Setelah tiba di lembah, Dimas merasa kagum dengan pemandangan yang begitu menenangkan. Pohon-pohon tinggi menjulang, memberikan keteduhan yang membuat udara terasa sejuk. Sungai yang mengalir jernih menciptakan suara gemericik yang damai, seolah-olah tempat ini berada di luar jangkauan dunia nyata. Namun, di balik ketenangan itu, ada energi misterius yang membuat bulu kuduk Dimas meremang.
Shoko yang berada di sampingnya tampak terpesona. "Tempat ini luar biasa," bisiknya. Dimas mengangguk, masih tak percaya dengan apa yang mereka alami sejak menemukan Kristal Hexagon di dalam gua. Petualangan yang tak pernah dia bayangkan kini menjadi kenyataan.
Arka berdiri di depan mereka, sosoknya begitu kokoh meskipun usianya sudah tua. Dengan tongkatnya yang berkilau, Arka menunjuk ke arah hutan yang lebih dalam. "Di balik lembah ini, ada sebuah desa tersembunyi. Tempat di mana para pemilik kekuatan seperti kalian tinggal dan berlatih. Kalian akan bertemu dengan banyak orang hebat di sana."
Dimas menelan ludah. "Apakah mereka semua memiliki kekuatan seperti aku?" tanyanya, masih merasa tidak percaya dengan nasib yang tiba-tiba diembannya.
"Setiap orang di sini memiliki kemampuan yang berbeda-beda," jawab Arka dengan tenang. "Tidak ada yang sama. Namun, hanya segelintir orang yang bisa terpilih untuk memegang salah satu dari enam elemen yang berhubungan dengan Kristal Hexagon."
"Keenam elemen itu?" Shoko mengulanginya dengan nada ingin tahu.
Arka tersenyum kecil. "Api, air, tanah, udara, cahaya, dan kegelapan. Masing-masing elemen tersebut memiliki kekuatan yang tak terbayangkan, dan hanya mereka yang terpilih yang bisa mengendalikannya."
Dimas memandang ke arah tangannya, seolah-olah berharap bisa merasakan kekuatan itu dalam dirinya. "Bagaimana aku tahu elemen apa yang aku miliki?"
"Waktu akan menunjukkan," jawab Arka. "Namun, jangan berharap semuanya akan mudah. Setiap elemen memiliki ujian yang berat, dan hanya mereka yang benar-benar siap yang akan bisa memanfaatkan kekuatannya."
Shoko terlihat merenung, kemudian bertanya, "Apa aku juga akan mendapatkan elemen?"
Arka menatap Shoko dalam-dalam. "Kau punya kekuatanmu sendiri, Shoko. Tidak setiap orang terhubung langsung dengan Kristal Hexagon, tetapi mereka yang terpilih tetap memiliki peran penting. Kekuatanmu dalam menyembuhkan dan melindungi adalah sesuatu yang langka. Jangan pernah meremehkannya."
Dimas tersenyum tipis ke arah Shoko, yang membalas dengan anggukan tegas. "Aku siap, Dimas. Apapun yang terjadi, aku akan ada di sampingmu."
Arka melanjutkan perjalanannya ke arah desa tersembunyi, dan Dimas serta Shoko dengan semangat mengikuti. Jalan menuju desa semakin dipenuhi oleh pepohonan besar dengan daun yang lebat, membuat cahaya matahari terfilter dan menciptakan suasana yang tenang. Suara burung-burung aneh terdengar di kejauhan, sementara aroma hutan yang segar memenuhi udara.
Akhirnya, mereka sampai di pintu gerbang yang terbuat dari batu hitam yang kokoh, desa itu diberi nama Eclipsara. Di sana, berdiri beberapa orang berjubah, menjaga pintu masuk dengan waspada. Arka melangkah maju dan memberi salam hormat. "Ini adalah dua anak spesial yang akan belajar di sini," katanya singkat.
Salah satu penjaga, seorang wanita dengan mata tajam dan rambut panjang berwarna perak, memandang Dimas dan Shoko dengan cermat. "Mereka masih sangat muda," katanya, suaranya dingin namun penuh wibawa.
Arka mengangguk. "Tapi kekuatan mereka tidak boleh diremehkan. Waktu akan membuktikan kemampuan mereka."
Wanita itu mengangguk dan melangkah ke samping, memberi jalan. Ketika mereka masuk ke dalam desa, Dimas langsung dikelilingi oleh pemandangan yang menakjubkan. Desa itu dipenuhi oleh rumah-rumah yang dibangun di atas pepohonan, dengan jembatan-jembatan kayu yang menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Orang-orang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing, beberapa membawa senjata aneh, sementara yang lain tampak sedang berlatih sihir.
"Tempat ini seperti dari dunia lain," gumam Dimas, hampir tidak percaya.
Shoko tersenyum lebar. "Aku tidak sabar untuk mulai berlatih di sini."
Mereka kemudian dibawa ke sebuah aula besar di tengah desa. Aula itu tampak seperti tempat pertemuan, dengan pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran-ukiran misterius. Di dalamnya, duduklah sekelompok orang yang tampak berpengaruh. Di tengah-tengah mereka berdiri seorang pria tinggi dengan rambut hitam panjang dan jubah biru tua yang menyapu lantai.
"Ini adalah Raiden," bisik Arka kepada Dimas dan Shoko. "Dia adalah salah satu pemimpin di tempat ini, dan orang yang paling ahli dalam mengendalikan sihir, jangan remehkan dia."
Raiden menatap mereka dengan tatapan tajam, seolah-olah bisa membaca setiap pikiran mereka. "Kalian adalah pemegang Kristal Hexagon yang baru," katanya dengan suara berat. "Tugas ini bukanlah hal yang ringan. Apa kalian siap menghadapi konsekuensi dari kekuatan ini?"
Dimas merasakan tekanan dari pertanyaan itu, tetapi ia tidak mau menunjukkan kelemahan. "Aku siap," jawabnya dengan suara yang lebih yakin dari perasaannya.
Shoko ikut mengangguk. "Kami berdua siap untuk belajar."
Raiden mendekat dan memandang mereka lebih dekat. "Ada banyak bahaya yang menanti kalian. Bukan hanya musuh dari luar, tetapi juga dari dalam diri kalian sendiri. Kekuatan ini bisa menghancurkan atau menguatkan, tergantung pada bagaimana kalian menggunakannya."
Dimas merasa jantungnya berdegup kencang. Tantangan ini lebih besar dari yang ia bayangkan, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang ingin maju, yang ingin membuktikan bahwa ia mampu mengendalikan takdirnya.
"Baiklah," kata Raiden akhirnya. "Kalian akan mulai berlatih besok. Kalian akan ditempatkan di bawah bimbingan Arka, dan aku akan mengawasi perkembangan kalian."
Dimas dan Shoko mengangguk. Meskipun banyak pertanyaan yang masih berkecamuk di benaknya, Dimas merasa sedikit lebih tenang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi ia tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Ketika malam tiba, Dimas dan Shoko dibawa ke kamar mereka, sebuah pondok kayu sederhana dengan pemandangan lembah yang menakjubkan. Ketika mereka duduk di teras, menatap bintang-bintang yang bersinar terang di langit malam, Dimas merasakan kedamaian yang jarang ia rasakan.
"Kau tahu, Dimas," kata Shoko sambil tersenyum lembut. "Ini hanya awal dari perjalanan kita. Aku yakin kita akan menemukan lebih banyak kejutan di depan."
Dimas menoleh padanya dan tersenyum. "Aku harap aku bisa menghadapi semua ini."
"Kau bisa," jawab Shoko dengan penuh keyakinan. "Kita bisa."
Dengan itu, Dimas merasa sedikit lebih tenang. Apapun yang terjadi, ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam perjalanan ini. Bersama Shoko dan Arka, ia akan menghadapi apapun yang menanti mereka.
Dimas menghela napas dalam-dalam, meresapi malam yang tenang. Namun, di balik ketenangan itu, dia tahu ada sesuatu yang lebih besar sedang menantinya. "Kau tahu, Shoko," katanya pelan, "Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan berubah seperti ini. Dulu aku hanya ingin menjalani hari-hariku tanpa gangguan, tapi sekarang…"
Shoko menatapnya penuh pengertian. "Sekarang kau memegang takdir yang lebih besar, Dimas. Tapi ingat, kau tidak sendirian. Apapun yang terjadi, kita akan hadapi bersama."
Dimas menatap bintang-bintang sekali lagi, merasakan beban yang besar di pundaknya. Namun, dengan Shoko di sampingnya, dia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi apa pun yang datang. "Ya, bersama-sama," bisiknya, memantapkan hatinya.