Chereads / Dr. Rama The Bacterial Hero / Chapter 18 - "Core Abadi?"

Chapter 18 - "Core Abadi?"

Dr. Rama melangkah tenang di desa terpencil di Kalimantan. Udara segar, suara burung, dan gemerisik daun hutan tropis mengelilinginya, menciptakan suasana damai yang telah lama hilang dari hidupnya. Namun, jauh di dalam hatinya, perasaan bersalah dan kegelisahan terus menghantui. Ia memasuki rumah kepala desa, tempat keluarganya berlindung sementara.

Di dalam rumah, kakaknya, Widya, terbaring di atas tikar bambu, wajahnya lebih pucat dari biasanya. Cindy dan Bu Dewi duduk di sampingnya, membantu mengompres tubuh Widya dengan kain basah. Melihat itu, Rama menghampiri dengan hati-hati.

"Kak, bagaimana keadaanmu?" tanya Rama lirih, sambil duduk di samping Widya.

Widya membuka matanya perlahan. "Aku sudah jauh lebih baik, Rama. Jangan khawatir." Suaranya lemah, tetapi ada senyum kecil di wajahnya.

Rama menunduk, merasa bersalah. "Aku minta maaf, Kak. Semua ini terjadi karena aku. Kamu kehilangan pekerjaan, dan sekarang… kamu harus melalui semua ini karena ulahku."

Widya menggeleng pelan. "Rama, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu melindungi kami, meskipun dunia berpikir sebaliknya. Jangan menyalahkan dirimu terus-menerus."

Cindy yang sedari tadi diam tiba-tiba angkat bicara, "Tapi, Rama, apa rencanamu selanjutnya? Pak Hermawan mungkin sedang merencanakan sesuatu lagi. Dan kami... kami hanya ingin kamu selamat."

Rama menatap Cindy, wajahnya serius. "Aku tahu. Tapi untuk saat ini, aku akan tetap di sini. Aku ingin memastikan Kak Widya benar-benar pulih. Juga... aku berhutang banyak pada desa ini. Kepala desa dan warganya sudah memberikan perlindungan tanpa pamrih. Aku berjanji akan terus menjaga desa ini apapun yang terjadi,"

Cindy tersenyum kecil.

"Aku akan memenuhinya," tegas Rama.

Hari-hari berlalu, dan Rama mulai beradaptasi dengan kehidupan sederhana di desa. Ia membantu kepala desa dan warga dalam kegiatan sehari-hari, seperti membersihkan aliran sungai, memperbaiki rumah-rumah yang rusak, hingga mengajari anak-anak desa tentang sains sederhana.

Namun, di sela-sela itu, Rama tetap fokus memantau pergerakan bakteri-bakterinya yang masih tersebar di Jakarta. Ia tak pernah benar-benar tenang, selalu waspada terhadap kemungkinan serangan berikutnya dari Hermawan.

Suatu malam, di bawah sinar bulan yang terang, Rama duduk di beranda rumah kepala desa bersama Cindy.

"Rama," kata Cindy pelan, "apakah kamu pernah berpikir untuk berhenti dari semua ini? Hidup tenang, seperti orang biasa?"

Rama terdiam sejenak. "Aku ingin. Tapi... tanggung jawabku terlalu besar. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku bukan Dr. Rama. Banyak yang bergantung padaku, termasuk orang-orang yang bahkan tidak mengenalku."

"Tapi bagaimana dengan kebahagiaanmu sendiri?" Cindy menatap Rama tajam.

Rama tersenyum tipis. "Mungkin kebahagiaanku adalah melihat orang lain selamat. Melihat dunia menjadi tempat yang lebih baik."

Ketika Rama mulai merasa sedikit tenang, salah satu bakterinya yang ia tinggalkan di Jakarta mengirimkan sinyal visual. Rama langsung memfokuskan pikirannya, membiarkan bakteri itu menampilkan apa yang dilihatnya.

Gambar-gambar yang muncul di benaknya menunjukkan aktivitas mencurigakan di sebuah laboratorium rahasia di bawah tanah. Di sana, sejumlah ilmuwan sedang bekerja dengan peralatan canggih, menciptakan sesuatu yang tampak seperti bola bercahaya terang dan menyilaukan.

"Itu pasti kerjaan Hermawan," gumam Rama.

Rama segera bangkit dari tempat duduknya, wajahnya penuh ketegangan. Ia masuk ke dalam rumah, menemui kepala desa.

"Pak, saya harus pergi ke Jakarta. Ada sesuatu yang mendesak," kata Rama.

Kepala desa menatapnya prihatin. "Kamu yakin sudah siap untuk kembali ke sana? Kota itu penuh bahaya untukmu."

"Saya tidak punya pilihan," jawab Rama. "Tapi tolong jaga keluarga saya selama saya pergi."

Sebelum berangkat, Rama memastikan bahwa keluarganya dalam keadaan aman. Ia memodifikasi bakteri pelindungnya untuk menciptakan penghalang yang lebih kuat di sekitar rumah kepala desa.

"Kalian akan aman di sini," kata Rama kepada Widya, Cindy, dan Bu Dewi.

Widya memegang tangan adiknya. "Hati-hati, Rama. Jangan terlalu memaksakan diri."

Rama mengangguk. "Aku akan kembali secepat mungkin."

Dengan kostum kristalnya yang telah diperbarui dan ribuan bakteri yang mengikuti di belakangnya, Rama terbang menuju Jakarta, siap menghadapi ancaman baru yang menanti.

Setibanya di Jakarta, Rama menyusuri jalanan gelap dan sepi, mencoba melacak lokasi laboratorium rahasia yang ia lihat sebelumnya. Ia harus bergerak cepat dan hati-hati, karena dirinya masih menjadi buronan polisi.

Saat mendekati lokasi, ia melihat penjagaan ketat di sekitar gedung tersebut. Dengan sigap, Rama menginstruksikan kloningan bakterinya untuk menyusup dan memetakan seluruh area.

"Waktunya bermain," gumam Rama sambil mempersiapkan diri untuk menyerang.

Setelah berhasil menyusup, dan melumpuhkan pasukan yang berjaga.

Dr. Rama berdiri di tengah ruang penelitian yang penuh dengan peralatan canggih, berkas-berkas berserakan di sekitarnya. Cahaya terang dari benda kecil di atas meja kerja membuat matanya menyipit. Ia mendekati benda itu dengan hati-hati, merasakan energi yang luar biasa namun berbahaya memancar darinya.

"Benda ini... apa sebenarnya?" gumam Rama sambil membuka berkas-berkas penelitian yang ada di meja tersebut.

Bakteri-bakterinya mulai menganalisis energi yang terpancar dari benda itu. Mereka berkomunikasi dengan Rama melalui visualisasi, menunjukkan gambaran molekul-molekul besi baja yang terdistorsi secara drastis akibat tekanan luar biasa.

Dari berkas yang ia baca, Rama menemukan bahwa benda itu adalah prototipe energi yang dinamakan "Core Abadi", sebuah sumber daya yang dapat memberikan energi tanpa batas. Namun, penelitian juga mencatat risiko yang sangat besar: jika energi dari Core Abadi tidak dikendalikan dengan tepat, benda itu bisa menyebabkan ledakan skala besar yang mampu menghancurkan kota sebesar Jakarta.

Dr. Rama mengepalkan tangannya. "Hermawan pasti merencanakan sesuatu dengan ini. Dia tidak peduli apa dampaknya pada manusia atau lingkungan. Aku harus memastikan benda ini tidak jatuh ke tangan yang salah."

Namun, ia sadar bahwa ini bukan misi yang bisa diselesaikan dengan tergesa-gesa. Pencariannya terhadap Hermawan harus tertunda. Benda ini memerlukan perhatian khusus, dan tempat terbaik untuk mempelajarinya adalah di Kalimantan, jauh dari peradaban.

Rama membawa Core Abadi dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang bisa melacaknya. Dalam perjalanan menuju Kalimantan, ia terus memikirkan cara untuk mengamankan benda itu dan mencegahnya menjadi senjata pemusnah massal.

Sesampainya di desa tempat keluarganya berlindung, Rama segera mencari kepala desa.

"Kepala desa, aku butuh tempat yang aman dan terpencil," kata Rama dengan nada serius.

Kepala desa mengangguk. "Ada sebuah gua tua di dalam hutan, jauh dari pemukiman. Tapi gua itu sulit diakses."

"Itu sempurna," jawab Rama. "Aku hanya butuh tempat untuk meneliti ini tanpa gangguan."

Dengan panduan kepala desa, Rama akhirnya tiba di gua yang dimaksud. Gua itu gelap, lembab, dan dipenuhi stalaktit besar yang menggantung dari langit-langit. Namun, tempat itu cukup luas untuk menjadi laboratorium darurat.

Bakteri-bakterinya bekerja sama untuk membersihkan gua, membuat ruang yang cukup untuk Rama bekerja. Mereka bahkan menciptakan penerangan alami dengan memancarkan cahaya bioluminesensi.

Rama meletakkan Core Abadi di atas meja batu, menatapnya dengan penuh kewaspadaan. "Baiklah, mari kita mulai."

Hari-hari di gua dihabiskan Rama untuk menganalisis Core Abadi. Dengan bantuan bakterinya, ia menemukan cara untuk menstabilkan energi yang dipancarkan benda itu. Namun, setiap kali ia mendekati solusi, selalu ada risiko kecil ledakan.

"Aku tidak bisa gagal," gumamnya, menghapus keringat di dahinya.

Rama juga memodifikasi bakteri-bakterinya agar dapat menyerap energi berlebihan dari Core Abadi. Dengan begitu, mereka bisa bertindak sebagai penyangga jika sesuatu yang buruk terjadi.

Saat Rama fokus pada penelitiannya, ia tiba-tiba merasakan getaran kecil di tanah. Bakterinya segera memberitahu bahwa ada orang yang mendekati gua.

Rama mengintip keluar dan melihat sekelompok pria bersenjata, kemungkinan besar anak buah Hermawan. Mereka pasti sedang mencari Core Abadi.

"Tidak ada waktu untuk mundur," pikir Rama.

Dengan sigap, ia memerintahkan bakterinya untuk menyebar, menciptakan ilusi bahwa gua itu kosong. Pria-pria bersenjata itu masuk dengan hati-hati, namun mereka tidak menemukan apa-apa.

"Dia pasti sudah kabur," kata salah satu dari mereka.

Setelah mereka pergi, Rama keluar dari persembunyiannya. "Hermawan tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan benda ini. Aku harus menyelesaikan penelitian ini secepatnya."

Setelah berminggu-minggu bekerja, Rama akhirnya menemukan cara untuk menstabilkan Core Abadi tanpa risiko ledakan. Ia menciptakan kapsul pelindung dari kristal bakterinya, yang mampu menahan energi dalam jumlah besar.

Benda itu kini jauh lebih aman, tetapi Rama tahu bahwa ini bukan akhir dari perjuangannya.

"Satu langkah selesai, tapi Hermawan masih di luar sana," gumamnya.

Ia memutuskan untuk kembali ke desa dan memberitahu keluarganya tentang perkembangan ini.

Saat Rama tiba di desa, ia disambut dengan pelukan hangat dari Widya, Cindy, dan Bu Dewi.

"Kamu baik-baik saja, Rama?" tanya Widya dengan penuh kekhawatiran.

"Aku baik-baik saja, Kak. Dan aku punya kabar baik. Energi itu sudah aman sekarang. Tapi... aku belum selesai. Aku harus memastikan Hermawan tidak pernah mendapatkan akses ke benda ini."

Cindy menatap Rama dengan tegas. "Kami akan mendukungmu, apa pun yang terjadi."

Bu Dewi mengangguk. "Tapi jaga dirimu, Rama. Kami tidak ingin kehilanganmu."

Rama tersenyum, merasakan kehangatan keluarga yang telah lama ia rindukan.

Dengan Core Abadi yang kini aman, Rama merasa siap untuk menghadapi Hermawan sekali lagi. Ia tahu bahwa pertempuran berikutnya akan menjadi penentu, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan dunia.

Namun, sebelum itu, ia memutuskan untuk menikmati kedamaian sementara bersama keluarganya, menyadari bahwa kebahagiaan sederhana ini adalah alasan utama ia terus berjuang.