---
Langit mulai berubah oranye ketika sore mulai bergulir menuju malam. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah Dimas yang berdiri di tengah lapangan latihan, memikirkan perkembangan kemampuannya selama beberapa hari terakhir. Meskipun belum sempurna, ia kini lumayan bisa mengendalikan dua elemennya: air dan angin.
Namun, perasaan cemas masih menyelimutinya. Ia merasa belum cukup kuat, terlebih melihat Shoko yang sudah sepenuhnya mengendalikan kekuatannya.
Di seberang lapangan, Kael menatap Dimas dengan senyum tipis, seolah membaca pikirannya. "Dimas, bagaimana kalau kita buat ini lebih seru? Duel."
Dimas terkejut mendengar usulan itu. "Duel? Kamu serius?"
Shoko, yang duduk di dekat mereka sambil membersihkan peluhnya setelah sesi latihan, langsung menoleh dengan semangat. "Duel? Aku setuju! Ini bagus untuk melihat seberapa jauh kamu sudah berkembang, Dimas!"
Mira, yang sedang duduk di bawah pohon besar di tepi lapangan, mengangguk setuju.
"Kalian berdua sudah lama berlatih bersama. Duel ini akan jadi cara bagus untuk menguji kemajuan."
Dimas masih ragu. "Tapi... aku belum menguasai semua elemenku, sementara Kael sudah sangat ahli dalam manipulasi waktunya."
Kael tertawa kecil. "Ini hanya latihan, Dimas. Tidak ada yang harus dikhawatirkan. Aku hanya ingin melihat bagaimana kamu menggabungkan air dan angin di bawah tekanan. Lagipula, kamu jauh lebih baik dari yang kamu kira."
Rasa cemas di dalam diri Dimas perlahan berubah menjadi dorongan untuk menerima tantangan. Ini kesempatan untuk membuktikan bahwa ia mampu bersaing dengan rekan-rekannya, meskipun belum sempurna.
"Baiklah," jawabnya akhirnya. "Mari kita lakukan."
Kael tersenyum puas. "Hebat! Kita mulai sekarang."
Mereka berdua saling mundur, mengambil jarak lima meter, mempersiapkan diri untuk pertarungan. Shoko dan Mira bergerak menjauh, memberi mereka ruang untuk duel. Mata Shoko terpaku pada Dimas, penuh harap bahwa ia akan berhasil mengendalikan elemen-elemennya dalam kondisi ini.
"Siap?" Kael bertanya dengan nada menantang.
Dimas mengangguk, meskipun sedikit gugup. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya dan fokus pada elemen di sekitarnya. Ini bukan hanya soal
pertarungan fisik—ini adalah ujian mental juga.
"Tiga… dua… satu… mulai!"
Kael bergerak lebih dulu. Dengan satu gerakan cepat, dia meluncurkan gelombang distorsi waktu ke arah Dimas. Segera, ruang di sekitar Dimas melambat, membuatnya sulit untuk bergerak. Tapi Dimas sudah mempersiapkan dirinya. Dengan gerakan tangan yang cepat, ia memanipulasi angin, mendorong tubuhnya keluar dari zona distorsi itu dan kembali ke kecepatan normal.
"Wow, kau berhasil menghindarinya," puji Kael sambil terus bergerak cepat, mempercepat dirinya sendiri hingga menghilang dari pandangan Dimas.
Dimas mencoba merasakan angin di sekitarnya untuk mengetahui di mana Kael berada. Tapi sebelum dia bisa bereaksi, Kael muncul di belakangnya, siap melancarkan serangan. Namun, Dimas sudah mengantisipasi hal ini. Dengan cepat, dia mengeluarkan pusaran angin yang mengelilingi tubuhnya, menciptakan penghalang kuat yang membuat Kael terpaksa mundur beberapa langkah.
"Aku tahu kamu tidak akan mudah dijebak," kata Kael sambil tersenyum.
Tanpa membuang waktu, Dimas melanjutkan serangannya. Dia menggerakkan tangannya ke depan, dan semburan air meluncur dengan cepat ke arah Kael. Kael dengan cekatan memperlambat waktu di sekitarnya, membuat air itu terlihat seolah bergerak dalam gerakan lambat. Tapi Dimas punya rencana lain. Ia memutar pusaran angin di sekitar air tersebut, mengubahnya menjadi es tajam yang menghujam ke arah Kael.
"Wow!" seru Shoko dari pinggir lapangan. "Dia mulai memadukan kedua elemennya!"
Mira yang selalu tenang, kali ini sedikit mengangkat alis, terkesan dengan apa yang dilihatnya.
"Kemajuan yang luar biasa."
Kael nyaris tidak bisa menghindar. Meskipun waktu di sekitarnya lambat, kombinasi elemen Dimas cukup kuat untuk memaksanya mempercepat dirinya sendiri dan bergerak menjauh dari bahaya. Dia berhenti sejenak, menatap Dimas dengan kagum. "Kamu mulai memanfaatkan kekuatanmu dengan baik.
Tapi, apakah kamu siap untuk serangan berikutnya?"
Sebelum Dimas bisa menjawab, Kael menghantamkan tangannya ke tanah, menciptakan getaran aneh yang mengalir melalui bumi. Tiba-tiba, tanah di bawah kaki Dimas mulai retak dan bergeser. Waktu di sekitar tanah tersebut tampaknya bergerak dengan ritme yang tidak wajar, mempercepat dan memperlambat secara bersamaan, menciptakan jebakan yang sulit dihindari.
Namun, Dimas sudah belajar dari pengalaman sebelumnya. Ia memanfaatkan elemen angin, melompat tinggi ke udara, menghindari retakan tanah di bawahnya. Dari posisi di atas, ia mengerahkan angin lebih kuat untuk tetap melayang di udara, sementara tangannya mulai mengumpulkan air dari kelembapan di udara, menciptakan bola air yang siap dilemparkan.
"Bagus," gumam Kael, tetap tenang meskipun berada dalam posisi terjepit.
Dimas melancarkan serangan berikutnya. Bola air itu melesat dengan kecepatan tinggi, namun Kael lagi-lagi memperlambat waktu di sekitarnya. Bola air itu melambat dan Kael dengan mudah menghindarinya. Tapi Dimas tidak berhenti di sana. Ia mengguncang udara di sekelilingnya, menciptakan pusaran angin yang tiba-tiba menarik bola air itu kembali dan meluncurkannya ke arah Kael sekali lagi, kali ini dengan kecepatan yang tidak terduga.
Kael terkejut. "Apa?" Sebelum dia bisa bereaksi, bola air itu mengenai tanah di dekatnya, meledak dalam semburan air yang mengirimkan gelombang tekanan angin ke sekitarnya. Kael terpaksa mempercepat waktu di sekitar dirinya untuk menghindari dampak serangan itu.
Dari kejauhan, Shoko bersorak kagum. "Dimas! Itu luar biasa!"
Mira tersenyum kecil. "Dia sudah jauh lebih baik dalam menggunakan kombinasi elemennya."
Namun, Dimas belum puas. Dia tahu Kael masih memiliki banyak trik yang belum ia keluarkan. Dengan sisa energinya, dia memutuskan untuk melanjutkan serangan. Kali ini, ia berfokus pada penggabungan kedua elemennya. Dengan gerakan tangan yang halus, angin mulai berkumpul di sekelilingnya, menciptakan badai mini yang semakin lama semakin besar. Di dalam pusaran angin itu, tetes-tetes air mulai berputar, berubah menjadi semburan es yang berkilauan di bawah cahaya matahari senja.
Kael memperhatikan dengan serius, menyadari bahwa Dimas benar-benar serius kali ini.
"Kombinasi yang baik, Dimas. Tapi apakah kamu bisa mengendalikan kekuatan sebesar itu?"
Dimas menatap Kael dengan penuh tekad. "Aku harus mencoba."
Dengan satu gerakan tangan, Dimas meluncurkan badai angin dan es itu ke arah Kael. Kael mengerahkan seluruh kekuatannya, mempercepat dirinya sendiri hingga waktu di sekelilingnya hampir berhenti, namun badai itu terlalu besar untuk sepenuhnya dihindari. Serpihan es berputar di sekeliling Kael, memaksanya bertahan.
Namun, Kael bukanlah lawan yang mudah dikalahkan. Dengan satu gerakan tegas, dia menghentikan manipulasi waktunya dan membiarkan badai itu menerjang dirinya, tapi pada saat yang sama, dia menciptakan gelombang waktu yang memantulkan sebagian besar serangan itu kembali ke Dimas.
Melihat hal itu, Dimas segera bereaksi, mengerahkan angin untuk menahan serangan balik. Ia berhasil memblokir sebagian besar es yang kembali, namun beberapa serpihan tetap berhasil melewati pertahanannya, melukai lengannya.
"Aku harus lebih baik," gumam Dimas sambil mengerang pelan, merasakan perih di lengannya.
Kael melangkah maju, mengulurkan tangan untuk mengakhiri duel itu. "Kamu sudah jauh lebih baik, Dimas. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."
Dimas, yang kini terengah-engah, menerima uluran tangan Kael. "Terima kasih. Tapi aku tahu... aku masih punya banyak yang harus dipelajari."
Kael tersenyum hangat. "Kita semua masih belajar. Tapi kamu sudah jauh lebih baik dari yang kamu kira."
Dimas tersenyum