Setelah kejadian ledakan itu, Akaze berpikir untuk tidak melakukan percobaan lagi di sana. Pada malam harinya dia yang sedang menuju minimarket bisa melihat beberapa orang berkumpul. Mereka semua jelas sekali penasaran terhadap bekas ledakan yang menimbulkan suara kencang tadi sore.
Walaupun menimbulkan masalah, sejujurnya Akaze puas melihat hasil benda ciptaannya berhasil dengan sangat baik. Dia hanya perlu melakukan beberapa peningkatan dan perbaikan. Dan dia punya rencana untuk membuat bom-bom bisa menempel pada bidang apapun.
Banyak hal yang ingin dia lakukan, tapi dia tak lupa untuk melatih tubuhnya. Dia melakukan latihan ringan dan memukul-mukul udara seperti terakhir kali entah kegunaannya untuk apa. Hanya saja, di kamar mandi dia memutuskan untuk bermeditasi. Sebenarnya Sistem yang menyarankan hal tersebut.
[ Tubuh Anda tidak mempunyai Mana, Qi, atau Chakra, oleh karena itu setiap Skill-skill Anda bergantung pada tingkat konsentrasi dan stamina Anda. Akibatnya akan membuat Anda lebih cepat lelah, baik secara fisik maupun mental. ]
'Apa ada cara agar aku bisa mempunyai Mana dan semacamnya?'
[ Anda bisa membelinya dengan SP. ]
'Cara lain!'
[ Anda bisa membangkitkan salah satunya, karena Anda mempunyai Skill-skill yang berhubungan dengan Mana dan juga Chakra. Namun, kemungkinannya cukup kecil karena Anda baru saja memulai latihan sejak seminggu lalu. ]
'Selama ada kemungkinan, bukan berarti itu mustahil, kan. Ngomong-ngomong, apakah ini ada alasannya juga dengan lamanya aku membangkitkan Sharingan?'
[ Iya, Tuan. Sesuai yang Anda pikirkan. Sharingan memerlukan Chakra, Chakra khusus, untuk bangkit, biasanya juga memerlukan dorongan emosional negatif. Namun, adanya saya, Anda tidak memerlukan 'pengorbanan' atau dorongan emosional ekstrem untuk membangkitkannya, yang dibutuhkan hanyalah Chakra yang cukup atau stamina yang besar. ]
'Apa ada kekurangannya antara menggunakan Chakra dan stamina?'
[ Tentu. Jika menggunakan Chakra, akan menjadi lebih efisien dan hanya memerlukan sedikit Chakra untuk setiap kali mengaktifkan Sharingan. Menggunakan stamina akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangkitkan Sharingan. Selain itu, penggunaannya kurang efisien dan memerlukan banyak stamina setiap mengaktifkannya. ]
'Ya, itu merepotkan. Sayangnya aku tidak bisa fokus terhadap banyak hal. Paling-paling aku hanya bisa latihan dan meditasi untuk meningkatkan konsentrasi dan berharap bisa membangkitkan Chakra.'
***
***
***
Lima hari berlalu begitu cepat. Akaze menjalani kehidupan sekolahnya dengan baik, berteman dengan banyak orang dan agaknya punya hubungan yang baik juga dengan Arima Kana.
Tak membutuhkan waktu lama baginya untuk mendapatkan julukan 'si Pintar' di sekolahnya, dan terkenal oleh anak-anak berumur sembilan tahun. Mengingat penampilannya juga tampan dibandingkan anak laki-laki lain, membuatnya semakin terkenal, terutama di kalangan para gadis kecil.
Sangat merepotkan, benar-benar merepotkan sampai dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi banyaknya interaksi dengan para gadis kecil. Dia merasa kapan saja dirinya bisa ditangkap oleh polisi.
Awalnya Akaze memang berniat tampil biasa saja, tapi dia sadar bahwa Beasiswa merupakan hal yang menguntungkan terutama bagi dirinya dan uangnya yang kapan saja bisa habis. Dia belum tahu bagaimana cara menghasilkan uang saat ini, makanya bersiap-siap dengan cara mengambil Beasiswa untuk menghemat pengeluaran.
Hari ini, setelah dia pulang sekolah dan mendapatkan nilai sempurna lagi dari guru-guru, dia pergi ke sebuah toko elektronik bekas untuk membeli bahan-bahan dan ke minimarket untuk kebutuhan perutnya. Dia berjalan pulang melewati taman.
Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
"Hei!!!"
Akaze menoleh, melihat gadis berambut pirang yang sama pada hari kejadian ledakan saat itu.
"Ekk. Kau lagi, ya. Ada apa?"
Dengan langkah kecilnya, gadis itu menghampiri Akaze tanpa menghapus senyuman di wajahnya. "Мы встречаемся снова!"
"Huh? Benar juga. Kau saat itu juga mengatakan sesuatu. Sayangnya aku tidak mengerti."
Walaupun Akaze menggunakan bahasa Jepang dan gadis itu tak mengerti, tetap saja gadis itu terus berbicara seolah-olah dia mengerti.
"Apa sih?" Akaze mengangkat alisnya. Dia merasa familiar tapi pikirannya saat ini sedang merencanakan penemuannya di rumah. Lalu, dia mengambil sesuatu dari dalam tas, sebuah benda yang mirip seperti ponsel. "Semoga ini bekerja."
"Что это такое?"
Benda itu seperti sedang memproses sebelum mengeluarkan suara.
("Apa itu?")
'Rusia?'
Sebuah suara robotik dalam bahasa Jepang yang bisa dimengerti oleh Akaze. Merasa senang karena alatnya bekerja, dia juga berbicara.
"Ini alat yang bisa menerjemahkan bahasa."
("Это инструмент, который может переводить языки")
"Woah!" seketika gadis itu terkagum melihat benda yang dipegang oleh Akaze. Matanya berbinar-binar dan berbicara lagi.
("Hebat!! Dari mana kamu mendapatkannya?")
("Itu rahasia.")
Gadis itu menjadi cemberut mendengarnya.
("Ngomong-ngomong, siapa namamu? Aku Akaze.")
("Namaku Maria! Panggil saja Masha!")
'Uh…, sudah kuduga,' Akaze entah mengapa tak terkejut lagi mendengar namanya, karena dia sudah mempunyai firasat.
("Apa yang kamu lakukan di sini, Masha?")
("Bermain!")
'Sungguh pertanyaanku bodoh.'
("Bermain sendirian?")
Masha mengangguk halus.
("Kalau kamu, Akaze?")
("Pulang ke rumah.")
Masha mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia menoleh ke arah taman bermain, lalu melirik ke Akaze.
("Mau bermain bersamaku dulu?")
("Di sini?")
("Iya!")
Akaze memandang taman bermain. Dia pernah membuat masalah di sana dan tidak ingin di sana, tapi dia tetap mengangguk pada Masha.
Masha terlihat senang sekali. Dengan penuh semangat, dia menggenggam tangan Akaze dan menariknya. Mereka berdua berjalan beberapa langkah untuk sampai ke taman.
'Apa aku bisa mendapatkan poin dari berlari dan melompat-lompat di sini sambil membawa tas ini?'
[ Bisa. ]
'Bagus.'
Tas Akaze memang berat karena berisi barang yang dia beli tadi, ada juga sebagian makanan di dalamnya, sebagian makanan lainnya di dalam kantung plastik yang kemudian dia letakkan di sebelah ayunan.
'Bermain dan berlatih di saat yang bersamaan tidak buruk juga. Ini justru bagus.'
***
***
***
Akaze berbaring di lantai di kamarnya dengan nafas terengah-engah. Bajunya sedikit basah tapi yang paling basah adalah bagian belakang atau punggungnya. Siapa sangka dia harus menemani Masha sampai berjam-jam. Untungnya Sistem memberikan poin yang banyak atau dia mulai sekarang akan berkata 'tidak' jika diajak main oleh orang lain.
'Tapi aku harus menyelesaikannya besok.'
Dia berdiri dan menuju meja belajar. Di sana terdapat lima bola berwarna perak atau bisa disebut juga bom. Semuanya sudah dikembangkan lebih baik dari versi sebelumnya, terutama untuk mengontrol bola-bola tersebut.
Dia sengaja membuat lima bola terlebih dahulu karena kurangnya bahan, tapi dia juga ingin melihat seberapa besar dampak yang bisa dihasilkan oleh bom miliknya itu. Yang pasti dia tidak akan mencobanya di taman seperti sebelumnya.
Jadi, Akaze semalaman penuh terus mengotak-atik ke lima bola kecil itu. Walaupun dia sudah menyelesaikan, dia tetap bermain dengan laptopnya untuk membuat program.
"Uh, yang benar saja. Sudah jam enam pagi?"
Dengan wajah mengantuk, dia pergi ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk sekolah. Rasanya sangat melelahkan membawa tas dan melangkah ke sekolah. Bahkan, dia bisa membayangkan betapa merepotkannya harus berinteraksi dengan banyak orang.
Akhirnya, ketika Akaze tiba di sekolah, dia tak mengeluarkan banyak kata dan memilih lebih banyak diam. Melihat wajahnya membuat teman-temannya khawatir dan menduga kalau dia sedang sakit. Tapi Akaze tidak mau menanggapi mereka lagi.
"Ada apa denganmu? Kau sakit?"
"Huh?" Akaze melirik ke samping, ada Arima Kana yang terheran-heran. "Gitulah."
"Wajahmu seperti ikan mati, tahu."
"Ikan mati yang masih segar."
"Aneh banget. Enggak ada salahnya kan untuk membolos sehari."
"Heh, aku ini rajin—"
'Terpaksa sih.'
"—makanya aku lebih memilih sekolah," Akaze berkata dengan senyum. Wajahnya yang pucat dan mengantuk, tidak cocok dengan senyumannya yang justru seperti dipaksakan.
"..."
Arima Kana hanya menatap kosong tanpa berkata apa-apa.
"Jangan tatap aku dengan tatapan tak percaya begitu. Lihat saja di masa depan. Aku yang akan menjadi produser film yang kau perankan."
"Huh! Omong kosong," Arima Kana mendengus kesal.
Satu-satunya interaksi yang Akaze terima untuk hari ini adalah berbicara dengan Arima Kana, walaupun kebanyakan pembicaraan membicarakan kehidupan Arima Kana sebagai aktris cilik.
Sepulang sekolah, Akaze pergi ke taman untuk bermain dengan Masha, yang membuat Masha sangat senang. Tujuannya bermain juga ingin berlatih, karena bermain dan berlatih secara bersamaan memberikan banyak poin. Entah itu akan menyehatkan tubuhnya atau tidak karena dia belum tidur, yang penting baginya adalah poin.
Mereka bermain cukup lama, tidak selama kemarin, tapi hasilnya tetap memuaskan. Akaze pulang ke rumahnya. Dia ingin beristirahat sebentar dengan cara merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Tak lama kemudian dia tertidur nyenyak.
"Ughh…"
Membuka matanya, Akaze beranjak dari kasurnya. Dia harus dan tenggorokannya kering, membuat dia mau tak mau harus terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia menuju ke meja, mengambil botol air minum dan langsung meneguknya.
Dia melihat jam digital buatannya tepat di sebelah laptop, menunjukkan pukul satu malam. "Ah, benar. Aku harus mencoba bom itu."
'Apa kau punya semacam fitur peta atau semacamnya?'
[ Sayangnya Sistem tidak memiliki hal seperti itu, tapi Anda bisa membeli Skill yang berhubungan dengan peta di 'Toko'— ]
'Huh, sudahlah. Lama kelamaan kau mirip seperti sales saja.'
Akaze berniat menguji bom miliknya, tapi dia memikirkan tentang tempat. Dia duduk di kursi sambil berpikir.
"Kalau tidak salah… ada bukit di dekat sini, kan?"