Pagi itu terasa berat bagi Lea. Hidupnya terasa seperti tumpukan masalah yang tidak pernah selesai.
"ya kenapa kamu masam begitu biasanya ceria?"tanya heran sang kakak.
"ah tidak kak hanya saja badan ku pegal pegal" lirih nya dengan senyum yang di paksakan.
lia hanya bisa menggeleng pelan dia sudah tahu betul sifat adik nya ceroboh dan bodoh tapi yang benar benar bikin lia heran kenapa adik nya bisa menjadi guru tk bagaimana dia bisa mengajar dengan benar
"kak aku nebeng ya kak,ongkos ku habis jika di pakai naik bis."ucap nya lagi dengan wajah yang memelas
Lia menatap adik nya dengan masam,"baiklah....hari ini saja!"ucap nya sambil berlalu pergi ke arah kamar nya untuk bersiap siap kerja.
"kenapa dia begitu galak?bahkan untuk menumpangi adik nya saja wajah nya begitu suram seolah olah aku ini apa?"gumam nya dengan tatapan menyipit ke arah sang kakak yang sudah menghilang di balik pintu.
"nah sudah sampai.."ucap lea dengan ceria,dia turun dari motor sang kakak.
"hati hati ya kak terimakasih"ucap nya lagi,sementara lia hanya mengangguk pelan sambil mengangkat jempol nya ke arah lea dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.
lea berjalan riang menuju sekolah,banyak sekali anak anak di sana masih bermain ,ada yang berlarian ada yang sibuk di suapi oleh para pengasuh nya,lea memandang dengan senyuman lebar
"aku menyukai anak anak itulah alasan ku memilih menjadi guru tk,tidak masalah jika masih menjadi guru honorer yang penting masalah hidup ku sedikit terlupakan di sini"lirih nya sambil menghela nafas berat
sedangkan di sebrang jalan seperti biasa dante akan ada di sana dia selalu untuk memantau lea,bahkan dia sudah tau semuanya tentang hidup dan masalah hidup lea. Itu sangat gampang bagi dante karena dia adalah mafia yang cukup kejam dan sangat berpengaruh .
Di sebelah dante ada anak buah nya "tuan kenapa tuan selalu memantau gadis itu?bahkan tuan sudah tahu asal usul da semua hidup nya lewat para intel?"tanya nya penasaran
Dante mengangkat sebelah tagan nya memberi isyarat anak buah nya untuk diam,lalu dia memandang tajam ke arah anak buah nya,"sejak kapan kamu berani beranya kepada saya?"
"Kenapa kamu begitu penasaran? Tugasmu adalah menuruti perintah, bukan mempertanyakan alasan."
"maaf tuan..maafkan saya,saya terlalu lancang."jawab anak buah tersebut dengan nada gugup,dia merutuki kebodohan nya sendiri
___
"Ah, akhirnya selesai juga," gumamnya, menggenggam tas dengan erat. Dia melangkah pelan keluar dari gerbang sekolah, menyusuri jalanan kecil yang dipenuhi suara riang anak-anak.
Hari ini dia memutuskan berjalan kaki. Uangnya hanya cukup untuk bertahan hingga akhir minggu, sementara gajian baru minggu depan. Sebagai guru honorer, Lea sadar gajinya kecil, tapi itu tidak pernah memadamkan semangatnya untuk mengajar.
"Anak-anak itu... mereka seperti pelipur lara," bisiknya dengan senyum kecil. Meski ceroboh dan lugu, Lea memiliki cara unik dalam mengatur murid-murid TK-nya. Dia tahu bagaimana membuat mereka tertawa, belajar, dan merasa nyaman.
Sambil melangkah, Lea menatap langit yang mulai berubah warna, hatinya penuh dengan campuran lelah dan bahagia. "Aku mungkin lelah, tapi aku mencintai pekerjaanku," gumamnya, menatap senja yang memeluk kota kecil itu.
Lea menghentikan langkahnya tiba-tiba. Senyumnya yang tadi hangat mendadak lenyap saat matanya menangkap sosok yang berdiri tak jauh di depan. Dante. Pria asing itu lagi. Pria yang entah bagaimana selalu tahu ke mana dia pergi.
"Pria itu..." bisiknya pelan, tangan menggenggam tali tas dengan erat. "Kenapa dia selalu mengikutiku?"
Dada Lea berdebar kencang, bukan hanya karena takut, tapi juga kemarahan yang kini mendidih. Dia menatap Dante tajam.
Cukup.
Dengan langkah tergesa, Lea mendekati pria itu. Napasnya berat, wajahnya merah oleh emosi. Dante hanya berdiri di sana, dengan tatapan dingin dan senyuman kecil yang seakan menyulut api di dada Lea.
"Kenapa kamu selalu mengikutiku?" Lea akhirnya bertanya. Suaranya pelan, hampir bergetar. Namun, keberaniannya mulai pudar saat matanya bertemu pandang dengan Dante. Mata pria itu... tajam seperti elang, menusuk langsung ke dalam jiwanya.
Dante melangkah maju, mendekat, membuat Lea refleks mundur satu langkah. "Karena kau milikku sekarang," katanya dingin.
Lea mengerutkan kening, menahan marah. "Hah? Kau gila? Hanya karena aku tak sengaja melihat kejahatanmu, bukan berarti kau bisa mengklaimku seperti barang!"
Dante mendekat lagi, senyum sinisnya muncul. "Itulah akibatnya jika kau terlalu ikut campur urusanku."
Lea menggigit bibirnya, frustrasi. "Aku tidak ikut campur! Aku sudah bilang, itu tidak sengaja!" Napasnya mulai memburu, matanya melotot karena bingung dan takut. "Kenapa jadi begini, Tuhan?" bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.
Namun, sebelum Lea bisa berpikir lebih jauh, Dante menarik pinggangnya dengan sekali hentakan. Tubuh Lea langsung terhimpit di dada pria itu. Nafas mereka hanya berjarak beberapa senti.
Lea tertegun, matanya membulat, jantungnya berdebar hebat. "A-apa yang kau lakukan?"
Dante menatapnya dalam, suaranya rendah dan penuh ancaman. "Ingat ini baik-baik. Kau milikku sekarang. Aku akan terus mengikutimu ke mana pun kau pergi. Jangan pernah berpikir untuk kabur, karena aku akan selalu tahu di mana kau berada."
Lea terdiam. Tubuhnya menegang. Wajah Dante begitu dekat, napasnya menyentuh kulitnya, membuat tubuhnya gemetar.
"Kenapa pria ini...?" Lea bergumam dalam hati, matanya tak bisa lepas dari wajah Dante yang dingin dan penuh misteri. Dadanya berdegup kencang, tapi rasa takutnya berubah menjadi keberanian sesaat.
"Tanganmu, lepaskan!" teriak Lea lantang, suaranya menggema di jalan yang sepi.
Dante terkejut. Mata pria itu menyipit sejenak, lalu ia melepaskan pinggang Lea dengan gerakan cepat. Namun, reaksi itu tak berakhir seperti yang diinginkan Lea. Dengan reflek yang kasar, Dante justru mendorong tubuh Lea, hingga gadis itu kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembap ke tanah.
Lea meringis kesakitan. Lututnya terasa perih karena bergesekan dengan aspal. Dia mendongak, menatap Dante dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau gila... Apa sebenarnya maumu?!" suaranya bergetar, penuh kemarahan dan ketakutan yang bercampur jadi satu.
Dante menatap Lea dari atas, rahangnya mengeras. Ada kilatan amarah di matanya, tapi juga sesuatu yang lain perasaan bersalah yang ia sembunyikan di balik sikap dinginnya.
Dia membungkuk sedikit, mendekati Lea yang masih terduduk di tanah. "Kau yang memaksa, Lea. Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menentangku," suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tapi penuh ancaman.
Lea menepis tangan Dante yang mencoba mendekat. "Aku tidak takut padamu!" katanya, meski suaranya gemetar.
Dante hanya mendengus pelan. "Tidak takut? Kita lihat sampai kapan keberanianmu bertahan." Tanpa berkata lebih banyak, pria itu berbalik, melangkah pergi dengan aura dingin yang membuat Lea terdiam.
Lea masih terduduk, menahan sakit di tubuh dan hatinya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" bisiknya pelan, menatap punggung Dante yang menjauh. Hatinya dipenuhi kebingungan antara benci, takut, dan rasa penasaran yang tak bisa dia abaikan.