POV – Dalam Kafe Kaldi.id
Getaran demi getaran mengguncang lantai kafe. Lampu gantung berayun liar, beberapa cangkir kopi terjatuh dan pecah berhamburan. Dari luar, suara dentuman dan ledakan terdengar bersahutan, disertai dengan jeritan warga yang berlarian panik.
Kael menoleh ke jendela, napasnya tercekat. Matahari yang tadi bersinar cerah kini tertutup kabut ungu pekat akibat Void Break. Di jalanan, pasukan Order Garuda tingkat Radiant dan Luminous tengah bertarung melawan gerombolan goblin. Tapi jumlah makhluk itu terlalu banyak. Bahkan dengan kekuatan mereka, beberapa Sentinel tampak kalah jumlah dan tewas di tempat. Lebih buruknya, warga sipil yang terjebak dalam situasi itu tak punya kesempatan untuk bertahan hidup.
Kael melihat ke arah jalan raya—sebuah mobil keluarga terjebak macet, klakson berbunyi panik, seorang pria di kursi kemudi mencoba mundur, tapi terlambat. Puluhan goblin menyerbu dari arah yang berlawanan. Mereka melompat ke atas kap mesin, menghantam kaca depan, lalu merobek pintu mobil. Kael hanya bisa menyaksikan dari balik jendela saat jeritan pilu terdengar... kemudian senyap.
"Kita harus pergi dari sini," kata Raka dengan nada panik.
"Tapi ke mana!?" Chika, yang sejak tadi menggenggam lengan Kael erat-erat, kini mulai kehilangan kendali. Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. "Monster di luar... mereka membantai semua orang!"
"Sial... Kita enggak bisa diam di sini!" Kael menggerutu.
Baru saja ia akan bergerak, suara dentuman keras terdengar dari arah pintu masuk kafe.
BRAK!
Pintu kayu itu hancur berantakan, serpihannya berhamburan ke dalam ruangan. Semua orang menjerit panik, berlarian mundur ke sudut belakang. Beberapa pelanggan bahkan berlindung di bawah meja, berharap bisa menghilang begitu saja.
Sosok yang mendobrak masuk adalah sesosok Goblin Kroco, makhluk hijau kotor dengan tubuh pendek dan otot kering yang terlihat kasar. Mata merahnya berkilat ganas, air liurnya menetes dari taringnya yang bengkok. Dengan kapak berkarat di tangan, ia menggeram keras, menebarkan aura haus darah ke seluruh ruangan.
Kael, Chika, dan Raka terpaku di tempat.
Saat itu juga, Kael merasakan sesuatu di dalam dirinya—sebuah kenangan yang selama ini ia tekan jauh di dalam pikirannya.
Void Break, dua tahun lalu.
Hari itu, Kael yang masih menjadi mahasiswa baru sedang duduk di sebuah kafe, menikmati secangkir kopi murahan yang dia beli dari hasil menabung. Ia bahkan merasa keren saat akhirnya bisa "nongkrong" seperti mahasiswa pada umumnya.
Tapi kemudian, Void Break terjadi.
Dunia berubah seketika. Monster keluar dari portal gelap, meneror kota, membantai orang-orang. Kael yang hanya seorang mahasiswa biasa saat itu, hanya bisa gemetar ketakutan. Dia nyaris mati.
Namun saat semua harapan tampak hilang, dua sosok muncul di hadapannya—seorang pria berambut perak dan Sentinel Larasati.
Mereka menyelamatkan semua orang, termasuk dirinya.
Kael kembali ke realitas saat ini, menatap goblin di hadapannya dengan ekspresi setengah percaya diri, setengah pasrah.
"…Jadi ini kedua kalinya gue lagi ngopi di kafe, terus Void Break terjadi?" Kael bergumam, lalu menghela napas panjang.
Dia melirik ke cangkir kopinya yang tergeletak di atas meja, isinya sudah dingin. Dengan wajah datar, ia berpikir:
Mungkin orang miskin kayak gue memang enggak ditakdirkan ngopi di kafe.
Tiba-tiba, ekspresi seriusnya berubah. Ia mendengus kesal dan mengacak rambutnya frustrasi.
"Dasar nasib!" ujarnya sambil menghela napas, sementara Raka dan Chika menatapnya bingung.
"Oi, oi, kita hampir mati, dan lo malah mikirin kopi?" Raka menegurnya dengan nada tidak percaya.
Chika masih panik, tubuhnya gemetar.
Kael akhirnya menatap mereka dengan serius. "Dengar, ada jalur dapur di belakang. Kalian bisa kabur dari sana."
"Kamu gimana?" tanya Chika.
Kael menoleh ke goblin yang berdiri di depan pintu, menggeram marah karena dibiarkan menunggu.
"…Gue bakal hadapi dia."
Raka membelalakkan mata. "Apa!? Kael, lo Sentinel rank Ember! Itu peringkat terendah, bro! Lo bakal mati!"
Kael menyeringai, menepuk bahu Raka sekali sebelum berjalan maju, membelakangi mereka semua.
"Gini-gini juga gue Sentinel, bro," katanya sambil mengepalkan tangan, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Kini dia berdiri di hadapan goblin, hanya berjarak beberapa meter dari makhluk itu.
Dengan suara yang terdengar lebih percaya diri dari yang sebenarnya ia rasakan, Kael menegakkan tubuhnya, menatap makhluk itu dengan penuh tantangan.
"Aku, Kaelindra Azarth. Sentinel rank Ember. Bersiaplah, makhluk buruk rupa!"
Goblin itu menatapnya dengan mata menyala marah. Taringnya mencuat saat ia menggeram, kapaknya terangkat tinggi.
Tanpa aba-aba, makhluk itu melesat ke arahnya.
Kael menelan ludah.
Sial. Kenapa gue malah menantang dia!?
Goblin itu melompat menerjang Kael dengan kecepatan tinggi, cakarnya siap merobeknya.
"Sial!"
Dalam kepanikan, Kael meraih alat pemadam kebakaran di dinding dan-tanpa berpikir panjang-mengayunkannya sekuat tenaga ke tubuh goblin.
BRAK!
Tabung merah itu menghantam perut makhluk hijau itu. Goblin itu terdorong mundur sedikit, tapi hanya menggeram marah, seakan tidak merasakan dampaknya sama sekali.
Kael menatap alat pemadam kebakaran itu dengan ekspresi kecewa.
"Astaga... benda ini bahkan nggak bikin dia kesakitan sedikit pun! Seharusnya gue tau kalau barang buatan manusia gak bakal bisa melukai makhluk Void!"
Goblin itu mengangkat kapaknya tinggi, siap menebas Kael.
"Semuanya, CEPAT KABUR LEWAT DAPUR!" Kael berteriak.
Orang-orang dalam kafe tidak perlu disuruh dua kali. Mereka segera berlarian menuju pintu belakang, termasuk Raka dan Chika. Sementara itu, Kael melangkah mundur, memastikan dia berdiri di antara goblin dan orang-orang yang sedang melarikan diri.
Pikirannya bekerja cepat. Gue harus keluar dari kafe ini! Gue harus menjauhkan makhluk ini dari mereka!
Dengan tekad bulat, ia mengambil langkah besar ke depan dan menerjang goblin itu dengan seluruh kekuatannya.
BRAK!
Tubuh mereka berdua menembus jendela kafe, kaca berhamburan ke segala arah.
Kael terjatuh ke trotoar, tubuhnya menabrak pecahan kaca dan membuatnya mengerang kesakitan. Saat ia mengangkat kepalanya, ia melihat goblin itu juga jatuh, hanya beberapa meter darinya.
Namun sebelum Kael bisa bergerak, goblin itu sudah mengangkat kapaknya, siap menebasnya tepat di wajah.
"Anj-"
''SRAKKK!''
Kapak itu melesat hanya beberapa centimeter dari wajahnya, menancap keras ke trotoar. Kael bisa merasakan angin tajam yang lewat di samping pipinya.
"GUA MASIH MAU HIDUP, DASAR MAKHLUK SIALAN!"
Dengan refleks, Kael menendang dada goblin itu dengan kedua kakinya. Goblin itu terhuyung ke belakang, memberi kesempatan bagi Kael untuk segera berdiri dan berlari secepat mungkin ke arah Sentinel Order Garuda tingkat Radiant yang sedang bertarung di kejauhan.
"HEI! HEIII! ADA MONSTER YANG MENGEJARKU! TOLONG AKU!" Kael berteriak panik sambil berlari.
Namun, sebelum ia bisa sampai, angin kencang tiba-tiba menerpa dari arah pertarungan.
"GRAAAAAHHH!"
Sebuah teriakan menggelegar mengguncang seluruh area pertempuran.
Kael hanya bisa menutup matanya saat badai debu dan puing-puing berputar liar di sekelilingnya. Tubuhnya terhempas ke samping akibat tekanan udara yang luar biasa.
"Sialan! Ini apa lagi!?"
la terlempar ke trotoar, berguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Saat ia membuka matanya, di sampingnya terdapat besi papan peringatan yang terpotong akibat pertarungan sengit antara Larasati dan Raja Goblin Zoghtar.
Dengan nafas tersengal, ia meraih besi tersebut. Saat tangannya menggenggamnya erat, sesuatu yang aneh terjadi.
Besi itu-yang tadinya hanya potongan logam biasa-mulai bersinar. Cahaya aneh menyelimuti benda itu, bergetar seiring dengan denyut jantung Kael. Bahkan tubuhnya sendiri mulai diselimuti auranya sendiri.
"...Apa ini?"
Tapi ia tak punya waktu untuk berpikir. Goblin yang tadi masih mengejarnya kini melompat lagi, kapaknya siap untuk menyerang.
Kael mengangkat besi itu secara naluriah.
CLANGG!
Besi tersebut bertemu dengan kapak goblin. Kael mengernyit, siap menerima benturan berat, namun...
Dia bisa menahannya!
la menatap tangannya, lalu ke besi bercahaya di genggamannya.
"...Oke, ini keren."
Namun, ia tak mau membuang kesempatan. Dengan kekuatan penuh, ia menendang goblin itu dengan keras, membuatnya terpental ke belakang.
Tanpa ragu, Kael langsung melesat ke depan dan menusukkan besi tersebut ke dada goblin.
SRUUKK!
Darah hijau menyembur liar, membasahi wajah dan bajunya.
Goblin itu hanya bisa terdiam, matanya membelalak, sebelum akhirnya tubuhnya melemas.
Kael berdiri terengah-engah, tangannya masih mencengkeram erat besi yang kini menancap dalam di tubuh makhluk itu.
la baru saja membunuh goblin pertama dalam hidupnya.
Sesaat kemudian, ia menoleh ke tubuh goblin itu dan berkata dengan nada lelah:
"...Lo tahu nggak... Gue cuma mau ngopi, anjir."
Goblin itu tentu saja tidak menjawab.
Kael menghela napas panjang.
"Ya Tuhan, kalau emang gue gak ditakdirkan buat ngopi di kafe, bilang aja. Gak usah pake acara monster segala."
la menendang tubuh goblin itu ke samping dengan ekspresi kesal.
Namun saat ia mendongak, matanya membelalak.
Di kejauhan, Raja Goblin Zoghtar berdiri di atas reruntuhan, menatap ke arahnya dengan tatapan yang seakan berkata:
"Kau berikutnya."
Kael menelan ludah.
"...Gue kayaknya ngomong kegedean tadi."
Kael menatap Raja Goblin Zoghtar yang berdiri di atas reruntuhan gedung. Sosok raksasa itu terlihat angkuh, sorot matanya penuh dengan kebencian terhadap manusia.
Kael merasakan dingin di tengkuknya. Ini buruk... Gue gak akan bisa ngelawan makhluk itu sendirian.
Namun, tepat saat Zoghtar bersiap untuk melompat turun, seberkas cahaya biru melesat ke arahnya!
"Thunder God's Rotation Dance!"
Sebuah sosok berlari di udara, membawa dua pedang pendek yang bercahaya biru dengan kilatan petir menyelimuti bilahnya.
Sentinel Rahmat.
Dengan kecepatan luar biasa, ia melesat ke arah Zoghtar yang berusaha menghindar. Namun, Rahmat lebih cepat.
Kilatan pedang berkelebat dalam kegelapan. Pedangnya menebas berkali kali, menciptakan jejak cahaya di udara.
"TIGA PULUH TEBASAN DEWA PETIR !"
SLASH! SLASH! SLASH!
Darah hijau gelap Zoghtar berhamburan ke segala arah, bercampur dengan percikan petir yang membakar luka-lukanya.
"GRRRAAAHHHH!" Zoghtar meraung kesakitan, tubuhnya penuh luka tebasan yang mengeluarkan asap akibat luka bakar listrik.
Rahmat mendarat dengan ringan di trotoar, pedangnya masih bersinar biru.
Zoghtar yang masih melayang di udara menggeram marah, tapi sebelum ia bisa bergerak-
"SOLAR FLARE-MAXIMUM INTENSITY!"
Dari bawah, Sentinel Surya sudah siap dengan lingkaran sihir yang berputar di sekeliling tubuhnya. Cahaya keemasan yang luar biasa terang berkumpul di tangannya, menggetarkan udara di sekitarnya.
Lalu-
BOOOOOM!!!
Sebuah semburan energi raksasa berbentuk matahari kecil ditembakkan langsung ke arah Zoghtar.
"GRAAAAAAAGHHH!!!"
Raja goblin itu berteriak kesakitan, tubuhnya terbakar oleh kekuatan matahari yang luar biasa panas.
Langit yang tadinya gelap karena pengaruh Void kini mulai berpendar terang, seakan mentari sendiri turun ke dunia.
Namun, serangan ini belum berakhir.
Di atas gedung pencakar langit...
Sentinel Larasati berdiri dengan mantap, pedangnya yang besar kini bersinar lebih terang dari sebelumnya.
la menarik napas dalam, cahaya mengalir melalui tubuhnya, menyelimuti pedangnya dengan aura yang luar biasa.
Pedangnya... membesar.
Cahaya putih keemasan menari di sekeliling bilahnya, menciptakan kilatan yang nyaris menyilaukan.
"FINISHING MOVE...!"
la melompat dari puncak gedung, menukik dengan kecepatan luar biasa menuju tubuh Zoghtar yang masih melayang di udara, terkena efek ledakan Surya.
"The fangs of the world!!" (Taring Dunia!)
Dengan satu tebasan penuh kekuatan, Larasati mengayunkan pedangnya tepat ke tubuh Zoghtar.
SLAAAASHH!!!
Cahaya meledak di udara, membelah langit yang gelap.
Tubuh Zoghtar terbelah dua dalam kilatan yang luar biasa terang.
Kael hanya bisa melongo, terpesona oleh pemandangan epik itu. "Astaga... dia... GILA!"
Saat cahaya menghilang, langit yang tadinya mencekam perlahan kembali normal. Suasana hening sesaat.
Lalu, tubuh Raja Goblin Zoghtar yang terbelah dua jatuh ke jalanan, menciptakan suara keras saat menghantam aspal.
Tapi sesuatu yang mengerikan terjadi.
Meskipun tubuhnya terpotong, Zoghtar masih hidup.
la tertawa pelan, darah hijau masih mengalir dari tubuhnya.
"Hahaha... Jangan senang dulu, manusia..."
Kael merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Kegelapan sebenarnya... baru akan turun."
Zoghtar tertawa lebih keras, suaranya bergema di seluruh kota.
Di belakangnya, gate merah yang tadinya hanya menganga kini berubah.
Kilatan petir hitam mulai menyelimuti gerbang itu, membuatnya tampak semakin tidak stabil.
Sesuatu... sedang mencoba menerobos masuk.
Kekacauan di Depan Void yang Membesar
Para Sentinel dari Order Garuda menatap dengan cemas saat Void yang tadinya berwarna merah kini berubah menjadi hitam pekat, disertai tawa menyeramkan dari Raja Goblin Zoghtar yang tubuhnya telah terbelah dua.
Sentinel Surya menggerutu dengan nada kesal, "Apa-apaan ini? Tadi merah, sekarang hitam pekat. Benar-benar tidak beres. Apa yang Asosiasi lakukan di saat genting seperti ini?"
Larasati menimpali, "Energi ku sudah terkuras habis dalam serangan terakhir barusan."
Tiba-tiba, dari atas reruntuhan, Sentinel Adjie yang sebelumnya terhempas kembali ke medan tempur dengan wajah panik. "Semuanya, menjauh dari sana!!!"
Asosiasi menghubungi mereka, memperingatkan bahwa energi yang keluar dari dalam Gate benar-benar tidak stabil dan berpotensi menyebabkan ledakan besar. Mendengar ini, para Sentinel, termasuk yang berperingkat Radiant, segera melompat mundur, menjauh dari Void yang semakin membesar.
Di tengah kekacauan itu, Kael terpaku melihat Larasati melompat di udara, rambutnya yang panjang terhempas angin, diselimuti aura cahaya. Namun, Larasati melihat ke arah Kael dan berteriak, "Dasar bodoh! Lari menjauh cepat! Ngapain kamu berdiri di sana?"
Saat Larasati hendak berbelok untuk menyelamatkan Kael yang masih berada di dekat Void yang semakin tidak stabil, tiba-tiba dari langit muncul burung Garuda raksasa kiriman dari kekuatan Master Order Garuda, Raden Arya Wicaksana. Burung Garuda itu menangkap para Sentinel yang sedang melompat kabur dan melindungi mereka dengan sayapnya.
Sentinel Surya berkata, "Ini... kekuatan Master Raden Arya. Sepertinya akan melindungi kita."
Larasati kemudian berteriak memberi komando, "Semuanya, masuk ke dalam cahaya ini untuk berlindung!"
Kael mendengar perintah Larasati dan bersiap untuk berlindung menuju cahaya Garuda tersebut. Namun, ia teringat sesuatu—laptop dan buku alat kuliahnya tertinggal di dalam kafe. "Sialan, laptop dan tasku ketinggalan! Aku harus mengambilnya. Aku tidak punya duit buat beli laptop baru lagi," pikirnya.
Dengan tekad bulat, Kael berlari kembali ke Kafe Kaldi.id. Ia menemukan laptopnya yang masih menyala, dengan tampilan AI Chat GPT yang sedang mencari materi. Setelah mengambil barang-barangnya, ia berlari keluar.
Larasati melihat Kael dan berteriak, "Woy! Cepatlah! Ngapain kamu kembali lagi ke dalam? Dasar bodoh!"
Saat Kael berada di antara cahaya Garuda dan kafe, tiba-tiba...
"Sial!" teriak Kael.
BOOOMMMM
Ledakan berbalut energi hitam dengan radius 10 km menyelimuti daerah Kecamatan Beji, tempat Kampus Universitas Indonesia berada.
Kubah energi gelap hitam pekat
Gelap berdiri kokoh disertai suara ledakan dan getaran yang menyebabkan gempa bumi dengan kekuatan 8,5 Skala Richter, menyebabkan gedung gedung dan rumah disekitar kecamatan beji Roboh seketika.
Tapi...
POV KAEL DI DALAM LEDAKAN
Gelap...
Kael membuka matanya, tetapi yang terlihat hanyalah kehampaan hitam yang pekat. Tidak ada langit, tidak ada tanah, tidak ada suara-hanya dirinya sendiri yang melayang di tengah kehampaan.
Tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah tangan raksasa muncul. Ukurannya begitu besar hingga Kael merasa seperti semut di telapak manusia. la ingin berteriak, tetapi suaranya tak keluar. Ketakutan merayapi tubuhnya, pikirannya kacau.
Lalu, api berwarna ungu gelap tiba-tiba membakar tangan itu.
Kael menoleh ke samping, melihat Void besar yang masih terbuka. Bukan mengecil, malah semakin membesar, seakan hendak menelannya bulat-bulat. Energi hitam pekat bercampur keunguan keluar dari Void itu seperti pusaran badai, melingkari tubuhnya.
"ARGHHH!!"
Rasa sakit yang luar biasa menyerangnya. Energi itu masuk ke tubuhnya, merobek setiap saraf, menggerogoti jiwanya seperti ribuan cakar tak kasatmata yang merobek tubuhnya dari dalam. Darah terasa mendidih, paru-parunya terbakar. Bola matanya menghitam, pupilnya memancarkan cahaya ungu terang.
Lalu, di tengah kehancuran dan rasa sakit yang tak terbayangkan, sebuah proyeksi holografik muncul di hadapannya.
Tulisan melayang di udara, terlihat seperti tampilan Al yang familiar.
"THE C*****"
Kemudian terjadi glitch. Tulisan itu berubah.
"HANCURKAN DUNIA INI."
Mata Kael melebar, tubuhnya gemetar.
Energi hitam yang tadinya menghancurkan area 10KM perlahan terserap ke dalam tubuhnya. Sedikit demi sedikit, energi yang seharusnya meluluhlantakkan segalanya malah menghilang ke dalam dirinya.
Hingga akhirnya-hanya tersisa Kael yang masih hidup.
la berdiri lalu tubuhnya ambruk di tengah daratan yang rata. Seluruh wilayah dalam radius 10KM telah hilang, seolah dilenyapkan dari peta.
POV PARA SENTINEL YANG BERADA DIDALAM CAHAYA GARUDA
Para Sentinel memejamkan mata mereka, berserah pada kekuatan Master Raden Arya yang melindungi mereka. Larasati menggigit bibirnya, merasa menyesal.
(Aku membiarkan pemuda itu tertinggal... Sial... Haruskah aku kembali?)
Namun, mereka tidak bisa melihat apa pun. Dunia di luar cahaya Garuda itu hanyalah kegelapan mutlak.
Lalu-BRRRRMMMMM
Energi hitam yang membungkus daerah itu perlahan menghilang.
Saat cahaya Garuda meredup, mereka melihat pemandangan yang mengerikan.
Ratusan mayat bergelimpangan.
Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang masih hidup.
Larasati langsung melompat turun. la menelusuri area yang telah berubah menjadi tanah tandus, mencari sesuatu... atau seseorang.
Saat ia berlari di antara tubuh-tubuh yang tak bernyawa, matanya melebar.
"Tidak mungkin..."
Di tengah kehancuran total itu, Kael masih bernapas.
Larasati berlutut di samping tubuhnya yang terbaring.
(Pemuda ini... Aku mengenalnya... Ini... pemuda yang aku selamatkan dua tahun lalu, saat Voidborn menghancurkan kota.)
(Bagaimana dia bisa bertahan?)
Para Sentinel lainnya segera bergerak, mengevakuasi korban yang masih bisa diselamatkan. Tetapi, tidak ada yang lain yang masih hidup. Hanya Kael.
Dengan perasaan penuh tanda tanya, Larasati mengangkat tubuh Kael, lalu mereka membawanya ke rumah sakit.