-----
Pagi itu, Dimas bangun dengan tubuh pegal luar biasa, merasa seolah telah dihajar bertubi-tubi oleh batu-batu yang ia latih kemarin. Dengan terengah-engah, ia bangkit dari tempat tidur, meregangkan tubuh sambil menggerutu kecil. "Astaga… kenapa rasanya seperti habis dicetak jadi batu bata?"
Namun, meskipun tubuhnya berontak, semangat Dimas tetap menyala. Latihan bersama Raiden berhasil membuatnya lebih dekat pada pemahaman elemen tanah, dan itu memberinya tekad baru. Hari ini, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih fokus lagi, berharap benar-benar bisa mengendalikan elemen tanah secara sempurna.
Di lapangan, Raiden sudah menunggu dengan ekspresi serius. Melihatnya, Dimas tertawa kecil meski menahan pegal di bahunya.
"Siaaap, Dimas?" Raiden menyambutnya dengan anggukan.
"Siap, Mentor!" Dimas memberi hormat main-main. "Tapi… boleh nggak, kali ini latihannya ada sesi pijat gratis?" tanyanya sambil tertawa.
Raiden menggeleng dengan senyum masam. "Nggak ada yang namanya pijat gratis di sini, Dimas. Yang ada tambah latihan. Ayo, lihat batu-batu itu."
Di hadapan mereka, ada tiga jenis batu dengan ukuran berbeda. Batu pertama tampak kecil, sebesar kepalan tangan. Batu kedua berukuran sedang, hampir sebesar kepala orang dewasa, dan batu ketiga… yah, bahkan lebih besar dari Dimas sendiri.
Dimas menggaruk kepala. "Mentor, yang terakhir itu serius buat aku? Bukannya ini latihan, bukan proyek konstruksi?"
Raiden menahan tawa. "Kau sendiri yang bilang mau jadi lebih kuat, kan? Bukan mau jadi murid pemula terus."
Dimas menghela napas dalam, lalu berkata dengan mantap, "Baiklah, kalau begitu. Ayo kita mulai."
Raiden memintanya untuk mencoba mengangkat batu yang terkecil dulu, tetapi kali ini tantangannya berbeda. Bukan hanya mengangkat dan menahan di udara, melainkan Dimas harus memutarnya secara stabil.
Dengan konsentrasi penuh, Dimas merasakan ketenangan yang memancar dari dalam dirinya, mencoba menyatukan diri dengan bumi. Perlahan, batu kecil itu mulai bergetar, terangkat dari tanah, lalu berputar dengan kecepatan yang pelan. Ia tersenyum bangga, merasa mulai menguasai teknik ini. Namun, tiba-tiba batu itu bergoyang-goyang dan jatuh ke tanah.
"Fokus, Dimas! Ingat, elemen tanah itu butuh ketenangan dan keseimbangan. Bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga kestabilan," kata Raiden.
Dimas mengangguk, menyerap setiap kata Raiden. Ia mencoba lagi, kali ini lebih tenang dan teliti. Batu itu kembali terangkat, berputar lebih stabil dari sebelumnya, hingga akhirnya ia berhasil menahannya cukup lama.
Raiden menepuk tangannya. "Bagus! Sekarang coba batu yang sedang."
Wajah Dimas berubah tegang. Batu sebesar itu tentu jauh lebih sulit diangkat, apalagi dikendalikan. Namun, ia berusaha menjaga semangatnya tetap tinggi. Dengan napas yang diatur, ia berdiri tegak, menutup mata, dan kembali merasakan energi bumi. Batu itu bergetar, lalu terangkat beberapa inci dari tanah sebelum kembali jatuh.
Raiden mengangguk. "Tenang saja. Itu belum sempurna, tapi sudah cukup bagus untuk tahap awal."
Dimas mencoba beberapa kali, setiap kali dengan hasil yang semakin baik. Ia mulai merasa nyaman dengan bebannya, bahkan bisa sedikit mengatur arah batu itu bergerak. Setelah beberapa kali percobaan, ia berhasil menahan batu itu cukup lama, meski terengah-engah.
"Mentor," kata Dimas, terengah, "kalau aku berhasil yang batu besar, traktir aku makan siang, dong."
Raiden tertawa kecil. "Boleh, asal kamu juga bisa nyiapin nasi sekalian."
Dimas tertawa, tapi dalam hatinya menyiapkan tekad besar. Batu terakhir ini lebih besar dari yang bisa ia bayangkan. Ia tahu ini akan jauh lebih berat, baik secara fisik maupun mental. Namun, ia merasa tertantang.
"Baiklah, yang terakhir," ujar Raiden, dengan nada yang lebih serius.
Dimas menarik napas panjang, menyiapkan tubuhnya dengan mantap. Saat ia mulai menutup mata, ia merasakan energi yang lebih kuat dari sebelumnya. Ia merasa benar-benar menyatu dengan bumi, seolah dirinya adalah bagian dari tanah. Dengan penuh keyakinan, ia mengangkat tangannya, merasakan getaran dari tanah yang menyebar ke seluruh tubuhnya.
Batu besar itu bergetar hebat, lalu terangkat perlahan-lahan. Keringat bercucuran di wajah Dimas, tetapi ia tetap fokus. Dengan semua konsentrasi yang dimilikinya, ia berhasil mengangkat batu itu beberapa inci ke udara, lalu semakin tinggi.
Raiden tersenyum penuh bangga melihat perkembangan ini. "Luar biasa, Dimas!"
Namun, pada saat yang sama, Dimas kehilangan kendali sedikit, dan batu itu terjatuh dengan suara keras. Dimas terkejut, tetapi kemudian tertawa kecil sambil mengelap keringatnya.
"Saya rasa… saya harus latihan lagi, Mentor. Eh, jadi soal traktiran itu gimana?"
Raiden menggeleng sambil tersenyum. "Kalau begitu, mari makan siang dulu. Kamu sudah cukup berjuang hari ini."
Mereka berdua duduk di bawah pohon, menikmati makan siang sederhana yang dibawa Raiden. Sambil makan, mereka mengobrol ringan tentang kehidupan sehari-hari. Dimas menceritakan pengalaman lucunya saat tanpa sengaja membuat tanah bergetar di kamar ketika latihan.
"Jadi, kamarmu jadi berantakan?" Raiden bertanya sambil tertawa.
"Iya, Mentorku yang satu itu benar-benar galak soal kebersihan!" Dimas menjawab sambil tertawa, membayangkan betapa berantakannya kamar itu tadi malam.
Setelah makan, Raiden memberikan beberapa tips tambahan yang lebih santai namun penuh makna. Ia mengajarkan bagaimana tetap tenang dalam segala situasi, dan menasihati Dimas bahwa kekuatan sebenarnya dari elemen tanah adalah kesabaran.
"Dimas," kata Raiden dengan bijak, "elemen tanah adalah tentang kekuatan yang tak tergoyahkan. Tetapi untuk mencapainya, kau harus belajar menerima dan mengendalikan setiap tantangan dengan tenang."
Dimas merenungkan kata-kata itu, lalu menatap batu besar di hadapannya. Tanpa disadari, kata-kata Raiden memberinya keberanian yang baru. Di penghujung sore itu, mereka melanjutkan latihan, dengan Dimas yang semakin percaya diri.
Ketika matahari mulai tenggelam, Dimas berhasil mengangkat batu besar itu dengan lebih stabil dan menahannya lebih lama dari sebelumnya. Dengan napas tersengal, ia tersenyum penuh kebanggaan.
Raiden menepuk bahunya, berkata dengan bangga, "Bagus, Dimas. Kau benar-benar hebat hari ini. Teruslah latihan, karena ini baru permulaan."
Dimas tertawa kecil, merasakan tubuhnya benar-benar lelah tetapi hatinya dipenuhi kepuasan. Di balik rasa sakit dan pegal itu, ia tahu bahwa kekuatan elemen tanah kini benar-benar menyatu dalam dirinya, membuatnya merasa lebih kuat dari sebelumnya.
"Akhirnya, aku nggak cuma jadi penonton lagi," katanya sambil tersenyum bangga.
Raiden mendekatinya, dan memberikan apresiasi dengan bangga. "Kau benar-benar hebat, Dimas. Kalau kau terus begini, aku harus hati-hati, jangan-jangan nanti aku yang kau angkat."
Dimas tertawa kecil. "Mentor, kalau itu yang diminta… mungkin suatu saat bisa dicoba."
Mereka tertawa bersama, dan Dimas akhirnya duduk di atas batu sambil menyeka keringat di dahinya. Meski lelah, dia merasa lebih kuat, lebih menyatu dengan kekuatan tanah yang baru saja dikuasainya.
"Tapi akankah cukup kuat?" Untuk menghadapi ancaman yang akan datang.