---
Desas-desus tentang hilangnya Arka semakin merebak di markas, menambah kegelisahan yang sudah melanda sejak pertemuan terakhir dengan arka yg di beri misi oleh raiden untuk memberi informasi tentang musuh. Arka tidak pernah terlihat lagi, dan kabar tentang nasibnya semakin simpang-siur. Namun, para mentor mengetahui lebih dari sekadar desas-desus ini.
Suasana di aula utama Eclipsara terasa mencekam. Para murid dan mentor berkumpul, masing-masing dengan ekspresi penuh kecemasan. Di depan mereka, Raiden berdiri dengan wajah serius, menandakan bahwa sesuatu yang berat akan segera diungkapkan.
Raiden menghela napas, dan seolah mencari kata-kata yang tepat. "Kalian semua tahu betapa pentingnya misi yang dijalankan oleh Arka. Namun, dengan sangat menyesal, aku harus memberitahukan bahwa Arka telah tiada."
Ruangan seketika menjadi hening. Dimas merasa dadanya bergetar. Kata-kata Raiden terasa seperti petir yang menghantam, membuatnya tidak percaya dan hancur. Di sampingnya, Shoko menutup mulutnya, air mata mulai menggenang di matanya. Kael dan Mira saling berpandangan, mencoba mencerna berita pahit ini.
"Dia dalam misi untuk mencari informasi tentang Master Shadow," lanjut Raiden, suaranya berat. "Arka melesatkan tongkat sihirnya sebelum mengorbankan dirinya untuk mengirimkan informasi terakhir tentang rencana serangan yang akan datang."
Dimas merasa seolah dunia di sekelilingnya runtuh. Kenangan tentang Arka, mentor yang selalu percaya padanya, mulai berputar dalam pikirannya. Arka bukan hanya seorang pengajar, tetapi juga sosok yang selalu memberi inspirasi. Sekarang, tanpa dia, Dimas merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya.
"Kenapa… kenapa dia tidak memberitahu kita?" Dimas berteriak, suaranya penuh kemarahan dan kesedihan. "Dia seharusnya tidak pergi sendirian! Kita seharusnya bisa membantunya!"
Raiden menatap Dimas, jelas merasakan kepedihan di matanya. "Dia tahu risiko yang diambil. Arka percaya bahwa kita semua bisa melanjutkan perjuangannya, dan dia tidak ingin kita terlibat lebih dalam risiko yang sangat besar."
"Percaya? Dia mempercayai kita untuk apa?" Dimas menggeram, mengangkat suaranya lebih tinggi. "Dia pergi, dan kita hanya ditinggalkan dengan kesedihan ini! Kita seharusnya berada di sisinya, bukan hanya mendengar kabar ini dari kamu!"
Kemarahan Dimas menciptakan ketegangan di ruangan. Shoko meraih lengan Dimas, berusaha menenangkannya. "Dimas, kita semua merasa kehilangan. Tapi kita harus mengenang Arka dengan cara yang benar. Dia ingin kita melanjutkan perjuangan ini."
Mira menambahkan, "Kita harus berusaha lebih keras. Jika kita tidak bertindak, semua yang telah dia lakukan akan sia-sia."
Dimas menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. "Tapi bagaimana bisa kita melanjutkan tanpa dia? Dia yang selalu memberikan petunjuk dan arahan."
Kael berdiri di samping Dimas, mencoba memberi semangat. "Arka tidak akan ingin melihat kita putus asa. Dia ingin kita kuat. Kita bisa menghormatinya dengan berjuang untuk Eclipsara."
Raiden, yang melihat perdebatan di antara para murid, melangkah maju. "Dimas, aku tahu perasaanmu. Kita semua merasakannya. Tapi kita tidak bisa membiarkan kesedihan ini menghancurkan kita. Arka berkorban untuk melindungi kita. Kita harus mempersiapkan diri menghadapi ancaman yang lebih besar."
Dengan suara pelan, Dimas berkata, "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Untuk saat ini, kita akan beristirahat dan mengumpulkan kekuatan. Kabar yang Arka sampaikan tentang serangan Master Shadow sangat serius. Kita perlu bersatu dan memperkuat pertahanan kita. Ini adalah waktu untuk mengenang dan merayakan hidup Arka," jawab Raiden.
Setelah pernyataan itu, semua orang mulai beranjak dari aula, tetapi Dimas tetap di tempatnya, memandang kosong ke depan. Rasa marah dan kesedihan bercampur aduk dalam hatinya. Shoko tetap bersamanya, berusaha memberikan dukungan.
"Dimas, kita akan melalui ini bersama. Kita tidak sendirian," kata Shoko lembut.
Dimas mengangguk, meski hatinya masih berat. "Kita akan berjuang untuk Arka, tapi aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Kita harus bersiap dan tidak lagi membiarkan orang-orang terkasih pergi begitu saja."
"Ya," jawab Kael. "Kita akan memastikan Eclipsara aman. Ini adalah janji kita untuk Arka."
Setelah meninggalkan aula, Dimas merasakan tekanan di dadanya semakin berat. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia berjalan menuju ruangan Arka, ingin mengingat kembali semua pelajaran dan kenangan yang telah dibagikannya. Langkah kakinya terasa berat, seolah setiap langkah menuju ruangan tersebut menambah rasa sesak di dadanya.
Saat sampai di depan pintu, Dimas berhenti sejenak, menatap gagang pintu. Banyak kenangan indah terlintas di pikirannya—senyuman Arka, ajarannya, dan nasihatnya yang selalu memberikan semangat. Dengan keberanian yang tersisa, Dimas membuka pintu dan masuk.
Ruangan Arka terasa sepi. Barang-barang di dalamnya masih teratur seperti biasa, tetapi suasana di sana seolah kehilangan nyawa. Dimas berjalan mendekati meja kerja Arka, di mana banyak gulungan kertas dan buku-buku tentang sihir tergeletak. Ia mengambil salah satu buku, membuka halaman yang penuh dengan catatan, dan merasakan hangatnya kenangan yang tersimpan di dalamnya.
"Maafkan aku, Arka," Dimas berbisik. "Aku seharusnya lebih menghargai setiap momen bersamamu. Aku seharusnya menjadi murid yang lebih baik."
Dia membuka lembaran demi lembaran, membaca catatan-catatan yang ditulis Arka. Dalam setiap kata, Dimas merasakan semangat dan harapan. Arka selalu percaya bahwa para muridnya bisa lebih dari yang mereka kira, dan kini, semua itu terasa seperti sebuah harapan yang hilang.
Tiba-tiba, Dimas melihat sebuah surat yang terlipat rapi di sudut meja. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil surat tersebut dan membukanya. Ternyata itu adalah surat untuknya, ditulis dengan tangan Arka.
"Dimas," tulis Arka. "Jika kau menemukan surat ini, itu berarti aku telah pergi. Jangan biarkan kesedihan menguasai dirimu. Hidup ini penuh dengan tantangan, dan aku percaya kau akan menghadapinya dengan keberanian. Teruslah berlatih, dan ingatlah bahwa kau tidak sendirian. Kekuatanmu akan tumbuh, dan suatu hari kau akan menjadi pelindung Eclipsara."
Dimas merasakan air mata mengalir di pipinya. Surat itu membuatnya semakin merindukan Arka. Dia membayangkan wajah Arka yang selalu ceria dan penuh keyakinan, meskipun di baliknya ada banyak beban yang harus ditanggung.
"Terima kasih, Arka," Dimas berbisik, mengusap air matanya. "Aku akan menghormati semua yang telah kau ajarkan. Aku akan berjuang untuk Eclipsara, untukmu."
Setelah membaca surat tersebut, Dimas merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa Arka tidak akan ingin melihatnya terpuruk dalam kesedihan. Dengan tekad yang baru, Dimas meninggalkan ruangan Arka, membawa serta surat itu sebagai pengingat akan tanggung jawabnya.
Di luar, Shoko, Kael, dan Mira menunggu. Melihat wajah Dimas yang bersemangat, Shoko bertanya, "Apa yang terjadi? Apakah semuanya baik-baik saja?"
Dimas mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi rasa duka. "Aku menemukan surat dari Arka. Dia percaya pada kita, dan kita harus berjuang untuk menjaga harapannya tetap hidup."
"Benar," kata Kael. "Kita akan melanjutkan apa yang telah dia mulai. Bersama-sama."
Mira menambahkan, "Kita bisa mengadakan pertemuan untuk merencanakan langkah selanjutnya. Kita harus bersatu."
Dimas merasa semangatnya mulai pulih. "Ya, mari kita kumpulkan semua orang. Kita harus bersiap menghadapi Master Shadow dan melindungi Eclipsara."
Dengan langkah mantap, mereka berjalan keluar, siap untuk merencanakan langkah berikutnya. Dimas tahu, meskipun Arka tidak lagi bersama mereka, semangatnya akan selalu menyala dalam diri mereka. Dengan tekad baru, mereka akan berjuang untuk Eclipsara dan mengenang Arka dengan cara yang paling berarti.