---
Di ruang konferensi kecil, para mentor duduk melingkar, suasana tegang namun penuh harapan. Aruna membuka diskusi, suaranya penuh rasa tanggung jawab. "Dengan kepergian Arka, kita kehilangan seorang mentor hebat yang memahami Dimas dan Kristal Hexagon-nya. Kita tidak bisa mengabaikan hal ini."
Liora mengangguk, matanya serius. "Benar. Dimas sudah berhasil membangkitkan tiga elemen: air, udara, dan api. Namun, elemen api masih belum sepenuhnya terkontrol. Kita harus membantu dia mengembangkan kekuatan ini lebih lanjut, terutama saat ancaman semakin dekat."
Raiden menatap mereka satu per satu. "Kita harus memutuskan langkah selanjutnya dengan hati-hati. Kita harus melindungi Dimas dan mengajarinya untuk melindungi orang lain. Dengan kehilangan Arka, kita semua harus berperan lebih aktif."
"Raiden, kau yang paling tepat untuk membimbing Dimas," kata Liora. "Kau memiliki pengalaman yang cukup untuk mengajarkan dia cara mengendalikan elemen-elemen itu."
Raiden terdiam, merenungkan hal itu. "Jika kalian yakin aku yang paling tepat… maka aku akan melakukannya," jawabnya tegas. "Namun, kita harus pergi ke tempat yang lebih aman—ruang pelatihan para mentor."
Aruna tersenyum kecil, mengingat kenangan lama. "Tempat rahasia itu sudah lama tidak kita gunakan. Aku hampir lupa akan tempat itu."
"Energi di sana masih kuat. Tempat itu akan memberi Dimas ketenangan dan kekuatan yang dibutuhkan," kata Raiden.
Keesokan harinya, Dimas menerima panggilan dari Raiden dan segera menuju ruang utama. Saat dia tiba, Raiden berdiri dengan sikap penuh wibawa. "Dimas, kita perlu berbicara," katanya.
"Apakah ini tentang pelatihan?" tanya Dimas, merasa sedikit gugup.
"Ya. Kita telah memutuskan bahwa kau harus mengembangkan semua elemen dalam Kristal Hexagon. Saat ini, kau telah berhasil membangkitkan tiga elemen, tetapi kita perlu fokus pada pengendalian elemen api yang masih liar," jelas Raiden.
Dimas mengangguk, merasakan ketegangan. "Tapi aku belum bisa menguasai elemen api dengan baik."
Raiden menepuk bahunya dengan lembut. "Kau memiliki potensi, Dimas. Arka selalu percaya padamu, dan kami pun demikian. Pelatihan ini akan menguji ketahanan mentalmu, bukan hanya fisik."
Dimas menelan ludah, lalu mengangguk. "Aku akan mencoba."
Raiden tersenyum, lalu menggiring Dimas keluar dari markas Eclipsara, melewati hutan lebat. Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di pintu batu raksasa yang tersembunyi di balik pepohonan. Raiden mengucapkan mantra kuno, dan pintu itu terbuka, memperlihatkan jalan menuju ruang pelatihan.
"Selamat datang di ruang pelatihan para legenda," kata Raiden. "Tempat ini adalah warisan yang harus kau jaga."
Dimas terpesona oleh simbol-simbol kuno dan obor dengan api biru yang menerangi ruangan. "Wow… tempat ini sangat menakjubkan."
"Dimas," Raiden berkata, tatapannya serius, "kita akan mulai dengan elemen api. Ini adalah elemen yang kuat, tetapi sulit untuk dikendalikan."
Dimas mengangguk, merasakan ketegangan. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Pertama, kita perlu membangkitkan elemen api dalam dirimu. Untuk itu, kau perlu melepaskan semua beban mental dan emosional yang kau bawa," jelas Raiden. "Kau harus merasakan kedamaian dalam dirimu sebelum mengendalikan api."
Dimas menggeleng, merasa tidak yakin. "Tapi bagaimana caranya?"
"Dengan membuka dirimu," jawab Raiden. "Kau perlu melepas lapisan yang menghalangi energimu. Bukalah pakaiannya, dan rasakan aliran energi mengalir tanpa batas."
Dimas terkejut, matanya melebar. "Maksudmu… aku harus membuka pakaian?"
Raiden mengangguk. "Ya. Ini bukan tentang nudity, Dimas. Ini adalah tentang melepaskan semua batasan dan merasa bebas. Ingat, ini adalah proses untuk menemukan kedamaian dalam dirimu."
Dimas merasa canggung, matanya melirik ke arah Raiden. "Tapi… apa tidak ada cara lain? Mungkin dengan… cara meditasi?"
Raiden menahan tawa. "Oh, Dimas, jika meditasi bisa menyelesaikannya, kita semua sudah jadi biksu, kan?"
"Aku tidak siap untuk jadi biksu!" keluh Dimas, masih ragu.
"Ini hanya sementara. Percayalah, kau akan merasa lebih baik setelahnya," Raiden meyakinkan.
Dengan napas dalam, Dimas mulai membuka pakaiannya, merasakan angin lembut menyentuh kulitnya. "Aku merasa canggung," katanya, matanya melirik ke Raiden.
"Ini semua bagian dari proses. Sekarang, tutup matamu dan fokuslah pada energi di dalam dirimu," perintah Raiden.
Dimas memejamkan mata, mencoba untuk mengabaikan rasa malu dan ketidakpastian. "Aku… aku merasakan panas, tapi juga rasa takut."
"Rasakan itu. Jangan menolaknya. Biarkan energi itu mengalir," Raiden membimbing. "Ketika kau merasakan ketakutan, ingatlah semua yang kau lakukan untuk sampai ke sini. Ingat semua orang yang kau cintai dan ingin kau lindungi."
Dimas berusaha keras untuk menenangkan pikirannya. "Baik… aku akan mencoba."
"Sekarang, bayangkan api yang berkobar di dalam dirimu," Raiden melanjutkan. "Rasakan kekuatan dan kedamaian bersatu."
Setelah beberapa saat, Dimas mulai merasakan panas yang menyenangkan, namun mengesankan, mengalir di tubuhnya. "Aku merasa sesuatu… seperti energi yang bergerak."
"Bagus. Sekarang, perlahan-lahan, munculkan api itu. Jangan terburu-buru, tapi jangan ragu. Ini adalah bagian dari dirimu," kata Raiden.
Dimas mengangguk, berusaha fokus. Namun, saat ia mencoba mengeluarkan api, fluktuasi emosinya membuatnya gagal. Api yang muncul hanya sesaat, lalu padam kembali. "Aku gagal lagi," keluh Dimas, merasakan frustrasi.
"Tidak apa-apa, Dimas," Raiden menenangkan. "Setiap kegagalan adalah pelajaran. Kita akan mencoba lagi. Ingat, kedamaian dan keyakinan adalah kunci untuk mengendalikan kekuatan ini."
Dimas menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tenang. "Baiklah, aku akan mencobanya sekali lagi."
"Bersiaplah. Biarkan dirimu terhubung dengan elemen itu," Raiden memotivasi. "Ingat, hanya dengan menerima dirimu, kau akan bisa mengendalikan kekuatan ini."
Dimas menutup mata, berusaha lagi, kali ini dengan lebih percaya diri. "Aku bisa melakukan ini," bisiknya pada dirinya sendiri.
Ketika dia mencoba lagi, energi itu mulai bergetar, dan pelan-pelan api mulai muncul dari telapak tangannya, lebih stabil dari sebelumnya. Namun, seiring dengan munculnya api, Dimas merasakan emosinya mengamuk. Api itu berkobar tidak terkendali, melompat-lompat dari telapak tangannya, mengancam untuk menyebar ke sekeliling.
"Raiden! Ini terlalu kuat!" teriak Dimas, panik.
Raiden segera melangkah maju, mengulurkan tangannya untuk menenangkan api yang berkobar. "Tenang, Dimas! Ingat, kau harus mengendalikan emosimu! Jangan biarkan ketakutanmu menguasai!"
Dimas berusaha, tetapi api terus membara tanpa kendali. "Aku tidak bisa! Aku tidak bisa mengendalikannya!"
"Fokus pada kedamaianmu! Jangan biarkan emosimu menguasai! Bayangkan api itu sebagai teman, bukan musuh!" Raiden berteriak, berusaha memusatkan perhatian Dimas.
Dimas menggigit bibirnya, berjuang untuk mengendalikan kekuatan yang baru ia bangkitkan. Ia menutup mata, berusaha mengingat semua momen indah yang pernah ia alami. "Ayo, Dimas! Kau bisa melakukan ini!" seru Raiden.
Akhirnya, Dimas memfokuskan pikirannya. Ia menggenggam telapak tangannya, menghalau ketakutan yang menyelimuti hatinya. Perlahan, api mulai mereda, dan Dimas merasakan kembali kendali atas energi dalam dirinya.
Setelah beberapa saat yang menegangkan, api itu akhirnya terpadam sepenuhnya, dan Dimas jatuh ke lutut, napasnya memburu. "Aku… aku melakukannya," katanya, tidak percaya dengan pencapaiannya.
Raiden tersenyum bangga. "Bagus, Dimas! Kau telah mengambil langkah besar. Ingat, kedamaian dalam dirimu harus di jaga.