Berikut revisi ceritamu dengan beberapa tambahan untuk memperkuat suasana, membangun ketegangan, dan memberikan hook yang lebih kuat di akhir.
---
Misteri di Desa Wersah
Mentari baru saja terbit, memancarkan cahaya keemasan yang menghangatkan tanah. Udara pagi di markas Eclipsara terasa sejuk dan segar. Dimas dan Mira dipanggil ke ruangan Raiden, ketua para mentor.
Ruangan itu sederhana, namun penuh wibawa. Rak-rak kayu berisi kitab-kitab kuno berjajar di dinding, dan di tengahnya terdapat meja besar tempat Raiden duduk dengan tatapan serius.
"Dimas, Mira, aku punya tugas untuk kalian," kata Raiden, suaranya tenang namun tegas.
Dimas dan Mira saling bertukar pandang sebelum Mira bertanya, "Tugas apa?"
Raiden menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya mengeras. "Desa Wersah mengalami gangguan. Setiap malam, seorang wanita tua muncul di ladang mereka. Setiap kali dia datang, tanaman layu, aroma aneh memenuhi udara, dan penduduk desa mulai bermimpi buruk. Kami ingin kalian menyelidiki kejadian ini."
"Nenek sihir?" Dimas mengulang dengan nada skeptis.
Raiden mengangguk. "Kami belum tahu pasti. Tapi ada catatan lama tentang seorang penyihir yang tinggal di sekitar desa itu puluhan tahun lalu. Kami tidak tahu apakah ini orang yang sama atau sesuatu yang lain."
Mira berpikir sejenak. "Jadi, kami harus menangkapnya?"
"Jangan gegabah," Raiden memperingatkan. "Tugas kalian hanya mengamati dan mengumpulkan informasi. Jangan bertindak sebelum kalian benar-benar memahami situasinya."
Dimas menatap Raiden dengan penuh keyakinan. "Kami mengerti. Kami akan menyelesaikan tugas ini."
Raiden tersenyum tipis. "Bagus. Dan Dimas..."
Dimas mengangkat alis. "Apa?"
"Jangan banyak mengeluh."
Mira tertawa kecil, sementara Dimas mendengus. "Aku bukan orang yang suka mengeluh, Raiden."
"Benar, kau hanya suka protes," Mira menyindir sambil tersenyum jahil.
Raiden mengangguk puas. "Baiklah, kalian berdua berangkat sekarang. Waktu kita tidak banyak."
---
Perjalanan ke Desa Wersah
Dimas dan Mira berjalan menyusuri jalan berbatu menuju desa. Langit cerah, tetapi hembusan angin yang terlalu dingin untuk musim ini membuat mereka sedikit waspada.
"Jadi, menurutmu nenek itu benar-benar penyihir?" tanya Dimas, menendang kerikil kecil di jalannya.
Mira mengangkat bahu. "Bisa jadi. Tapi aku ingin tahu lebih dulu sebelum menilai."
Dimas mengernyit. "Kau tidak takut?"
"Tentu saja aku takut. Tapi aku juga penasaran," jawab Mira sambil tersenyum.
Perjalanan mereka terasa lancar, sampai tiba-tiba Mira berhenti. "Dimas, lihat itu."
Dimas mengikuti arah pandang Mira. Beberapa meter dari mereka, di tepi hutan, ada sebidang tanah yang tandus, dikelilingi tanaman layu berwarna kecokelatan. Akar-akar mencuat dari tanah seperti tangan yang mencoba meraih sesuatu.
Dimas berjongkok, menyentuh tanah dengan ujung jarinya. Rasanya dingin, lebih dingin dari seharusnya. "Ini aneh. Seperti... mati."
"Seperti yang terjadi di desa," gumam Mira.
Mereka saling bertukar pandang sebelum melanjutkan perjalanan, perasaan waspada semakin meningkat.
---
Tiba di Desa Wersah
Desa Wersah tampak damai di siang hari. Rumah-rumah kayu berdiri di antara ladang hijau yang luas. Namun, suasana terasa berat. Wajah penduduk desa dipenuhi ketegangan, seolah mereka menunggu sesuatu yang buruk terjadi.
Seorang pria tua, yang tampaknya kepala desa, berjalan mendekati mereka.
"Kalian dari Eclipsara?" tanyanya dengan suara parau.
Dimas mengangguk. "Benar. Kami datang untuk menyelidiki masalah kalian."
Pria itu menghela napas panjang, matanya yang lelah dipenuhi harapan. "Setiap malam, wanita itu muncul di ladang. Tanaman kami layu, udara menjadi berat, dan anak-anak mulai bermimpi buruk. Kami takut ini bukan sekadar sihir biasa."
Mira menatapnya serius. "Apakah ada yang pernah melihatnya dari dekat?"
Pria itu menggeleng. "Tak seorang pun berani mendekat. Beberapa orang mengatakan dia memiliki mata hitam kosong, seolah bukan manusia lagi."
Dimas menyilangkan tangan. "Dia selalu muncul di tempat yang sama?"
"Ya," pria itu menunjuk ladang di tepi hutan. "Di sana, selalu di sana."
Mira menoleh ke Dimas. "Kita harus berjaga di sana malam ini."
Dimas mengangguk. "Dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi."
---
Malam Pertama Berjaga
Langit malam dipenuhi bintang, tetapi udara di ladang terasa lebih dingin dari seharusnya. Angin yang awalnya berhembus pelan tiba-tiba berhenti, membuat suasana menjadi mencekam.
Dimas berdiri dengan tangan di saku, matanya menyapu area sekitar. "Aku tidak suka ini."
Mira duduk di atas batu, memperhatikan ladang dengan tenang. "Sabar, Dimas. Kita baru mulai."
Tiba-tiba, udara berubah. Bau busuk yang menusuk memenuhi ladang. Dimas menutup hidungnya. "Kau mencium ini?"
Mira mengangguk, wajahnya tegang.
Dari kegelapan, sebuah sosok muncul perlahan. Seorang wanita tua dengan pakaian lusuh dan rambut putih kusut berjalan tertatih-tatih ke tengah ladang. Tangannya yang kurus menggenggam tongkat kayu tua yang berukir simbol-simbol aneh.
Dimas menelan ludah. "Itu dia."
Mira mengamati dengan saksama. Nenek itu mulai merapalkan sesuatu—mantra dalam bahasa kuno. Tanah di bawah kakinya bergetar, dan tanaman di sekitarnya layu seketika.
"Dia... menyerap kehidupan dari tanaman?" bisik Mira.
Dimas menyipitkan mata, mencoba memahami. Namun, saat dia hendak melangkah lebih dekat, sesuatu terjadi.
Nenek itu berhenti merapal dan perlahan menoleh ke arah mereka.
Mata hitam kosongnya menatap langsung ke mata Dimas.
Dimas merasakan jantungnya berdetak kencang. Rasanya seperti ada sesuatu yang merayap ke dalam pikirannya, menyelidiki, menelusuri setiap ingatan dan ketakutannya.
Mira menarik lengan Dimas. "Dimas, kita harus pergi."
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, nenek itu mengangkat satu tangan, dan tanah di sekitar mereka mulai bergetar.
Lalu, dalam sekejap, dia menghilang, meninggalkan simbol aneh yang bersinar redup di tanah.
Dimas dan Mira berdiri membeku, saling bertatapan.
"Apa yang baru saja terjadi?" bisik Dimas.
Mira menatap simbol di tanah, rahangnya mengencang. "Aku tidak tahu. Tapi kurasa kita baru saja menarik perhatiannya."