Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

terjerat obsesi sang mafia

A_Y_U
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
381
Views
Synopsis
Dante, pria kejam yang hidup di dunia kelam, tak pernah mengenal rasa iba. Namun segalanya berubah saat ia bertemu Lea, gadis lugu yang tanpa sengaja menjadi saksi pembunuhannya. Lea, seorang guru TK polos, kini menjadi obsesi terbesarnya dan Dante bersumpah, ia tidak akan melepaskannya.
VIEW MORE

Chapter 1 - 01

Lea, seorang guru TK, berjalan sendirian di malam gelap. Ia memilih jalan pintas melalui perkebunan warga untuk menghemat ongkos pulang. Udara malam dingin, dan langkah kakinya diiringi desah napas lelah.

"Huft, lelah sekali ternyata. Kunjungan tadi memang lancar, tapi badan rasanya sakit semua," gumamnya sambil merapikan tas kecil di bahunya.

Kegelapan menyelimuti jalan itu, hanya suara serangga malam yang terdengar. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika suara teriakan tertahan seorang pria memecah keheningan.

"Hah? Apa itu?" Lea bergumam pelan, rasa penasaran mulai menguasai pikirannya. "Ah, abaikan saja, Lea… Abaikan saja…" bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya untuk terus berjalan.

Namun, rasa ingin tahunya tak bisa dibendung. Ia mengendap-endap mendekati sumber suara, berusaha tidak membuat suara. Saat mendekat, matanya membulat. Dua pria sedang bertengkar hebat di bawah cahaya samar bulan. Salah satunya tiba-tiba terjatuh, tak bergerak lagi.

"Apa… dia…?" Lea menutup mulutnya, matanya membelalak tak percaya.

Ketakutan menyelimuti dirinya. "Aku harus segera pergi!" bisiknya, berbalik hendak melarikan diri. Namun sial, kakinya menginjak ranting kering yang patah, menimbulkan suara cukup keras.

"Siapa di sana?!" suara pria itu menggema di udara malam.

Jantung Lea berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Ia mencoba berlari, tetapi pria itu sudah melihatnya. Langkah kakinya mengejar dengan cepat. Tak butuh waktu lama, Lea tertangkap.

"Hanya seorang gadis manis…" gumam pria itu. Namun, tatapannya segera berubah dingin. "Tapi kenapa ikut campur?!" teriaknya, mengguncang Lea yang gemetar.

Karena gelap, pria itu tak dapat melihat wajah Lea dengan jelas. Ia mengeluarkan ponsel, menyalakan senter, dan menyinari wajah gadis di depannya.

Pria itu, Dante, tertegun. Cahaya menyorot wajah Lea yang pucat, tetapi cantik. Mata gadis itu terpejam, bibirnya bergetar ketakutan. Ada sesuatu dalam dirinya yang menggetarkan hati Dante—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Lea, di sisi lain, hanya bisa berdoa agar semuanya segera berakhir. Namun malam itu, ia tak menyadari hidupnya akan berubah untuk selamanya.

Lea menggigil di bawah tatapan tajam pria di depannya. Cengkeraman kuat di lengannya membuatnya sulit bernapas. Mata Dante yang dingin menatap langsung ke arahnya, seolah menembus hingga ke jiwanya.

"Kau berhutang kepadaku," ucap Dante dengan nada dingin, melepaskan cengkeramannya perlahan.

"Hah?" Lea tergagap, matanya membulat karena terkejut. "Aku... aku janji! Aku akan merahasiakan ini semua! Sungguh, aku akan menganggap malam ini tidak pernah terjadi, aku tidak melihat apa-apa!" ucapnya tergesa, kata-katanya keluar begitu saja tanpa ia sadari.

Ucapan Lea terdengar lucu di telinga Dante. Senyum tipis, hampir tak terlihat, muncul di wajahnya yang keras. "Siapa yang tahu? Kan?" balasnya dengan suara rendah yang menusuk, memiringkan kepala sambil menatap Lea penuh misteri.

Lea meringis. Ia bingung harus berkata apa lagi untuk meyakinkan pria menyeramkan di depannya ini. Pikiran-pikiran buruk berkecamuk di kepalanya, membuat tubuhnya semakin gemetar.

Namun Dante tak berkata banyak lagi. Ia mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Lea, membuat gadis itu mundur dengan panik. Dengan suara rendah, ia berkata, "Ingat, aku akan selalu mengejarmu… Dan kau milikku, mulai sekarang."

Lea terperangah. Matanya membulat, napasnya tercekat. Ia terlalu takut untuk membalas ucapan pria itu.

Setelah memberikan peringatan yang menakutkan, Dante berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Lea yang berdiri mematung. Gadis itu masih terlalu terkejut untuk memahami maksud dari perkataan Dante.

"Maksud dia apa?" gumam Lea dengan suara lirih, tatapan matanya penuh kebingungan. Wajahnya mencerminkan campuran rasa takut, bingung, dan cemas. Malam itu meninggalkan tanda yang tak akan mudah hilang dalam hidupnya.

Lea berlari dengan terburu-buru, tubuhnya masih gemetar ketakutan setelah pertemuannya yang mengerikan dengan Dante. Begitu sampai di rumah kecilnya, dia langsung membuka pintu dan bersandar di baliknya, terengah-engah. "Huff… lelah sekali..." desahnya, berusaha menenangkan diri.

Namun, tiba-tiba, suara dari belakang membuatnya terlonjak. "Kenapa malam sekali kamu pulang?" terdengar suara kakaknya, Lia, yang sedang berdiri di depan pintu dengan wajah serius.

Lea langsung terkejut. "Ih, Kak! Ini mengagetkan saja!" ucapnya, merasa konyol.

Lia, kakaknya yang terkenal galak, menatapnya dengan cemas. "Kemana aja kamu? Jam segini baru pulang, loh!" tanyanya dengan nada tegas.

Lea merapikan napasnya yang masih terengah-engah. "Aku kan sudah bilang, Kak. Hari ini ada kunjungan antar murid..." jawabnya terburu-buru, berharap Lia tidak terlalu banyak bertanya.

Lia mengangkat alis, tampaknya tidak terlalu puas dengan jawaban itu. "Tapi Ahsan, dia udah pulang dari tadi. Aku lihat dia lewat-lewat depan rumah kita. Kamu kok baru pulang?" tanyanya lagi, agak heran.

Lea meringis. Sebentar dia bingung harus menjawab apa. "Eh… itu, Kak. Aku tadi jalan kaki," jawabnya pelan, sedikit kikuk.

"Jalan kaki? Kenapa?" tanya Lia, makin heran dan sedikit khawatir.

Lea menggigit bibir, berusaha menyembunyikan rasa takutnya. "Menghemat ongkos, Kak," jawabnya dengan lirih, berharap Lia tidak khawatir lebih jauh.

Lia terdiam sejenak, matanya melotot tak percaya. "Menghemat ongkos? Kamu bisa-bisanya jalan kaki malam-malam gitu? Emangnya kamu nggak khawatir kalau ada orang jahat?" tanya Lia dengan nada sedikit tegang.

Lea tertawa canggung. "Aku kan pulangnya lancar, Kak! Nggak ada yang aneh…" jawabnya, berusaha meyakinkan kakaknya.

Lia meringis, menahan tawa. "Lancar katanya. Tapi coba bayangin kalau kamu ditangkap pencuri, atau… atau ketemu orang jahat kayak… ya siapa tahu ada mafia di sekitar sini!" Lia berkata dengan ekspresi serius, namun bibirnya tak bisa menahan senyum.

"Kakak ini malah nyeremin, deh!" Lea berkata sambil tertawa canggung.

Lia akhirnya tertawa juga, menyandarkan punggung ke dinding dengan santai. "Ya udah, lain kali kalau jalan kaki malam, kasih kabar dulu. Kalau nggak, aku kasih dompet baru buat ongkos!" katanya sambil tersenyum lebar.

Lea pun tertawa lebar, merasa lega karena kakaknya tak terlalu marah. "Iya, Kak! Maaf ya, sudah bikin khawatir…"

Lia mengacak rambut adiknya dengan malas, sambil tetap tersenyum. "Kamu itu, Lea… selalu saja bikin pusing kepala. Tapi ya sudah, tidur sana, nanti besok aku kasih saran, gimana caranya pulang tanpa jalan kaki."

Lea hanya bisa tertawa kecil, merasa lebih baik setelah obrolan ringan itu. Ternyata, kakaknya yang galak itu bisa juga membuatnya tertawa, walau dengan cara yang aneh.

"Bagaimana dia bisa mengajar semua murid dengan tingkah konyol dan bodohnya itu?" lirih Lia, sambil berlalu pergi menuju kamarnya.