---
Sore itu, Dimas dan Raiden berjalan menuruni bukit setelah hari yang panjang dan latihan yang melelahkan. Udara sore terasa sejuk, angin bertiup lembut, dan matahari mulai bersembunyi di balik bukit, meninggalkan jejak warna jingga di langit.
"Kalau latihan denganmu begini terus, aku bakal jadi manusia paling kekar se-Eclipsara," Dimas bergumam sambil memijat bahunya yang pegal.
Raiden tertawa kecil, melihat lelahnya Dimas. "Kalau kau jadi kekar, aku bisa berhenti mengawasimu. Cukup kasih tugas, dan aku santai di rumah."
Dimas mencibir, "Ah, jadi ini alasanmu. Latihan berat hanya supaya kau bisa leha-leha?"
Raiden mengangkat bahu dengan senyum jahil. "Kau tahu aku suka istirahat, tapi kan aku juga suka lihat murid-muridku jadi kuat."
Dimas memutar mata. "Tapi serius, mungkin besok kasih aku latihan yang lebih… ya, ringan sedikit? Punggungku rasanya sudah copot."
"Aduh, cengeng amat!" Raiden menggodanya, tapi dari nada bicaranya jelas dia hanya bercanda.
"Bilang aja kamu gak mau ngasih istirahat. Jangan-jangan nanti aku malah disuruh lari keliling bukit," Dimas membalas sambil tertawa.
Raiden tersenyum, merasa senang dengan semangat Dimas. Namun, tiba-tiba Raiden menghentikan langkah, wajahnya berubah serius. Ia menajamkan pandangannya ke arah hutan di sekitar mereka.
"Dimas, bersiap," bisik Raiden. "Kita diikuti."
Dimas mematung sejenak, mengamati sekeliling dengan perasaan waspada. Ia pun mendengar langkah ringan yang nyaris tak terdengar, semakin mendekat ke arah mereka.
Dari balik pepohonan, seorang pria bertubuh kekar muncul, wajahnya tertutup sebagian, hanya memperlihatkan matanya yang tajam. Di tangan kirinya, ia menggenggam pedang panjang yang memancarkan kilatan cahaya redup.
"Kaizen," gumam Raiden dengan nada serius.
Pria itu menyeringai tipis. "Raiden. Dan ini… murid barumu, ya?" Kaizen memandangi Dimas dengan tatapan tajam, seolah mengevaluasi.
Raiden memasang kuda-kuda, bersiap. "Apa yang kau inginkan?"
"Master Shadow menginginkan nyawa kalian," jawab Kaizen dingin. Tanpa basa-basi, ia mengangkat pedangnya, bersiap untuk menyerang.
Dimas melirik Raiden dengan senyum tegang. "Kayaknya kita gak bakal dikasih pulang cepat, nih."
Raiden hanya tersenyum kecil, "Nah, latihan tambahannya datang lebih cepat dari yang kau minta tadi."
Pertarungan Dimulai
Kaizen bergerak cepat, meluncur ke arah mereka dengan ayunan pedang yang mengarah ke Raiden. Raiden mengangkat tongkatnya, menangkis tebasan itu dengan kuat. Terdengar suara logam beradu yang keras, menggetarkan udara.
"Dimas, serang dari samping!" seru Raiden.
Dimas segera bergerak ke kanan, mengumpulkan energi angin di telapak tangannya. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan angin tersebut ke arah Kaizen, mencoba memecah fokusnya. Kaizen terdorong mundur beberapa langkah, namun segera menyeimbangkan diri dan menyerang Dimas dengan kecepatan tinggi.
"Lincah juga kau, bocah!" Kaizen mendengus sambil melancarkan tebasan pedang ke arah Dimas.
Dimas berusaha mundur, menghindari ayunan pedang itu, tapi Kaizen terus mendesaknya. Raiden segera bergerak, melancarkan serangan energi sihir ke arah Kaizen, memaksa pria itu mengalihkan perhatiannya.
"Kau harus lebih cepat, Dimas!" ujar Raiden sambil berusaha menahan tebasan Kaizen yang berat.
Dimas mengangguk cepat, berusaha mengikuti irama pertempuran. Ia merapal mantra angin lagi, kali ini membuat sebuah perisai tipis di sekeliling tubuhnya, yang memberinya kecepatan tambahan. Dengan perisai itu, ia mendekati Kaizen dari sisi lain, mencoba memanfaatkan celah di pertahanan pria itu.
Kerjasama Sihir dan Serangan Fisik
Raiden dan Dimas bekerja sama dengan sinkron. Raiden menggunakan kekuatan sihirnya untuk menyerang dan bertahan, sementara Dimas mengandalkan kecepatan anginnya untuk menyelinap dan memukul dari samping. Meski Kaizen adalah petarung yang tangguh, mereka berdua berhasil membuatnya mundur sedikit demi sedikit.
Raiden tersenyum sekilas. "Hampir saja kau kena, Kaizen."
Kaizen hanya mendengus. "Jangan sombong dulu, Raiden."
Dengan kekuatan penuh, Kaizen melompat mundur, menarik napas dalam-dalam sambil menyalurkan energi gelap ke pedangnya. Mata Dimas melebar saat melihat aura merah pekat yang menyelubungi senjata Kaizen.
"Oh, ini buruk…" Dimas bergumam.
"Tenang, jangan panik," Raiden menenangkan. "Fokus saja dan jangan biarkan dia mendekat."
Kaizen menyerbu lagi, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar. Ia mengayunkan pedangnya dengan brutal, memecah perisai Dimas dengan mudah. Raiden menangkis serangan tersebut, tapi kekuatan gelap di pedang Kaizen membuatnya terhuyung mundur beberapa langkah.
Melihat Raiden hampir jatuh, Dimas tidak tinggal diam. Ia berlari, meluncurkan diri dengan angin, dan melayangkan pukulan yang diperkuat elemen air ke bahu Kaizen. Serangan itu cukup membuat Kaizen kehilangan keseimbangan sejenak.
"Bagus, Dimas! Jangan biarkan dia punya kesempatan untuk bangkit!" seru Raiden.
Aksi Bertahan dan Serangan Terakhir
Kaizen bangkit dengan senyum licik di wajahnya, seolah menantang. "Bagus juga kerja sama kalian. Tapi… itu belum cukup."
Dengan kecepatan luar biasa, Kaizen mengubah taktik, kini menyerang Dimas dengan serangkaian tebasan beruntun. Dimas bertahan sekuat tenaga, menghindar ke kiri dan kanan, meskipun tubuhnya mulai terasa lelah. Di satu sisi, Raiden terus menyerang dari belakang, meluncurkan ledakan energi sihir untuk mengacaukan Kaizen.
"Lelah, anak muda?" ejek Kaizen, melihat napas Dimas yang mulai tersengal.
Dimas mencoba tersenyum meski napasnya tersengal. "Ah, aku baik-baik saja. Cuma kasihan kamu aja… lawan dua orang sendirian."
Kaizen menyeringai. "Kalian akan kalah secepatnya."
Raiden tiba-tiba muncul di sisi Kaizen, melancarkan tendangan keras ke perut pria itu, membuatnya terlempar beberapa meter ke belakang. Namun Kaizen tetap bangkit lagi, menahan rasa sakit sambil menyeringai.
Raiden berbisik kepada Dimas, "Kita harus mengakhiri ini secepat mungkin. Siapkan serangan terakhir."
Dimas mengangguk, merapal energi angin dan air di kedua tangannya. Ia menunggu Raiden memberikan isyarat.
Raiden kemudian memulai dengan ledakan besar energi sihir dari tongkatnya, menciptakan cahaya terang yang membuat Kaizen sesaat kehilangan arah. Melihat itu, Dimas meluncur maju, menerobos kabut yang tercipta dan menghantam Kaizen dengan kekuatan penuh, mencampurkan angin dan air menjadi gelombang yang kuat.
Serangan mereka tampak berhasil. Kaizen terdorong mundur, tubuhnya terguncang hebat. Namun, di saat terakhir, ia tertawa tipis dan berkata, "Kalian memang kuat… tapi kali ini, aku yang menang."
Dengan kecepatan tinggi, Kaizen melarikan diri ke dalam hutan, meninggalkan Raiden dan Dimas yang masih siaga.
Raiden menghela napas panjang, "Yah, sepertinya kita harus siap menghadapi dia lagi nanti."
Dimas tersenyum lelah, duduk di tanah, "Jadi, latihan tambahannya bakal kayak gini terus?"
Raiden tertawa kecil, "Kau tahu sendiri jawabannya, bukan?"
---
Setelah perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, akhirnya Dimas dan Raiden tiba di Eclipsara. Dimas menghela napas lega, merasa nyaman berada di tempat yang lebih familiar dan aman.
"Ah, akhirnya… rumah lagi," kata Dimas sambil memijat bahunya yang masih pegal.
Raiden meliriknya dengan senyum tipis. "Jadi, ini akhirnya selesai. Latihan berat yang bikin aku jadi pelatih tukang ngeluh."
Dimas terkekeh. "Yah, aku nggak nyangka kamu tahan melatih aku selama ini. Makasih, Raiden. Latihan sama kamu memang bikin aku… lebih kuat sih, tapi juga lebih banyak ngomel."
Raiden tertawa pelan. "Aku kira aku udah selesai melatih bocah tukang ngeluh, tapi ternyata aku malah dapet pelajaran juga. Kalau bisa bertahan ngadepin keluhanmu, berarti aku bisa ngadepin apapun."
Dimas membalas dengan tersenyum lebar. "Jadi, kamu bakal kangen nggak nih sama aku yang suka ngeluh?"
Raiden mengangkat bahu dengan santai. "Mungkin. Tapi pastinya aku bakal kangen sama kamu yang selalu punya semangat, meskipun keluhannya nggak ada habisnya."
Dimas tertawa lagi. "Aduh, jangan bikin aku malu…"
Dengan senyuman ringan, mereka melanjutkan langkah menuju markas.