak apa-apa… karena kau akan mati di sini."

Surya melangkah maju, api di tubuhnya semakin membara.

"Coba saja, monster."

Rahmat mengangkat tangannya, petir menyambar di sekelilingnya, siap menghantam kapan saja. Adjie mulai berputar di udara, membentuk angin badai kecil yang mengikuti pergerakannya.

Suasana menjadi sunyi.

Angin berhenti.

Tanah bergetar.

Dan sekejap kemudian—

PERTEMPURAN PUN DIMULAI.

Larasati menggenggam pedangnya erat, matanya tak lepas dari raja goblin itu. Ada sesuatu yang aneh… makhluk ini bisa berbicara dengan fasih, berbeda dengan monster-monster yang pernah mereka hadapi sebelumnya.

Dia pun segera memperingatkan rekan-rekannya.

"Jangan anggap enteng dia. Monster ini… bukan sekadar monster biasa."

Surya, Adji, dan Rahmat saling bertukar pandang, sedikit terkejut. Mereka pernah menghadapi makhluk-makhluk kuat sebelumnya, tetapi kata-kata Larasati membuat mereka sadar bahwa pertarungan ini akan berbeda.

Namun, tak ada waktu untuk berpikir.

"Terlambat."

Suara berat Zogthar bergema.

Tiba-tiba, makhluk raksasa itu melangkah maju, tanah di bawahnya retak setiap kali kakinya menyentuh tanah. Ia mengangkat kapak Void miliknya, lalu mengayunkannya ke arah Surya dengan kekuatan dahsyat.

Surya menahan dengan kedua tangannya, api yang menyelimuti tubuhnya membara, menciptakan gelombang panas yang menyapu seluruh area.

BANG!

Benturan itu menghancurkan jalanan, menciptakan kawah besar di tanah. Surya terdorong beberapa meter ke belakang, tapi dia tetap bertahan.

Adji melihat celah, melompat ke udara, lalu melesat turun dengan kecepatan kilat.

"Tornado Strike!"

Angin topan berbentuk seperti bor menyambar, menghantam tubuh Zogthar dari atas. Suara ledakan menggelegar, membuat beberapa jendela gedung sekitar pecah berkeping-keping.

Namun, saat asap dan debu menghilang…

Zogthar bahkan tidak bergerak.

Mata merahnya hanya berkilat sebentar, lalu dia tersenyum meremehkan.

"Itu saja?"

Tiba-tiba, dengan kecepatan yang tak masuk akal untuk tubuh sebesar itu, Zogthar mengayunkan kepalan tangannya ke arah Adji.

DUAGH!

Tinju raksasa itu menghantam tubuh Adji, melemparkannya dengan kecepatan tinggi.

Adji terhempas menembus satu gedung.

Lalu satu lagi.

Dan satu lagi.

Sampai akhirnya tubuhnya menghantam gedung keempat, menciptakan ledakan debu yang begitu besar hingga seluruh blok kota berguncang.

Surya dan Rahmat menatap dengan ngeri. Larasati tetap tenang, tetapi jantungnya berdetak kencang.

Makhluk ini bukan sekadar kuat… dia adalah bencana.

Namun, Zogthar kini menoleh ke satu arah… ke arah Larasati.

Tatapan sang raja goblin berubah serius.

"Kau… kau berbeda."

Larasati menyipitkan mata.

Zogthar menurunkan kapaknya sedikit, lalu berbicara dengan suara yang lebih rendah, seolah sedang menganalisisnya.

"Kau bukan Sentinel biasa… Kau berbahaya."

Larasati tidak menjawab. Dia hanya mengangkat pedangnya yang kini bersinar keemasan, bersiap untuk pertarungan sebenarnya.

Suasana di sekitar Void Rift kini telah berubah menjadi medan perang yang kacau balau. Bangunan hancur, jalanan penuh reruntuhan, dan langit yang sebelumnya terang kini diliputi aura gelap mengerikan dari keberadaan Raja Goblin.

Zoghtar berdiri di tengah kehancuran itu, tubuh raksasanya memancarkan aura dominasi.

Matanya yang bersinar merah menatap Sentinel Larasati dengan ketertarikan yang bercampur dengan kesombongan.

"Manusia... tidak kusangka salah satu dari kalian mampu membuatku tertarik."

Larasati tidak membalasnya dengan kata-kata. la hanya menggenggam erat pedang emas raksasanya, Light of Dust, yang kini menyala lebih terang dari sebelumnya.

Dalam kedipan mata, ia sudah menerjang.

-CRAAAK!-

Suara benturan pedang dan kapak mengguncang udara.

Gelombang kejut yang muncul dari tabrakan kekuatan itu menghempaskan puing-puing bangunan di sekitar mereka. Beberapa mobil terseret ke belakang, kaca-kaca jendela meledak, dan tiang-tiang lampu di jalanan roboh seketika.

BOOOM!!

Larasati dan Zoghtar terdorong mundur, menanamkan kaki mereka di tanah untuk menahan dorongan dahsyat itu.

Zoghtar menyeringai lebar, matanya menyala dengan kegembiraan. "Luar biasa! Tapi itu belum cukup!"

Tanpa memberi kesempatan, Larasati kembali menerjangnya.

-SFX: SWOOSH! CLANG! BOOM!-

Gerakan mereka berdua kini hampir mustahil diikuti dengan mata telanjang.

Pedang dan kapak saling berbenturan berulang kali dalam pertempuran sengit yang mengguncangkan seluruh kota.

Setiap serangan yang dilepaskan membelah bangunan di sekitar mereka, membuat tiang-tiang lampu terpotong seperti kertas dan meninggalkan jejak kehancuran di mana-mana.

-CLANG! CLANG! SWOOSH!-

Mereka terus bertarung di antara reruntuhan, melompat dari satu gedung ke gedung lainnya. Setiap serangan yang mereka lepaskan memicu ledakan energi, membuat tanah retak dan aspal terkelupas.

Namun, di tengah serangan itu-

-SWOOSH!-

Larasati merasakan sensasi tajam yang menusuk bahunya.

"Tch-!"

Darah segar memercik.

Kapak Zoghtar berhasil menyayat bahunya, meninggalkan luka dalam yang mengalirkan darah merah pekat.

Zoghtar menyeringai lebih lebar, matanya penuh dengan keganasan.

"Hah! Sudah kuduga, kau bukan tandinganku!"

Melihat celah itu, ia langsung mengayunkan kapaknya ke wajah Larasati, berniat untuk menghancurkannya dalam satu serangan brutal.

Namun sebelum kapak itu mengenai sasaran-

"SOLAR FLARE!"

-ZRAAAASH!!!-

Cahaya oranye menyala terang, menembakkan ledakan energi langsung ke tubuh Zoghtar!

BOOOM!

Zoghtar terdorong ke belakang beberapa meter, tubuhnya terguncang oleh kekuatan besar yang tiba-tiba menghantamnya.

Di belakang Larasati, Sentinel Surya berdiri dengan armor api yang berkobar, rambutnya kini benar-benar menyala seperti matahari yang meledak.

Tangannya masih terangkat ke depan, bekas ledakan energi oranye dari jurusnya masih terlihat berpendar di udara.

Namun, ekspresi Surya menegang saat melihat sesuatu.

Zoghtar tidak sepenuhnya terlempar.

Raja Goblin itu berhasil menahan sebagian besar serangan Surya dengan kedua tangannya.

Meskipun kini tangannya menghitam akibat luka bakar, ia masih menyeringai penuh kegilaan.

"Hah... ha... ha..."

Zoghtar melirik tangannya yang terbakar, lalu menjilat darah di ujung jarinya.

"Menarik... kalian lebih kuat dari yang kuduga."

Matanya kini berkilat tajam, aura mengerikan semakin membesar di sekeliling tubuhnya.

"Baiklah... sekarang, aku akan menunjukkan apa itu ketakutan sejati."

POV Adjie – Sentinel yang Terhempas

Tubuh Adjie menghantam beberapa bangunan sebelum akhirnya menembus dinding beton dan jatuh keras di tengah reruntuhan. Debu dan pecahan puing beterbangan, menutupi tubuhnya yang kini tergeletak di antara bongkahan beton dan besi yang bengkok.

Ia mengeluh kesakitan, merasakan nyeri luar biasa menjalar di seluruh tubuhnya. Saat ia mencoba bangkit, darah menetes dari keningnya, mengalir perlahan melewati alisnya dan mengaburkan sebagian penglihatannya.

"Sial... pukulan monster itu... hampir membuatku pingsan," gumamnya seraya menopang tubuh dengan satu lutut, berusaha menenangkan napasnya yang memburu.

Matanya menyipit menatap ke kejauhan, melihat dua sosok yang kini saling beradu kekuatan.

Larasati dan Zoghtar.

Aura mereka mengamuk liar di sekeliling mereka, menyebabkan energi dahsyat berhamburan ke segala arah. Setiap tebasan dan benturan mengguncang tanah, merobek udara, dan menghancurkan apapun yang berada di sekitar mereka.

Bangunan runtuh, lampu-lampu jalan terpotong rapi, dan aspal meleleh terkena efek dari gelombang energi yang mereka lepaskan.

Adjie menghela napas panjang, ini buruk.

Larasati mungkin kuat, tapi Zoghtar bukanlah monster biasa. Jika pertarungan ini berlanjut, bukan hanya mereka yang berada dalam bahaya, seluruh kota bisa lenyap!

Ia menekan panel pada armornya, menyalakan sistem komunikasi yang terhubung dengan markas pusat Order Garuda.

"Halo, Ketua! Sepertinya kondisi di sini semakin tidak terkendali. Red Void telah mengalami Void Break! Monster level tinggi muncul dan mulai menghancurkan kota!"

Suara Adjie terdengar tegang.

Namun, tidak ada respons selama beberapa detik—sebelum akhirnya suara lain terdengar dari speaker helmnya.

Adegan berganti ke sebuah vila mewah di tepi pantai Dewata.

Sinar matahari sore memantulkan cahaya ke permukaan air kolam renang yang jernih. Suara ombak terdengar samar, berpadu dengan angin sepoi-sepoi yang menenangkan.

Di salah satu kursi malas di tepi kolam, seorang pria duduk santai dengan kaki disilangkan.

Hanya kakinya yang terlihat dalam frame, mengenakan celana kolor pendek dan kaos santai. Tangannya memegang gelas koktail dengan es batu yang masih berdering pelan di dalamnya.

Di sampingnya, handphone bergetar.

Pria itu—Raden Arya Wicaksana, Ketua Order Garuda—menerima panggilan tanpa mengubah posisinya sedikit pun.

"Haduh... kalian mengganggu liburanku di pantai Dewata..." katanya santai, nada suaranya terdengar sangat tenang, seolah-olah berita tentang Void Break hanyalah hal sepele baginya.

Namun, tiba-tiba ia mengangkat satu tangannya ke udara.

Dalam sekejap, cahaya emas menyelimuti telapak tangannya, membentuk sosok burung Garuda raksasa yang bersinar terang.

Burung itu mengepakkan sayapnya, sebelum terbang tinggi menembus langit, meninggalkan jejak emas di angkasa.

Sambil tersenyum kecil, Raden Arya berkata dengan nada ringan—

"Jangan khawatir… Garuda akan selalu mengepakkan sayapnya."

Setelah mengatakan itu, ia menutup teleponnya tanpa berkata apa-apa lagi.

Kembali ke Medan Tempur

Adjie terdiam, memproses apa yang baru saja ia dengar.

Matanya berkedut.

Tangannya mengepal.

"...Sialan!"

Ia menepuk helmnya dengan frustrasi, wajahnya penuh dengan ekspresi tidak percaya.

"Dia... dia santai banget, anjir! Ini bukan waktunya liburan, Pak Ketua! MONSTER LAGI NGAMUK DI SINI!"

Namun, ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Raden Arya.

Menghela napas panjang, ia mengaktifkan kembali armornya, membiarkan energi biru menyelimuti tubuhnya.

"Ya sudah, kalau begitu... waktunya kembali ke pertempuran!"

Dengan kekuatan penuh, ia melompat ke udara, tubuhnya melesat bagai meteor kembali ke medan tempur.

Pertarungan masih jauh dari kata selesai.