Pagi yang cerah menyelimuti desa kecil di Kalimantan. Dr. Rama bangun lebih awal dari biasanya, ingin merasakan suasana pagi yang tenang. Ia berjalan-jalan santai di sekitar desa, menyapa warga yang sedang beraktivitas, dan menikmati udara segar. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat salah satu kloningan ninja kristalnya duduk santai di teras rumah sambil memegang sesuatu yang tampak seperti ponsel.
Rama mengerutkan dahinya. "Dari mana dia dapat ponsel?" pikirnya sambil mendekati kloningan tersebut.
Kloningan itu tampak asyik menonton sesuatu di layar ponsel, sesekali menganggukkan kepala seperti sedang menghayati. Rama berdiri di sampingnya, mencoba mengintip apa yang ditonton, tetapi sebelum ia sempat bertanya, ia menyadari itu adalah ponsel milik Cindy.
"Dari mana kamu dapat ini?" tanya Rama dengan nada heran.
Kloningan hanya menoleh sebentar, lalu menunjuk rumah Cindy. Rama langsung menuju ke sana, menemui Cindy yang sedang membantu Bu Dewi menyiapkan sarapan.
"Cindy, kenapa ponselmu ada di tangan salah satu kloninganku?" tanya Rama.
Cindy tertawa kecil sambil meletakkan sendok di meja. "Ah, itu cerita panjang, Kak Rama. Jadi, semalam aku sedang mencari resep masakan di ponsel, tiba-tiba kloningan Kakak datang dan duduk di sampingku. Dia ikut menonton dengan penasaran."
Rama mengerutkan dahi, penasaran dengan kelanjutan cerita Cindy.
"Aku tanya dia, 'Mau nonton juga? Mau tontonan apa?' Dia nggak jawab, cuma melihat sekeliling. Lalu dia melihat baju anak kecil yang sedang dijemur, kebetulan bajunya bergambar robot bertuliskan gundam. Dia langsung menunjuk gambar itu."
"Gundam?" Rama terkejut sekaligus geli.
Cindy mengangguk sambil tersenyum. "Aku nggak tahu itu apa, tapi aku coba cari di YouTube dengan nama yang tertulis di baju itu. Begitu aku buka video tentang gundam, dia langsung melompat kecil dan bertepuk tangan, kelihatan senang sekali!"
Rama menahan tawa mendengar cerita itu. "Jadi, kamu meminjamkan ponselmu ke dia?"
"Ya, aku bilang boleh pinjam cuma satu hari, tapi ada syaratnya. Dia harus bantu aku dan Bu Dewi memasak untuk warga desa hari ini. Dan dia mengiyakan," jawab Cindy sambil terkekeh.
Rama kembali mendekati kloningannya yang masih asyik menonton video gundam. Ia duduk di sampingnya, penasaran dengan apa yang begitu menarik perhatian kloningannya.
"Apa yang kamu tonton?" tanyanya.
Kloningan itu menunjuk layar ponsel, memperlihatkan adegan dari film gundam yang penuh aksi dan robot-robot raksasa bertarung di angkasa. Matanya bersinar-sinar, seolah-olah ia benar-benar terpesona.
"Jadi, kamu ingin berubah jadi robot seperti itu?" tanya Rama setengah bercanda.
Kloningan itu mengangguk penuh semangat sambil menunjuk-nunjuk layar ponsel. Ia kemudian menunjuk dirinya sendiri, Rama, dan membentuk visualisasi seperti robot gundam raksasa, seolah menyiratkan bahwa ia ingin semua kloningan ninja kristal juga berubah menjadi gundam.
Rama tertawa terbahak-bahak. "Kamu ini ada-ada saja! Itu mustahil!"
Namun, melihat ekspresi kloningannya yang penuh harap, Rama akhirnya berkata, "Baiklah, aku akan usahakan. Kalau aku punya kekuatan yang cukup, mungkin suatu hari nanti aku bisa mewujudkan impianmu."
Kloningan itu bertepuk tangan lagi, melompat-lompat kecil dengan gembira. Rama hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Hari itu, seperti yang dijanjikan, kloningan ninja kristal membantu Cindy dan Bu Dewi memasak untuk warga desa. Meski awalnya mereka tampak canggung memegang peralatan dapur, lama-kelamaan mereka mulai terbiasa.
Salah satu kloningan bahkan mencoba meniru gaya memasak koki profesional, melempar-lempar sayuran di wajan. Meski berakhir dengan tumpahan besar, semua orang tertawa melihat aksi kocak tersebut.
Rama yang menyaksikan dari kejauhan merasa hatinya hangat. "Mereka benar-benar seperti anak-anak," pikirnya.
Malam harinya, setelah semua warga selesai makan malam dan suasana desa kembali hening, Rama berbaring di tempat tidurnya. Namun, bukannya langsung tidur, ia justru teringat kejadian lucu sepanjang hari itu.
Ia membayangkan kloningannya yang menonton video gundam dengan antusias, membantu memasak dengan gaya lucu, dan menghidupkan suasana di desa. "Mereka memang aneh, tapi kehadiran mereka membuat hidupku lebih berwarna," gumam Rama sambil tersenyum sendiri.
Bakteri yang selalu terhubung dengannya membentuk visualisasi seperti wajah tersenyum, seolah memahami pikiran Rama.
Rama tertawa kecil. "Baiklah, kita jalani saja semuanya. Satu hal yang pasti, aku bersyukur kalian ada di sini."
Ia menutup matanya perlahan, membiarkan kehangatan dan kedamaian malam itu membawanya ke alam mimpi.
Keesokan paginya, desa yang biasanya damai mendadak gempar ketika seseorang datang berlari dengan wajah panik. Ia membawa kabar mengejutkan dari Jakarta. "Rama! Rama! Cepat lihat ini, Jakarta hancur!" teriaknya sembari menyerahkan ponselnya kepada Dr. Rama.
Rama, yang saat itu sedang membantu penduduk desa, segera menghentikan aktivitasnya dan melihat video yang ditunjukkan. Di layar, rekaman amatir menampilkan pemandangan yang tak terbayangkan: robot-robot raksasa, setinggi lebih dari 50 meter, menembakkan laser ke segala arah. Gedung-gedung pencakar langit di Bundaran HI, Jakarta Pusat, hancur berkeping-keping hanya dalam hitungan detik.
Tank-tank militer dan pesawat jet tempur dikerahkan untuk melawan, tetapi usaha itu sia-sia. Robot-robot itu bergerak dengan lincah, menangkis serangan, dan membalas dengan kekuatan yang jauh lebih besar. Tubuh mereka dilapisi oleh semacam perisai laser yang memusnahkan apa pun yang mendekat. Dalam video itu, suara warga yang merekam terdengar penuh ketakutan, "Kita tidak akan selamat! Ini sungguh bencana yang luar biasa!"
Rama menatap layar dengan ekspresi tegang. Di pikirannya, wajah Siska dan keluarganya muncul. "Bagaimana keadaan mereka? Apakah mereka selamat?" batinnya gelisah. Ia segera menghubungi Siska, tetapi panggilan itu tidak tersambung. Rasa cemas semakin membuncah di dadanya.
Warga desa yang lain juga mulai khawatir. Mereka berkerumun di sekitar Rama, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Rama mencoba menenangkan mereka. "Kalian tenang saja. Aku akan segera pergi ke Jakarta dan mencari tahu apa yang terjadi. Tetap di sini, jangan ke mana-mana."
Rama memanggil kloningan ninja kristalnya, memberikan perintah yang tegas. "Jaga desa ini. Lindungi keluarga saya dan semua penduduk. Jangan biarkan apa pun mengganggu mereka."
Kloningan-kloningan itu mengangguk serempak, menyebar ke seluruh penjuru desa. Mereka membangun barikade tak terlihat dengan kemampuan bakteri mereka, menciptakan lapisan perlindungan tambahan di sekitar desa.
Setelah memastikan semuanya aman, Rama bersiap pergi. Ia menatap keluarganya sejenak. "Aku akan kembali. Jangan khawatir." Meski kata-katanya terdengar tegas, hatinya penuh kecemasan.
Dengan memanfaatkan kemampuan bakteri yang terkoneksi dengan udara, Rama melesat ke langit, terbang menuju Jakarta. Kecepatannya luar biasa, melampaui kecepatan pesawat jet. Di sepanjang perjalanan, ia mencoba menyusun strategi untuk menghadapi robot-robot raksasa itu.
"Robot-robot itu tidak mungkin tak terkalahkan," pikirnya. "Tapi bagaimana cara menembus perisai laser mereka? Bahkan tank dan jet tidak mampu melukainya."
Ketika sampai di langit Jakarta, Rama terkejut melihat kehancuran yang lebih parah dari yang ia bayangkan. Gedung-gedung banyak yang runtuh, jalanan dipenuhi puing-puing, dan api berkobar di berbagai tempat. Warga yang masih hidup berlarian mencari perlindungan, sementara robot-robot raksasa terus bergerak, menghancurkan apa pun yang ada di depan mereka.
Rama mendarat di sebuah gedung yang setengah hancur untuk mengamati situasi dari ketinggian. Ia memanfaatkan bakteri-bakterinya untuk menganalisis struktur robot-robot itu dari kejauhan. Hasilnya mencengangkan: inti energi di dalam tubuh mereka adalah core abadi yang pernah ia teliti.
"Jadi ini yang mereka lakukan dengan core itu," gumam Rama. "Mereka menciptakan senjata pemusnah massal."
Namun, analisis itu juga memberi harapan. Rama menemukan bahwa meski perisai laser robot sangat kuat, ada celah kecil di sekitar bagian sendi mereka. Celah itu hanya terlihat sesaat saat robot bergerak.
"Itu titik lemah mereka. Tapi bagaimana aku bisa menyerang mereka dengan tepat di sana?" pikir Rama.
Rama segera bergerak menuju salah satu robot, mencoba melancarkan serangan dari jarak dekat. Ia menciptakan senjata dari kristal bakteri, sebuah tombak panjang yang sangat tajam. Dengan kecepatan luar biasa, ia melompat ke arah salah satu robot, mengincar celah di lututnya.
Serangannya berhasil. Tombak kristalnya menembus celah itu, menghancurkan salah satu sendi robot. Robot itu terjatuh, tetapi sebelum Rama bisa melanjutkan serangan, robot-robot lainnya mulai menargetkan posisinya. Laser-laser besar ditembakkan ke arahnya, memaksa Rama bergerak cepat untuk menghindar.
"Sial, jumlah mereka terlalu banyak," pikirnya. "Aku butuh strategi yang lebih baik."
Rama kembali ke tempat aman untuk menyusun rencana. Ia menyadari bahwa melawan robot-robot ini satu per satu tidak akan efektif. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa menghancurkan mereka semua sekaligus.
Ia memanfaatkan bakteri-bakterinya untuk menciptakan sebuah jaringan komunikasi dengan kloningan ninja kristalnya yang masih di Kalimantan. Dengan cepat, ia memberikan perintah baru. "Bawa bahan-bahan yang aku butuhkan ke sini. Kita akan menciptakan senjata besar."
Kloningan-kloningan itu segera bergerak, membawa kristal-kristal bakteri yang telah mereka kumpulkan di desa. Sementara itu, Rama terus memantau pergerakan robot-robot di Jakarta, mencari pola dalam serangan mereka.
Di tengah semua kekacauan itu, pikiran Rama terus melayang kepada Siska. Ia mencoba menghubunginya lagi, tetapi masih tidak ada jawaban. "Kumohon, selamatlah, Siska," gumamnya.
Di suatu sudut kota, Rama melihat sekelompok warga yang terjebak di bawah reruntuhan. Tanpa ragu, ia menghampiri mereka dan menggunakan kekuatan bakterinya untuk mengangkat puing-puing yang menimpa mereka. Warga itu menatapnya dengan mata penuh harapan. "Siapa kau?" tanya salah satu dari mereka.
"Aku di sini untuk membantu," jawab Rama singkat sebelum melanjutkan misinya.
Beberapa jam kemudian, kloningan ninja kristal Rama tiba di Jakarta, membawa bahan-bahan yang ia butuhkan. Dengan cepat, Rama mulai merancang senjata baru—sebuah senjata besar berbentuk meriam yang memanfaatkan energi kristal bakteri.
"Senjata ini harus cukup kuat untuk menghancurkan inti energi mereka," kata Rama sambil bekerja.
Ketika senjata itu akhirnya selesai, Rama bersiap untuk melancarkan serangan terakhirnya. Ia tahu bahwa ini adalah peluang terbaiknya untuk menyelamatkan Jakarta dan menemukan Siska.