Rama duduk termenung di bawah pohon rindang di desa Kalimantan, memandang ke arah hutan yang tenang. Hatinya gelisah. Ia terus teringat pada seseorang—Siska. Bayangan wajah Siska yang menangis dan terluka karena kepergiannya terus menghantuinya.
"Bagaimana kabarnya sekarang?" gumam Rama pada dirinya sendiri. Ia tak bisa lagi menahan kerinduan yang semakin hari semakin menyiksa.
Setelah memastikan bahwa keluarganya aman, dan kloningan ninjanya yang terlatih dapat menjaga desa dari segala ancaman, Rama memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Sebelum pergi, ia berpamitan kepada kakaknya, Widya.
"Jaga ibu, Cindy, dan Bu Dewi untukku. Aku akan segera kembali," ucap Rama dengan nada penuh keyakinan.
Widya menatap adiknya dengan penuh pengertian. "Hati-hati di sana, Rama. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."
Rama mengangguk sebelum melangkah pergi, meninggalkan desa di bawah penjagaan puluhan kloningan ninjanya.
Malam di Jakarta terasa dingin dan sunyi. Rama, dengan pakaian serba hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, tiba di depan rumah Siska. Tangannya sempat ragu mengetuk pintu. Ia tahu, pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus menghindar.
Ketukan pintu itu terdengar pelan, tetapi cukup untuk membuat Siska terbangun dari lamunannya di ruang tengah. Ia berjalan perlahan menuju pintu, merasa sedikit gugup mendengar suara asing di malam hari.
Ketika pintu terbuka, matanya langsung terbelalak. Di depan pintu berdiri seorang pria yang begitu ia rindukan.
"Rama?" Siska hampir tidak percaya. Suaranya bergetar, seperti bercampur antara kebahagiaan dan kesedihan.
Tanpa berkata apa-apa, Rama membuka topeng yang menutupi wajahnya. Dalam sekejap, air mata Siska jatuh. Ia langsung melompat ke pelukan Rama, memeluknya erat, seolah takut kehilangan lagi.
"Kenapa kamu pergi begitu saja? Kenapa kamu tidak bilang apa-apa?!" isaknya sambil memukul-mukul dada Rama. Tangannya gemetar, mencerminkan perasaannya yang penuh dengan kekecewaan dan kerinduan.
Rama tidak menahan Siska. Ia membiarkan gadis itu meluapkan emosinya.
"Aku minta maaf, Siska," ucap Rama lirih. "Aku pergi karena aku tidak ingin melibatkanmu dalam bahaya. Aku pikir itu yang terbaik."
"Tapi kamu salah!" Siska berteriak di tengah tangisnya. "Aku ingin tahu apa yang terjadi. Aku ingin berada di sampingmu, Rama. Kenapa kamu selalu memutuskan segalanya sendiri?"
Rama terdiam sejenak, menatap mata Siska yang penuh dengan air mata. "Karena aku takut kehilanganmu. Dunia yang aku hadapi terlalu gelap, terlalu berbahaya. Aku hanya ingin kamu tetap aman."
Teriakan Siska ternyata membangunkan keluarganya. Ayahnya, Rido, bersama ibu dan adik kembarnya, Yoga dan Yogi, keluar dari kamar dengan raut wajah bingung.
"Siapa di sana?" tanya Rido dengan nada tegas.
Ketika melihat Rama, seluruh keluarga Siska terdiam. Mereka terkejut sekaligus lega melihat pria yang selama ini menjadi topik pembicaraan di rumah mereka.
"Masuklah dulu, Rama. Kita bicara di dalam," kata Rido, mencoba menjaga situasi tetap tenang.
Di ruang tamu, Rama duduk di tengah-tengah keluarga Siska. Semua mata tertuju padanya, menunggu penjelasan.
Rama menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. Ia menceritakan semuanya—tentang Hermawan, rencana jahatnya, pertempuran melawan musuh-musuh berbahaya, hingga bagaimana ia terus berusaha melindungi dunia.
"Ini bukan kehidupan yang aku pilih, Pak, Bu," kata Rama dengan suara rendah. "Tapi ini tanggung jawab yang harus aku emban. Aku hanya ingin memastikan bahwa kalian semua tetap aman."
Rido mengangguk perlahan. "Kami mengerti, Rama. Tapi kamu harus tahu bahwa Siska selalu memikirkan cara untuk tahu apa yang terjadi denganmu."
Rama menunduk, merasa bersalah. "Saya tahu, Pak. Saya minta maaf karena telah membuat Siska khawatir. Saya tidak akan pergi tanpa kabar lagi."
Setelah percakapan panjang, keluarga Siska mulai menerima keberadaan Rama. Namun, malam itu tetap dipenuhi dengan emosi.
Siska mendekati Rama di teras rumah, membawa secangkir teh hangat. "Rama, aku tahu kamu ingin melindungiku. Tapi aku juga ingin melindungimu. Aku tidak peduli seberapa berbahayanya dunia yang kamu hadapi. Aku ingin ada di sisimu."
Rama menatap Siska dengan mata yang penuh rasa syukur. "Terima kasih, Siska. Aku berjanji, aku tidak akan menyembunyikan apa pun darimu lagi."
Siska tersenyum kecil. "Itu janji yang harus kamu tepati, Rama. Karena aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja lagi."
Keesokan paginya, Rama berpamitan kepada keluarga Siska. Ia tahu tugasnya belum selesai, tetapi pertemuan ini memberinya kekuatan baru.
"Kalau ada apa-apa, pergilah ke Kalimantan. Desa di sana aman, dan mereka tahu bagaimana menghadapi situasi darurat," kata Rama sebelum pergi.
Siska mengangguk, meski hatinya berat untuk melepas Rama. "Jangan terlalu lama, Rama. Aku akan menunggumu."
Dengan janji di hatinya, Rama melangkah pergi, membawa harapan baru untuk menyelesaikan semua permasalahan yang masih menghantuinya.
Rama menghembuskan napas panjang saat melesat di udara, meninggalkan Jakarta menuju Kalimantan. Dengan bantuan bakteri yang telah terhubung dengannya, ia mampu terbang dengan kecepatan luar biasa. Angin malam yang sejuk membelai wajahnya, membuat pikirannya sedikit tenang setelah pertemuannya yang emosional dengan Siska.
Namun, di tengah perjalanan, sesuatu yang tidak biasa terjadi.
Bakteri yang selalu setia membantu Rama tiba-tiba mulai bertingkah usil. Mereka membentuk visualisasi aneh di belakang tubuhnya—berupa bunga-bunga berwarna cerah yang menyerupai kipas besar.
"Apalagi ini?" gumam Rama sambil menoleh ke belakang. Ia mengerutkan kening, mencoba menahan tawa kecil yang hampir keluar dari mulutnya.
Bakteri itu terus membentuk pola bunga yang lebih rumit, bahkan menambahkan efek kilauan seperti cahaya neon. Rama yang awalnya hanya merasa geli, kini mulai merasa malu.
"Sudah, hentikan! Jangan aneh-aneh!" serunya. Tapi, bukannya berhenti, bakteri itu malah membentuk tulisan di udara: "Dr. Rama the Hero!"
Rama akhirnya berhenti di udara sejenak dan menatap mereka dengan pandangan tegas. "Kalian ini ingin membantu atau mempermalukan saya?"
Bakteri itu akhirnya menurut, meski mereka membentuk visualisasi seperti tangan yang saling tos, seakan menertawakannya. Rama hanya bisa menggelengkan kepala sambil melanjutkan perjalanannya.
Setibanya di desa, Rama disambut dengan pemandangan yang tenang dan damai. Udara segar khas hutan Kalimantan langsung memenuhi paru-parunya. Warga desa yang melihat kedatangannya menyapa dengan hangat, seperti biasa.
Namun, sesuatu yang tidak ia duga terjadi ketika ia berjalan menuju tempat tinggal keluarganya.
Dua kloningan ninjanya berdiri di depan rumah, tampaknya sedang menjaga pintu. Saat melihat Rama, mereka tiba-tiba mempraktikkan adegan yang baru saja dialaminya di Jakarta—adegan Siska yang memukul-mukul dada Rama sambil menangis.
Kloningan itu bergerak dengan dramatis, salah satunya berpura-pura menjadi Siska, sementara yang lain berlagak menjadi Rama. Mereka memukul dada masing-masing dengan gerakan yang dilebih-lebihkan, sambil meniru suara tangisan.
"Aku kecewa padamu, Rama!" teriak salah satu kloningan dengan nada yang sengaja dibuat berlebihan.
Rama berdiri mematung, wajahnya memerah karena malu. "Apa-apaan ini?!" serunya.
Kloningan itu berhenti, menoleh ke arah Rama, lalu saling tos dengan ekspresi puas.
"Sudah cukup! Kalau kalian begini terus, aku akan memprogram ulang kalian!" ancam Rama sambil melangkah masuk ke rumah, berusaha menahan tawanya sendiri.
Di dalam rumah, Rama menemukan keluarganya sedang duduk bersama menikmati makanan sederhana. Suasana kehangatan langsung menyelimuti dirinya.
"Kamu sudah kembali, Rama," ujar Widya dengan senyum lembut.
"Iya, aku sudah menyelesaikan urusanku di Jakarta," jawab Rama sambil duduk di samping kakaknya.
Cindy, yang sedang menikmati secangkir teh hangat, menatap Rama dengan penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana kabar Kak Siska?" tanyanya polos.
Rama tertegun sejenak sebelum menjawab, "Dia baik-baik saja. Aku sudah menjelaskan semuanya padanya."
Widya mengangguk pelan. "Baguslah. Kamu memang perlu meluruskan semua itu. Aku yakin Siska pasti lega sekarang."
Malam itu, Rama menghabiskan waktu bersama keluarganya, berbicara tentang banyak hal. Tidak ada tekanan, tidak ada kekhawatiran. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar damai.
Beberapa hari berikutnya, kehidupan di desa berjalan dengan tenang. Rama mulai berinteraksi lebih banyak dengan warga desa, membantu mereka dengan pekerjaan sehari-hari. Ia bahkan memperkenalkan beberapa teknologi sederhana yang dapat membantu mereka tanpa merusak lingkungan.
Namun, kloningan ninjanya masih saja membuat ulah. Mereka terus mencoba menirukan adegan-adegan lucu, baik dari interaksi Rama dengan Siska maupun dari kejadian-kejadian lain yang pernah mereka alami.
Suatu sore, salah satu kloningan menirukan adegan Rama yang terkejut melihat visualisasi bunga-bunga di perjalanan. Mereka bahkan menambahkan gerakan tambahan, seperti menari-nari di udara.
Rama hanya bisa menatap mereka dengan ekspresi datar. "Kalian ini benar-benar tidak ada kerjaan, ya?"
Kloningan itu hanya membentuk visualisasi seperti wajah yang tersenyum lebar, lalu melanjutkan aksi mereka.
Meski terkadang merasa malu, Rama tidak bisa memungkiri bahwa kehadiran kloningannya membawa warna tersendiri dalam hidupnya.
Di suatu malam yang tenang, Rama duduk sendirian di tepi sungai, memandang langit yang penuh bintang. Ia merenungkan perjalanan panjang yang telah ia lalui, dari awal hingga sekarang.
Dalam kesunyian itu, bakteri yang selalu menemaninya mulai membentuk visualisasi kecil di udara. Mereka menciptakan gambar Siska, Widya, dan keluarganya yang lain, seolah ingin mengingatkan Rama tentang orang-orang yang berharga dalam hidupnya.
Rama tersenyum tipis. "Terima kasih. Kalian memang selalu ada untukku."
Bakteri itu membentuk visualisasi seperti tangan yang saling tos lagi, membuat Rama tertawa kecil.
Di dalam hatinya, Rama tahu bahwa tantangan besar masih menunggu di depan. Namun, untuk saat ini, ia memutuskan untuk menikmati momen kedamaian ini, bersama keluarganya, warga desa, dan para bakteri yang setia mendampinginya.