Chereads / The Last Catalyst / Chapter 2 - Dunia yang berubah

Chapter 2 - Dunia yang berubah

Tahun 2025

Suasana pagi hari di kota kota industri yang penuh kebisingan dan kemacetan, suara alarm berbunyi nyaring di samping telingaku.

Aku mengerang pelan, menggeliat di atas kasur.

Kepalaku masih berat, tubuhku masih terasa lelah, dan yang paling penting...

Aku belum siap menghadapi kenyataan hidup.

Tapi dunia tidak peduli.

Aku meraba-raba ke samping, mencari ponselku dengan mata masih setengah tertutup.

Begitu menemukannya, aku membuka layar dengan malas.

Waktu menunjukkan pukul 06:45.

Aku berkedip.

Tunggu... 06:45?!

Mataku langsung terbuka lebar.

Aku terlambat.

Aku langsung terduduk di kasur, rambutku yang berantakan mencuat ke segala arah seperti landak.

Cermin kecil di sudut kamar memperlihatkan wajahku yang kusut—mata sedikit bengkak, kantung mata semakin dalam, rambut hitam acak-acakan seperti habis berkelahi dengan bantal.

Yah, perkenalkan, Kaelindra Azarth.

Mahasiswa semester 4 yang masih berjuang bertahan hidup di tengah tugas, ujian, dan saldo rekening yang menyedihkan.

Aku membuka aplikasi mobile banking di ponselku, menunggu layar loading dengan perasaan bercampur aduk.

Dan begitu angka saldo muncul di layar...

Aku menatapnya dengan hampa.

Rp23.750,-

Aku terdiam beberapa detik.

Lalu menghela napas panjang.

"...Hidup itu keras."

''kapan yaaa KIPK ku cair''

Aku menutup aplikasi, lalu merebahkan diri lagi ke kasur dengan wajah pasrah.

Kenapa aku dilahirkan dengan dompet tipis?

Aku butuh uang untuk makan siang nanti, tapi kalau aku naik ojol ke kampus, sisa saldoku bisa langsung lenyap.

Aku tidak punya pilihan.

Aku membuka chat, mencari kontak temanku yang biasa nebengin aku ke kampus.

[Kael]

Bro, lu udah siap ke kampus?

[Raka]

Udah, kenapa?

[Kael]

Nebeng dong...

[Raka]

Lagi?

[Kael]

Gue fakir kendaraan, bro.

[Raka]

Yaelah, dasar beban negara. Oke, jemput di depan kosan lu ya.

[Kael]

Mantap, makasih bro, gue doain saldo lu selalu hijau.

[Raka]

Aamiin. Dan semoga saldo lu gak semakin mengenaskan.

Aku hanya bisa mendesah.

Raka, kenapa kau harus mengingatkanku pada kenyataan pahit ini...?

Dengan malas, aku menyeret diri ke kamar mandi, mengguyur tubuh dengan air dingin yang cukup untuk menyadarkanku bahwa aku masih hidup.

Lima belas menit kemudian, aku sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepala, mengenakan kaos dan celana santai.

Aku menuju meja makan, duduk, lalu mulai menyantap sarapan seadanya: mie instan Indomie goreng dengan telur setengah matang.

Hidangan sederhana ini mungkin tidak mewah, tapi dalam dunia mahasiswa... ini adalah makanan kelas atas.

Aku mengambil garpu dan bersiap menyantapnya, tapi sebelum itu...

"Scroll TikTok dulu lah."

Seperti kebiasaan buruk yang tidak bisa dihentikan, aku membuka ponsel dan mulai menggulir TikTok sambil mengaduk-aduk Indomie-ku pelan.

Di layar, muncul video-video random:

Cewek cantik joget-joget dengan lagu viral. (Oke, ini biasa.)

Kucing main pianika. (Lucu, tapi tidak membantu dompetku.)

Orang jualan es teh yang dihujat salah satu pendakwah, lalu dikasih backsound lagu sedih. (Kenapa malah aku yang ikut sedih?)

Aku mendesah. "Hidup gue kurang hiburan, nih."

Lalu, di sela-sela video-video absurd itu, mataku terpaku pada satu unggahan yang membuat semangatku kembali membara.

"Mahasiswa penerima Beasiswa KIPK bersiap! Dana akan segera cair minggu ini!"

Mataku langsung membelalak.

Tanganku gemetar.

Jantungku berdebar.

Aku menutup TikTok dan langsung buka Instagram kementrian pendidikan untuk memastikan kebenarannya.

Dan ya, benar!

Uang akan segera cair!

Aku langsung menggenggam ponsel erat-erat dan bersorak pelan.

"ALLAHUAKBAR! AKU SELAMAT! AKU MASIH BISA HIDUP!"

Aku bahkan menatap Indomie di depanku dengan penuh rasa haru.

"Sabar ya, setelah dana cair, kita naik level jadi Mie Gacoan Level 5."

Tapi kebahagiaan ini tidak berlangsung lama.

Aku kembali menggulir layar, dan tiba-tiba muncul berita yang langsung merusak suasana hatiku.

"Serangan Void Rift! Pertempuran besar terjadi di Jakarta! Sentinels berhasil mengatasinya!"

Jari-jariku berhenti.

Mataku menatap layar tanpa berkedip.

Void Rift...

Sial, ini mengingatkanku pada dua tahun lalu.

Aku meletakkan ponsel di meja dan menatap kosong ke depan.

Aku adalah seorang Sentinel.

Tapi sayangnya... Rank Ember.

Seakan-akan tubuhku sendiri tidak mau mengakui kenyataan pahit itu, aura suram mulai menyelimuti sekelilingku.

Kegelapan.

Depresi.

Bayangan masa depan yang suram.

"Sial, gue pikir gue bakal jadi karakter utama. Ternyata NPC."

Aku menunduk, menatap Indomie-ku yang perlahan kehilangan daya tariknya.

"Kenapa... Kenapa hidup begini?"

Tapi kemudian, aku kembali mendengar berita itu.

"Dan yang lebih mengejutkan, Sentinel Larasati, dari Order Garuda, kembali menorehkan pencapaian luar biasa!"

Aku langsung mendongak.

Larasati?

Aku buru-buru mengambil ponsel dan melihat berita itu lebih seksama.

"Void Rift Rank S berhasil ditutup oleh Order Garuda! Dengan Sentinel Larasati yang berada di Rank Ascendant, ia kembali menjadi pusat perhatian setelah berhasil menyelesaikan misi berbahaya ini!"

Aku terdiam.

Satu kata terlintas di pikiranku.

"Gila."

di umur dia yang masih muda dia udah jadi Sentinel tingkat tinggi, namanya masuk berita nasional, sementara aku...?

Mahasiswa semester 4 yang ngarep beasiswa cair biar bisa makan lebih enak.

Aku memegang kepala.

"Ya Allah... Aku udah jauh tertinggal."

Indomie yang tadinya terlihat seperti hidangan mewah kini terasa seperti makanan rakyat jelata.

Aku memegang garpu, menatap Indomie-ku dengan ekspresi kosong.

"Neng Larasati Rank Ascendant... Gue Rank Ember..."

Aku menarik napas dalam.

Lalu, dengan penuh rasa pasrah...

Aku menyumpit Indomie, memasukkannya ke mulut, dan mengunyah pelan.

"Ya udahlah, yang penting beasiswa cair."

Setelah menyantap habis Indomie goreng dengan telur setengah matang yang lezat, aku segera bergegas membereskan meja makan. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.15, dan kelas pertama hari ini dimulai pukul 08.00. Aku harus cepat.

Aku memasukkan laptop, buku catatan, dan alat tulis ke dalam tas. Sambil melakukannya, aku bergumam, "Hari ini kelas Bu Ratna, ya? Duh, semoga beliau lagi nggak bad mood." Bu Ratna adalah dosen yang terkenal tegas dan sering marah-marah tanpa alasan jelas. Banyak mahasiswa yang merasa kesulitan saat bimbingan karena beliau sulit ditemui dan terkesan menghindar.

Sambil mengingat-ingat materi yang akan dibahas, aku mendengar suara motor berhenti di depan kosan. Aku segera membuka pintu dan melihat Raka dengan motor CBR 150-nya yang mengkilap.

"Bro, lama amat! Nanti kita telat, nih," seru Raka sambil membuka helmnya.

"Maaf, maaf. Lagi siap-siap tadi," jawabku sambil mengunci pintu.

Raka menatapku dengan senyum jahil. "Eh, Kael, lo masih jomblo, kan? Pantesan lama siap-siap, nggak ada yang ngingetin, ya?"

Aku hanya mendengus. "Iya, iya. Bercanda mulu. Ayo, berangkat."

Aku naik ke boncengan, dan kami pun melaju menuju kampus. Jalanan pagi itu cukup padat, seperti biasa. Namun, saat mendekati perempatan Jalan Ir. H. Juanda arah Tangsel-Jakarta, kami mendapati kemacetan yang luar biasa.

"Apaan nih, macet banget?" keluh Raka.

Aku melihat ke depan dan melihat kerumunan serta barikade polisi. "Kayaknya ada sesuatu di depan, deh."

Setelah mendekat, kami melihat sebuah Void Rift berwarna merah menyala. Ini pertama kalinya aku melihat Void dengan warna seperti itu. Biasanya, Void Rift berwarna biru atau ungu.

"Eh, Kael, lo kan Sentinel tuh. Sana, atasi Void-nya biar kita bisa lewat," canda Raka sambil menyikutku.

Aku hanya bisa tersenyum kecut. "Haha, lucu. Gue kan cuma Sentinel Rank Ember. Ntar malah gue yang dimakan Voidborn."

Raka tertawa. "Iya juga, ya. Ya udah, kita ikutin arahan polisi aja."

Kami mengikuti instruksi petugas untuk mengambil jalur alternatif. Meskipun memakan waktu lebih lama, akhirnya kami tiba di kampus dengan selamat. Aku berharap kejadian Void Rift tadi tidak berdampak lebih luas dan bisa segera diatasi oleh para Sentinel yang lebih berpengalaman.

Setelah memarkir motor di area parkir kampus, aku dan Raka berjalan menuju gedung perkuliahan. Udara pagi itu cukup segar, meski suasana kampus tampak lebih ramai dari biasanya.

Saat kami mendekati pintu masuk gedung, seorang gadis dengan rambut panjang terurai melambai ke arah kami. Itu Chika Indriyani, teman seangkatan kami di jurusan Teknik Informatika.

"Hai, Kael! Hai, Raka!" sapa Chika dengan senyum ceria.

"Hai, Chika! Pagi-pagi udah semangat banget nih," balas Raka sambil tersenyum.

Aku mengangguk. "Pagi, Chik. Siap untuk kelas hari ini?"

Chika menghela napas. "Hari ini kelas Bu Ratna, kan? Duh, semoga beliau lagi nggak bad mood."

Aku tertawa kecil. "Tenang aja, kan ada AI. Kita bisa minta bantuan kalau ada yang susah."

Chika tersenyum. "Iya juga, ya. AI penyelamat mahasiswa."

Kami bertiga berjalan bersama menuju ruang kelas. Namun, saat hendak masuk, kami melihat kerumunan mahasiswa berhamburan keluar dengan wajah penasaran.

"Ada apa, sih?" tanya Raka.

Seorang mahasiswa yang lewat menjawab, "Order Garuda lagi lewat depan kampus! Mereka mau atasi Void Merah tadi!"

Mendengar itu, kami bertiga saling berpandangan. Tanpa berpikir panjang, kami ikut berlari ke arah gerbang kampus, bergabung dengan kerumunan yang sudah berkumpul di sana.

Di depan gerbang, jalanan dipenuhi oleh kendaraan dan orang-orang yang ingin melihat para Sentinel dari Order Garuda. Di kejauhan, aku melihat sosok-sosok dengan aura kuat berjalan dengan penuh percaya diri.

"Wow, itu mereka ya?" bisik Chika dengan mata berbinar.

"Iya, keren banget," jawab Raka.

Aku hanya terdiam, mengamati mereka dengan perasaan campur aduk. Di antara para Sentinel itu, aku mengenali sosok Larasati, Sentinel Rank Ascendant yang pernah menyelamatkanku dua tahun lalu.

Melihatnya sekarang, dengan aura yang begitu kuat dan dihormati banyak orang, membuatku merenung tentang posisiku sebagai Sentinel Rank Ember. Namun, aku segera menepis pikiran itu dan mencoba menikmati momen langka ini bersama teman-temanku.

Kael berdiri terpaku di antara kerumunan mahasiswa yang berdesakan di depan gerbang kampus. Iring-iringan kendaraan Order Garuda melaju pelan, dikawal ketat oleh pihak berwenang.

Di mobil paling depan, sebuah Mitsubishi Pajero berwarna hitam tampak mencolok. Atapnya terbuka, dan dari sana, seorang wanita berdiri sambil melambaikan tangan kepada para fans yang histeris.

Sentinel Larasati.

Pancaran aura kuatnya terasa bahkan dari kejauhan. Rambut hitamnya berkibar tertiup angin, dan seragam tempurnya yang khas membuatnya terlihat seperti seorang pahlawan dalam legenda.

Kael menelan ludah, matanya berbinar penuh kekaguman. Tanpa sadar, bibirnya berucap, "Aku ingin jadi bagian dari Order Garuda dan bertarung bersamanya."

Hening sejenak.

Lalu—

"PFFT—HAHAHAHA!"

Raka langsung tertawa terbahak-bahak hingga memegangi perutnya. "K-Kael, lo bercanda, kan?! Lu Sentinel Rank Ember, bro! Ember!"

Kael memutar bola matanya, tak terima dihina seperti itu. "Hei! Sentinel tetap Sentinel, tahu! Setidaknya gue udah bangkit, nggak kayak lo yang cuma bisa nonton dari pinggir!"

Chika ikut terkikik, tapi dia menepuk bahu Kael. "Ya ya, kita tahu kok, Kael si Sentinel Rank Ember."

Kael mendengus dan mendongak dengan bangga. "Dengar, meskipun gue Rank Ember, gue ini udah bertarung di Void Rift dua tahun lalu, tahu! Bahkan gue pernah bertarung bareng Sentinel Larasati!"

"Tunggu." Raka menyipitkan mata curiga. "Bukannya waktu itu lo diselamatin?"

"EHEHEHEHEHE..."

Kael buru-buru melihat ke arah lain, berpura-pura sibuk mengamati iring-iringan. "I-Ini bukan waktunya membahas masa lalu! Pokoknya, setelah kelas selesai, kita ke sana lagi. Gue mau lihat para Sentinel lebih dekat!"

Chika dan Raka saling pandang, lalu mengangguk setuju. "Baiklah, setelah kelas selesai, kita balik ke sana."

Dengan keputusan itu, mereka bertiga akhirnya berbalik dan berjalan menuju kelas—meski di dalam hati, Kael masih menyimpan impian gilanya untuk bertarung di sisi Larasati suatu hari nanti.

Sesampainya di kelas, Kael, Raka, dan Chika segera duduk di bangku masing-masing. Beberapa teman sekelas baru datang, ada yang menyapa dengan santai, ada yang centil dan sibuk bergosip di sudut ruangan, sementara beberapa lainnya tenggelam dalam game di pojokan dengan headset di kepala.

Kael mengeluarkan laptopnya dan langsung membuka file PowerPoint yang akan dibahas hari ini.

"Astaga, panjang banget materinya," gumamnya sambil menghela napas.

Tidak lama kemudian, pintu kelas terbuka. Seorang wanita dengan raut wajah serius dan postur tegap masuk ke dalam ruangan.

Bu Ratna.

Beliau adalah dosen mata kuliah Pengolahan Data dan Algoritma. Sosoknya terkenal tegas, gampang marah, dan—tentu saja—haus validasi. Banyak mahasiswa mengeluh bahwa beliau sulit ditemui saat butuh bimbingan, tapi kalau urusan gelar akademik dan prestasi pribadinya, beliau bisa bicara berjam-jam.

"Selamat pagi, Bu!" ucap seluruh kelas serempak.

"Pagi," jawab Bu Ratna dengan datar sambil membuka laptopnya.

Kelas pun dimulai.

Dengan suara monoton namun jelas, Bu Ratna mulai menjelaskan tentang pengolahan data berbasis struktur algoritma, bagaimana cara optimasi data dalam sistem, serta implementasinya dalam berbagai bidang, termasuk dalam teknologi AI dan machine learning.

Kael sebenarnya ingin fokus, tapi pikirannya mulai melayang-layang.

Tiba-tiba, kepalanya berdengung hebat.

"Aaaaaaaaahhhh!!! Tolong!!!"

Jeritan.

Suara ledakan.

Asap hitam.

Bayangan dari insiden dua tahun lalu melintas dalam pikirannya. Ia melihat orang-orang berlari ketakutan, suara makhluk asing mengaum, dan—

"KAEL!"

Kael tersentak. Raka menepuk bahunya tiga kali, wajahnya tampak khawatir.

"Eh?" Kael mengerjap.

"Lo ditanya sama Bu Ratna, bro."

Kael spontan menjawab, "Kehancuran dunia."

Hening.

Satu detik. Dua detik.

Lalu—

"HAHAHAHAHAHA!!!"

Seluruh kelas meledak dalam tawa. Bahkan mahasiswa yang sibuk main game di pojok pun melepas headsetnya dan ikut tertawa.

Wajah Bu Ratna langsung menggelap. "Kaelindra, kamu sebenarnya dengerin saya atau nggak?!"

Kael hanya bisa menunduk sambil nyengir. "Eh, maaf, Bu. Lagi agak pusing tadi."

Bu Ratna mendengus. "Jangan ngelamun di kelas saya! Sekarang perhatikan baik-baik. Dan sebagai hukuman, saya kasih tugas tambahan buat kamu."

"Hah?! Tapi, Bu—"

"Sudah, tidak ada tapi-tapian! Saya akan kirim materinya nanti."

Kael hanya bisa pasrah.

--

Setelah Kelas Berakhir

Setelah kelas selesai, Bu Ratna memberikan tugas individu ke masing-masing mahasiswa. Semua mulai mengeluh, tapi mereka tahu tak ada gunanya protes.

Saat keluar dari kelas, Raka menyenggol bahu Kael.

"Bro, lo sih tadi ngawur banget jawabnya, wkwk."

Chika ikut menimpali. "Gila sih, lo keren banget. Jawaban 'kehancuran dunia' tuh puncak ketidaksadaran!"

Kael hanya bisa mengusap wajahnya dengan lelah. "Udahlah, jangan diomongin lagi. Mending kita cari tempat buat ngerjain tugas ini sekalian lihat Red Void dari dekat."

Mereka pun sepakat untuk pergi ke kafe dekat perempatan, tepat di dekat lokasi Void tadi.

Mungkin, selain mengerjakan tugas, mereka juga bisa melihat Sentinel lebih dekat.

Setelah keluar dari kampus, aku, Raka, dan Chika memutuskan untuk nongkrong sambil mengerjakan tugas di sebuah kafe dekat perempatan Jalan Ir. H. Juanda. Pilihan kami jatuh pada Kaldi.id Cafe & Resto, yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No.43, Bakti Jaya, Kec. Sukmajaya, Kota Depok.

Begitu masuk, aroma kopi langsung menyambut kami. Interiornya modern dengan sentuhan kayu, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Kami memilih meja dekat jendela dengan pemandangan langsung ke jalan raya.

Sebelum duduk, aku berbisik ke Raka, "Bro, gue pinjem duit dulu ya. Saldo gue sekarat, nunggu KIPK cair."

Raka mengangguk sambil tersenyum. "Santai aja, bro. Pesan apa lu?"

"Caramel latte sama cookies red velvet aja," jawabku.

Raka dan Chika memesan minuman dan camilan lain sesuai selera mereka. Setelah memesan, kami duduk dan mulai membuka laptop untuk mengerjakan tugas individu yang diberikan Bu Ratna tadi.

Sambil menunggu pesanan datang, Raka menyalakan sebatang rokok Sampoerna Mild. Aku yang melihatnya langsung minta satu batang.

"Eh, lu udah minjem duit, minta rokok juga? Dasar," ejek Raka sambil menyerahkan sebatang rokok padaku.

Aku hanya nyengir. "Namanya juga temen, bro."

Kami pun mulai mengerjakan tugas sambil sesekali bercanda. Aku membuka ChatGPT untuk membantu memahami materi yang agak rumit. Chika sibuk dengan catatannya, sementara Raka lebih banyak mengobrol daripada bekerja.

Tiba-tiba, angin kencang bertiup dari arah Void Merah yang berada tak jauh dari kafe. Kami menoleh dan melihat kerumunan mulai berkumpul di sekitar area tersebut.

"Eh, ada apa tuh?" tanya Chika penasaran.

Kami segera berdiri dan mendekati jendela. Dari kejauhan, terlihat beberapa Sentinel keluar dari Void tersebut. Di antara mereka, aku mengenali sosok Larasati, Sentinel Rank Ascendant dari Order Garuda. Bersamanya, ada Sentinel lain dengan aura kuat, kemungkinan Rank Celestial.

Orang-orang langsung mengerubungi mereka, termasuk wartawan dari berbagai stasiun TV yang berlomba-lomba mewawancarai.

"Maaf, Sentinel Larasati! Apa perbedaan antara Void Merah dengan Void biasa? Apakah monster di dalamnya lebih kuat?" tanya salah satu wartawan.

Larasati dengan tenang menjawab, "Void Merah memiliki tingkat bahaya yang lebih tinggi, dan monster di dalamnya memang lebih kuat serta agresif. Namun, dengan kerjasama tim dan strategi yang tepat, kami berhasil mengalahkan nya tanpa korban jiwa"

Aku menatap kagum, namun kerumunan yang semakin padat membuat mustahil bagi kami untuk melihat lebih dekat.

"Yah, susah nih mau lihat lebih dekat," keluh Raka.

"Udahlah, kita balik aja ke dalam. Lanjutin tugas," ajakku.

Kami pun kembali ke meja kami di dalam kafe, melanjutkan tugas sambil membahas kejadian barusan.