Chapter 6 - 06

"Perempuan manis," ucap Dion sambil tersenyum kecil, memandangi Lea yang berlari menjauh.

"Aku harus mengganti ponselnya," gumamnya sendiri, lalu berjalan menuju mobil miliknya.

Di dalam mobil, seseorang yang sudah duduk di sana bertanya, "Kenapa kamu repot-repot mengejar dompetnya? Bukannya kamu punya banyak uang?"

Dion tersenyum tipis. "Ini bukan soal dompet. Tapi soal harga diri," jawabnya sambil membuka pintu mobil.

Seseorang itu menoleh dan mengerutkan dahinya. "Harga diri? Maksudmu?"

Dion terkekeh pelan, lalu menjelaskan, "Aku melihat ada seorang gadis yang berani mengejar perampok itu. Aku gak bisa diam saja, nggak mungkin kan aku biarkan seorang perempuan menghadapi preman seperti itu."

Seseorang itu terkekeh, suaranya sinis. "Sejak kapan kau perduli kepada orang lain, Dion?"

Dion menoleh, matanya tajam, dan alisnya terangkat tinggi. "Aku bukan kau, Dante," jawabnya dengan nada tegas. "Aku pria sejati yang tidak tega melihat seorang perempuan dalam kesusahan. Aku tak bisa begitu saja menutup mata, apalagi jika ada sesuatu yang perlu aku lakukan untuknya."

Pandangan Dion beralih ke luar jendela mobil, seperti mencari jawaban di jalanan yang kosong. Kata-katanya terhenti sejenak, dan ada sebuah kilasan kegelisahan di matanya yang hanya terlihat sekejap. "Aku sekarang ingin mencari perempuan itu," lanjutnya, suaranya kini lebih pelan namun penuh tekad. "Entah apa yang terjadi, aku merasa dia... berbeda."

Dante terdiam, matanya menyipit memandangi Dion. "Dan kau yakin ini bukan sekadar dorongan emosionalmu?" tanyanya, suara ketidakpastian masih terasa. "Kau tahu, mengejar seseorang tanpa alasan yang jelas bisa jadi lebih berbahaya daripada yang kau kira."

"Aku harus mengganti ponselnya," jawab nya, matanya masih fokus pada jalanan, seolah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dipikirkan.

Dante menyela, "Seperti apa perempuan itu? Apakah dia seperti perempuan binal?"

Dion menoleh tajam, matanya menyala, tapi dia tetap tenang. "Jaga mulutmu, Dante," jawabnya dengan suara datar, namun tegas. "Aku memang menyukai perempuan seperti itu, tapi kali ini berbeda. Dia... seperti bocah imut dan menggemaskan."

Dion sedikit tersenyum, pandangannya melayang kembali ke luar jendela, membayangkan pertemuan tadi. Di pikirannya, dia melihat Lea berlari kencang, tasnya melayang di udara dan dengan presisi sempurna mengenai kepala perampok. Itu sebuah aksi yang tak terduga, penuh keberanian. Bagi Dion, itu sangat mengesankan.

Biasanya, dia bertemu dengan perempuan manja, yang lebih cenderung bergantung padanya. Tapi Lea, dia berbeda. Ada sesuatu yang kuat dan mandiri, meskipun terlihat seperti anak kecil yang masih belajar cara melawan dunia.

Dante mendengus, tetap skeptis. "Kau yakin? Jangan sampai kau terbawa emosi. Perempuan seperti itu... bisa jadi masalah."

Dion hanya mengangkat bahu, senyumnya kembali muncul, kali ini lebih lembut. "Mungkin. Tapi aku rasa, dia bukan masalah. Justru, dia membuatku ingin tahu lebih banyak."

"Kenapa dia ?" tanya Dante, dengan tatapan yang penuh keheranan dan sedikit kekhawatiran. "Kau serius, Dion?"

Dion menoleh ke Dante, ekspresinya tetap datar, namun ada kilatan sesuatu yang lebih gelap di matanya. "Yap, aku serius," jawabnya pelan, suara yang tidak menunjukkan sedikit pun keraguan.

Dante mengerutkan kening, tidak bisa menyembunyikan rasa bingungnya. "Aku tidak mengerti. Kau biasanya tidak peduli dengan perempuan seperti itu."

Dion hanya menghela napas panjang, pandangannya kembali menerawang ke luar jendela. "Dia berbeda, Dante. Jauh berbeda."

Dante menatap kakaknya dengan tatapan tajam, namun di balik tatapannya, ada kekhawatiran yang mulai muncul. Kedua pria ini memang memiliki sikap dingin yang sama seperti batu, tak mudah tergoyahkan. Mereka adalah mafia, dan dunia yang mereka jalani mengajarkan mereka untuk tak pernah ragu untuk menyakiti seseorang yang mengganggu ketenangan hidup mereka. Namun, meskipun keduanya begitu keras, ada sisi di dalam diri mereka yang lebih manusiawi, yang kini perlahan muncul dengan perasaan yang tak terduga.

"Sebaiknya kau hati-hati," kata Dante akhirnya, nada suaranya serius. "Kau tahu dunia ini tak sesederhana itu. Perempuan seperti dia bisa saja jadi masalah lebih besar daripada yang kau kira."

Dion menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. "Aku tahu risiko itu. Tapi kadang, aku merasa hidup terlalu lama dalam bayang-bayang... dan mungkin, dia bisa menjadi cahaya kecil yang berbeda."

"Hey, kau baru bertemu dengan dirinya tadi, kenapa jadi berpikir kemana-mana seolah dia kekasihmu?" Dante berkata dengan nada sedikit muak, matanya menatap Dion yang tampak terlarut dalam pikirannya.

Dion terkekeh pelan, dia membenarkan perkataan adiknya. "Kau benar juga," katanya sambil mengangguk. Lalu, dengan senyum yang agak mengintimidasi, matanya menatap tajam pada Dante. "Tapi bukan hanya aku yang begitu."

Dante terkesiap, namun Dion melanjutkan dengan suara yang lebih berat, "Bukan kah kau juga sama? Kau bercerita dengan penuh semangat, sedang mengagumi seorang perempuan yang sudah memergokimu menghabisi seseorang?"

Dante hanya diam, menatap Dion dengan ekspresi yang mulai gelap.

Dion tidak berhenti di situ. "Dan kau juga menyukai perempuan itu, hingga mencari semua informasi tentang dia. Bahkan, tahu pekerjaan dan latar belakangnya. Kau mengejarnya dengan selalu muncul tiba-tiba di depan dia. Apa itu tidak lebih gila dari yang aku lakukan?"

Dante tidak mampu membalas perkataan sang kakak. Ia diam sejenak, matanya menunduk, berusaha menata pikirannya yang mulai kacau. Beberapa detik berlalu, dan akhirnya dia menarik napas panjang, suara yang keluar pelan dan enggan.

"Sudahlah, Kak. Urus saja urusanmu. Aku tidak akan ikut campur," ucapnya, sedikit merasa malu, dengan suara yang lebih rendah dari biasanya.

Dion memperhatikan adiknya yang kini terlihat seperti tersudut. Ada sesuatu yang tak terlihat jelas di balik sikap dinginnya. Dion bisa mendengar lirihan kecil dari Dante, meski suaranya hampir tak terdengar.

"Menyesal aku telah curhat kepadamu," terdengar lirih, namun cukup jelas bagi Dion yang mendengarnya.

Dion terkekeh pelan, merasa seolah-olah kali ini dia berhasil menang. Sikap Dante yang biasanya lebih kejam dan tajam, kini terlihat seperti terluka dan tersudut. Sebuah kemenangan kecil bagi Dion, meskipun ia tahu ini bukanlah akhir dari permainan mereka.

"Tapi ngomong-ngomong, siapa perempuan itu? Apa dia manis?" tanya Dion, berusaha menggoda Dante dengan senyum nakal yang tak bisa disembunyikan.

Dante langsung menatap Dion dengan tatapan tajam, seolah-olah mencoba menahan amarah yang mulai membuncah. "Diamlah," jawabnya dengan suara sinis, berusaha menutupi ketegangan yang terasa.

Tawa Dion semakin pecah, membuat suasana dalam mobil terasa lebih ringan. Ia tertawa terbahak-bahak, menikmati betul momen di mana ia berhasil membuat Dante marah karena merasa tersudutkan. Wajah Dante yang memerah dan matanya yang tampak mengkilat karena kemarahan hanya semakin memperburuk situasi.

"Ah, ini benar-benar lucu," kata Dion sambil terus tertawa, merasa puas melihat ekspresi Dante yang begitu kesal. "Kamu kelihatan seperti anak kecil yang kalah permainan."

Dante menggeram pelan, tampaknya kesal dengan tingkah kakaknya yang tak henti-hentinya menggoda. "Sudahlah, diam. Ayok kita pergi," ucapnya dengan suara yang penuh geram, berusaha menahan emosinya agar tidak meledak lebih jauh.

Dion mengangkat tangan dengan pura-pura menyerah, namun senyum nakalnya tetap terukir. "Baiklah, baiklah," jawabnya sambil menoleh ke arah supir, "Ayo jalan, Pak."

Nada suara Dion masih mengandung sedikit tawa yang tak bisa ia tahan. Dion melihat Dante sekali lagi, seolah memberi tanda kemenangan yang kecil.

"Jangan khawatir, Dante," lanjut Dion dengan senyum nakal, "Aku akan berhenti menggoda, tapi hanya untuk sementara waktu."

Keheningan menyelimuti mobil sejenak, tapi tawa Dion yang tak sepenuhnya hilang tetap terasa di udara, memberi tanda bahwa permainan antara mereka berdua masih akan berlanjut.