Chapter 2 - 02

Pagi itu, Lea bangun dengan langkah ringan. Dia bersiap-siap untuk mengajar seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini. Ketika ia berjalan menuju meja makan, ia mendapati bahwa sang kakak, Lia, tidak ada di sana. Namun, di atas meja makan yang tampak usang, ada sepiring nasi goreng yang tampaknya masih hangat.

Lea tersenyum kecil, hati sedikit lebih ringan. "Kak Lia memang galak, tapi dia sangat perhatian," gumamnya pelan, sambil menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Meski sedikit kesal karena sikap Lia yang kadang keras, Lea tahu bahwa kakaknya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Setelah menyelesaikan sarapannya, dia segera bergegas keluar rumah, siap menjalani hari.

Namun, di perjalanan menuju halte bus, di gang sempit yang biasa ia lewati, matanya tertuju pada seorang pria yang sedang mabuk dan berjudi. Lelaki itu duduk di sana dengan raut wajah yang suram, seolah dunia tak lagi peduli padanya. Lea berhenti sejenak, melihat dengan penuh rasa iba.

"Kenapa dia selalu seperti itu?" bisik Lea pelan, suaranya hampir hilang tertelan angin pagi. Hatinya terasa sesak. "Tidak mencerminkan sama sekali sebagai seorang ayah…" keluhnya, tanpa sadar air matanya mulai menetes. Pria itu, ayahnya, yang seharusnya menjadi panutan, kini malah terjebak dalam kebiasaan buruk yang merusak hidupnya. Lea menoleh, berlari menjauh dengan cepat, menghapus air matanya yang jatuh begitu saja.

Dia terus berlari, mencoba menghapus perasaan sedih yang tiba-tiba datang. Tiba di halte, dia berhenti sejenak, berusaha menenangkan diri. Bus yang ditunggu belum datang, dan Lea menatap kosong ke jalanan yang ramai. Di balik jaket tipis yang dia kenakan, rambutnya yang diikat kepang satu menambah kesan manis dan imut. Poni yang menutupi sebagian wajahnya membuat Lea terlihat semakin muda, seperti gadis kecil yang berusaha bertahan dalam dunia yang keras.

Lea menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri. Hari ini, seperti hari-hari lainnya, dia harus menghadapinya dengan senyum. Seberat apapun perasaan yang ia pendam, dunia tak akan berhenti berputar. Dengan semangat baru, Lea memutuskan untuk tetap tegar, berharap hari ini akan membawa kebaikan meskipun beban di hatinya terasa begitu berat.

Saat Lea berbalik dan seketika matanya membulat saat melihat pria itu. Pria yang kemarin malam ditemuinya, Dante, kini berdiri tepat di depannya, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Astaga..." gumam Lea dengan suara tercekat, terkejut dan kaget melihatnya di sini. "Kenapa pria ini bisa ada di depanku sekarang?" pikirnya dalam hati, kebingungan.

"Apakah kau mengikuti aku?" tanya Lea, suara gagapnya tak bisa ia sembunyikan. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Ia merasa seperti terjebak dalam situasi yang semakin mencekam.

Dante hanya tersenyum tipis, namun senyuman itu terasa begitu menyeramkan bagi Lea. "Aku sudah bilang, sekarang kau milikku," ucap Dante dengan nada datar, matanya menatap Lea dengan penuh dominasi. Senyuman yang terukir di wajahnya justru semakin membuat suasana semakin tegang.

Lea menarik napas dalam, matanya mulai berkaca-kaca, dan suara sendunya hampir hilang saat ia memohon, "Sungguh, aku mohon… jangan seperti ini." Tangannya terangkat sedikit, seperti mencoba menghalangi pria itu, namun tetap tak bisa menutupi ketakutannya. "Aku akan menutup mulut, jangan khawatir… tapi tolong, jangan lakukan ini padaku," lanjutnya, mata penuh kepanikan.

Dante tidak terpengaruh. Ia hanya menatap Lea tanpa ekspresi, matanya dingin dan tajam. "Dengar, kau menyaksikan semuanya. Tidak ada yang tidak mungkin," katanya, suara rendah namun jelas. "Kau akan mengatakan semuanya kepada orang lain, kan?"

Lea menggelengkan kepala dengan lemah, tak tahu harus berkata apa. Kepalanya terasa berat, dan rasa takut semakin mencekiknya. "Tidak… tidak akan…" jawabnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar. Hidupnya sudah terlalu sulit, dan kini, pria ini—Dante—menambah beban yang harus dia hadapi. Lea meringis, merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Tak ada lagi jalan keluar, sepertinya, dari situasi yang semakin mencekam ini.

Dia merasa seperti terperangkap dalam dunia yang tidak pernah dia pilih, dunia yang dipenuhi ketakutan, kebingungan, dan rasa kehilangan.

bus akhirnya datang, Lea langsung berlari dengan tergesa-gesa. Ia tidak ingin lagi berhadapan dengan Dante yang masih berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang seolah bisa menembus segala ketakutan yang ada di dalam dirinya. Bus itu berhenti tepat di depan Lea, dan tanpa ragu, ia langsung melangkah masuk, menatap sekeliling dengan panik.

Dari dalam kaca bus, Lea memandang Dante yang masih berdiri di sana. Tatapannya dipenuhi ketakutan, dan begitu mata mereka bertemu, Lea langsung membalikkan pandangannya dengan cepat. Jantungnya berdebar kencang, dan ia merasa seperti dunia di sekitarnya mulai mengecil.

"Ya ampun, malang sekali hidupku," lirihnya dengan meringis, hatinya dipenuhi perasaan cemas dan bingung.

Sejenak, Lea menundukkan kepala, berusaha menenangkan dirinya. "Hidupku sudah berat, kenapa dia malah muncul? " pikirnya dengan sesak di dada. "Seharusnya aku kemarin naik bus saja, tidak peduli uang habis, lebih baik kalau aku tak bertemu dengannya," lanjutnya dalam hati, merasa menyesal dengan keputusan-keputusan kecil yang kini berujung pada pertemuan yang menakutkan itu.

Lea menatap tangan yang menggenggam tasnya, mencoba mengalihkan pikirannya. "Pria itu memang tampan, tapi sangat menakutkan. Apalagi saat aku melihat dia menghajar orang lain... astaga," pikirnya lagi dengan ekspresi takut yang seolah tak bisa ia tahan. Meski takut, ada rasa heran yang muncul karena dirinya yang begitu lugu dan ceroboh, seperti tidak pernah bisa menghindari masalah-masalah yang selalu datang begitu saja dalam hidupnya.

Lea tahu bahwa hidupnya penuh dengan kebetulan yang kadang membuatnya merasa tak berdaya. Namun, di satu sisi, dia sadar bahwa dia harus terus melangkah maju meski bayangan Dante selalu menghantuinya.

Lea melangkah lunglai menuju sekolah, langkahnya terasa berat seolah beban hidupnya semakin hari semakin menumpuk. Sesampainya di depan gerbang sekolah, dia melihat seorang anak kecil yang sedang berjalan dengan pengasuhnya. Tiba-tiba, suara ceria terdengar memecah kesunyian pagi.

"Pagi, Ibu Guru cantik!" ucap anak kecil itu sambil melambaikan tangan.

Mendengar itu, Lea langsung mengubah ekspresinya. Senyum manis menghiasi wajahnya, dan dengan langkah ceria, dia berjongkok di depan si anak kecil. "Hai anak manis, bagaimana hari ini?" tanyanya dengan nada ceria, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.

"Baik, Bu Guru! Aku kesana dulu ya, Bu Guru!" jawab anak itu sambil melanjutkan langkah kecilnya.

Lea mengangguk sambil tersenyum, "Baiklah, semangat ya! Awas, jangan jauh-jauh, sebentar lagi bel berbunyi."

Anak kecil itu melambaikan tangan dan berjalan pergi. Lea tetap tersenyum manis sambil memandang kepergian si anak. Namun, begitu anak itu pergi, ekspresinya berubah kembali menjadi gelisah dan khawatir. Dalam keheningan, dia berdiri tegak, matanya memandang ke seberang jalan.

Di sana, Dante sudah berdiri dengan kedua tangan yang disilangkan di dada. Ia menatap Lea dengan ekspresi yang sulit diartikan. Secara perlahan, Dante bergumam, "Menarik," dengan suara yang rendah namun penuh makna.

Setelah itu, tanpa menunggu lebih lama, Dante berbalik dan pergi begitu saja. Lea berdiri terpaku sejenak, jantungnya berdebar lebih cepat, dan hatinya dipenuhi perasaan cemas. Dia merasa terperangkap dalam situasi yang tak bisa dia hindari.

Lea menggelengkan kepala, mencoba menepis perasaan takut yang mulai merasuki dirinya. "Apa dia setan?" gumamnya pelan, matanya menatap ke arah Dante yang sudah menghilang. "Barusan tadi dia ada di halte, kenapa sekarang dia bisa ada di sini?" tanyanya dalam hati dengan perasaan cemas.

Ia menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan kegelisahan yang semakin menguasai dirinya. "Oh, astaga, hidupku akan lebih berat lagi," lirihnya, sambil meringis. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seperti ada beban tak terlihat yang mengikutinya. Lea memaksa dirinya untuk tetap berjalan ke ruang guru meski pikiran dan perasaan yang bercampur aduk semakin mengganggunya.

Sesampainya di ruang guru, Lea duduk dengan hati yang masih berdebar, mencoba menenangkan dirinya. Tapi bayangan tentang Dante yang muncul begitu mendalam di pikirannya, membuatnya merasa tak aman. Setiap gerakannya, setiap detik yang berlalu, seakan dia tahu pria itu masih mengawasinya dari kejauhan.