Chereads / The Last Catalyst / Chapter 9 - Mari melangkah menuju tempat baru

Chapter 9 - Mari melangkah menuju tempat baru

Kael menghela napas panjang. Matanya menatap kedua telapak tangannya, seolah mencari jawaban yang tersimpan di sana.

"Se-sebenarnya…"

Chika dan Raka mencondongkan tubuh ke depan, memasang ekspresi serius, menunggu Kael mengungkap sesuatu yang besar.

Namun, yang keluar dari mulutnya justru—

"Sebenernya gua juga nggak inget!!!"

Ruangan mendadak hening.

Lalu, PLAKK!

Tanpa aba-aba, Raka langsung menjitak kepala Kael dengan ekspresi kesel.

"YEYYY GOBLOK LU!"

Kael meringis, tapi bukan karena sakit—lebih ke karena kaget.

"Aaaa! Apa maksud lu, kocak!? Temen lagi sakit malah lu jitak!"

Kael mengusap kepalanya dengan cemberut, tapi dalam hati dia justru merasa aneh. Biasanya, jitakan Raka itu lumayan bikin nyut-nyutan, tapi kali ini… dia nggak merasa sakit sama sekali.

"…Tunggu, apa karena kenaikan level dan peningkatan stat itu ya? Apa tubuh gue juga jadi lebih kuat?"

Pikirannya berkecamuk, tapi sebelum dia sempat mendalami lebih jauh, Chika kembali berbicara.

"Kael, kalau kamu lihat di berita, kecamatan Beji dalam radius 10 KM dari pertempuran itu sekarang rata dengan tanah."

Nada suaranya serius, membuat Kael sedikit tegang.

"Saat kejadian itu, seharusnya kamu ada di sana, kan?"

Kael mengangguk pelan.

"Iya… Waktu itu, gue masih di dalam kafe, melawan satu goblin yang menyerang kita. Gue berhasil ngalahin dia, lalu ngeliat Sentinel Order Garuda bertarung melawan raja goblin. Mereka akhirnya menang."

Chika dan Raka mendengarkan dengan seksama.

"Tapi… setelah itu, Red Void yang jadi penyebab Voidbreak tiba-tiba berubah…"

Kael menggertakkan giginya, mengingat kembali apa yang terjadi sebelum semuanya gelap.

"Warnanya jadi hitam pekat. Bukan cuma itu, void-nya makin membesar… dan akhirnya, BOOM! Meledak!"

Kael menatap kosong ke dinding, seperti berusaha menggali memori yang terkubur.

"Setelah itu, gue nggak inget apa-apa lagi… Tahu-tahu, gue udah di rumah sakit ini."

Chika menyilangkan tangan di dadanya, menimbang informasi yang baru saja didengarnya.

"Setelah aku baca berita dan kesaksian dari Sentinel Order Garuda yang menyelamatkanmu… dari semua orang yang terkena ledakan itu, cuma kamu yang selamat."

Kael langsung menoleh ke arah Chika, terkejut.

"Hah?! Cuma gue?"

Chika mengangguk pelan.

"Iya. Cuma kamu. Nggak ada yang lain. Semua orang yang ada di sekitar void waktu itu… mati."

Ruangan kembali sunyi.

Pernyataan itu membuat suasana berubah tegang. Kael sendiri menelan ludah, pikirannya kembali ke momen sebelum ledakan terjadi.

"Tapi… kenapa gue masih hidup?"

Chika melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini.

"Sepertinya, efek dari ledakan itu menyebabkan sesuatu dalam tubuhmu berubah. Itu alasan kenapa kamu bisa selamat dan… mungkin juga alasan kenapa kamu merasa jadi lebih kuat sekarang seperti yang kamu katakan tadi."

Kael termenung, lalu menatap kedua tangannya lagi.

"Hmm… masuk akal sih. Kalau bukan karena itu, nggak ada penjelasan lain kenapa gue bisa menjadi kuat tiba-tiba."

Dia mengepalkan tangannya, merasakan kekuatan yang sebelumnya tidak pernah dia miliki.

"Entah ini musibah atau keberuntungan… Tapi sekarang, gue punya kekuatan baru. Mungkin ada alasan khusus kenapa gue mengalami semua ini, ketika tadi gue berada didalam void, sesuatu yang muncul di kepala gue menyuruh untuk bertahan dan tidak ingin gue mati, lalu merubah gue menjadi lebih kuat seiring mengalahkan monster didalam void, sepertinya ketika gue sudah berada di titik tertentu, nanti bakalan ketemu jawabannya"

Raka yang sejak tadi diam akhirnya menghembuskan napas panjang.

"Haaah… Udah lah, mau gimana pun, yang penting lu masih hidup, El."

Dia mengambil kantong plastik yang tadi dibawanya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur Kael.

"Udah, makan dulu. Gw sama Chika udah beliin makanan buat lu."

Chika tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.

"Iya, aku juga beli pir, loh!"

Kael, yang masih dipenuhi pertanyaan dalam pikirannya, akhirnya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Hahaha, iya deh, iya. Makan dulu, baru mikirin yang ribet-ribet."

Mereka bertiga akhirnya duduk bersama, mulai membuka bungkus makanan yang mereka bawa.

Meskipun misteri di sekitar Kael masih belum terpecahkan, untuk saat ini, dia hanya ingin menikmati momen kecil ini bersama dua sahabatnya.

Dua hari berlalu sejak Kael dirawat di rumah sakit. Kini, dia akhirnya bisa pulang. Raka dan Chika sudah datang menjemputnya dari kamar pasien.

Tanpa basa-basi, Raka membuka pintu kamar dan langsung berseru, "Oy! Ayo balik!"

Namun, bukannya duduk santai atau berkemas, Kael justru terlihat sedang melakukan push-up di tengah ruangan. Saat mendengar suara Raka, dia langsung berdiri dengan gerakan cepat, seolah otot-ototnya sudah terbiasa dengan latihan.

"Iyaa, ayo. Lagipula, gue nggak punya barang apa pun di sini, jadi nggak perlu packing," jawab Kael santai.

Sebelum keluar, dia menundukkan kepala sedikit dan berkata pelan, "Sentra, Status!"

Seketika, hologram Sentra muncul di hadapannya, menampilkan statistik terbaru miliknya.

---

[Statistik Kael - Level 14]

🩸 HP: 1450 (+150)

🔅 Energi: 1120 (+120)

⚔️ Kekuatan: 90 (+10)

🛡️ Ketahanan: 75 (+15)

⚡ Kecepatan: 72 (+7)

🧠 Kecerdasan: 55 (+5)

👁️ Kepekaan: 50 (+5)

---

Kael menyipitkan mata, memperhatikan peningkatan statistiknya.

"Hmmm, jadi setelah dua hari melaksanakan tugas harian dari Sentra, level gue naik… tapi cuma satu level ya?"

Dia sedikit bergumam, "Sama sekali nggak sebesar waktu gue ngalahin boss di Labyrinth… Mungkin nanti gue harus ikut ekspedisi ke dalam Void Rift."

Pikirannya mulai dipenuhi rencana untuk meningkatkan level lebih cepat, tetapi sebelum dia bisa mendalami lebih jauh, Raka dan Chika sudah menunggu di luar kamar.

Tanpa pikir panjang, Kael melangkah keluar dan bergabung dengan mereka. Mereka bertiga berjalan santai menuju lift.

Saat berada di dalam lift, tiba-tiba Kael teringat sesuatu yang penting.

"Ngomong-ngomong, biaya rumah sakit gue gimana ya?" tanyanya dengan sedikit cemas.

Chika tertawa kecil sebelum menjawab, "Kamu kan Sentinel. Selagi kamu sudah terdata dan terdaftar sebagai Sentinel Indonesia, meskipun rank kamu masih rendah, kamu dapat BPKS."

Kael mengerutkan dahi. "BPKS?"

"Badan Penyelenggara Kesehatan Sentinel," jelas Chika dengan nada bangga. "Sama kayak BPJS, tapi khusus buat Sentinel. Jadi, kamu nggak perlu bayar biaya rumah sakit sama sekali, alias GERATIS!"

Kael langsung menghela napas lega, lalu terkekeh. "Hahaha, yah… tapi nanti gue tetap harus bayar iuran asuransi juga, kan?"

Chika hanya mengangkat bahu.

Namun, tawa Kael tiba-tiba berhenti. Matanya membelalak saat dia menyadari sesuatu yang seharusnya dia pikirkan sejak pertama kali bangun di kasur rumah sakit.

"OIYAAA! KULIAH! Kuliah gue gimana, woy?!"

Dia membayangkan Bu Ratna, dosen killer yang menyebalkan, sedang berdiri dengan tangan bersedekap sambil ngomel-ngomel karena absensinya yang berantakan.

Chika, yang sudah bosan dengan pertanyaan ini, langsung mendesah. "Huhh… Dari kemarin kita udah bilang kalau kecamatan Beji rata dengan tanah."

Kael mengerutkan kening. "Loh, kampus kita juga hancur?!"

Chika hanya mengangguk pelan.

"Terus gimana kuliahnya?" tanya Kael lagi, masih shock.

Raka akhirnya angkat bicara. "Yah… sehari setelah kejadian, pihak kampus meliburkan semua kegiatan untuk sementara waktu. Lagipula, karena insiden itu, beberapa tenaga pendidik juga jadi korban akibat ledakan Voidbreak."

Nada suaranya terdengar sedikit muram, mengingat betapa besar dampak dari kejadian itu.

Kael ikut termenung. "Hmmm… kalau gitu, kemungkinan besar nanti pembelajaran bakal pindah ke sistem daring. Sama kayak waktu pandemi COVID dulu."

Raka mengangguk, menyilangkan kedua lengannya di belakang kepala. "Mungkin aja sih."

Saat percakapan mereka berlanjut, TING! suara lift berbunyi, menandakan mereka sudah sampai di lantai bawah.

Pintu lift terbuka, dan mereka bertiga berjalan santai menuju pintu keluar rumah sakit. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, tiba-tiba Kael berhenti mendadak. Wajahnya mendadak pucat, keringat dingin mulai mengalir di dahinya.

"TU-TUNGGU!!" teriaknya panik.

Chika dan Raka yang sudah hampir di pintu keluar langsung menoleh kaget.

"Kalau semuanya rata dalam radius 10 km… lalu… KOSAN GUE GIMANA?!"

Raka, dengan wajah santainya, hanya menjawab santai, "Yaaa… ancur… Eh, lebih tepatnya sih rata."

Seolah ada petir menyambar kepalanya, ekspresi Kael langsung berubah drastis. Wajahnya yang sebelumnya penuh semangat langsung lesu seperti kain pel basah.

"B-barang-barang gue semua lenyap…" suaranya bergetar. "HP… laptop… alat-alat kuliah… semua lenyap…"

Dia mulai berjongkok, menatap lantai dengan tatapan kosong. Lalu, dengan suara lirih penuh keputusasaan, dia bergumam, "Ya Tuhan… kali ini gue resmi jadi gembel…"

Tangan Kael gemetar, menatap telapak tangannya sendiri seolah berharap tiba-tiba muncul uang dari udara.

"Gue nggak punya duit sepeser pun… Satu barang pun nggak ada yang tersisa…"

Wajahnya berubah semakin dramatis, bibirnya bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. Dalam sekejap, air mata kocaknya mulai menetes, disertai ekspresi penuh kepedihan bak aktor sinetron yang kehilangan warisan.

"AKU INI APAAN SEKARANG?! SEONGGOK DAGING TANPA HARTA BENDA?! APAKAH INI TAKDIRKU, TUHAN??!!"

Chika langsung facepalm sementara Raka hanya menghela napas panjang.

"Udah, udah! Dengerin dulu, gembel satu ini." kata Raka, berusaha tetap tenang. "Kebetulan rumah sakit ini deket sama apartemen bokap gue. Untuk sementara, lu tinggal dulu di sana bareng gue."

Kael yang tadinya terpuruk, tiba-tiba menoleh dengan ekspresi penuh harapan.

"Hah?! SERIUS LU RAK?! MASYA ALLAH, RAKA… KAU BENAR-BENAR MALAIKAT YANG DIUTUS TUHAN UNTUK MENYELAMATKAN HAMBA YANG TERLANTAR INI!"

Dia langsung meraih tangan Raka dan menggenggamnya erat, matanya berbinar-binar penuh dramatis seperti baru saja mendapat wahyu dari langit.

"KAU BUKAN SEKEDAR TEMAN, RAKA… KAU ADALAH BERKAH, ANUGERAH, KEAJAIBAN DUNIA KEDUABELAS!!"

Raka langsung menepis tangan Kael dengan wajah kesal.

"Udah, udah! Nggak usah lebay! Lagian gue juga nggak tega ngeliat lu nanti tidur di teras Alfamart sambil berharap ada yang ngasih receh!"

Kael memasang ekspresi pura-pura shock. "Heh! Gue masih punya harga diri, tahu!"

Raka mendelik. "Oh ya? Tadi barusan hampir nangis karena jadi gembel?"

Kael langsung tersenyum kaku. "Ehehe… Itu… efek samping stres…"

Chika yang sedari tadi hanya mengamati akhirnya tertawa kecil. Kael pun meliriknya dan bertanya, "Kalau lu gimana, Chika?"

Chika hanya mengangkat bahu. "Gimana apanya? Gue juga ngekos di Beji, dan yaaa… kosan gue sama ancur kayak punya lu."

Kael mengerutkan kening. "Lah, terus sekarang tinggal di mana?"

Chika menjawab santai, "Kakak gue tinggal di Jakarta. Jadi untuk sementara gue numpang di rumahnya."

Kael mengangguk-angguk paham. "Oh, gitu…"

Dia lalu menarik napas dalam, menatap langit dengan penuh drama, lalu mengepalkan tangan penuh tekad.

"Kalau begitu… mari kita memulai hidup baru di kota Jakarta!"

Dengan langkah penuh keyakinan (meskipun masih nggak punya duit dan harta benda), Kael melangkah keluar dari rumah sakit, memulai babak baru kehidupannya di tempat yang baru.

Namun, di balik langkahnya yang ringan, tanpa disadari… ancaman yang jauh lebih besar sedang mengintai di luar sana.