Chapter 3 - 03

Siang itu, sekitar pukul 12, Lea akhirnya pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, rasa was-was nggak berhenti menghantuinya. Meski kali ini dia nggak melihat Dante, bayangan pria itu masih terus muncul di pikirannya. Lea menarik napas panjang begitu sampai di depan pintu rumah kecilnya, mencoba menenangkan diri.

Saat masuk, dia mendapati ayahnya sedang duduk di meja makan dengan ekspresi datar, seperti biasanya. Asbak di meja penuh puntung rokok, dan bau alkohol tipis tercium di udara.

"Sudah pulang?" suara berat sang ayah terdengar pelan, tapi Lea tahu dia nggak benar-benar peduli.

Lea hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu berlalu ke kamarnya. Dia tahu, nggak ada gunanya berlama-lama di ruangan yang sama dengan ayahnya. Kalau Lia mungkin bakal langsung melempar komentar pedas atau memulai pertengkaran, Lea memilih untuk menghindar. Bukan karena dia nggak punya keberanian, tapi lebih karena dia udah capek.

Di kamarnya yang sempit, Lea duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk. Udara di dalam ruangan terasa pengap, tapi dia nggak punya tenaga buat membuka jendela. Pikirannya masih penuh dengan bayangan Dante. Apa yang dia mau sebenarnya? Kenapa dia terus muncul di tempat yang nggak terduga? Lea merasa seperti hidupnya nggak lagi aman.

Tiba-tiba, suara keras dari ruang tengah terdengar, membuat Lea tersentak. Dia tahu pasti itu suara Lia kakaknya yang baru pulang kerja.

"Masih di sini aja, ya? Nggak ada niat buat kerja, hah?" suara Lia terdengar lantang.

"Kerja apa? Uang lo aja udah cukup buat makan di sini!" sahut sang ayah, terdengar nggak kalah keras.

Lea menghela napas, menutup wajah dengan kedua tangannya. Ini lagi, pikirnya. Setiap hari, Lia dan ayah mereka selalu berdebat. Lia memang nggak pernah segan untuk melawan. Dia muak melihat ayah mereka terus-menerus mabuk dan berjudi, sementara mereka harus banting tulang buat bertahan hidup.

"Apa, cukup? Lo pikir uang gue buat lo mabuk-mabukan juga? Gue kerja keras bukan buat itu, tahu!" Lia membalas dengan nada marah.

Lea mencoba menutup telinganya, berharap suara itu segera hilang. Tapi percuma. Pertengkaran itu terus terdengar, memantul di dinding rumah mereka yang tipis.

Dia menatap langit-langit kamar, merasa sesak. "Kenapa rumah ini nggak pernah tenang?" gumamnya pelan. Dia ingin lari, pergi jauh dari semua ini, tapi dia tahu itu nggak mungkin. Lia udah cukup menderita menanggung semua beban sendiri.

Saat suasana mulai sedikit reda, pintu kamar Lea terbuka perlahan. Lia berdiri di sana, wajahnya masih memerah karena emosi.

"Lea, kamu nggak apa-apa?" tanyanya, suaranya lebih lembut.

Lea hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lia mendekat, duduk di sampingnya, lalu meraih tangan adiknya.

"Dengar, kalau ada yang gangguin kamu... cerita sama aku, ya? Apa pun itu," ucap Lia serius, matanya menatap Lea penuh perhatian.

Lea tersentuh, tapi dia nggak bisa mengatakannya. Nggak mungkin dia ceritakan soal Dante. Lia udah punya cukup banyak beban, dan Lea nggak mau menambahnya. Jadi, dia hanya tersenyum kecil dan mengangguk lagi.

Lia menarik napas panjang, lalu mengusap kepala Lea. "Kita harus kuat, ya? Untuk diri kita sendiri," katanya sebelum akhirnya keluar dari kamar.

Lea menatap pintu yang tertutup lagi, lalu menghela napas panjang. Di dalam hati, dia berjanji untuk melindungi kakaknya, sama seperti Lia yang selalu melindunginya. Tapi, bagaimana caranya melindungi orang lain kalau dirinya sendiri masih terjebak dalam ketakutan?

Malam itu udara terasa begitu gerah. Lea mengeluh pelan, "Kenapa panas sekali malam ini?" Sambil mengibas wajahnya dengan tangan, dia beranjak dari kasur, mencoba mencari udara segar.

Langkah kakinya membawanya ke belakang rumah. Ia duduk di kursi kecil dekat pohon mangga, berharap angin malam sedikit mendinginkan tubuhnya. Sambil menatap langit gelap, Lea terkekeh kecil. "Kalau aku kaya, pasti aku beli AC banyak-banyak," gumamnya sambil tersenyum tipis, mencoba menghibur diri.

Beberapa saat kemudian, udara mulai terasa lebih dingin. Lea menghela napas lega, lalu bangkit, berniat kembali ke dalam rumah. Namun, saat ia melewati bagian depan rumah, langkahnya terhenti. Di sana, berdiri seorang pria.

Astaga, jantung Lea serasa melompat. "Kenapa... kenapa kamu bisa ada di sini?!" tanyanya dengan suara bergetar sambil mundur beberapa langkah.

Pria itu tidak menjawab, hanya menatap Lea dengan tatapan dingin yang membuat bulu kuduknya meremang. "Siapa namamu?" suaranya datar, nyaris tanpa emosi.

Lea menggeleng cepat. "Aku... aku tidak akan memberitahumu!" jawabnya ketus, meski jelas ketakutan masih melekat di wajahnya.

Tatapan pria itu tetap menusuk, membuat Lea merasa kalah dalam sekejap. "Ah, baiklah! Aku Lea," ucapnya lirih, lebih pada dorongan rasa takut daripada keinginan untuk menjawab.

Pria itu, Dante, tersenyum tipis. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Lea yang masih terpaku di tempat.

Lea hanya bisa memandang kepergiannya dengan ekspresi bingung. "Apa-apaan itu barusan?" gumamnya pelan. Napasnya terasa berat, tubuhnya gemetar. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanyalah kebetulan, meski hatinya penuh tanda tanya.

"Dia seperti jalangkung," Lea menggerutu pelan, mencoba menghilangkan rasa takutnya dengan bercanda. "Datang tak diundang, pulang tak diantar."

Namun, bayangan Dante yang dingin tetap menghantui pikirannya malam itu.

"Mau apa kamu malam-malam di luar? Masuklah! Perempuan nggak baik keluyuran malam-malam!" suara bentakan Lia tiba-tiba memecah keheningan, membuat Lea terperanjat. Tubuhnya sedikit gemetar karena kaget.

Baru tadi siang Lia berbicara lembut, sekarang berubah galak lagi. Lea mendesah pelan, tak ingin memperpanjang masalah. "Baru tadi lembut, sekarang galak lagi," lirihnya sambil melangkah lesu melewati sang kakak.

Lia berdiri di depan pintu, menatap Lea yang berjalan masuk. Wajahnya masam, tak sedikit pun melunak. Saat Lea sudah tak terlihat, Lia menghela napas panjang, melampiaskan kekesalannya pada udara malam yang dingin.

"Anak itu... bisa-bisanya dia bilang menjadi guru," gumam Lia sambil menyilangkan tangan. "Padahal dia itu bodoh, ceroboh, mana layak jadi guru?" Nada suaranya penuh sindiran. Ia menggigit bibir, merasa kesal tanpa alasan jelas.

Namun, angin malam yang menerpa wajahnya hanya membawa sunyi. Lia berdiri diam, seolah berbicara dengan dirinya sendiri, menutupi perasaan yang sulit ia pahami.

Di dalam kamar yang sempit dan pengap, Lea duduk di tepi tempat tidur dengan wajah penuh kerisauan. Napasnya berat, dan tanpa sadar ia mengacak-acak rambutnya sendiri, melampiaskan frustrasi yang semakin menghimpit.

"Kenapa pria itu terus menghantui ku?" gumamnya lirih, matanya menerawang kosong ke arah jendela. "Dia tahu rumahku... dia tahu tempatku mengajar..." lanjutnya dengan suara hampir tak terdengar.

Wajahnya mendadak meringis, campuran antara takut, bingung, dan marah. Tubuhnya terasa lemah seakan energi perlahan terkuras hanya dengan memikirkan sosok pria asing yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya. Lea menunduk, tangannya mencengkeram ujung selimut.

"Siapa dia sebenarnya?" bisiknya dengan getir. Tak ada jawaban, hanya keheningan kamar yang semakin menyesakkan.