Di sebuah ruangan yang diterangi cahaya redup dari layar besar di dinding, yang menampilkan diagram operasi dan laporan aktivitas setiap divisi organisasi. Di tengah ruangan, seorang pria berdiri tegak dengan aura berwibawa. Rambutnya yang berwarna abu-abu terlihat rapi, wajahnya memancarkan ketenangan namun tajam seperti elang yang siap menyerang mangsanya. Dia adalah Pak Wijaya, pemimpin tertinggi dari organisasi Genesis Syndicate.
"Selamat datang, anak buah kesayanganku," sapa Pak Wijaya dengan nada santai, tapi ada sedikit nada sarkasme di dalamnya. Senyumnya menyeringai, seakan sudah tahu alasan kedatangan Arga.
Arga melangkah maju, mengangguk hormat. "Terima kasih, Pak Wijaya. Saya datang untuk melaporkan situasi terbaru mengenai Divisi 5."
Pak Wijaya melipat tangannya di belakang punggungnya, berjalan perlahan mendekati layar besar. "Saya mendengar kabar buruk tentang Hermawan. Katakan, Arga, apa yang sebenarnya terjadi pada mantan pemimpin Divisi 5 kita itu?"
Arga yang merupakan mantan bawahan hermawan dan pernah memata-matai Dr.Rama saat di kalimantan tersebut menarik napas panjang sebelum menjawab. "Pak Hermawan sudah kalah, Pak. Dia sekarang mendekam di penjara dengan kondisi yang tidak normal dan tidak bisa di ajak bicara."
Pak Wijaya mengangkat alisnya, penasaran. "Tidak normal? Jelaskan."
"Trauma berat, Pak," jawab Arga dengan nada serius. "Dia tidak lagi bisa berbicara dengan lancar. Setiap kali mencoba bicara, suaranya bergetar dan kata-katanya ngelantur tidak jelas, mungkin ini disebabkan oleh pertarungannya dengan Rama sang pahlawan bakteri itu."
Mendengar nama Rama, Pak Wijaya tersenyum tipis, lalu berjalan kembali ke mejanya dan duduk di kursi besar yang menyerupai singgasana. "Ah, Rama... Pria itu selalu menjadi duri di sisi kita. Hermawan terlalu ceroboh, terlalu percaya diri. Saya sudah memperingatkan dia untuk tidak meremehkan musuhnya. Tapi dia tidak mendengarkan."
Arga mengangguk, menahan diri untuk tidak menunjukkan emosi. "Benar, Pak. Hermawan terlalu sibuk mengejar keuntungan pribadi. Dia melupakan prioritas organisasi."
"Dan itulah yang membuatnya jatuh," sela Pak Wijaya. "Kita tidak punya tempat untuk orang-orang seperti dia di sini. Genesis Syndicate dibangun di atas loyalitas dan kecerdasan, bukan keserakahan individu."
"Benar, Pak," ujar Arga. "Namun, meskipun Hermawan telah gagal, informasi yang saya dapatkan menunjukkan bahwa Rama masih aktif. Kekuatan kristalnya terus berkembang, dan dia mungkin menjadi ancaman lebih besar bagi organisasi kita jika dibiarkan."
Pak Wijaya menatap layar besar yang kini menampilkan foto Rama dan laporan tentang kemampuan bakteri dan pasukan kristalnya. "Kekuatan kristal bakteri... Teknologi yang bahkan lebih maju daripada yang kita miliki. Jika kita bisa mendapatkannya, Genesis Syndicate pasti akan menjadi tak terkalahkan."
"Tapi, Pak," Arga memperingatkan, "mencapai itu tidak akan mudah. Rama bukan hanya memiliki kekuatan yang luar biasa, tapi dia juga memiliki keahlian taktis yang mengesankan. Dia berhasil mengalahkan Hermawan dan timnya, bahkan menghancurkan sebagian besar pasukan mereka."
Pak Wijaya memejamkan mata sejenak, berpikir. "Arga, saya ingin kau memimpin tim baru. Divisi 5 telah hancur, dan kita perlu pengganti yang lebih kompeten. Kau akan menjadi pemimpin Divisi 5 yang baru, dengan misi utama untuk mempelajari dan, jika mungkin, menguasai kekuatan kristal bakteri Rama."
Arga terkejut mendengar keputusan itu. Namun, ia segera menunduk hormat. "Terima kasih atas kepercayaan Anda, Pak Wijaya. Saya tidak akan mengecewakan Anda."
Pak Wijaya tersenyum kecil, lalu berdiri dari kursinya. "Saya tahu bahwa kau tidak akan mengecewakan saya, Arga. Karena jika kau melakukannya... kau tahu apa yang akan terjadi."
Arga merasakan hawa dingin di tulang belakangnya. Ia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya sekadar kata-kata. Genesis Syndicate tidak pernah memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang gagal.
"Sekarang pergilah," perintah Pak Wijaya. "Persiapkan timmu, dan buktikan bahwa kau lebih baik daripada Hermawan."
Arga mengangguk sekali lagi, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Di luar, pikirannya berkecamuk. Dia tahu bahwa tugas ini adalah peluang besar, tetapi juga risiko besar. Jika dia berhasil, ia akan naik ke puncak hierarki Genesis Syndicate. Namun, jika gagal, nasibnya mungkin lebih buruk daripada Hermawan.
Sementara itu, di dalam ruangan, Pak Wijaya berdiri di depan layar besar, menatap foto Rama yang terpampang di sana. "Rama," gumamnya pelan, "kau mungkin telah menang melawan Hermawan, tapi pertarungan yang sebenarnya baru saja dimulai."
Di sebuah rumah sederhana di tengah kota Jakarta, suasana terasa hangat meskipun di luar hiruk-pikuk kota mulai kembali normal. Siska duduk di sofa ruang tamu, menonton televisi bersama adik kembarnya, Yoga dan Yogi, yang baru berusia lima tahun. Kedua bocah itu memeluk bantal kecil di tangan masing-masing, menatap layar televisi dengan penuh antusias.
"Berita hari ini datang dari kota Jakarta yang sudah mengalami pemulihan berkat bantuan pasukan misterius yang dikenal sebagai Pasukan Kristal beberapa hari yang lalu," ujar penyiar berita dengan suara lantang.
Di layar, cuplikan video tersebut menunjukkan sosok-sosok humanoid bercahaya yang bekerja tanpa lelah, memindahkan puing-puing bangunan yang runtuh, membangun ulang jembatan, dan bahkan membersihkan jalan-jalan yang hancur akibat pertarungan besar beberapa waktu lalu.
"Pasukan Kristal itu keren banget, Kak Siska!" seru Yoga sambil menunjuk layar.
"Iya! Mereka kayak robot-robot super yang ada di film-film, kak Rama hebat" tambah Yogi, matanya berbinar penuh kekaguman.
Siska hanya tersenyum kecil. Karena mereka tahu siapa pemilik pasukan itu. Pasukan Kristal dan robot raksasa yang membantu membangun kembali kota adalah ciptaan Dr. Rama, pria yang memiliki tempat istimewa di hati Siska. Namun, ia tak ingin terlalu banyak bicara, terutama mengingat kerahasiaan yang harus dijaga.
"Kalau mereka bantuin bangun kota, berarti mereka pahlawan, ya, Kak?" tanya Yoga polos.
Siska mengangguk sambil mengusap kepala adiknya. "Iya, Yoga, Mereka pahlawan kita semua."
Yogi tiba-tiba berdiri dari duduknya, matanya bersinar penuh semangat. "Tapi kita tahu siapa yang punya pasukan itu, Yoga jadi pengen ketemu mereka dan main bersama mereka lagi kak!"
Siska tersentak sejenak mendengar ucapan Yogi. Dia melirik ke arah Yoga, yang kini ikut berdiri, terlihat sama antusiasnya. Kedua bocah itu memang masih kecil, tetapi mereka adalah saksi dari pertempuran terakhir antara Rama dan Hermawan. Mereka tahu segalanya, termasuk fakta bahwa Rama adalah pemilik Pasukan Kristal.
"Ssst, jangan terlalu keras, Yogi," bisik Siska sambil menaruh jari telunjuk di bibirnya. "Ingat, itu rahasia."
"Tapi kenapa harus rahasia, Kak?" tanya Yoga dengan wajah bingung. "Kan Kak Rama itu pahlawan. Orang-orang harus tahu."
Siska menghela napas pelan, mencoba menjelaskan dengan cara yang bisa dimengerti oleh bocah lima tahun. "Kak Rama nggak mau semua orang tahu karena dia ingin melindungi kalian, melindungi kita semua. Kalau orang jahat tahu siapa dia, mereka bisa nyakitin kita."
Yoga dan Yogi saling pandang sejenak sebelum mengangguk pelan. Meski mereka masih kecil, mereka mengerti pentingnya menjaga rahasia itu.
Di layar televisi, berita melanjutkan dengan wawancara beberapa warga yang merasa sangat terbantu oleh kehadiran Pasukan Kristal. Salah satu warga, seorang wanita paruh baya, berbicara dengan mata berkaca-kaca. "Saya nggak tahu siapa yang mengirim pasukan ini, tapi mereka menyelamatkan hidup saya dan keluarga. Rumah kami hancur total waktu kejadian itu, tapi sekarang kami punya tempat tinggal lagi. Terima kasih pahlawan... siapapun kalian."
Yogi, yang masih berdiri, menatap layar dengan serius. "Kak Rama itu hebat, ya," gumamnya pelan.
"Iya," sahut Yoga, menambahkan. "Aku mau kayak Kak Rama kalau udah besar."
Siska tersenyum kecil mendengar ucapan adik-adiknya. Mereka memang selalu mengidolakan Rama, bahkan sebelum mengetahui kebenaran tentang kekuatannya. Kini, setelah menjadi saksi langsung dari kekuatan luar biasa Rama, kekaguman mereka semakin besar.
"Tapi, Kak Siska," tanya Yoga lagi, menoleh ke kakaknya. "Kapan Kak Rama kesini lagi? Aku kangen."
Siska terdiam sejenak. Hatinya ikut terenyuh mendengar pertanyaan itu. Rama memang telah kembali dari Kalimantan setelah pertarungan terakhir dengan Hermawan untuk memastikan dan membawa keluarga Rama lagi ke Jakarta, Meskipun ia berjanji akan bertemu lagi, akan tetapi Siska tidak tahu kapan tepatnya itu akan terjadi.
"Dia pasti balik kok, adik-adikku sayang," jawab Siska akhirnya, mencoba meyakinkan adiknya. "Tapi sekarang dia lagi sibuk sama keluarganya."
Yogi mengangguk pelan, meski wajahnya masih terlihat sedih. "Aku pengen bilang makasih sama Kak Rama. Dia udah nolongin kita."
"Iya," tambah Yoga. "Kalau nggak ada Kak Rama, kita pasti nggak bisa pulang ke rumah lagi."
Siska merasa hatinya sangat sedih mendengar ucapan polos itu. Ia teringat momen ketika pertarungan terakhir terjadi, di mana Rama dengan gagah berani menghadapi Hermawan dan pasukannya. Kedua adiknya, meski masih kecil, melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Rama mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melindungi mereka dan orang-orang yang ia cintai.
"Kalau Kak Rama di sini, pasti dia seneng dengar kalian ngomong kayak gitu," ujar Siska, mencoba menghibur mereka.
Yoga dan Yogi tersenyum kecil, meski rasa rindu kepada Rama masih jelas terlihat di wajah mereka.
Berita di televisi kembali menampilkan gambar Pasukan Kristal yang tengah membangun ulang sebuah jembatan besar di tengah kota. Reporter melaporkan bahwa pemerintah masih mencoba mencari tahu identitas pihak di balik pasukan itu, tetapi belum ada petunjuk yang jelas.
"Kenapa Kak Rama nggak bilang aja kalau itu dia, Kak?" tanya Yogi tiba-tiba, membuat Siska terkejut.
"Karena Kak Rama nggak butuh orang tahu dia yang melakukannya," jawab Siska dengan lembut. "Yang penting, dia bisa bantu orang-orang."
Yogi mengangguk pelan, meskipun masih terlihat sedikit bingung. Yoga, di sisi lain, tampak merenung sebelum berkata, "Kalau aku jadi Kak Rama, aku juga nggak bakal bilang. Aku mau bantu orang karena aku sayang sama mereka."
Siska tersenyum mendengar ucapan itu. "Kalian berdua anak yang baik. Kakak yakin Kak Rama pasti bangga sama kalian."
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika cuplikan video di televisi menunjukkan gambar robot kristal raksasa yang pernah digunakan Rama dalam pertarungannya melawan Hermawan. Yoga dan Yogi langsung berseru kegirangan.
"Itu dia! Itu robot Kak Rama!" teriak Yogi.
"Iya, aku ingat waktu robot itu bermain petak umpet dengan kita di Kalimantan saat itu, dia selalu kalah dari kita!" tambah Yoga, melompat-lompat di tempat.
Siska segera menenangkan mereka. "Sstt, jangan keras-keras! Ingat, nggak boleh ada yang tahu."
Kedua bocah itu langsung menutup mulut mereka dengan tangan, meskipun antusiasme mereka tetap terlihat jelas di wajah mereka.
Siska menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Adik-adiknya mungkin masih terlalu kecil untuk sepenuhnya memahami apa yang telah terjadi, tetapi ia tahu bahwa mereka akan selalu mengenang momen itu sebagai salah satu bagian penting dalam hidup mereka.
"Suatu hari nanti," pikir Siska dalam hati, "mereka akan mengerti betapa besar pengorbanan Rama untuk melindungi kita semua."
Di luar rumah, matahari mulai tenggelam, membawa warna oranye yang indah ke langit Jakarta. Kota yang dulu porak-poranda kini sudah bangkit kembali, berkat kerja keras pasukan misterius yang diciptakan oleh seorang pria yang memilih untuk tetap berada di balik bayang-bayang.
Siska memandang ke luar jendela dengan tatapan penuh harapan. "Rama," gumamnya pelan, aku rindu kamu, kamu harus ingat! "kamu tidak sendiri. Kami selalu di sini, mendukungmu."