---------
Langit senja mulai gelap ketika Dimas dan Raiden menembus hutan lebat menuju pegunungan Eclipsara. Kabut tipis menyelimuti pepohonan tinggi, memberikan suasana yang mencekam namun tenang. Suara gemerisik daun dan bisikan angin semakin memperkuat kesan bahwa tempat ini penuh misteri.
"Bang Raiden," kata Dimas sambil menoleh, "kita beneran harus ketemu Mahamay di tempat begini, ya? Kayak uji nyali… takutnya kita disambut hantu pocong!"
Raiden tertawa kecil. "Santai, Dim. Mahamay emang suka tempat yang sepi, biar jauh dari keramaian Eclipsara. Lagipula, hantu pocong itu cuman mitos, kok. Yang ada, kita disambut kucing hutan yang lagi pusing mikirin utang!"
Dimas mengangguk, meski tetap merasa was-was. Di balik candaannya, ada ketegangan tersendiri. Mahamay, penyihir sepuh yang kabarnya menguasai rahasia-rahasia terdalam dari setiap elemen, dikenal bijak dan penuh pengalaman. Walaupun sudah pensiun sebagai mentor, pengaruhnya di Eclipsara masih kuat. Raiden bilang, jika ada yang bisa membantunya mengeluarkan elemen cahaya, maka Mahamay adalah orang yang tepat.
Tak lama, mereka sampai di sebuah pondok tua di tengah hutan, tersembunyi di balik pepohonan rindang. Bangunan itu tampak sederhana, tapi pancaran energi yang tenang mengelilinginya seolah tempat ini memang diselimuti oleh kekuatan magis.
Raiden mengetuk pintu dengan sopan, dan setelah beberapa saat, pintu itu terbuka. Muncullah seorang wanita tua berjubah panjang, wajahnya penuh keriput, tapi matanya memancarkan kilauan tajam yang menandakan kebijaksanaan yang mendalam.
"Raiden, kau datang lagi?" Mahamay menatap Raiden dengan pandangan mengukur, lalu melirik ke arah Dimas. "Dan kau bawa bocah ini. Sudah siap, ya, Dimas?"
Dimas meneguk ludah, merasa sedikit gugup tapi mencoba tetap tenang. "Si-siap, Mahamay."
Mahamay mengangkat alis. "Kalau masih gemetaran gitu, gimana mau nguasai elemen cahaya? Takut kegelapan, ya?"
Dimas terkekeh kecil, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Iya… mungkin, Bu. Eh, Mahamay maksudnya."
Mahamay menepuk bahunya sambil tersenyum tipis. "Santai saja. Cahaya tidak akan datang jika hatimu masih penuh dengan rasa takut. Mulailah berdamai dengan kegelapan di dalam dirimu dulu, jangan kayak jomblo yang takut keluar rumah karena khawatir dicolek gebetan!"
Raiden tersenyum dan menepuk pundak Dimas. "Dimas, kau di tangan yang tepat. Percayalah pada proses ini. Aku akan menunggu di luar."
Setelah Raiden melangkah keluar, Mahamay mengajak Dimas masuk ke dalam pondok kecil itu. Di dalamnya, ruangan tampak sederhana dengan beberapa lilin menyala yang menciptakan cahaya temaram. Mahamay duduk di depan Dimas, mengisyaratkan agar ia juga duduk.
"Duduk tenang. Fokus pada dirimu sendiri," kata Mahamay lembut.
Dimas menutup mata, berusaha mengikuti perintahnya. Mahamay mengucapkan mantra pelan yang memenuhi ruangan dengan energi tenang. Dimas merasa rileks, tapi kemudian bayangan-bayangan ketakutannya mulai muncul satu per satu. Bayangan kegagalannya dalam latihan, suara ejekan dari teman-temannya, dan rasa ragu terhadap kemampuannya sendiri.
Mahamay, yang memperhatikan dengan cermat, menyadari ketegangan di wajah Dimas. "Hadapi semua bayangan itu. Jangan takut. Kau harus berdamai dengan sisi gelapmu sebelum memanggil cahaya. Ingat, hidup itu seperti permainan catur; kadang kita harus mundur dulu sebelum bisa melangkah maju."
Dimas mencoba, menarik napas dalam dan memfokuskan pikirannya. Ia mengingat kembali semua ejekan dan rasa ragu yang selama ini mengganggunya, lalu membayangkan cahaya yang lembut di dalam hatinya, menyinari setiap sudut kegelapan itu. Perlahan-lahan, ia mulai merasakan kehangatan di dadanya, seperti sinar lembut yang berusaha muncul.
Mahamay mengangguk, puas melihat perkembangan Dimas. "Bagus. Ingat, Dimas, cahaya itu muncul dari kedamaian dalam dirimu. Bukan hanya dari kemampuanmu mengendalikan elemen, sama seperti kucing yang harus tenang sebelum bisa menangkap tikus."
"Lalu, bagaimana cara saya bisa menguasainya, Bu?" Dimas bertanya, rasa ingin tahunya semakin mendalam.
"Latihan. Tetapi lebih dari itu, kepercayaan diri. Mungkin kita bisa coba beberapa teknik kuno yang kupelajari dulu," jawab Mahamay.
"Teknik kuno?" Dimas bertanya heran.
"Ya, salah satu tekniknya adalah meditasi cahaya. Kau harus bisa merasakan kehadiran cahaya di dalam dirimu sebelum mengeluarkannya ke dunia luar," jelas Mahamay sambil tersenyum.
Dimas mengangguk, siap untuk tantangan yang ada di depannya. Dengan semangat, ia bertanya, "Kapan kita mulai?"
Mahamay tersenyum lebar. "Sekarang! Mari kita coba. Fokuskan pikiranmu, dan biarkan cahaya itu muncul. Jangan sampai fokusmu terganggu sama suara kucing mengiau, ya!"
Selama berjam-jam berikutnya, Dimas berlatih bersama Mahamay, merasakan setiap detak jantungnya, dan belajar mengendalikan cahaya yang berkilau di dalam dirinya. Meski terkadang merasa putus asa, Mahamay selalu ada untuk membimbingnya, memberikan kata-kata penyemangat dan teknik yang membantu Dimas menemukan kekuatan dalam dirinya.
Akhirnya, setelah berhari-hari berlatih, Dimas merasa cahaya itu mulai mengalir. Dalam satu momen, ia mampu memanggil cahaya yang lembut dan hangat, menerangi seluruh ruangan. Dimas tidak bisa menyembunyikan senyum lebar di wajahnya.
"Lihat! Aku bisa!" teriak Dimas penuh semangat.
Mahamay tertawa bahagia. "Bagus! Sekarang kau sudah siap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar! Tapi ingat, jangan sok jago. Jaga sikapmu, jangan sampai terjebak dalam masalah!"
Dimas merasa jantungnya berdebar. "Tantangan? Apa itu, Bu?"
Mahamay menatap Dimas dengan serius. "Kau harus menguji kekuatanmu di luar sana, menghadapi tantangan nyata. Selesaikan latihan dengan menghadapi musuh yang sesungguhnya."
Dimas merasa sedikit ragu, tapi semangatnya membara. "Saya siap, Mahamay. Terima kasih atas bimbingannya!"
"Jangan lupa, cahaya harus selalu bersinar dalam kegelapan. Dan jangan sampai kegelapan itu datang dari utangmu yang menumpuk!" ujar Mahamay sebelum Dimas keluar dari pondok.
Berikut adalah teks yang sudah dirapikan agar nyaman dibaca di platform seperti Fizzo:
---
Dimas melangkah keluar dari pondok Mahamay dengan semangat baru. Sinar yang memancar dari dalam dirinya membuatnya merasa seolah-olah siap untuk menghadapi dunia.
"Akhirnya, cahaya! Jadi aku bisa jadi superhero sekarang?" Dimas bergumam sambil membayangkan dirinya terbang dengan jubah, menyelamatkan kucing dari pohon.
Dengan energi yang mengalir, ia bertekad untuk menemukan Raiden dan membagikan keberhasilannya.
"Raiden! Raiden!" Dimas memanggil sambil berusaha menelusuri jalan setapak di hutan. Suara gemericik aliran sungai dan kicauan burung menemani langkahnya.
"Semoga dia tidak jadi hilang di hutan ini kayak iklan komedi, ya," pikir Dimas, membayangkan Raiden yang tersesat sambil memanggil, "Help me!" seperti di film-film.
Ketika Dimas tiba di tepi sungai, ia melihat sekelompok hewan hutan yang berlarian. Salah satunya adalah seekor kucing liar yang tampaknya sedang mengintip ikan di dalam air.
"Sial! Kucing aja bisa menangkap ikan, sementara aku belum bisa menangkap perasaanku," gumam Dimas sambil melanjutkan pencarian.
Dia melewati pepohonan rimbun, berusaha memanggil Raiden sekali lagi.
"Raiden! Coba jawab, jangan jadi pengecut kayak di film horor!" suaranya teredam di antara dedaunan, tapi semangatnya tak pudar.
Saat Dimas berbelok ke jalan yang lebih lebar, ia berharap menemukan petunjuk. Tiba-tiba, di kejauhan, ia melihat sosok tinggi yang akrab.
"Raiden!" Dimas berlari menghampiri, merasa seperti superhero yang akhirnya menemukan sahabatnya.
"Dimas, kau sudah kembali!" Raiden menyapa dengan tampang penuh percaya diri, seperti kapten tim bola yang baru memenangkan pertandingan.
"Aku berhasil! Mahamay mengajarkanku cara memanggil cahaya! Aku merasa jauh lebih kuat sekarang! Siap menghadapi monster berbahaya!" Dimas berbicara dengan penuh semangat, seolah-olah dia baru saja mendapatkan kekuatan super dari serial kartun favoritnya.
Raiden menatapnya dengan penuh perhatian.
"Bagus! Sekarang kita perlu mempersiapkan diri untuk mencari cara membangkitkan kekuatan ke enam mu"