Pagi di rumah Wang Liu selalu penuh kehangatan. Aroma teh melati yang disiapkan ibunya memenuhi ruang makan, sementara ayahnya dengan tenang membaca koran. Wang Liu duduk di meja, menikmati sarapan sederhana berupa bubur nasi dan sayuran.
"Bagaimana harimu kemarin, Nak?" tanya ibunya lembut, melirik Wang Liu yang tampak lebih ceria dari biasanya.
"Baik, Bu," jawab Wang Liu sambil tersenyum samar. "Aku hanya menemani seorang teman, tidak ada yang terlalu penting."
Ayahnya menatapnya sejenak, tersenyum tipis. "Ingat, Liu, tugas seorang pria bukan hanya menjaga dirinya sendiri, tapi juga melindungi orang lain. Jika kau sudah bisa melakukan itu, maka kau berada di jalan yang benar."
Wang Liu mengangguk, kata-kata ayahnya selalu menginspirasinya. Setelah sarapan, ia berpamitan kepada orang tuanya.
"Aku berangkat," kata Wang Liu sambil mengenakan tasnya.
"Jangan lupa berhati-hati," seru ibunya.
---
Saat Wang Liu berjalan menuju Akademi Huaxia, suasana kota pagi itu begitu damai. Matahari pagi memancarkan sinarnya, menciptakan bayangan panjang di jalan-jalan. Setibanya di gerbang sekolah, Wang Liu disambut oleh pemandangan yang tidak biasa.
Semua siswa berkumpul di sekitar gerbang masuk, tatapan mereka terpaku pada satu sosok—Yue. Ia berjalan dengan anggun, rambut hitam panjangnya berkilau terkena cahaya matahari. Setiap langkahnya memancarkan aura percaya diri, membuat semua mata tertuju padanya.
Namun, yang membuat suasana semakin mengejutkan adalah saat Yue menyapa Wang Liu.
"Wang Liu!" panggil Yue dengan senyum hangat, melambaikan tangan.
Wang Liu, seperti biasa, tetap tenang. Ia hanya mengangguk dan berjalan mendekati Yue. Namun, reaksi siswa-siswa lain sangat berbeda. Bisik-bisik mulai terdengar, sebagian besar diwarnai oleh rasa iri dan cemburu.
"Kenapa Yue bisa begitu dekat dengannya?"
"Dia hanya siswa dengan Qi rendah. Apa istimewanya dia?"
Di antara mereka, seorang siswa laki-laki dengan tubuh kekar dan wajah penuh amarah berdiri. Ia menatap Wang Liu dengan tatapan tajam, jelas menunjukkan kecemburuannya. Namun, Wang Liu tidak menggubrisnya. Baginya, hal seperti itu bukan sesuatu yang perlu diperhatikan.
"Kita pergi ke kelas, Yue," kata Wang Liu singkat.
"Baik," jawab Yue sambil tersenyum.
---
Setibanya di kelas elite, mereka disambut oleh Ming dan Xing, dua teman Wang Liu yang sudah menunggu.
"Wang Liu! Yue! Kalian akhirnya datang juga," sapa Ming dengan nada ceria.
"Bagaimana harimu kemarin?" tanya Xing, menatap Wang Liu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Biasa saja," jawab Wang Liu singkat, membuat Ming dan Xing tertawa kecil.
"Kau selalu merendah," kata Ming sambil menepuk bahunya.
Tidak lama kemudian, guru mereka memasuki kelas. Ia adalah seorang pria paruh baya dengan jubah hitam elegan yang dihiasi pola naga emas. Tatapan matanya tajam, penuh wibawa.
"Selamat pagi, murid-murid kelas elite," katanya dengan suara tegas. "Hari ini, saya memiliki pengumuman penting. Besok, kalian semua akan mengikuti Latihan Roh Pedang."
Suasana kelas langsung menjadi heboh. Murid-murid saling berbisik, sebagian tampak antusias, sementara yang lain terlihat gugup.
"Latihan Roh Pedang?" gumam Yue, menoleh ke Wang Liu.
"Latihan ini hanya untuk murid kelas elite," lanjut sang guru. "Kalian akan diajarkan bagaimana memanggil dan mengendalikan roh pedang kalian. Ingat, roh pedang mencerminkan kekuatan spiritual kalian. Jika kalian berhasil, itu akan menjadi langkah besar dalam perjalanan kalian sebagai kultivator."
Mendengar hal itu, murid-murid semakin bersemangat. Namun, sang guru melanjutkan dengan nada serius.
"Namun, latihan ini bukan tanpa risiko. Jika kalian tidak bisa mengendalikan roh pedang kalian, itu bisa menyebabkan cedera serius. Oleh karena itu, saya berharap kalian mempersiapkan diri dengan baik."
Wang Liu, yang duduk tenang di sudut kelas, tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Baginya, latihan seperti ini hanyalah formalitas. Dengan kekuatan spiritualnya yang sebenarnya, ia yakin bisa melewati latihan ini dengan mudah.
"Wang Liu," bisik Yue pelan, "apa kau sudah pernah mendengar tentang roh pedang sebelumnya?"
"Ya," jawab Wang Liu singkat.
"Bagaimana menurutmu?"
"Menarik," jawabnya, meski dalam hati ia tahu bahwa kekuatan roh pedangnya mungkin jauh melampaui murid-murid lain.
---
Setelah kelas selesai, murid-murid mulai meninggalkan ruangan, sebagian besar masih membicarakan latihan yang akan datang. Wang Liu berjalan keluar bersama Yue, Ming, dan Xing.
"Aku sudah tidak sabar untuk besok," kata Ming dengan penuh semangat.
"Jangan terlalu percaya diri, Ming," kata Xing sambil tertawa kecil. "Latihan ini bisa jadi lebih sulit dari yang kau bayangkan."
"Aku yakin aku bisa melakukannya," balas Ming.
"Bagaimana denganmu, Wang Liu?" tanya Yue, menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Aku akan melakukannya," jawab Wang Liu tenang.
"Hmm, kau selalu tenang seperti itu," gumam Yue, tersenyum kecil.
---
Sore itu, Wang Liu kembali ke rumahnya. Saat makan malam bersama keluarganya, ia menceritakan tentang latihan roh pedang yang akan diadakan keesokan harinya.
"Roh pedang, ya?" kata ayahnya, terlihat tertarik. "Itu adalah tahap penting dalam perjalanan seorang kultivator. Kau harus melakukannya dengan serius, Liu."
"Aku mengerti, Ayah," jawab Wang Liu.
Setelah makan malam, Wang Liu pergi ke halaman belakang rumahnya. Di bawah langit berbintang, ia duduk bersila, memfokuskan pikirannya.
"Latihan roh pedang," gumamnya pelan. "Aku penasaran... seperti apa roh pedangku nantinya."
Meskipun ia telah menyegel sebagian besar kekuatannya, Wang Liu tahu bahwa roh pedangnya akan mencerminkan kekuatan sejatinya. Ia hanya berharap tidak terlalu menarik perhatian, seperti yang sering terjadi sebelumnya.
Dengan mata terpejam, Wang Liu memanggil kekuatan spiritualnya. Aura Jin Guang samar-samar muncul di sekitarnya, menerangi malam yang gelap.
"Besok... aku akan memastikan semuanya berjalan lancar," pikir Wang Liu sebelum bangkit dan kembali masuk ke rumah.
Malam itu, ia tidur dengan tenang, bersiap menghadapi tantangan baru yang menunggunya keesokan hari.