Chereads / Takdir Zane: Dari Terbuang Menjadi Pahlawan" / Chapter 2 - Jalan yang terbuka

Chapter 2 - Jalan yang terbuka

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun Zane tidak merasakan perubahan berarti. Setiap hari ia berlatih sendirian, tak ada yang mengajarinya atau mendukungnya. Meskipun ada sedikit kemajuan dalam kultivasinya, tubuhnya terasa semakin lelah, dan semangatnya mulai memudar. Namun, ia tahu satu hal—jika ia berhenti, maka semua perjuangan yang telah dilaluinya selama ini akan sia-sia.

Suatu malam, saat Zane duduk di bawah langit berbintang, pikirannya kembali melayang. Ia teringat akan kata-kata yang sering diucapkan orang-orang di sekitarnya, terutama saat ia masih kecil. Kata-kata yang menyakitkan, yang terus terngiang di telinganya: "Kamu tidak akan pernah berhasil. Kau hanya orang miskin tak berbakat."

Namun, Zane tahu bahwa dirinya bukan orang yang mudah menyerah. "Aku akan terus berlatih," gumamnya, menggenggam erat batu kecil yang ia temukan di dekat pohon tempatnya berlatih. Batu itu menjadi simbol tekadnya—batu yang tak akan pernah patah meskipun dihantam segala hal.

Di tengah keheningan malam, Zane mendengar suara aneh. Suara itu berasal dari dalam hutan. Terdengar seperti langkah kaki yang berat, disusul dengan suara gesekan benda keras. Zane mengernyitkan alisnya, waspada. Namun, rasa ingin tahu lebih besar daripada rasa takut. Ia menggerakkan kakinya dan mengikuti suara tersebut.

Setelah berjalan beberapa langkah, ia sampai di sebuah clearing yang terbuka, dan di sana, di bawah cahaya bulan, Zane melihat sesuatu yang mengejutkan—seekor monster besar dengan tubuh berbulu tebal dan mata merah menyala. Monster itu sedang berkelahi dengan seorang kultivator yang sudah kelelahan, terjebak dalam cengkraman monster yang semakin kuat.

Zane merasa tubuhnya terhenti sejenak. Ia tidak pernah melihat monster sebesar itu sebelumnya. Rasanya mustahil bagi orang sepertinya untuk bisa menghadapinya. Namun, entah kenapa, hatinya bergetar, merasakan dorongan yang kuat untuk membantu.

Tanpa berpikir panjang, Zane meraih pedangnya—sebuah pedang kecil yang sudah berkarat, peninggalan dari seorang petualang yang ditemuinya beberapa waktu lalu. Pedang itu sudah tidak tajam lagi, namun tetap bisa digunakan untuk melawan.

Dengan tekad yang kuat, Zane berlari ke arah pertarungan, menerjang monster yang sedang melawan kultivator itu. "Aku tidak akan mundur!" teriak Zane dengan suara lantang, meskipun tangannya gemetar karena takut.

Monster itu mendengar suara Zane dan berbalik, mengarahkan pandangannya yang penuh amarah padanya. Dengan cepat, monster itu membuka mulutnya, siap meluncurkan serangan. Zane hanya memiliki sedikit waktu untuk menghindar, namun meskipun gerakannya terbatas, ia berusaha untuk tetap fokus.

Dengan segenap keberanian, Zane melompat ke depan, mencoba menahan serangan monster tersebut dengan pedangnya. Namun, serangan monster itu jauh lebih kuat dari yang ia bayangkan. Pedang itu hampir terlepas dari tangannya, dan tubuhnya terhuyung mundur, hampir terjatuh ke tanah.

Tetapi, pada saat itu, sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah kekuatan muncul dari dalam dirinya, seolah-olah dunia sekitarnya menjadi lebih jelas. Zane merasakan energi kultivasi yang selama ini ia usahakan terkumpul dalam tubuhnya, dan untuk pertama kalinya, ia bisa mengendalikannya dengan lebih baik.

Dengan kekuatan baru ini, Zane mengarahkan pedangnya ke arah monster, menebasnya dengan sekuat tenaga. Meskipun tebasannya tidak sempurna, itu cukup untuk membuat monster itu terhuyung mundur. Kultivator yang sebelumnya kelelahan melihat kesempatan ini dan segera memanfaatkan kekuatan Zane untuk melawan monster tersebut. Bersama-sama, mereka akhirnya berhasil mengalahkan monster itu.

Zane terjatuh ke tanah, kelelahan dan hampir kehilangan kesadaran. Namun, ada perasaan yang sangat berbeda dalam dirinya—perasaan bahwa ia baru saja melangkah lebih jauh dari yang ia bayangkan.

"Aku… bisa melakukannya," bisik Zane pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.

Zane terbaring lemah di tanah, tubuhnya hampir tak mampu bergerak setelah pertarungan sengit melawan monster itu. Napasnya terengah-engah, dan tubuhnya terasa nyeri di setiap bagiannya. Namun, ada satu hal yang terasa berbeda. Perasaan bangga dan kemenangan mulai muncul, meskipun ia tahu bahwa ia hanya bertahan hidup karena keberuntungan dan dorongan kekuatan yang tidak ia pahami sepenuhnya.

Kultivator yang sebelumnya terjebak dalam cengkraman monster itu menghampiri Zane. Wajahnya tampak penuh kekhawatiran, meski ada rasa kagum dalam matanya. "Kamu… kamu berhasil menyelamatkan aku?" kata kultivator itu, terengah-engah.

Zane hanya bisa mengangguk lemah. Ia hampir tidak bisa berbicara karena rasa sakit yang menghimpit tubuhnya, namun ada senyum tipis yang tersungging di bibirnya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan bahwa usahanya tidak sia-sia. "Aku… hanya berusaha bertahan hidup," jawab Zane dengan suara parau.

Kultivator itu menilai Zane dengan cermat. Ia masih tampak ragu, namun ada ketertarikan yang terlihat jelas di wajahnya. "Kamu… memiliki potensi," kata kultivator itu setelah beberapa saat. "Kamu tahu seni kultivasi, meskipun teknikmu masih sangat kasar. Tapi ada sesuatu dalam dirimu—energi itu."

Zane tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud oleh kultivator itu. Ia hanya tahu satu hal, bahwa ia tidak pernah berhenti berlatih dan terus berusaha mengendalikan energi dalam tubuhnya. Meskipun ia tidak memiliki bakat besar, Zane selalu percaya bahwa dengan cukup kerja keras, segala sesuatu mungkin terjadi.

Kultivator itu kemudian mengeluarkan sebuah gulungan kecil dari dalam kantongnya dan menyerahkannya kepada Zane. "Ini adalah teknik dasar kultivasi," jelasnya. "Aku rasa kamu berhak mendapatkannya. Jika kamu ingin bertumbuh lebih kuat, kamu perlu pelajari ini dengan serius."

Zane menerima gulungan itu dengan hati-hati, meskipun masih lemah. Kata-kata kultivator tersebut memberi harapan baru dalam hatinya. Mungkin ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan mengubah nasibnya.

"Terima kasih," kata Zane, walaupun suara itu hampir tidak terdengar.

Kultivator itu tersenyum samar. "Jaga dirimu baik-baik. Dunia ini tidak akan memberikan apa-apa dengan mudah, bahkan untuk orang yang memiliki potensi seperti dirimu. Jangan sia-siakan kesempatan ini."

Setelah memberikan nasihat terakhir, kultivator itu berbalik dan meninggalkan Zane. Zane hanya mampu menatap kepergiannya, merasa sedikit bingung namun juga lebih bersemangat dari sebelumnya. "Aku tidak akan sia-siakan ini," tekad Zane dalam hati.

Malam itu, Zane kembali ke hutan tempat ia berlatih sebelumnya. Dalam keheningan yang sama, ia membongkar gulungan teknik dasar yang diberikan oleh kultivator tersebut. Kata demi kata, gerakan demi gerakan, Zane mulai mencerna setiap bagian dengan seksama. Meskipun lelah dan tubuhnya masih terasa sakit, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.

Selama berhari-hari, Zane berlatih dengan tekun. Ia mengulang-ulang gerakan yang ada di dalam gulungan itu, mencoba menguasai teknik dasar kultivasi yang dulu hanya ia baca dalam buku tua. Perlahan, tubuhnya mulai terbiasa dengan gerakan-gerakan tersebut, dan energi dalam dirinya mulai mengalir lebih lancar.

Namun, Zane tahu bahwa itu baru permulaan. Ia harus terus berlatih lebih keras dan mengatasi keterbatasannya. Ia harus menemukan cara untuk mengubah takdirnya yang penuh dengan hinaan dan penolakan.

Hari demi hari, Zane terus melatih diri dengan penuh ketekunan. Dunia yang sebelumnya tampak menindas dan penuh ejekan kini mulai membuka sedikit ruang bagi Zane untuk mengembangkan dirinya. "Aku akan terus berjalan. Takdirku belum selesai."