Di dalam lift, suasana hening hanya diisi suara dengungan mesin yang bergerak naik. Raka melirik Chika yang masih memegang kantong plastik berisi buah buahan untuk Kael. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, suaranya rendah namun sarat rasa penasaran dan kecemasan.
"Sebenernya, apa yang udah terjadi kemarin sampai kecamatan Beji bisa hancur rata dengan tanah?"
Chika terdiam sejenak, ekspresinya berubah muram. Tatapan matanya menerawang, seolah kembali ke insiden mengerikan satu hari yang lalu.
Kilas Balik: Insiden di Beji
Jeritan dan suara kehancuran masih bergema di udara. Api membakar gedung-gedung yang runtuh, dan asap hitam membumbung tinggi, menutupi langit sore yang seharusnya berwarna jingga. Di antara kekacauan itu, Raka, Chika, dan beberapa orang lainnya berlari melewati pintu dapur kafe, mengikuti Kael yang bertekad melindungi mereka.
Saat mereka keluar, udara terasa panas dan penuh dengan aroma besi—bau darah dan kehancuran bercampur jadi satu. Mereka berlari mencari perlindungan, jantung mereka berdegup kencang. Seorang pria dewasa yang ikut bersama mereka berseru, suaranya penuh kepanikan namun tetap berusaha tegar.
"Semuanya jangan berpisah! Tetap bersama sampai kita ketemu Sentinels atau kru penyelamat!"
Namun, baru beberapa langkah mereka bergerak, terdengar suara dengusan kasar dari belakang. Salah satu goblin kroco, makhluk humanoid bertubuh pendek dengan kulit kehijauan dan mata merah menyala, mengendus udara. Hidungnya mengembang, mendeteksi bau ketakutan manusia. Perlahan, makhluk itu berbalik, menatap langsung ke arah mereka.
Ketegangan melanda. Semua orang membeku di tempat.
Dan saat itu juga, malapetaka terjadi.
Seorang wanita dalam kelompok mereka menjerit ketakutan. Teriakannya menggema di antara reruntuhan, seperti lonceng kematian yang memanggil lebih banyak kengerian. Dalam hitungan detik, dari berbagai sudut jalan yang gelap, lebih banyak goblin kroco muncul. Mata mereka berbinar ganas, air liur kental menetes dari taring mereka yang kuning kecoklatan.
Sepuluh. Dua puluh. Mungkin lebih.
Mereka meraung dan langsung menerjang!
Raka menelan ludah. Tangannya mengepal erat. Dia tahu mereka tidak akan bisa lari lebih jauh jika gerombolan itu berhasil mengepung mereka.
Namun, sebelum para goblin itu bisa mencapai mereka, tiba-tiba hembusan angin yang sangat kencang menerjang, memutar liar di udara seperti sabit raksasa. Dalam sekejap, terdengar suara SLASH! yang tajam—gelombang angin itu menebas semua goblin di garis depan, mencincang tubuh mereka hingga terserak di tanah.
Raka dan yang lainnya menoleh ke arah sumber serangan itu.
Beberapa meter di samping mereka, seorang pria berdiri tegap dengan tangan terangkat. Jubah hitamnya berkibar diterpa angin. Tatapan matanya tajam, penuh kewibawaan. Itu adalah Sentinels Adjie, salah satu sentinel peringkat tinggi dari order garuda yang terkenal karena teknik pedang anginnya, sebelumnya ia terhempas oleh serangan Raja Goblin Zoghtar.
"Sky Blade: Hembusan Kematian," ucapnya datar, seolah serangan itu bukan apa-apa baginya.
Raka terengah, masih merasakan sisa tekanan dari serangan tersebut.
Adjie menatap mereka sebentar, lalu memberi isyarat dengan tangannya.
"Ayo ikut saya! Di depan ada Pos Evakuasi yang dijaga TNI. Helikopter sudah siap untuk mengevakuasi warga sipil yang terjebak dalam pertempuran."
Tanpa berpikir dua kali, mereka mengikuti Adjie, berlari menembus reruntuhan dengan napas tersengal. Di tengah perjalanan, Raka menekan dadanya dengan tangan.
"Kael... lu harus selamat," gumamnya, suara lirih tapi penuh harapan.
Di sampingnya, Chika menggenggam erat tali tasnya, menahan air mata yang hampir jatuh.
"Kita percaya pada Kael. Dia pasti selamat," katanya dengan suara gemetar.
Mereka terus berlari, menjauh dari medan pertempuran yang semakin kacau, sementara di belakang mereka, langit Beji dipenuhi cahaya kehancuran.
Tiiing!
Suara lift berbunyi saat pintunya terbuka di lantai tujuan. Raka dan Chika segera melangkah keluar, berjalan cepat menuju kamar tempat Kael dirawat. Raka yang berada di depan langsung meraih gagang pintu dan mendorongnya dengan santai.
"El, kita balik—"
Tapi kalimatnya terputus.
Begitu pintu terbuka, alisnya langsung berkerut. Matanya membulat penuh kebingungan. Chika yang berada di belakangnya juga terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya dengan nada panik.
"Loh… Kael mana? Kok dia nggak ada?"
Kasur pasien yang seharusnya Kael tempati kini kosong. Selimutnya berantakan, seolah ada seseorang yang baru saja menghilang secara misterius.
Namun, sebelum mereka sempat mencerna situasi, BZZTTT!
Percikan petir berwarna hitam tiba-tiba menyambar di atas ranjang! Seketika, sebuah void hitam muncul dari udara kosong, memancarkan aura mengerikan yang membuat ruangan terasa lebih dingin.
"WOI APAAN TUH!?" Raka spontan mundur selangkah, bersiap kalau sesuatu yang berbahaya keluar dari void itu.
Chika menutup mulutnya, jantungnya berdegup kencang.
Dari dalam void hitam yang berputar-putar, sesosok bayangan muncul—dan dalam sekejap, BAM!
Kael terduduk di atas ranjang, ekspresi wajahnya penuh kebingungan, seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk. Napasnya tersengal, tangannya refleks menekan kasur seakan memastikan tempat itu nyata.
"Loh… Gw balik lagi ke RS??"
Dia menoleh ke arah Raka dan Chika yang masih terpaku di depan pintu, ekspresinya campuran antara syok dan kebingungan.
"Raka? Chika?"
Lalu, dengan wajah kocak, dia menepuk dahinya.
"Anjirr cook... Setelah lu pada keluar dari kamar tadi, tiba-tiba gw kelempar ke dalam void! Dan di sana gw harus bertahan hidup sambil bertarung lawan monster-monster gila!"
Raka dan Chika hanya bisa menatapnya dengan ekspresi "lu ngomong apaan sih, njir?"
Chika yang pertama membuka mulut. Dia berjalan mendekat, masih menatap Kael dengan tatapan waspada.
"Kael… apa yang baru aja terjadi? Kenapa lo tiba-tiba muncul dari void? Itu kan… nggak masuk akal."
Raka juga ikut mendekat, masih berusaha mencerna informasi yang baru dia dengar.
"Sebenernya apa yang udah terjadi, El? Lu kayak habis di-teleport atau gimana? Dan apaan tuh baju lu kotor banget, penuh robekan segala! Lu abis ngapain, njir?"
Mereka baru benar-benar memperhatikan kondisi Kael sekarang. Pakaian pasien yang dia kenakan penuh noda tanah, compang-camping seperti habis diserang makhluk buas. Namun yang anehnya, tidak ada luka sedikit pun di tubuhnya.
Kael menghela napas panjang, menatap mereka dengan ekspresi campuran antara lelah dan tak percaya.
"Kayaknya… sejak kejadian ledakan void hitam kemarin, ada sesuatu yang berubah dalam diri gw."
Dia menatap kedua temannya serius.
"Sekarang gw juga bisa bertarung… dan gw bisa semakin kuat seiring waktu."
Raka mendengus skeptis, lalu meletakkan kantong makanan yang dia bawa di meja terdekat.
"Yang bener aja lu, El! Lu itu Sentinel rank Ember—rank paling lemah! Gimana caranya lu bisa bertahan sendirian di dalam void dan lawan monster-monster itu?! Jangan ngaco, lu!"
Kael langsung menunjuk bajunya yang penuh robekan.
"Lu nggak liat baju gw kayak gini, hah?! Lu kira gw cosplay jadi gelandangan?! Gw beneran berantem di sana!"
Raka mengernyit, menatap Kael dengan ekspresi ragu.
"I-iyaa sih… Tapi anehnya, badan lu nggak ada luka sama sekali. Seharusnya kalau lu abis bertarung di dalam void, minimal ada lecet atau memar, kan?"
Kael mengangkat bahu.
"Nah itu dia! Ada hal yang sulit dijelaskan… Gw bisa sembuhin luka gw dengan minum ramuan ajaib."
Chika dan Raka langsung memasang wajah penuh tanda tanya.
"…Ramuan ajaib?"
Kael mengangguk serius, lalu menunjuk kepalanya.
"Iya, gw dapetin ramuan itu dari… suara aneh yang tiba-tiba muncul di kepala gw."
Mendengar itu, Raka langsung menepuk dahinya, menghela napas panjang.
"Astaga, fix lu udah gila, El."
Kael membalas dengan ekspresi kocak.
"Hahhh??!"
Sementara dua sahabatnya masih berdebat, Chika yang sejak tadi diam mulai berpikir keras. Ada sesuatu yang mengganggunya… sesuatu yang terasa janggal sejak insiden kemarin.
Dia menatap Kael dengan serius.
"Kael…"
Kael dan Raka langsung terdiam, menatap Chika yang kini terlihat lebih serius dari sebelumnya.
"Saat insiden kemarin… sebenernya apa yang terjadi sama kamu?"
Ruangan tiba-tiba terasa lebih sunyi.
Kael terdiam. Raka menatapnya dengan ekspresi penuh tanya.
Jawaban Kael terhadap pertanyaan itu mungkin akan mengubah segalanya.