Chereads / kristal Heksagon : Warisan 6 elemen / Chapter 18 - BAB 18 : TAHAN BANTING SEPERTI BATU

Chapter 18 - BAB 18 : TAHAN BANTING SEPERTI BATU

---

Dimas berdiri di tengah lapangan luas yang dipenuhi batu-batu besar dan tanah berdebu. Raiden melambai padanya dari atas batu besar, wajahnya penuh semangat seperti biasa.

"Oke, Mas Dimas! Siap buat latihan otot hari ini?"

Dimas hanya tersenyum tipis, merasa sedikit khawatir. "Wah, mentornya ceria banget. Kayaknya bakal ada yang capek nih."

Raiden tertawa. "Eh, santai aja, tenang! Latihan ini bakal bikin kamu kuat seperti tanah, tangguh seperti batu! Kalau ada yang berat, ya itu bonus aja." Ia mengedipkan sebelah mata sambil melipat tangan.

Tanpa menunggu lama, Raiden mengambil seutas tali tebal, mengikatkan tali itu pada sebuah batu besar seukuran kerbau. Dia menyerahkannya pada Dimas. "Nah, untuk latihan pertama, kamu harus menarik batu ini dari sini sampai ke bukit kecil di sana. Bayangin aja lagi narik gerobak sayur!"

Dimas menghela napas dalam-dalam, mengencangkan genggamannya pada tali. "Waduh, narik batu segede gini? Jangan-jangan ini bakal bikin tangan saya putus."

Raiden mengangguk dengan wajah serius, "Jangan ngeluh dulu. Narik batu itu biasa buat yang mau menguasai elemen tanah. Kalau otot kamu kuat, kekuatan tanahmu juga bakal makin solid."

Dimas menarik napas panjang dan mulai menarik batu itu dengan semua tenaganya. Baru beberapa langkah, kedua lengannya sudah bergetar dan keringat mulai membasahi dahinya. Namun, ia terus berusaha, menarik batu itu sedikit demi sedikit, mengerahkan semua energi yang ia punya. Setiap kali ia berhasil menarik batu itu satu meter, Raiden menyemangatinya dengan nada khasnya.

"Ayo, Dimas! Bentar lagi jadi abang sayur nih! Gerak sedikit lagi, pokoknya maju terus pantang mundur," ujar Raiden sambil bertepuk tangan.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti sejam bagi Dimas, ia akhirnya mencapai bukit kecil yang dituju. Ia melepaskan tali dan duduk terengah-engah di atas batu. Raiden berjalan mendekatinya, membawa botol air minum dan tersenyum lebar.

"Lihat? Bisa kan? Cuma latihan pertama kok."

Dimas mengambil botol itu dengan pandangan penuh lelah. "Kalau baru latihan pertama udah begini, latihan selanjutnya bakal kayak apa, Mentor?"

Raiden hanya tertawa kecil. "Bentar lagi juga kamu akan terbiasa. Lagian, latihan hari ini baru pemanasan."

Dimas menghela napas panjang, meneguk air dalam-dalam, lalu berdiri dengan mantap. "Siap, Mentor. Apa lagi setelah ini?"

Raiden menarik seutas kayu besar dan meletakkannya di bahu Dimas seperti memikul beban. "Latihan kedua, kamu harus berjalan keliling lapangan sambil bawa ini. Biar makin kuat kayak batu!"

Dengan kayu berat di bahunya, Dimas mulai melangkah, mencoba menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Setiap langkahnya terasa semakin berat, namun ia terus bergerak maju, berusaha menunjukkan bahwa ia mampu. Raiden, yang berjalan di sampingnya, tidak melewatkan kesempatan untuk menyelipkan candaan.

"Nah, kalau kuat angkat kayu gini, nanti bisa jadi kuli pasar kalau pensiun jadi pahlawan," kata Raiden, terkekeh.

Dimas melirik Raiden dengan pandangan lelah tapi tetap tertawa. "Kalau beneran jadi kuli, saya bisa minta kenaikan gaji, kan?"

Raiden tertawa keras, "Ya, minimal dapat bonus tiap bulan, lah."

Beberapa putaran kemudian, Dimas berhasil menyelesaikan latihan itu, walaupun seluruh tubuhnya terasa berat. Raiden kemudian menyuruhnya berbaring di tanah dalam posisi plank, menahan berat tubuhnya sendiri di atas pasir dan bebatuan kecil.

"Sekarang, coba tahan posisi ini. Bayangin kamu ini tanah, jangan sampai goyah."

Dimas mengangkat alis, bingung. "Plank di tanah kayak gini, nggak ada bonus lagi?"

Raiden mengangguk dengan senyum jahil, "Ada kok, bonus pegal-pegal!"

Dimas menahan posisi plank dengan sabar, meskipun kedua lengannya mulai bergetar. Ia bisa merasakan bebatuan kecil di bawahnya menggigit kulit, namun ia tetap bertahan, berusaha membangun ketahanan dalam dirinya. Raiden menepuk punggungnya pelan, mengingatkan Dimas untuk tetap fokus.

"Nah, Dimas, dengerin baik-baik," ujar Raiden dengan nada serius. "Kekuatan tanah itu bukan cuma soal fisik yang kuat, tapi juga ketenangan dan ketabahan. Tanah nggak pernah protes walau diinjak, dihantam, atau dipukul. Jadi, kalau kamu mau menguasai elemen ini, kamu juga harus tahan banting, seperti batu."

Dimas menatap ke arah Raiden dengan penuh perhatian, merenungi kata-kata itu dalam-dalam. Ia kemudian berusaha menahan posisi plank lebih lama, mencoba meresapi filosofi yang diberikan mentornya.

Raiden, merasa cukup puas, kemudian menyuruh Dimas berdiri. "Sekarang, latihan berikutnya adalah latihan keseimbangan. Kamu harus jalan di atas batu-batu ini tanpa jatuh. Kalau jatuh… ya, siap-siap aja pegel lagi."

Dimas mengangguk mantap, memulai langkah pertamanya di atas batu-batu licin. Raiden, dengan tangan di pinggang, menyemangati sambil sesekali melemparkan candaan.

"Hati-hati, jangan sampai terpeleset, nanti malah berubah jadi batu beneran!" kata Raiden sambil tertawa kecil.

Dimas, sambil menjaga keseimbangannya, menanggapi, "Kalau terpeleset, kayaknya bakal jadi pahlawan paling lemah, deh, Mentor."

Raiden tersenyum. "Justru karena itu, latihan keseimbangan ini penting. Bayangkan kamu adalah batu besar yang nggak akan bergerak meskipun diterpa badai."

Dimas terus melangkah, kali ini dengan lebih mantap, merasakan bagaimana ia menjadi satu dengan tanah dan batu di sekelilingnya. Latihan itu bukan hanya soal menjaga keseimbangan fisik, tetapi juga tentang ketenangan mental.

Setelah berhasil menyelesaikan rintangan tanpa jatuh, Dimas menghela napas lega. Raiden mengangguk puas, tetapi masih belum selesai. Ia menyuruh Dimas berdiri di tengah lapangan, kemudian tiba-tiba melemparkan beberapa batu kecil ke arahnya.

"Waduh, ada apa ini, Mentor?" tanya Dimas sambil melompat menghindar.

Raiden tertawa. "Ini latihan refleks. Bayangin kamu harus bertahan dari serangan batu besar. Ayo, tangkis atau hindari batu-batu ini. Jangan sampai kena!"

Dimas, yang mulai terbiasa dengan gaya latihan unik Raiden, berusaha menghindar dan menangkis setiap lemparan batu yang datang. Ia melompat, merunduk, bahkan sesekali menggoyangkan tubuhnya seperti sedang menari agar batu itu tidak mengenainya.

Melihat usaha Dimas yang penuh semangat, Raiden menambahkan kecepatan dan intensitas lemparannya, membuat Dimas tertawa kecil sambil menghindar. "Kayaknya saya bakal jadi ninja juga nih, Mentornya serius amat!"

Raiden tertawa. "Biarin aja, biar makin seru!" Mereka tertawa bersama, melanjutkan latihan refleks itu dengan semangat dan tawa yang terus mengiringi.

Setelah selesai, Dimas akhirnya duduk di atas batu dengan napas terengah-engah, namun wajahnya berseri-seri, merasa puas dan bangga dengan perkembangan dirinya. Meski seluruh tubuhnya terasa pegal dan lelah, ia merasa lebih kuat, lebih kokoh, seolah dirinya kini benar-benar menyatu dengan elemen tanah yang baru ia latih.

Raiden menepuk bahunya, tersenyum puas. "Bagus, Dimas. Kamu sekarang udah mulai paham kekuatan elemen tanah. Terus latihan, nanti kamu bakal makin kuat seperti batu."

Dimas mengangguk mantap, merasa bangga atas pencapaiannya hari ini. Dengan sedikit canda, ia berkata, "Tapi latihan berikutnya… boleh nggak yang agak santai, Mentor?"

Raiden hanya tertawa, menepuk pundak Dimas lagi. "Santai aja, tiap latihan ada levelnya kok. Besok kita mulai dari batu yang lebih kecil!"