---
Dimas menelan ludah saat mengikuti Raiden yang memimpin mereka menembus hutan menuju puncak gunung. Jalannya terjal, udara semakin tipis, dan setiap langkah terasa lebih berat. Meski begitu, ada energi tak kasat mata yang terasa mengalir di sekitar mereka, membuat Dimas merinding tanpa alasan jelas.
"Ngeri juga ya, tempatnya. Jangan-jangan ada arwah pelindung yang ikut latihan," Dimas berkomentar sambil melirik sekeliling, berusaha mengusir rasa takut.
"Tenang saja, Dimas. Arwah-arwah itu hanya penasaran sama kembang api yang kau buat," Raiden menjawab sambil tertawa. Dimas cemberut. "Wah, aku bukan artis kembang api, Raiden! Cuma coba-coba!"
Mereka tiba di area terbuka dikelilingi batu-batu besar berlumut, penuh ukiran kuno yang terlihat angker sekaligus memukau. Raiden menunjuk tumpukan batu yang tampak seperti target, beberapa masih ada bekas hangus, mungkin dari generasi sebelumnya. "Coba tembak titik-titik itu," kata Raiden sambil menyilangkan tangan, memasang ekspresi malas. "Ayo, sebelum aku ketiduran."
Dimas mengangguk dengan ragu, menatap target dengan campuran cemas dan penasaran. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan energi panas di telapak tangannya. Perlahan-lahan, bola api kecil muncul, lalu ia lemparkan. Sayangnya, bola api melenceng jauh dan hampir mengenai batu tempat Raiden berdiri.
Raiden mendecak, pura-pura kecewa. "Itu apa? Serangan atau kembang api malam tahun baru?"
Dimas meringis, lalu mencoba lagi. Kali ini, bola api melesat lebih cepat, tepat mengenai sasaran. Dengan bangga, Dimas mencuri pandang ke Raiden, berharap mendapat pujian. Namun, Raiden hanya mengangguk santai. "Lumayan… tapi jangan terlalu senang dulu. Kau masih punya jalan panjang."
Dimas hanya mengangguk, menahan napas. Dia tahu ini belum seberapa. Raiden kemudian memasang kuda-kuda dan berkata, "Sekarang kita coba yang lebih menantang. Kau harus menggunakan api dalam pertarungan jarak dekat… melawan aku."
Dimas terkejut. "Lawan… kau?"
"Ya, emang lawan siapa lagi?" Raiden menyeringai, melangkah mendekat. "Kalau kau nggak berani melawan gurumu, gimana mau hadapi lawan di luar sana?"
Dimas menggaruk-garuk kepala, canggung. "Tapi… aku baru latihan, Raiden. Kayaknya ini agak ekstrem deh…"
Raiden mengangkat bahu. "Ekstrem? Nanti kalau sudah di medan tempur, baru tahu ekstrem yang sebenarnya. Sekarang, ayo!" Tanpa peringatan, Raiden melancarkan serangan. Dimas terpaksa menghindar, lompat-lompat panik. "Eh, ini serius ya? Pelan-pelan dong!" seru Dimas sambil menangkis.
"Pelan? Ini sudah paling pelan, Dimas. Aku cuma pakai setengah kekuatanku." Raiden tertawa, makin memancing emosi Dimas.
Dimas mulai mengumpulkan tekadnya, mencoba mengeluarkan api sambil bergerak. Dengan konsentrasi penuh, dia mengayunkan pukulan berapi yang hampir mengenai Raiden. Namun, gurunya itu berhasil menghindar dengan cekatan.
Raiden menggeleng-geleng sambil tertawa. "Lihat dirimu. Masih jauh, Nak."
"Aku ini muridmu, loh," Dimas balas dengan nada kesal. "Kalau aku payah, ya siapa lagi yang salah kalau bukan gurunya?"
Raiden tertawa keras mendengar balasan itu. "Oh, jadi sekarang menyalahkan guru, ya? Baiklah, ayo coba lagi!"
Dimas menghela napas, lalu menarik semua energi dalam dirinya. Kali ini, dia merasa lebih terkendali. Dengan penuh tekad, dia melayangkan pukulan berapi yang akhirnya cukup kuat menghantam salah satu batu besar.
Raiden bersiul kagum. "Nah, itu baru kekuatan yang bisa dibanggakan!"
Dimas tersenyum bangga, lalu mendekat sambil berkata, "Jadi, gimana? Aku udah lulus latihan ini?"
Raiden mengangguk, tapi tiba-tiba mengacak-acak rambut Dimas, membuatnya kesal. "Lumayan, lah. Tapi besok latihan lagi."
Dimas melotot tak percaya. "Besok? Aku udah capek, Raiden!"
"Eh, kalau pelindung capek tiap habis latihan, bakal repot nanti," kata Raiden sambil tertawa. "Latihan terus, biar kuat, Dimas."
Dimas hanya bisa mendesah, tetapi di dalam hatinya, dia merasa bangga. Hari ini, ia tidak hanya menaklukkan api dalam dirinya, tetapi juga sedikit lebih memahami arti tanggung jawab sebagai pelindung. Dan, meskipun gurunya itu sering menggodanya, Dimas tahu bahwa Raiden percaya padanya.
Mereka pun duduk di atas batu besar, mengambil napas sejenak. Dimas menyandarkan punggungnya, merasakan kehangatan matahari di wajahnya. "Jadi, Raiden, setelah semua ini… apa yang harus kulakukan untuk jadi pelindung terbaik?"
Raiden mengalihkan pandangannya ke Dimas dengan senyum nakal. "Pertama, belajar dari kesalahan. Kedua, jangan sekali-kali menilai kekuatan orang dari penampilannya. Ingat, kadang orang yang tampak lemah bisa mengeluarkan kekuatan besar. Seperti… ehm, siapa ya? Ah, seperti aku!"
Dimas tak bisa menahan tawa. "Kau mau disamakan dengan orang yang lemah? Itu terlalu jauh, Raiden. Mungkin juga mirip dengan… pohon bonsai? Kecil, tapi bisa memberi inspirasi!"
Raiden tertawa, menepuk paha Dimas. "Bonsai? Haha! Baiklah, aku terima. Tapi jangan lupa, bonsai itu bisa sangat kuat juga, apalagi saat dipangkas!"
"Kalau gitu, aku mesti pangkas rambutmu!" Dimas langsung merespons.
Raiden mengelus rambutnya yang berantakan. "Jangan, jangan! Ini gaya rambut 'pelindung legendaris'! Coba saja potong, nanti kau menyesal!"
Dimas melirik gurunya dengan curiga. "Gaya rambut 'pelindung legendaris'? Serius, ini lebih mirip gaya rambut 'gugup'."
"Eh, itu hanya karena aku sedang mempertahankan aura misterius!" Raiden membela diri, pura-pura tersinggung.
"Kalau gitu, aura misteriusmu sudah hilang karena aura konyolmu." Dimas berusaha menahan tawa.
Raiden mengangkat bahu dengan angkuh. "Well, kadang menjadi konyol itu adalah bagian dari jadi legendaris. Ingat, Dimas, pelindung bukan hanya tentang kekuatan. Semangat dan humor juga penting!"
Dimas mengangguk setuju, merasakan bahwa latihan mereka tidak hanya menguatkan tubuh, tetapi juga menguatkan ikatan mereka. "Baiklah, guru konyol. Mari kita hadapi dunia bersama-sama!"
Raiden tersenyum lebar. "Itu semangat! Sekarang, ayo kita latihan lagi. Ini baru permulaan, dan aku butuh lebih banyak kembang api malam tahun baru!"
Dimas menghela napas sambil menunduk. "Kalau gitu, siap-siap terima serangan balasan, ya!"
Mereka berdua tertawa, dan dengan semangat baru, kembali berlatih. Dalam hati Dimas, ia tahu bahwa perjalanan menjadi pelindung bukan hanya soal latihan, tetapi juga tentang pertemanan dan kenangan yang akan selalu dikenang selamanya.
Tiba-tiba, Raiden mengalihkan perhatian Dimas dengan suara berisik. "Eh, Dimas! Lihat ke sana!" Dia menunjuk ke arah hutan, di mana sekelompok hewan liar tampak melintas.
"Gila! Apa itu? Singa?" Dimas terperanjat.
Raiden tertawa terbahak-bahak. "Bodoh! Itu hanya kelinci! Kau lebih takut dari bocah kecil!"
Dimas mencibir, "Kelinci? Kau yakin itu bukan hewan mitologi? Mereka bisa saja jadi monster berbahaya!"
Raiden hanya menggelengkan kepala, tersenyum, lalu menepuk punggung Dimas. "Kau ini, Dimas. Pikirkan seperti seorang pelindung. Kelinci tidak akan menyakiti kita."
"Yah, kalau sampai kita diserang kelinci raksasa, aku tetap akan bersembunyi di belakangmu!" Dimas menjawab sambil berlari kecil ke belakang Raiden, menganggap itu bercanda.
"Tentu, karena aku pelindung terkuat!" Raiden berseru dengan penuh percaya diri.
Dimas hanya bisa tertawa, dan bersama-sama mereka melanjutkan latihan, menantikan petualangan yang akan datang dengan semangat