Pada malam hari Akaze sangat sibuk memegang berbagai jenis barang untuk membuat alat-alat yang aneh. Namun, yang berbeda malam ini adalah dia melakukannya di teras alih-alih dalam kamar, karena dia juga ingin melihat apakah alat yang dia buat berfungsi atau tidak.
Tidak lain dan tidak bukan alat yang dimaksud adalah Jet tempur mini yang dia mainkan bersama Masha di taman tadi. Dia ingin memperbaiki masalah dan mengembangkan Jet tersebut, terutama agar bisa dikontrol dalam jarak yang sangat jauh.
"... Sial. Pikiranku buntu…"
Akaze berniat untuk menambahkan suatu fitur pada jet mini miliknya itu agar bisa bekerja secara otomatis selama beberapa menit, tapi seperti yang sudah dia duga sebelumnya, hal tersebut sulit dilakukan apalagi dengan peralatan yang terbatas.
[ Anda bisa membeli 'buff' untuk meningkatkan Skill
"Oh, benarkah?! Itu akan membantu! Berapa harganya?"
[ Total SP Anda saat ini : 1.760 ]
[ Anda bisa membeli 'buff' tersebut seharga 890 SP. ]
"Kau benar-benar berniat memerasku, ya? Ya, baiklah. Ayo lakukan!"
Tiba-tiba, sebuah buku tebal jatuh tepat di depannya, hampir saja mengenai jet tempur mini itu.
"OII!!"
Akaze merasa ingin marah dan berteriak kepada Sistem, tapi ketika dia mengambil buku tebal berjudul 'Cara meningkatkan keterampilanmu', dia terdiam sejenak.
"Sebuah… buku? Hah?"
[ Suatu hal yang menakjubkan dari manusia adalah bisa belajar dari sebuah benda dan menerapkannya secara langsung. ]
'... Untuk apa penjelasan itu?'
[ Anda tampak terkejut melihat buku tersebut. ]
'... Iya. Serius, aku sungguh terkejut.'
[ Jika Anda mengira 'buff' yang dimaksud langsung diberikan kepada tubuh Anda, Anda salah besar. Kapasitas otak Anda yang sekarang belum bisa menampung pengetahuan secara mendadak. Sekalipun dipaksakan, akan memberikan dampak buruk pada otak Anda. ]
"Setidaknya beritahu dulu kalau buff-nya bukan sebuah buku."
[ … ]
"..."
***
***
***
Sama seperti sebelumnya, Akaze berlatih di siang hari yang sangat panas dan menyiksa, memaksakan tubuhnya untuk bergerak sekuat tenaga walaupun keringat mengucur deras dari tiap bagian tubuhnya, pikirannya pun sudah menjerit meminta untuk segera beristirahat.
Padahal, dia baru saja selesai berlari sejauh 5 kilometer dan langsung diminta untuk berlatih lagi.
[ Misi 'Lakukan latihan Tijutsu selama 2 jam' terlah berhasil! Anda mendapatkan 100 SP! ]
"Huftt… Huftt… Hufttt…."
Akaze langsung terkapar di lantai tak berdaya. Tenggorokannya kering. Pandangannya sudah samar-samar. Setiap bagian tubuhnya menjerit kesakitan.
'Air…'
Namun, dia tak menemukan sebotol air di dekatnya. Dia melihat botol air di sudut ruangan, hanya saja sangat sulit baginya untuk bergerak lagi.
'Sial…'
Ketika seluruh pandangannya mulai gelap, dia melihat seseorang mengulurkan sebotol air padanya. Dengan sisa-sisa tenaga, dia mengambil botol tersebut dan langsung meminumnya.
"Fuhhh…," Akaze merasa lega, lalu menguyur kepalanya dengan air tersebut.
Tetapi dia baru sadar akan sesuatu. Dia langsung berbalik dan melihat gadis yang dia kenali.
"Kau…"
Gadis tersebut adalah Sona Sitri beserta pelayannya yang dia temui malam itu. Untungnya, dia tak menyebut nama 'Sona' karena mereka memang belum memperkenalkan diri mereka masing-masing. Sona pasti akan curiga jika dia menyebut namanya.
"Akatsuki Akaze, ya…"
Namun…, sepertinya gadis itu sudah mengetahui namanya. Akaze tidak heran mengingat bahwa gadis itu adalah Sona. Dengan kekuasaan yang dimiliki, Sona tentu bisa langsung tahu identitasnya.
"Kenapa… kau ada di sini? Tidak. Bagaimana kau bisa di sini?"
Akaze berpura-pura terkejut, tapi ya… memang dia agak terkejut karena kedatangan Sona yang sangat tiba-tiba.
"Menggunakan sihir. Kau tidak perlu menanyakan hal itu lebih jauh, karena sepertinya kau juga sedikit tahu tentang sihir."
"...Ya, begitu. Lantas, ada apa kemari? Bukannya aku ingin mengusirmu atau apa, tapi caramu bertamu tidak sopan, tahu."
Sona terdiam sejenak. Dia tidak bisa menyangkal omongan Akaze, itu adalah fakta. "... Maafkan aku atas kedatangan yang tiba-tiba ini, tapi lebih dari itu ada suatu hal yang ingin kubicarakan padamu."
"Apa itu?"
"... Sebelum itu, bisa kau pakai bajumu dulu?" Sona memalingkan wajahnya sambil berdeham.
"Ah, benar juga."
Akaze membersihkan keringatnya terlebih dahulu sebelum memakai bajunya agar tidak basah oleh keringat, lalu dia membawa Sona dan pelayan itu ke ruangan lain.
"Kau… tinggal sendirian?" Sona bertanya sambil mengamati ruangan.
"Iya."
"Dan keluargamu…"
"Lupakan saja itu."
"Baiklah. Maafkan aku mengungkit soal itu. Tapi, boleh kutahu sebelumnya, apa kau sudah tahu tentang iblis?"
Akaze merasa sedang diintrogasi saat ini.
"Iya. Sedikit saja."
"Jadi, kau sudah tahu tentang keberadaan iblis bahkan sebelum kau bertarung dengan salah satu dari mereka pada malam itu?"
"Begitulah. Lagi pula, aku juga tahu tentang sihir."
"... Itu masuk akal. Kalau begitu, sejak kapan kau tahu tentang sihir dan iblis?"
Jelas-jelas Sona semakin penasaran dan menyelidiki lebih jauh tentangnya. Ini membuat Akaze merasa dipojokkan.
"Dari warisan keluarga. Tapi maaf saja, aku tidak bisa memberitahu tentang warisan keluargaku padamu."
"Tidak masalah. Aku menghargai hal itu."
"Lalu, apa? Hanya itu yang ingin kau bicarakan padaku?"
"Ekhm!" Sona memberikan tatapan serius. "Bukan. Sebenarnya aku ingin merekrutmu."
"Hah?"
Akaze terkejut, bukan pura-pura. Dia terkejut mendengar perkataan Sona. Dia sudah menduga atau setidaknya pernah berpikir kalau Sona pasti punya niatan untuk merekrut dirinya menjadi anggota Peerage atau bawahannya, tapi siapa sangka Sona benar-benar mengajaknya sekarang.
"...A-Apa maksudmu?"
"... Namaku Sona Sitri. Sitri sendiri merupakan salah satu keluarga iblis bangsawan terhormat di Underworld. Dan aku ingin merekrutmu menjadi bagian dari iblis, bagian dari Sitri itu."
"Kau… iblis?"
Begitu Akaze bertanya, Sona memperlihatkan sayap iblisnya yang hitam diikuti suasana menyesakkan.
"Iblis yang kau lawan pada malam itu berbeda denganku, dengan kami. Dia adalah iblis liar. Iblis liar berarti menentang Tuannya dan melakukan perbuatan keji seperti membunuh manusia, sehingga membuatnya menjadi makhluk menyeramkan semacam itu."
"O-Oh."
'Bagaimana ini?'
Akaze berpikir keras. Menurutnya, menjadi bagian dari bawahan Sona bukanlah hal yang buruk, justru dia bisa mendapatkan banyak hal seperti koneksi, penelitiannya bakal didukung, tak perlu khawatir soal uang, dan lain sebagainya.
Namun, dia sendiri punya alasan kenapa dia ingin menjadi manusia atau menolak tawaran Sona. Alasan itu berkaitan dengan kebebasannya. Dia tak keberatan jika menjadi bawahan seseorang, tapi membayangkan dirinya bisa bebas adalah pilihan yang lebih baik.
"Bagaimana?" tanya Sona.
"Aku minta maaf. Aku menolaknya."
"... Hah?" Sona merasa tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. "Kau… menolak? Kenapa? K-Kau bisa mendapatkan banyak hal. Kau tidak perlu berlatih keras seperti sebelumnya. Kau bisa mendapatkan kekuatan—"
"Maaf, tapi aku menolak."
Sona terdiam. Dia sudah memikirkan banyak kemungkinan, salah satunya kemungkinan Akaze menolak.
"Kenapa?" Sona bertanya dengan nada pelan.
"... Karena aku masih punya harga diriku sebagai seorang manusia."
Dengan wajah tulus dan serius, sangat sulit mengetahui apakah Akaze sedang berbohong atau tidak. Dan Sona menganggap itu sebagai kejujuran yang tulus.
"..." Sona tertegun mendengar jawaban Akaze. "Begitu. Harga diri, ya," gumamnya.
Sona baru pertama kali mendengar itu dari mulut seorang anak manusia. Kalau dipikir-pikir lagi, menjadi bawahan dan menjadi seorang iblis memang sama saja artinya menjual harga diri untuk menjadi makhluk lain. Menjual jiwa kepada iblis. Agaknya dia memahami pemikiran Akaze.
Sona tidak mau memaksakan kehendak atau keinginan untuk menjadi egois. Tidak ada bedanya dia dengan iblis liar yang tanpa akal. Dia menghormati keputusan Akaze, dan tak punya keinginan untuk memusuhi Akaze.
"Baiklah. Aku mengerti. Maaf mengganggu waktumu."
"Kau… mau langsung pergi?"
"Iya. Tidak ada urusan lagi denganmu. Selain itu, aku juga tidak perlu repot-repot memastikan agar kau tetap tutup mulut atas semua kejadian supranatural, karena kau paham artinya menjadi bagian dari supranatural itu sendiri."
Sona tahu betul bahwa Akaze bukanlah anak biasa yang bertindak bodoh dan mengutamakan emosional ketimbang akal. Dia merasa mereka punya kemiripan, terutama dalam hal tersebut.
"Tentu saja, aku tidak akan bertindak bodoh," Akaze menepuk tangannya sebanyak tiga kali.
Tak berapa lama, sebuah suara terdengar yang semakin lama semakin jelas. Suara itu berasal dari sebuah jet mini yang terbang dengan sangat cepat mengelilingi ruangan, membuat Sona dan pelayan itu terheran-heran. Jet itu secara perlahan mendarat depan Akaze.
"Aku ingin kita mempunyai sebuah hubungan."
"... Apa maksudmu?" Sona mengerutkan dahinya.
"Aku memang menolak tawaranmu. Aku tidak ingin menjadi bawahan dan menjadi iblis, tapi aku ingin menjadi rekanmu."
"... Rekan?" Sona mengamati ekspresi Akaze yang hanya tersenyum. "Apa yang bisa kudapatkan dari hubungan rekan ini?"
"Alat."
"Alat…?"
"Senjata dan alat. Kau yang selalu mengawasiku pasti tahu tentang alat-alat yang selalu kubuat, kan?"
"...! Kau sadar kau selama ini diawasi?"
"Tidak. Hanya menebak saja."
"..." Sona terdiam, sejujurnya dia terkejut mendengarnya.
Sona memang secara diam-diam mengawasi aktivitas Akaze, lebih tepatnya pelayannya lah yang selalu melakukan hal tersebut dan akan melaporkan kepadanya. Dari sana, dia mengetahui bahwa Akaze bukanlah anak biasa. Akaze adalah seorang bibit jenius yang kreatif seolah tak ada batasan di dalam kepalanya untuk membuat benda rongsokan menjadi alat yang sangat berguna.
Entah berapa kali Sona dibuat kaget oleh benda buatan Akaze. Hanya menggunakan alat seadanya dan rongsokan yang dibeli dari sebuah toko, Akaze mampu menciptakan alat yang berguna, paling penting adalah bahwa alat tersebut berfungsi dengan baik.
Selain itu, Akaze sangat giat melatih tubuhnya sampai tahap tak wajar jika dilakukan oleh anak manusia berusia sembilan tahun. Akaze benar-benar bagaikan sosok unggul yang membuat Sona tertarik untuk menjadikannya bagian dari bawahan atau Peerage-nya.
"Senjata? Aku memang tahu kau bisa membuat banyak hal, tapi terlalu berlebihan jika kau menyebut senjata. Apa senjata yang kau maksud seperti senapan? Senapan bagi iblis adalah mainan," ucap Sona.
"Tidak, tidak. Ini berbeda. Senjata yang kumaksud jauh lebih hebat dari itu."
"Seperti apa itu tepatnya?"
"Senjata pemusnah."
"Apa kau bisa menjamin ucapanmu?"
"Aku bisa menjamin ucapanku asalkan kau bisa terus mendukungku."
Sona mengamati Akaze untuk mencari tahu niat tersembunyi, tapi justru Akaze yang tampak ekspresif membuatnya sulit untuk menebak.
"Jadi, kau ingin aku memberikan dukungan penuh dengan uang?"
"Uang dan bahan. Kau menerima hasilnya," ucap Akaze.
"Lalu, apa keuntunganmu? Itu sama saja dengan aku menyewamu untuk membuat senjata."
"Memang, tapi aku ingin mendedikasikan diriku untuk pengetahuan."
"..." Sona menjadi semakin ragu dan tak percaya.
"Lagian, iblis memerlukan senjata yang efisien ketimbang selalu mengandalkan sihir miliknya, kan?" Akaze merasa bahwa ini adalah kesempatannya. Kesempatan baginya untuk bisa menciptakan segala macam benda tanpa batasan uang.
"Itu masuk akal, tapi sejauh ini iblis lebih efisien ketika mengandalkan sihirnya."
"Siapa tahu kalau pakai senjata buatanku jauh lebih efektif."
"... Baiklah," Sona merasa hal tersebut bukanlah sesuatu yang buruk untuk dicoba. Tujuannya datang kemari adalah untuk merekrut Akaze. Meski tidak berhasil, setidaknya Akaze akan berada di pihaknya dan memberikan keuntungan baginya. Itu bagus.
"Oh! Senang mendengarnya."
"Tapi dalam waktu satu bulan, aku ingin kamu memberikan penemuanmu itu padaku."
Akaze mengerti perasaan ragu yang Sona miliki, jadi dia menganggap hal itu wajar.
"Tapi satu bulan sangat kurang bagiku. Setidaknya beri aku waktu lima bulan."
"Lima bulan? Itu…," Sona merasa bahwa itu cukup lama. Dia bertanya-tanya apakah Akaze akan berhasil melakukannya? Tapi dia tetap menyetujuinya. "Huh. Baiklah."
"Bagus."