Pagi ini sangat cerah secerah wajah lea,karena hari ini adalah hari minggu,dan kemarin dia baru gajian,
"kak ayo kita makan di warung pinggir jalan,baso pak unyil itu enak sekali!"rengek lea kepada kakak nya,namun lia tidak merespon,dia masih sibuk dengan berkas berkas nya,"ayolah kak sekali kali kita habiskan waktu libur kita berdua."rengek nya lagi dengan menyandarkan badan nya kepada punggung kakak nya,
"pergi lah sendiri lea aku sibuk!apa kau tidak melihat hah lihat berkasku begitu numpuk!"teriak lia yang membuat lea sedikit terkejut,lea merubah posisi menjadi duduk,"yasudah kalau tidak mau,aku kemarin baru gajian niat ku ingin mentraktir mu kak,tapi kenapa selalu tidak mau!"ucap nya dengan sangat ketus,
"simpan lah uang mu lea,jangan di hambur hamburkan,aku tidak perlu di traktir"jawab lia dengan ketus tanpa menoleh sama sekali ke arah sang adik.
Lea mengerucutkan bibir nya,"aneh sekali,orang lain jika di traktir dia akan senang,tapi dia...ah sudahlah."ucap nya sambil berdiri dan pergi begitu saja,dengan kaki yang di hentak hentakan.
"anak itu!"gumam lia sambil menggelengkan kepala nya lia memang selalu bersikap ketus kepada adik nya,bukan karena benci namun karena sifat lia yang memang keras membuat dirinya cuek dan tidak bisa bersikap lemah lembut kepada adik nya,tumbuh di lingkungan yang tidak memadai membuat lia harus bersusah payah banting tulang demi membutuhi kehidupan dirinya dan adik nya.
Ayah nya yang seorang pemabuk membuat lia sedikit tertekan,namun dia tidak pernah menunjukan nya di depan lea,berbeda dengan lea,dia sangat ceria di depan siapapun,namun siapa yang tahu hatinya?namun lea mampu menyembunyikan perasaan khawatir dan takut nya dengan wajah ceria nya.
--
Lea berjalan riang sendirian di trotoar yang sepi. Tas kecilnya ia genggam erat, seolah takut kehilangan satu-satunya benda berharganya. Hari ini, ia berencana pergi ke taman, tempat yang selalu menjadi pelariannya. Di sana, ia akan berdiam diri hingga larut malam.
Bukan tanpa alasan Lea sering memilih pergi ke taman. Ia tidak sekuat kakaknya yang mampu bertahan di rumah. Lea muak, bahkan takut, dengan perlakuan ayahnya. Pria itu adalah seorang pemabuk dan sering kali kasar. Tak jarang, gaji Lea dirampas hanya untuk berjudi. Meski begitu, Lea selalu memilih diam. Ia tidak ingin kakaknya, Lia, tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika Lia sampai tahu, Lea tahu persis apa yang akan terjadi selanjutnya: pertengkaran sengit yang menambah luka di hatinya.
Di taman, Lea duduk di salah satu bangku favoritnya sambil memakan es krim kesukaannya. Wajahnya memancarkan kebahagiaan sederhana, seperti seorang bocah yang baru saja mendapatkan hadiah kecil. Kakinya diayunkan ke depan dan belakang, mengikuti irama pikirannya yang melayang-layang.
"Sayang sekali Kakak tidak mau jalan bersamaku," ucapnya pelan, sambil memandang kosong ke arah langit malam. Suaranya mengandung nada iba, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Lea menunduk, matanya tertuju pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum pendek sudah menunjukkan angka delapan.
"Sudah pukul delapan malam ternyata. Selama ini aku hanya diam memandangi semua orang," lirihnya, dengan nada yang nyaris tak terdengar.
Ia tersenyum getir, lebih kepada dirinya sendiri. Hatinya terasa hampa, seperti taman malam itu yang perlahan mulai sepi. Ia merasa iba pada dirinya sendiri, terjebak dalam kesendirian yang tak pernah ia pilih
Ponselnya tiba-tiba berdering, memecah keheningan malam di taman. Lea merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan ponsel usangnya yang sudah terlihat kusam. Ia segera mengangkat telepon itu, dan suara lantang kakaknya langsung terdengar dari seberang.
"Pulang cepat! Anak gadis jam segini belum pulang, mau jadi apa kamu, Lea? Cepat pulang sekarang!" teriak Lia dengan nada tegas, membuat Lea spontan menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Iya, Kak. Aku sekarang pulang," jawabnya cepat, berusaha meredakan amarah kakaknya. Ia langsung mematikan panggilan tanpa menunggu respons, lalu menyelipkan ponselnya kembali ke dalam tas kecilnya. Wajahnya terlihat murung, namun ia tahu ia harus segera pulang sebelum Lia semakin marah.
Lea berjalan sendirian, memilih untuk berjalan kaki malam itu. Namun, ia sengaja menghindari jalan besar dan lebih memilih jalan lain, karena melewati kebun seperti dulu cukup membuatnya trauma. Jalan kaki malam-malam lewat kebun selalu membangkitkan ketakutannya.
Di persimpangan jalan, matanya tertuju pada pedagang martabak manis, martabak kesukaan kakaknya. Lea berhenti sejenak, memandangi pedagang itu, lalu menatap uang yang ada di tangannya. "Ini cukup," lirihnya pelan, sebelum dengan cepat berlari kecil menuju pedagang martabak tersebut.
Setelah memesan, Lea duduk di kursi yang terletak di sebelah pedagang martabak. Ia memandangi orang-orang yang berlalu lalang di depannya, seolah tenggelam dalam pikirannya. Namun, tatapannya terhenti ketika dia melihat seorang pria sedang berbicara di telepon, dengan posisi membelakangi sebuah keramaian. Tanpa sadar, matanya menangkap gerak-gerik mencurigakan di sekitarnya. Seorang pria lain tampak berusaha mengambil dompet pria yang sedang menelepon itu.
Mata Lea membulat, dan dalam sekejap dia berteriak sekencang mungkin, "Maling!"
Namun, maling itu terlalu cepat. Dalam hitungan detik, dompet tersebut sudah berpindah tangan. Lea tidak membuang waktu. Dia langsung berlari mengejar pelaku, melupakan segala rasa takut. Badannya yang kecil dan lincah membuatnya bisa bergerak dengan cepat. Di belakangnya, pria yang baru saja kehilangan dompet itu baru menyadari apa yang terjadi dan segera ikut mengejar.
Aksi kejar-kejaran itu terjadi di jalan yang ramai, dengan Lea yang semakin menjauh, sementara pria itu berusaha mengejar dengan cepat.
"Hey, berhenti di sana, maling!" teriak Lea dengan penuh semangat. Tanpa berpikir panjang, ia melepas tas kecilnya dan melemparkan tas itu ke arah maling. Tas tersebut tepat mengenai kepala si maling, membuatnya kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh. Lea tersenyum lebar, wajahnya bersinar. "Wah, hebat sekali aku," ucapnya sambil bertepuk tangan, seperti merayakan kemenangan kecilnya.
Di belakang, pria yang kehilangan dompet langsung berlari melewati Lea dan menghajar maling itu. Lea hanya diam, menyaksikan dengan kagum hingga akhirnya beberapa warga berhasil mengamankan si maling.
"Tas ku!" teriak Lea, matanya melihat tas kecilnya tergeletak di tanah. Ia cepat-cepat mengambilnya dan merogoh isi tasnya. "Astaga, rusak!" ucapnya dengan wajah cemberut, saat melihat ponselnya yang sudah rusak akibat lemparan tadi.
"Oh, maaf, aku merusak ponselmu," ucap seorang pria yang sudah berada di sisi Lea. Lea terkesiap, kaget, lalu menggelengkan kepala.
"Ah, tidak, ini memang sudah jelek, jadi gampang rusak," jawabnya dengan senyum manis.
Pria itu tertegun, seolah terpesona dengan senyum Lea, namun dengan cepat dia menggelengkan kepala untuk mengusir perasaan itu.
"Oh iya, aku Dion. Aku akan mengganti ponselmu," kata Dion sambil mengulurkan tangan. Lea memandang tangan Dion yang menggantung sejenak, lalu beberapa detik kemudian, ia menerima uluran tangan itu.
"Aku Lea... dan tidak usah repot-repot. Aku bisa membeli ponsel baru sendiri," ucapnya sedikit canggung, lalu melepaskan tangan Dion. Dia tersenyum canggung. "Aku pergi ya, dadah," tambahnya sambil berlari pergi begitu saja.
"Hey..." teriak Dion berusaha menghentikan Lea, namun Lea tidak menghiraukannya. Dia berlari menjauh dengan cepat.