Di kontrakan kecil lea menyelimuti sang kakak dengan selimut tipis nya,ya setelah perdebatan itu lea dan lia memutuskan untuk pergi dari rumah ayah nya. mereka memutuskan untuk mengontrak di kontrakan yang sangat kecil,bahkan semua tabungan mereka berdua habis di buat sang ayah berjudi.
Lea memegang kening kakak nya yang semakin panas dan menggigil,matanya mulai berkaca kaca,"bertahanlah kak aku akan membeli obat terlebih dahulu"lirih nya sambil mengusap rambut sang kakak dengan lembut.
Lea berjalan lunglai dengan berat hati harus meninggalkan sang kakak dulu,dia berjalan menyusuri trotoar,dia mengusap-usap kan tangan nya pertanda kedinginan.
Dia berjalan ke arah apotek,"semoga uang nya cukup"lirih nya pelan tidak yakin,namun dia tidak ada pilihan.
"berapa semuanya?"tanya lea kepada kasir ,"semua nya 250 ribu mbak."
"hah?"lea membulatkan matanya,dia begitu kaget mendengar harga obat itu begitu mahal,dia merogoh tas ,di dalam tas itu hanya ada uang 100 ribu itupun untuk kehidupan seminggu kedepan,lea mendesah pelan,"bagaimana ini?"ucap nya dengan meringis.
"nih mbak uang nya,dan serahkan obat itu!"ucap salah seorang pria ,lea mendongakkan kepalanya ,"ini obat nya."ucap pria tersebut sambil tersenyum manis,"kamu?"ucap lea kaget.
Lea berlari dengan cepat ,dia terlalu lama membeli obat,dengan sekuat tenaga dia berlari ,angin malam yang awal nya membuat dirinya dingin,sekarang tidak terasa bagi lea,keringat mulai bercucuran dia berlari cukup kencang,setelah beberapa menit berlari akhirnya dia sampai di depan kontrakan baru nya,"hah....hah...ini lelah sekali..terakhir aku berlari saat mengejar maling,hah...hah..."ucap nya sambil ter engah-engah.
Ketika Lea akhirnya tiba di kontrakan, napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam itu dingin. Dinding kontrakan kecilnya yang lembap terlihat remang-remang oleh lampu 5 watt di pojok ruangan. Lia masih terbaring di kasur tipis, menggigil hebat.
"Aku pulang, Kak," ujar Lea, suaranya sedikit gemetar.
"Kamu dari mana?" suara Lia terdengar serak, nyaris seperti bisikan.
Lea tersenyum kecil, meski matanya masih menyimpan kekhawatiran. "Aku habis beli obat, Kak. Dan... ini, aku beli bubur juga. Kamu harus makan dulu, ya, baru minum obat."
Dia meletakkan bungkusan obat di meja kecil yang sudah reyot di sebelah kasur Lia. Tangannya cekatan membuka mangkuk bubur yang masih hangat, uapnya naik perlahan, menciptakan sedikit kehangatan di ruangan yang dingin itu.
"Ayo, Kak," ajak Lea lembut sambil membawa mangkuk bubur mendekat. "Makan dulu, biar cepat sembuh."
Lia menggeleng lemah, "Aku nggak lapar..."
Lea mendekatkan mangkuk itu ke kakaknya, suaranya sedikit memaksa namun penuh kasih sayang. "Kak, kamu harus makan. Aku nggak mau kamu tambah sakit." Suaranya mulai bergetar, tetapi ia mencoba tersenyum.
Melihat tatapan penuh harap dari adiknya, Lia akhirnya mengangguk kecil. Lea menyuapinya dengan hati-hati, memastikan bubur itu tidak terlalu panas. Setiap suapan terasa berat bagi Lia, tetapi ia tahu Lea sudah berusaha keras untuk dirinya.
"Kamu makan apa tadi?" tanya Lia pelan di sela suapannya.
Lea terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku kenyang kok, Kak. Yang penting Kakak sembuh dulu."
Setelah Lia selesai makan dan meminum obat, Lea menyelimuti tubuh kakaknya dengan hati-hati. Selimut tipis yang sudah kusam itu ia tarik hingga menutupi bahu Lia. Ia memperhatikan wajah kakaknya yang tampak lebih tenang, meski masih terlihat pucat.
"Semoga kamu cepat sembuh, Kak," bisik Lea pelan, matanya menatap sayu wajah Lia. Ia memastikan kakaknya tertidur dengan nyaman, lalu berdiri perlahan, berusaha tidak membuat suara sedikit pun.
Langkahnya ringan saat menuju pintu depan kontrakan kecil mereka. Udara malam yang dingin segera menyentuh kulitnya begitu ia membuka pintu. Lea berjalan menuju bangku kayu tua di depan kontrakan. Bangku itu sudah usang, catnya mengelupas, dan ada beberapa bagian yang hampir patah. Namun, hanya itulah tempatnya untuk sejenak menenangkan diri.
Lea duduk perlahan, memeluk lututnya erat. Matanya memandang ke langit malam yang gelap tanpa bintang. Pikiran-pikirannya melayang. Hati kecilnya dipenuhi rasa khawatir tentang kakaknya, tentang kehidupan mereka ke depan, dan bagaimana ia harus bertahan dengan semua ini.
"Kenapa ini semua harus terjadi padaku?" lirih Lea sambil memandang ke langit yang kelam. Hanya ada sedikit bintang yang terlihat di antara awan-awan gelap, seolah menyembunyikan keindahannya dari dunia.
Ia menghela napas panjang, dadanya terasa begitu sesak. "Aku tidak cukup kuat menghadapi semua ini, Tuhan," bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya mulai berkaca-kaca.
Tangannya yang dingin menyeka air mata yang jatuh perlahan di pipinya. "Ibu..." gumamnya pelan, suaranya penuh kerinduan. "Aku rindu Ibu..."
Ia menunduk, memeluk dirinya sendiri untuk melawan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Bayangan wajah ibunya yang hangat tiba-tiba muncul di pikirannya, seperti sebuah pelukan tak terlihat yang membuat dadanya semakin perih.
Namun, beberapa detik kemudian, pikirannya beralih pada pria yang tadi ia temui di apotek. Sosok pria itu begitu jelas dalam ingatannya senyumnya yang hangat dan caranya menolong Lea tanpa pamrih.
"pria itu.."lirih nya pelan dengan pandangan kosong kedepan ,
flash back....
"Kenapa kamu menolongku? Dan bagaimana bisa kamu tahu aku ada di sini?" tanya Lea penasaran, sambil terus berjalan pelan di trotoar bersama pria itu. Langkah kakinya sedikit lambat, masih memikirkan kejadian tadi.
Pria itu tersenyum kecil, seolah tak terganggu dengan nada penuh kecurigaan dari Lea. Tatapan matanya berubah lembut saat melihat wajah Lea yang jelas kelelahan. "Kebetulan aku sedang jalan-jalan saja, dan aku melihatmu masuk ke apotek," jelasnya singkat.
Lea menatap pria itu dengan dahi sedikit berkerut. Jawabannya terasa terlalu sederhana, bahkan sedikit sulit dipercaya. "Jalan-jalan? Malam-malam begini? Di sekitar sini?" balas Lea, suaranya penuh keraguan.
Pria itu mengangguk kecil sambil tetap tersenyum. "Yah, terkadang jalan malam itu menenangkan," ujarnya sambil melirik ke arah Lea.
Lea menghela napas pelan. "Kau tidak perlu membantuku. Aku tidak ingin berhutang budi pada siapa pun," lirihnya, nyaris seperti bisikan. Namun, ada keteguhan dalam nada bicaranya.
Pria itu menghentikan langkahnya, membuat Lea ikut berhenti. Ia menatap Lea dengan pandangan serius, tapi tidak mengintimidasi. "Aku tidak membantu untuk meminta sesuatu darimu, Lea. Aku hanya... ingin memastikan kau baik-baik saja."
Lea mendongakkan kepalanya, mata mereka bertemu. Ada ketulusan yang sulit diabaikan dalam manik mata pria itu, tapi Lea tetap berusaha menjaga jarak. Ia tersenyum kecil, tapi senyumnya terlihat getir. "Tetap saja, aku akan mengganti uangmu. Aku janji," ucapnya, berusaha tegas meski suaranya pelan.
Pria itu menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum tipis. "Kita lihat saja nanti," balasnya ringan, sebelum kembali melanjutkan langkah.
Lea diam sejenak, memperhatikan punggung pria itu. Ada sesuatu yang aneh dan mengganggu di hatinya. Bukan karena rasa terima kasih, tapi ada perasaan lain yang ia belum bisa pahami.