Setelah serangkaian misi dan kejadian besar yang mengguncang alam dan masyarakat, Dr. Rama akhirnya memiliki waktu untuk diri sendiri. Tidak ada kekacauan alam, tidak ada ancaman besar, hanya rutinitas biasa yang menyapa kehidupannya. Namun, seperti biasa, stok makanan di laboratoriumnya mulai menipis, memaksanya untuk keluar dan berbelanja.
Pagi itu, ia memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional yang tidak jauh dari tempatnya tinggal. Dengan mengenakan pakaian santai—kaos polos dan celana panjang—ia berjalan menyusuri gang sempit pasar, merasakan aroma khas dari rempah-rempah, buah-buahan segar, dan masakan tradisional yang dijual para pedagang.
Di tengah keramaian pasar, matanya tiba-tiba tertuju pada seseorang. Seorang gadis berdiri di depan kios bumbu, mengenakan kaos sederhana, celana jeans pendek, dan sepatu hak tinggi. Rambutnya hitam panjang tergerai, dan kulitnya putih bersih memantulkan sinar matahari pagi yang hangat. Gadis itu tampak santai, tetapi ada sesuatu dalam caranya bergerak yang membuat Rama terpana sesaat.
Dia menggelengkan kepala, mencoba kembali fokus. "Ayo, Rama, kamu di sini untuk belanja, bukan untuk melamun," gumamnya pada dirinya sendiri.
Setelah membeli beberapa sayuran dan bahan pokok, Rama tiba di kios buah yang cukup ramai. Matanya langsung tertuju pada buah naga yang tersisa hanya satu. Ia melangkah ke arah buah itu dan mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Namun, sebelum sempat menyentuhnya, sebuah tangan lain yang lembut dan putih juga meraih buah yang sama.
"Eh, maaf," ucap Rama refleks, sambil menarik tangannya. Namun, saat ia melihat pemilik tangan tersebut, ia terkejut. Gadis yang dilihatnya tadi di kios bumbu kini berdiri di hadapannya, menatapnya dengan mata besar yang juga terkejut.
"Oh, maaf juga," kata gadis itu sambil menarik tangannya perlahan. Keduanya berdiri kaku sejenak, sama-sama salah tingkah.
Rama berusaha mengendalikan diri. Ia mencoba mengambil buah lainnya—sebuah apel—tetapi tanpa sengaja, gadis itu juga meraih apel yang sama. Kejadian itu terulang lagi hingga ketiga kalinya, membuat suasana semakin canggung. Akhirnya, Rama menyerah dan berkata sambil tersenyum kecil, "Silakan duluan, kamu yang ambil."
Gadis itu tersenyum lembut. "Terima kasih," katanya, lalu mengambil buah naga terakhir dan beberapa buah lainnya sebelum pergi.
Rama menghela napas, merasa lega sekaligus bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Ia menyelesaikan belanjanya dengan cepat dan segera bersiap untuk pulang.
Ketika Rama baru berjalan beberapa langkah keluar dari pasar, sebuah suara lembut memanggilnya dari belakang.
"Namaku Siska. Halo," ucap gadis itu.
Rama berhenti dan berbalik, sedikit terkejut melihat gadis yang sama berdiri di sana, tersenyum dengan membawa tas belanjaan di tangannya.
"Oh... halo," balas Rama sambil menggaruk belakang kepalanya, salah tingkah. "Aku Rama."
Percakapan singkat pun dimulai di antara mereka. Siska, yang ternyata tinggal tidak jauh dari pasar, berbicara dengan hangat dan ramah. Mereka membahas hal-hal ringan, dari buah-buahan hingga keramaian pasar pagi itu. Meski singkat, percakapan itu terasa begitu alami, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama.
Setelah beberapa menit, keduanya berpamitan untuk pulang. Siska melambaikan tangan sambil berkata, "Senang bertemu denganmu, Rama. Sampai jumpa lagi, ya."
Rama hanya tersenyum kecil dan mengangguk, kemudian melanjutkan perjalanannya.
Sesampainya di laboratoriumnya, Rama meletakkan belanjaannya di dapur kecil dan menjatuhkan diri ke sofa. Ia menutup matanya sejenak, mencoba mengosongkan pikirannya setelah pagi yang cukup menarik. Namun, bayangan Siska terus muncul dalam benaknya.
"Cantiknya..." gumamnya pelan, tanpa sadar tersenyum.
Ia tahu bahwa pertemuan itu mungkin hanya kebetulan, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara Siska berbicara dan tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak ia memutuskan menjadi penjaga bayangan dunia, Rama merasa ada sesuatu yang menyentuh hatinya.
Namun, ia juga sadar bahwa kehidupannya bukanlah kehidupan biasa. Dengan tanggung jawab besar yang ia pikul, ia tidak yakin apakah ia bisa menjalani hubungan seperti orang lain.
Tetapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk membiarkan perasaan itu mengalir. Setelah semua yang telah ia lalui, mungkin tidak ada salahnya jika ia memberi sedikit ruang bagi dirinya sendiri untuk merasa manusiawi.
Beberapa hari setelah kejadian di pasar, Dr. Rama kembali ke laboratoriumnya dan mencoba melanjutkan aktivitas rutinnya. Seperti biasa, ia memeriksa laporan-laporan dari bakteri penyebar informasi yang telah ia lepaskan di berbagai wilayah. Namun, hari itu terasa berbeda. Pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus pada kerusakan alam atau ancaman lainnya.
Siska. Sosok gadis yang ia temui di pasar terus membayang di benaknya. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan meneliti spesimen bakteri baru atau mempelajari peta kerusakan lingkungan, tetapi semua usahanya sia-sia. Bayangan Siska, senyum lembutnya, dan suara manisnya terus menghantui pikirannya.
"Ayolah, Rama. Kamu itu superhero!" gumamnya pada dirinya sendiri, sambil memukul meja dengan frustrasi. "Kamu punya tanggung jawab besar. Tidak ada waktu untuk melamun tentang seorang gadis."
Namun, semakin keras ia mencoba melupakan, semakin kuat rasa penasaran itu tumbuh.
Beberapa waktu berlalu, tetapi fokus Rama tetap kacau. Ia akhirnya menyerah pada rasa penasarannya.
"Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja," bisiknya pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan dirinya bahwa tindakannya tidak sepenuhnya salah.
Rama memutuskan untuk menggunakan kekuatannya. Ia mengurai sebagian kecil tubuhnya menjadi bakteri, membiarkan entitas mikroskopis itu meluncur keluar dari laboratorium dengan tenang. Sebagian bakteri itu telah mengikuti Siska secara otomatis setelah pertemuan mereka di pasar, jadi Rama tahu di mana rumahnya.
Dengan kecepatan yang luar biasa, bakteri-bakteri tersebut bergerak menyusuri jalan-jalan kota hingga mencapai rumah Siska. Sebuah rumah sederhana dengan taman kecil di depannya, dipenuhi tanaman hias yang terawat baik. Rama mengarahkan bakteri-bakterinya untuk memasuki rumah itu melalui ventilasi kecil di dinding.
Bakteri-bakteri itu mulai menjelajahi rumah Siska. Rama melihat melalui mata mikroskopis mereka, memperhatikan ruang tamu yang nyaman dan dapur yang bersih. Saat bakteri bergerak lebih jauh, ia menemukan sebuah kamar mandi. Tanpa sengaja, bakteri-bakterinya masuk melalui ventilasi kecil di kamar mandi.
Saat itulah Rama dikejutkan oleh pemandangan yang tidak ia duga. Siska sedang berendam di bathtub, air hangat memenuhi bak mandi, dan uap tipis melayang di udara. Rambut panjangnya yang hitam terurai, sebagian basah terkena air. Ia terlihat begitu santai, wajahnya berseri-seri, seolah menikmati waktu istirahat setelah hari yang panjang.
Rama, yang melihat semua ini melalui bakteri-bakterinya, langsung panik. "Astaga!" serunya, dengan cepat menarik kembali sebagian besar bakteri keluar dari kamar mandi.
Namun, Beberapa bakteri yang masih tertinggal tampaknya terpesona oleh pemandangan itu. Mereka berhenti bergerak, seperti sedang "menonton". Rama yang memperhatikan hal ini langsung geram. Dengan cepat, ia mengirimkan bakteri-bakteri lainnya untuk "menegur" kelompok kecil yang bandel itu.
Melalui visualisasi yang aneh namun menggelikan, bakteri-bakteri yang kembali untuk menegur bakteri yang nakal, Mereka membentuk tangan kecil dan menepuk mereka, seperti orang yang memarahi anak nakal. Akhirnya, semua bakteri kembali ke tubuh Rama, meninggalkan kamar mandi Siska tanpa jejak.
Rama menarik napas panjang setelah semua bakteri kembali ke tubuhnya. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri.
"Hampir saja," gumamnya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa malu dengan dirinya sendiri karena membiarkan rasa penasaran menguasainya hingga melakukan tindakan yang menurutnya kurang pantas.
Namun, di balik semua itu, ia juga merasa lega. Siska tampak baik-baik saja dan tidak terlibat dalam bahaya apa pun. Itu sudah cukup baginya untuk saat ini.
Dengan tekad baru, Rama berusaha mengalihkan pikirannya kembali pada misi utamanya: melindungi alam dan manusia dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Meski begitu, ia tidak bisa mengingkari bahwa Siska telah meninggalkan jejak di hatinya, sebuah jejak yang mungkin akan terus tumbuh seiring waktu.