Chereads / Dr. Rama The Bacterial Hero / Chapter 14 - Amukan Sang Pahlawan

Chapter 14 - Amukan Sang Pahlawan

Di malam sebelumnya, Siska duduk di sudut tempat tidurnya, memeluk lututnya erat-erat. Mata sembapnya menunjukkan betapa banyak air mata yang telah ia tumpahkan selama beberapa hari terakhir. Ia merasa dunianya runtuh ketika tahu bahwa superhero yang ia idolakan, sekaligus pria yang mulai mengisi hatinya, adalah orang yang sama, yaitu Rama. Kekecewaannya semakin dalam saat Rama ternyata juga terlibat dalam skandal besar yang menghancurkan kepercayaan masyarakat.

"Kenapa harus begini?" bisik Siska pada dirinya sendiri. "Kenapa dia harus membohongiku?"

Tangisnya kembali pecah. Di antara isakannya, ia teringat saat makan malam di kafe tersebut, Rama terlihat begitu gugup namun manis. Ia teringat cara Rama tersenyum, cara ia mendengarkan setiap cerita Siska dengan penuh perhatian. Kenangan itu membuat hatinya semakin perih, seakan-akan ia sedang menggenggam serpihan kaca tajam.

Ayahnya, Pak Rido, mengetuk pintu kamar dengan lembut. "Siska, boleh Ayah masuk?"

Siska mengusap air matanya dengan cepat, mencoba menyembunyikan kesedihannya meskipun sia-sia. "Masuk saja, Ayah."

Pak Rido membuka pintu dan masuk bersama istrinya, Bu Sari. Mereka duduk di samping Siska, mencoba menenangkan putri mereka yang terluka.

"Sayang, Ayah tahu ini berat untukmu. Tapi mungkin ada sesuatu yang belum kamu pahami sepenuhnya. Kadang apa yang terlihat di luar tidak selalu mencerminkan kebenaran," kata Pak Rido dengan nada lembut.

"Tapi Ayah, dia bohong padaku. Dia menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya," jawab Siska dengan suara gemetar.

Bu Sari memeluk bahu Siska, memberikan rasa nyaman yang hanya bisa diberikan seorang ibu. "Mungkin Rama punya alasannya sendiri, Nak. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan."

Percakapan itu dihentikan oleh suara langkah kaki kecil mendekat. Yoga dan Yogi, adik kembar Siska yang baru berusia enam tahun, muncul di ambang pintu dengan ekspresi penasaran.

"Kak Siska, kenapa Kakak nangis terus?" tanya Yoga polos.

"Iya, Kakak nggak sayang lagi sama kita, ya?" tambah Yogi dengan wajah cemberut.

Pertanyaan itu membuat Siska tersenyum tipis di tengah air matanya. Ia menarik kedua adiknya mendekat dan memeluk mereka erat. "Kakak sayang banget sama kalian. Jangan pernah pikir Kakak nggak sayang, ya?"

"Tapi Kakak nangis terus," kata Yoga sambil mengusap pipi Siska dengan tangan kecilnya.

"Kami punya ide!" seru Yogi tiba-tiba. "Kita ajak Kakak main supaya nggak sedih lagi."

"Main apa?" tanya Siska, tersenyum kecil meskipun matanya masih basah.

Yoga dan Yogi mulai membicarakan berbagai permainan lucu, bercanda, dan saling menimpali hingga akhirnya Siska tertawa kecil. Ia mencium kening kedua adiknya dengan penuh kasih sayang. Meskipun luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, keberadaan keluarganya memberinya kekuatan untuk bertahan.

Sementara itu, di dalam sel yang gelap dan dingin, Dr. Rama duduk bersandar pada dinding beton. Wajahnya lelah, tetapi senyum tipis terlukis di bibirnya. Ia tengah berbincang dengan bakteri-bakteri kecil yang setia menemaninya.

Bakteri-bakteri itu berkerumun di sudut sel, menciptakan visualisasi yang hanya bisa dilihat oleh Rama. Salah satu bakteri membentuk wujud kecil menyerupai dirinya sendiri, sementara yang lain membentuk Siska, seolah-olah memutar ulang momen mereka di toko buah beberapa waktu lalu.

"Dok, ingat nggak waktu itu? Wajahnya memerah gara-gara Dokter nggak sengaja memegang tangannya saat itu," kata salah satu bakteri dengan nada yang ceria.

Rama tertawa kecil, meskipun rasa rindu dan sedih di dalam hatinya semakin dalam. "Ya, aku ingat. Waktu itu dia terlihat begitu manis. Aku nggak menyangka pertemuan di pasar tradisional bisa membuatku sebahagia itu."

Bakteri lain menambahkan, "Dia bahkan nggak marah waktu Dokter tidak sengaja memegang tangannya hampir 3x. Kayaknya dia memang langsung suka sama Dokter."

Mendengar itu, senyuman Rama perlahan memudar. Ia menundukkan kepala, suaranya penuh dengan penyesalan. "Tapi sekarang, dia pasti membenciku. Aku telah mengecewakannya. Aku nggak pernah ingin dia tahu tentang diriku dengan cara seperti ini."

Bakteri-bakteri itu ikut diam, seolah-olah merasakan kesedihan yang sama. Sel menjadi hening, hanya terdengar suara napas Rama yang berat.

"Dia pasti sedang menangis sekarang," lanjut Rama. "Dan aku bahkan nggak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku benar-benar tidak berdaya."

Bakteri-bakteri itu mencoba menghibur Rama dengan gerakan-gerakan lucu, tetapi suasana hati Rama tetap kelam. Ia merasa kehilangan segalanya—kebebasannya, reputasinya, dan orang-orang yang ia sayangi.

Malam itu, baik Siska maupun Rama tidak bisa tidur. Di tempat yang berbeda, mereka sama-sama memikirkan satu sama lain, meskipun perasaan mereka bercampur antara rindu dan luka.

Siska memeluk bantalnya erat-erat, membayangkan Rama yang dulu ia kagumi sebagai pahlawan. "Apakah aku harus memaafkannya? Tapi kenapa dia tidak jujur padaku sejak awal?" pikirnya.

Sementara itu, Rama terbaring di ranjang selnya, menatap langit-langit yang gelap. Ia berbicara kepada dirinya sendiri, berharap bahwa suatu hari ia bisa bertemu Siska lagi dan menjelaskan segalanya.

"Jika aku punya kesempatan, aku ingin mengatakan padanya bahwa aku tidak pernah bermaksud menyakitinya. Aku hanya ingin melindunginya," bisik Rama.

Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa memendam perasaan masing-masing, terpisah oleh jarak, waktu, dan ketidakadilan yang merenggut segalanya.

Didepan gerbang lapas, situasi menjadi kacau. Widya, Cindy, Bu Dewi dan Siska memohon dengan suara lantang agar diizinkan masuk menemui Rama.

Namun, permohonan mereka terus ditolak oleh petugas yang sudah di instruksikan oleh pak hermawan untuk tidak membiarkan mereka masuk ke dalam.

"Kami hanya ingin bertemu dengan Rama! Kenapa sulit sekali?!" Teriak Widya dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Ini peraturan! Kalau kalian terus memaksa, kami tidak akan segan-segan untuk mengambil tindakan tegas!" Bentak salah satu petugas, dengan tatapan dingin yang penuh arogansi.

Widya, yang selama ini sabar, mulai kehilangan kendali. "Adik saya di fitnah! Kalian semua tahu itu, tapi kalian malah memilih tutup mata! Kalian semua hanya boneka Hermawan!" Teriaknya penuh emosi.

Kata-kata Widya memicu kemarahan petugas. Salah seorang dari mereka tiba-tiba mendorong Widya dengan kasar hingga ia jatuh ke tanah, Siska,Cindy dan bu Dewi segera membantunya berdiri, sementara Widya menatap para petugas dengan mata berkaca-kaca.

Namun, sebelum mereka sempat ke tempat Widya berada, dari kejauhan muncul seorang pria mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Pria itu menghentikan motornya beberapa meter dari mereka, lalu mengeluarkan pistol di jaketnya, dan tanpa peringatan langsung menembak Widya dari belakang. Dor!

Teriakan Siska, Cindy, dan bu Dewi pecah bersamaan dengan tubuh Widya yang terhuyung ke depan dan jatuh ketanah. Darah mengalir dari punggungnya, membasahi bajunya.

"Widya!" Jerit Cindy sambil berlari menghampiri kakaknya yang tergeletak lemas di tanah.

Sisca dan bu Dewi ikut berlutut di samping Widya, bu Dewi mengguncang tubuh Widya yang mulai terasa dingin. "Widya, bertahan nak, tolong buka matamu!" Tangisnya penuh kepanikan.

Pelaku penembakan segera melarikan diri dengan motornya, meninggalkan kekacauan di lapas. Para petugas yang melihat kejadian itu terdiam, sebagian bahkan tampak ketakutan.

Di dalam selnya, Dr. Rama yang sedang termenung, mendengar keributan dari luar, rasa penasaran menguasainya, dan ia segera menginstruksikan bakteri-bakteri di sekitarnya untuk memeriksa apa yang sedang terjadi.

Bakteri-bakteri itu segera bergerak cepat, dari celah-celah kecil di dinding dan menyusup ke lokasi keributan. Mereka kembali dengan visualisasi singkat tentang kejadian di luar, menunjukkan Widya yang terbaring berlumuran darah di tanah.

Rama terkejut, "Apa yang terjadi? Itu Widya kakak ku!" Serunya.

Bakteri-bakteri tersebut mulai menyampaikan detail kejadian,

Menunjukkan pria bermotor yang menembak Widya dan kabur, Wajah Rama memucat, lalu berubah merah karena marah. Tubuhnya bergetar hebat, bukan karena ketakutan, melainkan karena amarah yang membara didalam dada. Karena kejadian tersebut begitu rumit, Siska yang berada disana pun terabaikan.

"Mereka bahkan sampai menyakiti keluargaku!" Suara Rama menggema,

Penuh dengan kemarahan yang tak terbendung.

Pakaian khusus yang membungkus tubuhnya bergetar, tetapi tak ada yang mampu meredam kekuatan yang luar biasa darinya. Rama telah lama memerintahkan bakteri-bakteri untuk terus berkembang biak dan memperkuat koloni mereka. Kini, jumlah mereka begitu besar hingga memenuhi setiap sudut sel.

Salah satu bakteri yang paling kuat, Thermobactera, telah dimodifikasi oleh Rama untuk dapat beradaptasi kondisi ekstrem. Bakteri ini kini memimpin koloni dalam aksi mereka, dan dalam hitungan detik, pusaran topan bakteri terbentuk, menghancurkan dinding sel Rama dan sekitarnya. Bang!

Ledakan besar mengguncang lapas.

Tembok-tembok beton runtuh, jeritan para tahanan menggema di udara.

Beberapa tahanan segera melarikan diri, sementara yang lain hanya berdiri mematung ketakutan, melihat pusaran besar yang terlihat seperti badai mematikan.

Rama berdiri di tengah-tengah pusaran itu, tubuhnya diselimuti oleh bakteri-bakteri yang melindunginya.

Pakaian khusus yang selama ini membatasi kekuatannya, Mulai terkikis dan hancur oleh aksi Thermobactera. Dalam waktu singkat, Rama kembali bebas, dan kekuatannya penuh kembali.

"Hermawan, aku tahu ini semua ulahmu!" Seru Rama dengan suara menggema.

Beberapa tahanan yang di sana yang melihat kejadian itu, karena sangking takutnya, malah terkencing di celana.

"Mak.. bapak.. aku tidak mau berada disini lagi, aku ingin pulang" ucap Riko salah satu tahanan yang sempat berbincang dengan Rama saat itu.

Balik ke Rama, ia memerintahkan bakteri-bakterinya untuk membawanya keluar dari lapas. Topan bakteri mengangkat tubuhya ke udara, melesat keluar melewati reruntuhan bangunan.

Riko yang sempat melihat Rama saat itu sangat ketakutan sekali berkali-kali lipat, "itu..ituuu?" Ucapnya, dan seketika Riko langsung pingsan.

Di depan lapas, Sisca,Cindy dan Bu Dewi masih menangis di samping tubuh Widya, mereka mencoba menghentikan pendarahan dan mencari bantuan, tetapi kondisi Widya semakin memburuk.

Tiba-tiba pusaran angin yang kuat datang mendekat, semua orang yang berada di tempat itu menoleh dengan heran dan takut, melihat dr. Rama yang dikelilingi oleh ribuan bakteri melayang turun ketanah.

"Widya!" Rama berteriak, berlari menghampiri kakaknya yang tergeletak, dan tidak menyadari adanya Sisca disana.

Sisca yang disana terkejut dengan kehadiran Rama, dia seakan ingin menggapai pundak Rama, akan tetapi terhenti, dikarenakan kondisi di sana yang tidak memungkinkan, dan Sisca pun hanya bisa terdiam dan mengerti situasi yang sedang di alami Rama saat itu.

Cindy dan bu Dewi menatap Rama dengan bercampur rasa kaget dan ketakutan. "Rama, ini kamu?" Tanya Cindy dengan suara gemetar.

Rama tidak menjawab, ia langsung berlutut di samping Widya, lalu menggenggam tangannya yang dingin.

"Kak, aku disini. Aku nggak akan biarkan ini berakhir seperti ini," bisiknya.

Ia segera memerintahkan bakteri-bakterinya untuk menghentikan pendarahan dan menstabilkan kondisi Widya. Beberapa bakteri mulai bekerja, memperbaiki jaringan tubuh Widya secara perlahan.

Namun waktu terus berjalan. Widya hanya punya sedikit waktu untuk bertahan.

"Jangan khawatir, kak. Aku akan menyelesaikan ini. Aku akan pastikan orang yang melakukan ini membayar mahal," kata Rama dengan penuh tekad.

Di tengah kekacauan, para petugas lapas yang tersisa hanya bisa menatap Rama dan ketakutan. Sementara itu, di tempat lain, Hermawan yang mendapatkan laporan tentang pelarian Rama dan kekacauan yang terjadi di lapas.

"Jadi dia berhasil kabur?" Hermawan tertawa kecil. "Bagus. biarkan dia datang kepadaku. Aku sudah menunggu saat ini."

Hermawan sudah menyiapkan rencana besar untuk menghancurkan Rama sepenuhnya. Namun, ia tidak tahu bahwa kali ini, Rama tidak hanya datang sebagai seorang dokter ataupun superhero, tetapi sebagai seseorang adik dari Widya, yang memiliki kemarahan yang tak terhingga.