Chereads / The Last Catalyst / Chapter 1 - Dua tahun lalu

The Last Catalyst

🇮🇩Haikal_Mazhari
  • 28
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 190
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Dua tahun lalu

Dua tahun yang lalu 2023, aku "Kaelindra Azrath" hanyalah seorang mahasiswa biasa-anak kampung dari Tasikmalaya yang beruntung bisa masuk ke salah satu universitas terbaik di Indonesia dengan beasiswa. Hidupku sederhana, rutinitasku tidak jauh dari kuliah, tugas yang menumpuk, dan begadang demi proyek coding yang tak ada habisnya.

Namun, semua itu berubah ketika Void Break terjadi di Beji, Depok, tepat di dekat kampusku, Universitas Indonesia.

Aku masih ingat hari itu dengan jelas ketika aku sedang nongkrong di sebuah kafe sambil mengerjakan tugas kuliah.

Malam yang tadinya cerah dengan sinar rembulan mendadak berubah kelam, seolah cahaya bulan digerogoti sesuatu yang tak kasat mata. Sebelum aku bisa memproses apa yang terjadi, Void Rift tiba-tiba terbuka di langit, dan dari dalamnya, Voidborns (makhluk kegelapan yang ada didalam void) berhamburan keluar.

Gedung-gedung tinggi di sekitar Margonda mulai runtuh, jalanan berubah menjadi lautan api, dan teriakan manusia yang dipenuhi kepanikan menggema di udara.

Aku hanya bisa berlari.

Bersama ribuan orang lainnya, aku mencoba menyelamatkan diri. Tapi tidak semua orang seberuntung itu. Aku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang ditangkap, dicabik-cabik, dan dihabisi dalam sekejap.

Aku masih bisa mendengar suara jeritan itu.

Tangisan yang bercampur dengan teriakan panik. Derap langkah kaki ribuan orang yang berlari tanpa arah. Ledakan demi ledakan menggema di kejauhan, membuat tanah bergetar seperti hendak runtuh.

Aku tidak tahu apakah aku sedang bermimpi atau masih sadar. Yang aku tahu, aku sedang berlari.

Paru-paruku terasa terbakar. Kakiku terasa berat, seperti sedang menarik beban ribuan ton. Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku tidak boleh berhenti.

Di belakangku, aku bisa mendengar cakar tajam yang menggores aspal. Nafas kasar yang seperti bisikan kegelapan.

Makhluk itu mengejarku.

"AARRGGHH!!"

Aku menoleh. Seorang pria tua yang berlari di sampingku tadi kini sudah tidak berbentuk lagi—tubuhnya terkoyak dalam satu gigitan.

Cairan merahnya masih terasa hangat saat percikannya menyentuh pipiku.

Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku hanya bisa terus berlari.

Di depan, seorang wanita muda jatuh tersandung. Dia berusaha bangkit, tapi sebelum sempat berdiri—

Craaakk!!

Sebuah tangan raksasa mencengkeram tubuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sebelum—

"TOLONG!!!"

Suara itu terputus.

Aku membuang muka, memaksa diri untuk tidak melihat lebih lama.

Aku tidak bisa menolong siapapun. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan diri sendiri.

"Ada Sentinel!!"

Suara seseorang membuatku menoleh ke depan.

Di kejauhan, aku bisa melihat sosok-sosok bercahaya melompat di antara reruntuhan. Dengan satu tebasan, mereka membelah tubuh makhluk-makhluk itu. Dengan satu hentakan, mereka menghancurkan tanah dan mengirimkan gelombang energi ke arah musuh-musuh mereka.

Aku melihat harapan.

Namun, aku juga melihat ketimpangan yang mengerikan.

Untuk setiap makhluk yang berhasil dibasmi, ada lebih banyak yang muncul dari retakan dimensi.

Untuk setiap orang yang diselamatkan, ada sepuluh lainnya yang kehilangan nyawa.

"BERGERAK KE ARAH KAMI! CEPAT!!" Salah satu Sentinel berteriak.

Aku mencoba berlari ke arah mereka, tapi—

GRRAAAARGHH!!!

Sebuah suara menggelegar tepat di belakangku.

Bummm!!!

Tanah di belakangku hancur. Aku terlempar ke depan, menghantam trotoar dengan keras.

Aku mencoba bangkit, tapi bayangan hitam sudah menutupi pandanganku.

Aku menoleh.

Makhluk itu lebih besar dari yang lain.

Cakarnya yang berlumuran cairan gelap berkilauan di bawah cahaya api yang membakar kota. Matanya yang merah bersinar seperti obor neraka.

Dan sekarang, ia mengincarku.

"A—aku harus lari..."

Tapi kakiku tidak bisa bergerak.

Aku membeku.

Aku akan lenyap di sini.

Monster itu mengangkat cakarnya tinggi-tinggi, siap menghujamkan ke tubuhku—

Lalu, aku melihatnya.

Seorang Sentinel melesat di udara, tubuhnya diselimuti cahaya biru dengan aliran listrik menyambar di tubuhnya.

"DASAR SAMPAH!!"

Dengan satu tebasan yang di iringi aliran listrik, makhluk itu terbelah dua.

Aku bisa merasakan hawa dingin yang tajam dari serangannya, bahkan dari jarak beberapa meter.

Cairan hitam monster itu meledak ke segala arah. Kepalanya jatuh di sampingku, dengan mata yang masih terbuka lebar seolah terkejut bahwa ia telah tumbang.

Aku mengangkat wajah, mencoba melihat siapa yang menyelamatkanku.

Sebuah sosok berdiri di bawah cahaya bulan yang terselimuti asap.

Rambut putih keperakan, mata tajam yang menyala biru, dan sebuah pedang besar yang memancarkan aura dingin.

Aku tidak tahu siapa dia.

Aku masih terdiam, terengah-engah di tanah, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Sosok itu— Sentinel berambut perak—berdiri dengan tenang di antara tubuh Makhluk Kegelapan yang terbelah. Udara di sekelilingnya masih bergetar akibat energi yang ia pancarkan.

"Lari ke tempat perlindungan," katanya, matanya menatap tajam ke arahku.

Aku masih terlalu syok untuk merespons.

"Tunggu apa lagi?!" Ia menggeram, lalu menoleh ke belakang. Lebih banyak Makhluk Kegelapan mulai bermunculan dari reruntuhan.

"Kita tidak bisa menangani semua ini," suara lain terdengar dari rekannya.

Penjaga itu mengklik lidahnya dengan kesal, lalu kembali menatapku.

"Pergi sekarang! Lewati gang di sebelah kanan dan terus ke arah timur! Ada tempat aman di sana!"

Aku tidak punya pilihan selain menuruti perintahnya.

Meski kakiku gemetar, aku memaksakan diri untuk berdiri dan berlari.

Jalanan di depanku penuh dengan reruntuhan. Bangkai kendaraan yang terbakar, tiang besi yang tumbang, dan tubuh-tubuh yang tergeletak tanpa bergerak.

Aku menggigit bibir, menahan rasa ingin mual. Aku tidak bisa berhenti.

Setiap beberapa meter, aku melihat orang-orang yang juga berusaha melarikan diri. Ada yang berhasil. Ada juga yang... tidak.

Aku ingin menolong mereka—tapi aku tahu aku bahkan tidak bisa menyelamatkan diri sendiri.

Aku melewati sebuah toko yang sudah hancur, melompat melewati pecahan kaca yang berserakan, dan akhirnya masuk ke sebuah gang sempit. Hanya beberapa ratus meter lagi.

Tapi kemudian—

"GGRRAAAAAHHH!!!"

Sebuah raungan menggema di belakangku.

Jantungku mencelos.

Tidak mungkin...

Aku menoleh—dan di sanalah ia berada.

Seekor Makhluk Kegelapan lain.

Tubuhnya lebih kecil dari yang tadi, tapi lebih cepat. Taringnya penuh dengan cairan merah segar.

Mataku membesar saat aku melihat sisa-sisa pakaian seseorang yang masih melekat di cakarnya.

"A—aku harus lari..."

Tapi Makhluk Kegelapan itu sudah melompat ke arahku.

Blaaam!!

Aku terjatuh ke tanah, punggungku menghantam keras tembok gang.

S—sial... S—sial... Aku akan habis...

Aku mencoba merangkak pergi, tapi Makhluk Kegelapan itu sudah berdiri tepat di atas tubuhku.

Aku tidak bisa kabur.

Aku hanya bisa melihat, perlahan-lahan, cakar hitamnya yang tajam terangkat di udara.

Aku berusaha berteriak.

Tapi suaraku tidak keluar.

Apakah ini akhirnya?

Seketika, rasa sakit luar biasa menembus dadaku.

Seperti ada sesuatu yang menyalakan api di dalam tubuhku.

Sakit.

Panas.

Darahku terasa mendidih, otot-ototku berdenyut liar, dan mataku terasa seperti terbakar.

Aku menggigit bibirku hingga terasa asin.

"A... AAAARRRGGGHHHHH!!!"

Sebuah cahaya menyala dari tubuhku.

Makhluk Kegelapan itu tersentak mundur, matanya menyipit karena kilatan energi yang tiba-tiba muncul.

Kilatan cahaya itu masih menyelimuti tubuhku.

Darahku mendidih, napasku memburu, dan seluruh tubuhku bergetar hebat-bukan karena ketakutan, tapi karena sesuatu yang lain.

Sebuah kekuatan yang menggelegak dalam diriku.

Aku mengepalkan tangan, merasakan energi yang berputar liar di dalam tubuhku

Makhluk Kegelapan di depanku-yang sebelumnya hendak menghabisiku menggeram, pupil merahnya menyempit.

Seolah... merasakan sesuatu dariku.

Tanpa berpikir panjang, aku melangkah maju.

Makhluk itu melompat-cakar hitamnya melesat ke arahku.

Aku mengangkat tangan secara refleks.

BANG!

Tubuhnya terpental ke belakang seolah baru saja dihantam palu godam.

Aku terdiam, mataku membelalak.

Aku baru saja... memukulnya?

Dan itu berhasil?!

Makhluk Kegelapan itu menggeram marah, lalu menerjangku lagi.

Tapi kali ini aku siap.

Aku menghindar ke samping, lalu menyalurkan seluruh kekuatan ke tanganku.

Dan aku memukulnya dengan sekuat tenaga.

BLAAGGHH!!

Pukulan itu menghantam wajahnya tulangnya remuk seketika.

Makhluk itu terhuyung, darah hitam menyembur dari rahangnya yang pecah. Aku tidak memberi kesempatan.

Aku berlari maju, menarik lenganku ke belakang lalu meledakkannya ke dadanya dengan satu pukulan terakhir.

DUAGGHHH!!!

Makhluk itu melayang ke belakang, menghantam tembok beton, dan langsung tak bergerak.

Aku merasakan sesuatu yang luar biasa di dalam tubuhku. Aku bukan manusia biasa lagi.

Aku bisa bertarung.

Aku bisa melindungi diri sendiri.

Aku bisa-

RRRRAAAAAAAAGGGGHHHHH!!!

Sebuah geraman dahsyat menggema diudara.

Aku tersentak, menoleh ke belakang.

Mataku melebar.

Bayangan raksasa menjulang di ujung jalan. Tiga ekor Makhluk Kegelapan jauh lebih besar, jauh lebih mengerikan.

Mereka memiliki tubuh hitam berbonggol dengan duri tajam menyembul di sepanjang punggungnya Cakar mereka berkilat, dan mata merah mereka bersinar seperti bara api.

Aku mundur selangkah.

Lalu dua langkah.

Tangan yang tadi penuh percaya diri mulai gemetar.

Apa-apaan ini...?

Makhluk yang tadi... ternyata hanya sekadar kroco?!

Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Aku bisa mengalahkan satu... aku mungkin bisa mengalahkan mereka juga.

Aku melangkah maju, mengepalkan tinju.

Salah satu dari mereka menggeram rendah

Lalu, sebelum aku bisa berkedip BOOOM!!!

Aku bahkan tidak sempat bereaksi.

Cakar raksasa menghantam tubuhku seperti truk melaju dengan kecepatan penuh.

"GAAGHHH!!!"

Aku terhempas ke udara terpental puluhan meter sebelum tubuhku menghantam aspal dengan keras.

CRAAKK!!

Darah menyembur dari mulutku. Aku merasakan tulang-tulangku retak.

Sial...

Sial

Aku tidak bisa.

Aku tidak bisa menang....

Tubuhku tidak bisa bergerak.

Pandanganku mulai kabur.

Aku hanya bisa melihat bayangan raksasa itu mendekat.

Apakah ini akhirnya...?

Lalu-

FWSHHH!!

Sebuah tebasan cahaya melintas di udara.

Dan sebelum aku bisa memproses apa yang terjadi Salah satu Makhluk Kegelapan terbelah menjadi dua.

Aku membelalakkan mata.

Seseorang berdiri di depanku.

Seorang wanita.

Rambutnya panjang berkibar di udara,

matanya setajam elang.

Di tangannya, ia menggenggam sebuah

pedang panjang berwarna perak.

"Kau lumayan tangguh untuk seseorang yang baru bangkit."

Aku masih terengah-engah, berusaha memproses situasinya.

Wanita itu menoleh ke samping, ke arah. seseorang yang berdiri di atas reruntuhan Pria berambut perak yang tadi menyelamatkanku.

Dan satu lagi seseorang yang berdiri di belakang mereka.

Seorang pria dengan Jubah putih,

tangannya menyala dengan energi hijau samar.

la melangkah mendekat dan menyentuh bahuku.

Rasa sakit di tubuhku langsung menghilang.

Aku menoleh ke arahnya, napasku masih tersengal. la tersenyum kecil.

'Tenang, kau selamat sekarang."

Aku masih sulit berkata-kata.

Tiga orang ini... Mereka bukan Sentinel biasa.

Wanita berpedang itu mengayunkan pedangnya, mengibaskan darah hitam dari bilahnya.

la menoleh padaku dan tersenyum tipis.

"Namaku Larasati.

"Sentinel Ascendant."

Aku tersentak ''Sentinel Ascendant...''

Salah satu tingkatan tertinggi dalam hierarki Sentinel Dan pria penyembuh di sampingku hanya tertawa kecil.

"Aku Damar," katanya santai. "Sentinel Celestial.

Aku menoleh ke pria berambut perak.

la hanya menyilangkan tangan dan mendengus kecil.

"Lain kali, jangan terlalu percaya diri."

Larasati tertawa kecil, lalu menoleh ke Damar.

"Bawa dia ke tempat evakuasi. Aku dan si keras kepala ini akan mengurus sisanya."

Damar mengangguk, lalu membantuku berdiri.

Aku masih belum bisa berkata-kata. Baru saja aku mengira bisa menghadapi Makhluk Kegelapan sendirian.

Dan dalam hitungan detik, aku hampir mati.

Aku terseret oleh Damar menjauh dari pertempuran, tubuhku masih terasa berat meski sebagian besar luka-lukaku sudah pulih.

Tapi meskipun aku semakin jauh...

Aku tetap tidak bisa mengalihkan pandanganku dari medan pertempuran.

Larasati berdiri tegak, pedangnya terhunus ke samping, helaian rambutnya berkibar diterpa angin.

Makhluk Kelam raksasa itu menggeram, kakinya menghentak tanah hingga bergetar.

Namun Larasati tidak bergerak.

Ia hanya berdiri di sana.

Menunggu.

Lalu—

Dalam sekejap, tubuhnya menghilang dari pandangan.

SWOOSH!

Kilatan perak berkelebat di udara.

Aku hanya bisa melihat bayangan samar dirinya yang melesat di antara kegelapan.

Dan sebelum Makhluk Kelam itu sempat bereaksi—

"Tari Pedang: Seribu Sayatan Badai!"

CING! CING! CING!

Puluhan—tidak—ratusan kilatan pedang melesat dalam hitungan detik.

Darah hitam muncrat ke segala arah.

Tubuh raksasa Makhluk Kelam itu tercabik-cabik seperti kertas.

Aku membelalakkan mata.

Dia menari.

Pedangnya bukan hanya senjata, tapi bagian dari dirinya.

Dan dalam satu gerakan terakhir—

"Pemutus Angkasa!"

Larasati mengayunkan pedangnya ke atas, menciptakan tebasan berbentuk bulan sabit berwarna keperakan.

SLAAASHH!!!

Tebasan itu melesat, membelah tubuh makhluk raksasa itu menjadi dua.

BRAKKK!!

Makhluk Kelam itu ambruk ke tanah dengan suara menggelegar.

Larasati hanya berdiri di atas reruntuhan, pedangnya meneteskan darah hitam.

Aku menelan ludah.

"Apa... apa dia manusia beneran?" gumamku tanpa sadar.

Lalu, sebelum aku sempat mencerna semuanya—

"Giliran gue."

Pria berambut perak itu melangkah maju, kedua tangannya mulai berpendar dengan aura biru pekat.

Makhluk Kelam yang tersisa menggeram, lalu berlari ke arahnya.

Namun dia tidak bergerak.

Ia hanya berdiri dengan tangan di saku celana, seolah menganggap makhluk raksasa itu tidak lebih dari semut.

Lalu, tepat sebelum cakar makhluk itu mencabiknya—

"Arus Langit: Petir Pemutus Jiwa."

DUARRRR!!!

Petir biru menyambar dari langit, menghantam tubuh makhluk itu hingga ke tanah.

Darah hitam menyembur ke segala arah, dan aroma gosong menyebar di udara.

Dan begitu asap menghilang...

Makhluk Kelam itu tidak ada lagi.

Yang tersisa hanyalah bekas hangus di tanah.

Aku ternganga.

Otakku masih berusaha memproses apa yang baru saja aku lihat.

Larasati menyarungkan pedangnya.

Pria berambut perak itu mengibaskan tangannya, seolah membersihkan debu yang tidak ada.

Dan aku...?

Aku hanya berdiri terpaku.

Sebelumnya, aku berpikir aku luar biasa.

Aku berpikir aku istimewa.

Aku berpikir aku bisa bertarung di level mereka.

Tapi kenyataannya...?

Aku bukan siapa-siapa.

Larasati tampak seumuranku... tapi dia seperti dewi perang.

Sementara aku...?

Aku hanyalah pecundang yang hampir mati di pertarungan pertamanya.

Tanpa sadar, tubuhku mulai melemas.

Kepalaku terasa berat.

Dan sebelum aku tahu...

Aku sudah terlelap.

Beberapa Jam Kemudian...

Aku terbangun dengan rasa nyeri di sekujur tubuh.

Kelopak mataku terasa berat saat aku perlahan membuka mata.

Yang pertama kali kulihat adalah langit-langit putih.

Dan aroma antiseptik segera memenuhi hidungku.

Aku di rumah sakit...?

Aku mencoba bergerak, tapi seluruh tubuhku terasa kaku.

Aku melirik ke bawah.

Oh, hebat.

Tubuhku dibalut perban seperti mumi.

Aku hanya bisa mendesah pasrah.

"Yah, setidaknya aku masih hidup..."

Tapi sebelum aku bisa menikmati ketenangan itu—

"Kaelindra Azarth?"

Aku menoleh dan melihat dua pria berjas hitam masuk ke ruangan.

Salah satunya mengenakan kacamata dan membawa tablet, sementara yang lain hanya berdiri dengan ekspresi datar seperti robot.

Mereka melangkah mendekat, lalu pria berkacamata itu berbicara dengan nada formal.

"Kami dari Divisi Pengawas Sentinels Order."

Aku langsung menegang.

Sentinels Order?!

Mereka datang langsung untukku?!

Apakah ini berarti...

Aku langsung membayangkan diriku masuk ke dalam jajaran elit.

Setidaknya aku pasti mendapatkan ranking yang lumayan tinggi, kan?

Aku batuk kecil, lalu mencoba duduk dengan sedikit usaha.

"Jadi... aku resmi menjadi Sentinel?" tanyaku dengan nada penuh harapan.

Pria berkacamata itu mengangguk.

"Benar. Berdasarkan hasil evaluasi dari pertempuran kemarin, kau dinyatakan sebagai Sentinel baru bangkit."

Aku mengangguk mantap.

Yes!

Aku sudah membayangkan mendapatkan ranking menengah. Mungkin Sentinel Luminous atau bahkan Radiant?

Tapi sebelum aku bisa tenggelam dalam mimpiku sendiri—

Pria itu melirik tablet di tangannya, lalu berkata dengan nada datar.

"Kau mendapat peringkat Sentinel Ember."

Aku mengedip beberapa kali.

"Tunggu, apa?"

"Sentinel Ember."

Aku terdiam.

"...Sentinel Ember?" ulangku dengan suara hampa.

"Ya. Peringkat paling rendah dalam sistem peringkat Sentinel."

Aku hanya bisa menatap kosong ke depan.

Sentinel Ember.

Ember.

Bukan Luminous.

Bukan Radiant.

Bahkan bukan Celestial.

EMBER?!

Aku ingin menangis.

Aku hampir mati di pertempuran pertamaku, melawan monster mengerikan, bangkit dengan kekuatan misterius, lalu digelembungkan harapan bahwa aku bisa jadi seseorang yang luar biasa...

Dan aku hanya mendapatkan peringkat Ember ???

Sementara aku masih dalam keterkejutan total, pria berkacamata itu menutup tabletnya dan berkata dengan nada netral,

"Selamat. Kau sekarang bagian dari Sentinel Order."

Aku hanya bisa memandang kosong ke depan.

Sementara di dalam kepalaku, hanya ada satu hal yang berputar-putar...

Kenapa harus EMBEEERRRRRR?!