Chereads / kristal Heksagon : Warisan 6 elemen / Chapter 25 - BAB 25 : PENANGKAPAN NENEK SIHIR

Chapter 25 - BAB 25 : PENANGKAPAN NENEK SIHIR

---

Dimas dan Mira duduk bersama di bawah pohon besar di luar rumah kepala desa. Matahari hampir tenggelam, dan desa itu mulai diterangi cahaya rembulan yang lembut. Pria tua yang mereka temui tadi, kepala desa, duduk di depan mereka dengan wajah serius.

"Kami mendengar kalian berdua sudah melihat nenek itu," kata kepala desa dengan suara serak. "Tapi ada yang harus kalian tahu. Teror yang terjadi di desa ini bukan karena kebetulan."

Mira mengernyit. "Maksud Bapak?"

Kepala desa menghela napas panjang. "Nenek itu, dia dulu hidup damai di desa ini bersama suami dan anaknya. Namun, beberapa tahun lalu, ada salah paham besar. Warga desa menuduh suaminya sebagai penyebab gagal panen dan memutuskan untuk mengusir mereka. Mereka membunuh suaminya, dan anaknya meninggal dalam kecelakaan yang tak terduga."

Dimas mengerutkan dahi. "Itu... sangat tragis. Jadi, nenek itu membalas dendam?"

Kepala desa mengangguk. "Iya. Dia mencari cara untuk menghancurkan desa yang telah merenggut orang-orang yang dia cintai. Tanaman yang layu dan bau yang kalian cium itu adalah bagian dari mantranya. Dia tidak tahu bagaimana caranya menghentikan semuanya."

Mira menatap Dimas, lalu kembali ke kepala desa. "Kami akan menghentikan ini. Tapi, ada cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah ini. Kami akan bicara dengannya, mengerti alasan di balik tindakan teror itu."

Kepala desa terlihat ragu. "Saya tidak tahu apakah dia akan mau mendengarkan. Sudah terlalu lama dia hidup dengan kebencian."

Dimas berdiri dan mengusap dagunya. "Tapi kami harus mencobanya, kan? Kami tidak bisa hanya menangkapnya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Mira berdiri di samping Dimas, memberikan senyum kecil. "Kami akan kembali setelah misi ini selesai. Tenang saja, Pak. Kami akan aman."

Kepala desa mengangguk. "Saya percaya pada kalian."

---

Rencana Penangkapan

Malam itu, Dimas dan Mira berada di luar ladang, menunggu dengan hati-hati. Pemandangan di sekitar mereka tenang, dengan angin malam yang sejuk menerpa wajah mereka. Dimas memecah keheningan dengan suara pelan.

"Jadi, ini dia, ya? Momen besar kita menangkap nenek sihir?" katanya, berusaha terdengar santai, meskipun jelas ada ketegangan di dalam suaranya.

Mira menatapnya dengan senyum tipis. "Kau tidak gugup, kan?"

Dimas tertawa kecil. "Gugup? Tidak sama sekali. Aku kan calon pahlawan masa depan."

Mira terkekeh. "Ah, ya, tentu saja. Calon pahlawan yang tidak takut pada nenek sihir. Sungguh hebat."

Dimas pura-pura serius. "Dengar, Mira. Kalau aku bisa menghadapi ini dengan tenang, kau juga bisa, kan?"

Mira mengangguk pelan, meskipun matanya menunjukkan kekhawatiran yang samar. "Ya, aku akan berusaha. Tapi jangan lupa, Dimas, kita juga harus berbicara dengan nenek itu. Dia bukan musuh kita."

Dimas menatap Mira sejenak, lalu tersenyum. "Iya, aku tahu. Kita harus berhati-hati."

Tiba-tiba, mereka melihat bayangan bergerak di kejauhan. Seorang nenek tua dengan pakaian compang-camping berdiri di tengah ladang, merapalkan mantra. Aneh, tanaman di sekitarnya mulai layu perlahan, dan bau aneh itu kembali tercium di udara.

"Mira, dia di sana," bisik Dimas.

Mira mengangguk, menatap nenek itu dengan serius. "Sekarang atau nanti?"

Dimas menarik napas dalam-dalam. "Sekarang saja. Aku akan mendekat, kau bersiap di belakang."

Dengan gerakan hati-hati, Dimas melangkah maju, sementara Mira mengikuti dengan langkah pelan. Saat mereka semakin dekat, Dimas menggunakan telepati untuk berkomunikasi dengan Raiden, yang sudah mengetahui rencana mereka.

"Raiden, kami sudah menemukan nenek itu. Kami akan mencoba berbicara dengannya," pikir Dimas.

Raiden menjawab dengan suara tegas dalam pikiran Dimas. "Jaga diri kalian. Jangan lakukan tindakan gegabah. Aku akan mengirimkan sinyal setelah kalian berbicara. Fokus pada berbicara, bukan bertarung."

Dimas mengangguk tanpa mengucapkan kata-kata, lalu mengarahkan pandangannya ke nenek itu. "Nenek!" teriaknya.

Sosok nenek itu berhenti merapalkan mantra, lalu berbalik, wajahnya penuh amarah.

"Kalian datang untuk menghentikan aku, ya? Apa kalian tahu apa yang telah aku alami?!" suaranya penuh dengan kebencian yang mendalam.

Dimas maju selangkah. "Kami tidak datang untuk menghentikanmu tanpa alasan. Kami datang untuk mendengarkan ceritamu. Apa yang sebenarnya terjadi pada desa ini?"

Nenek itu terdiam sejenak, matanya tajam menatap Dimas. "Kalian benar-benar ingin tahu? Kalian tidak akan mengerti. Aku tidak akan pernah bisa melupakan apa yang telah mereka lakukan padaku!"

Mira melangkah maju. "Kami ingin membantu, nenek. Kami tahu ada kebencian di dalam dirimu, tapi ada cara untuk mengakhiri semua ini tanpa merusak segalanya."

Tiba-tiba, nenek itu mengangkat tongkatnya dan mengarahkannya ke tanah. Tanaman di sekitarnya mulai tumbuh liar, dengan duri tajam yang siap menyambut kedatangan mereka.

Dimas cepat-cepat melompat mundur. "Mira, hati-hati!"

Mira menggerakkan tangan, menciptakan pelindung dari tanaman yang tumbuh dengan cepat, melindungi dirinya dan Dimas dari serangan duri tajam. Tanaman besar muncul, melilitkan diri di sekitar mereka, membentuk dinding pelindung. Namun, saat itu juga, tanaman tersebut mulai melepaskan serangan dengan mengirimkan cabang-cabang yang bisa menyerang dari segala arah.

"Dimas! Kita harus menahan serangan ini, tapi juga berhati-hati," kata Mira, matanya fokus pada tanaman yang terus berkembang.

Dimas menggunakan kekuatan angin untuk menciptakan hembusan kuat, menyingkirkan sebagian besar tanaman yang menyerang mereka. "Aku akan menghalau serangan ini, kau fokus melawan nenek itu!"

Mira mengangguk, lalu menggerakkan tangannya untuk mengontrol flora di sekitar mereka. Dari tanah, akar-akar tanaman melilit dan membatasi pergerakan nenek itu, sementara cabang-cabang tanaman menyerang dengan kecepatan tinggi. "Kau tidak akan bisa lari dari sini, nenek!"

Namun, nenek itu tertawa sinis dan menangkis serangan dengan mantranya. Tanaman yang dililitkan oleh Mira pun tersingkir. "Kalian pikir bisa menghentikanku begitu saja?"

Dimas melangkah maju. "Nenek, berhenti! Kami tidak ingin bertarung. Kami hanya ingin mendengar alasanmu!"

Tapi nenek itu mengangkat tangan dan melepaskan mantra kuat yang mengubah tanaman di sekitarnya menjadi senjata hidup, menyerang Dimas dan Mira tanpa henti. Dimas dengan sigap menggunakan kekuatan angin dan api untuk menghalau serangan itu, sementara Mira melindungi dirinya dengan flora pelindung.

Akhirnya, dengan satu langkah berani, Dimas memanfaatkan api untuk mempercepat gerakan tanaman dan mengarahkannya untuk menjatuhkan nenek itu.

Mira menggunakan akarnya untuk menahan nenek yang terjatuh, membuatnya terdiam dan tak mampu bergerak lagi. "Sudah cukup, nenek. Berhenti. Kami hanya ingin berbicara," kata Mira, matanya penuh empati.

Nenek itu terengah-engah, wajahnya penuh dengan amarah yang mereda. "Aku… hanya ingin keadilan untuk suami dan anakku…"

Mira mendekat dan menaruh tangan di bahu nenek itu. "Kami mengerti. Kami akan membuat semuanya kembali pada tempatnya, tapi kau harus berhenti merusak desa ini."

Nenek itu mengangguk pelan, lalu perlahan melepaskan tongkatnya. "Aku… aku akan berhenti."

Air mata mulai mengalir di pipi nenek itu. "Aku menyesal... Aku telah membuat semuanya lebih buruk. Semua yang aku lakukan hanya membawa lebih banyak penderitaan, untukku dan untuk mereka."

Mira menyeka air mata nenek itu dengan lembut. "Tidak ada kata terlambat untuk berubah, nenek. Kamu bisa mulai dari sini, dan kami akan membantu."

Dimas mengulurkan tangan dengan senyum kecil. "Mari kita mulai dari sini, nenek. Kita akan bicarakan semuanya dengan mereka, dan kamu tidak akan lagi merasa sendirian."

Nenek itu menatap tangan Dimas, ragu sejenak, lalu perlahan meraih tangan itu. "Terima kasih… Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku ingin mencoba."

Dengan hati-hati, Mira melepaskan akar-akar yang mengikat nenek itu. Perlahan, nenek itu berdiri, masih sedikit gemetar, tapi ada cahaya baru di matanya.

Sebuah harapan yang lama terkubur kini mulai muncul kembali.

Dimas dan Mira saling pandang, merasa lega. Misi mereka bukan hanya tentang penangkapan, tetapi juga tentang membawa kedamaian—untuk nenek itu dan untuk desa yang telah lama dilanda teror.