"Ada apa sih dengannya?"
Arima Kana, seorang gadis cantik sekaligus aktris cilik yang terkenal, kini sedang berjalan sendirian di jalanan. Dengan tasnya, dia menuju rumah teman laki-lakinya, Akatsuki Akaze, yang sudah tak bersekolah selama beberapa hari.
Ada alasan kenapa dia pergi ke rumah Akaze. Bukan untuk menjenguk, tapi sejujurnya dia punya niatan untuk melakukan itu. Namun, dia memiliki alasan lain. Pada jam pelajaran terakhir, dia diminta oleh wali kelas untuk mengantarkan tugas serta catatan ke Akaze.
Kana tidak heran mengapa wali kelas sangat perhatian pada Akaze mengingat bocah laki-laki itu terkenal pintar dan berprestasi. Dia sendiri pun, beberapa kali, pernah dibantu olehnya.
Awalnya Kana menolak karena dia punya kesibukan lain, yaitu bekerja sebagai aktor cilik dan berlatih untuk mengasah keterampilannya. Tapi, wali kelasnya berkata bahwa tidak ada satupun anak yang berhubungan dekat dengan Akaze selain Kana seorang. Kata-kata manis itu, entah bagaimana, berhasil membuatnya mau menerima permintaan dari wali kelas.
Terlepas dari itu, Kana penasaran terhadap kondisi Akaze. Baginya, Akaze adalah anak pintar dan rajin, cenderung keras kepala bahkan tetap memaksakan diri untuk bersekolah. Jika Akaze yang keras kepala itu sampai tidak bersekolah berhari-hari, pasti sesuatu terjadi padanya, begitu pikir Kana.
"Apa… ini benar rumahnya, ya?"
Kana memandang rumah bergaya tradisional Jepang di depannya yang cukup besar. Tidak ada tanda nama keluarga 'Akatsuki' di sekitar rumah tersebut. Dia juga tidak menemukan bel atau semacamnya, yang membuatnya mau tak mau harus menggunakan suaranya.
"Permisi!" teriak Kana.
Tidak ada jawaban dari dalam. Kana mencoba mengetuk-ngetuk pintu sambil berteriak.
"Permisi!!!"
Tidak ada jawaban lagi. Tapi, Kana menyadari bahwa pintu tersebut tidak dikunci. Dia berniat untuk masuk meski merasa bersalah, lalu segera mengurung niatnya saat mendengar suara seseorang dari dalam.
Pintu itu dibuka, memperlihatkan Akaze. Dengan wajah murung, kantung mata hitam serta mata yang sedikit merah, diarahkan ke Kana.
"Kau—! Huh!?!" Kana ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya saat melihat kondisi Akaze. "A-Apa yang terjadi padamu?! K-Kau betulan sakit parah?!" wajah Kana menjadi pucat karena khawatir.
"Ah, Kana rupanya."
Balasan Akaze sangat santai dan datar, membuat Kana menjadi kesal. Bagaimana tidak, kondisi Akaze bagi Kana sudah parah.
Kana mendekati Akaze tanpa ragu-ragu. Dia menyingkir poni Akaze, memperlihatkan tatapan Akaze dengan jelas.
"K-Kamu sakit apa?" tanya Kana.
"Cuma demam."
Tanpa ragu-ragu, Kana menyentuh dahi Akaze
"Kau bohong."
Akaze terkekeh, lalu menjauhi tangan Kana. "Sungguh. Pasti panasnya sudah turun. Kau bisa tertular, loh."
"Aku tidak akan tertular karena kau memang tidak demam!"
"Iya, terserah deh. Ngomong-ngomong, perlu apa kau ke sini?"
"Aku diminta Sensei untuk mengantarkan tugas padamu," Kana mengambil sebuah buku dan memberikannya pada Akaze.
"Begitu, ya… Aku sangat berterima kasih."
"Memangnya kau sakit apa?"
"Sudah kubilang, kan. Cuma demam."
"... Bohong," Kana cemberut, sekali lagi memastikannya dengan menempelkan telapak tangannya pada dahi Akaze.
"Sudahlah. Itu tidak perlu dipikirkan."
"Kau sudah empat hari tidak masuk sekolah tahu!"
"Aku demam, lalu sudah sembuh tapi malas untuk sekolah. Begitulah."
"Huft," Kana merasa bahwa Akaze tidak akan menjawab jujur, jadi dia mengalah saja, "Kalau kau belum sembuh, jangan memaksakan diri untuk sekolah. Itu tidak baik!"
"Ahahah, baik. Apa kau mau masuk dulu ke dalam? Aku akan buatkan minuman dingin untukmu."
"Tidak perlu. Aku ada urusan lain."
"... Yah, sibuk juga jadi aktor cilik."
"Humph! Tentu saja! Kalau begitu, semoga cepat sembuh!"
Kana melambaikan tangannya. Akaze menggelengkan kepalanya sebelum masuk ke dalam. Dia disambut oleh pelayan Sona.
"Mari kita lanjutkan perbincangan kita tadi," Akaze berjalan melewati pelayan tersebut.
"Baik."
"... Ada yang ingin kutanyakan sekarang."
"...?"
"Apa kau akan mengawasi gadis tadi?"
"..." pelayan itu terdiam sebentar. Perlu beberapa saat baginya untuk menjawab. "Tidak. Dia hanyalah manusia biasa."
"Kau benar. Ini urusan kita. Jangan libatkan orang lain ke dalamnya."
"... Baik. Saya mengerti."
Bukan tanpa alasan Akaze mengatakan itu. Sona dan pelayannya bisa saja mengawasi orang-orang yang berinteraksi dengannya, karena dia memang jarang sekali berbicara dengan orang lain.
Akaze lanjut berjalan menyusuri lorong, lalu dia berbelok dan duduk di teras kayu. Di sana terdapat spidol dan beberapa kertas penuh gambar. Dia mengambil satu kertas kosong untuk ditulis sesuatu sebelum diberikan kepada pelayan itu.
"Aku sudah memikirkan senjata seperti yang kubilang sebelumnya," Akaze mengambil salah satu kertas yang berisi gambar. "Masalahnya adalah tempat. Aku perlu tempat untuk uji coba. Rasanya tidak mungkin jika aku menguji senjata ini di sini."
"Baik. Saya akan menyampaikannya kepada Sona-sama."
"... Baguslah."
Pelayan itu menghilang bersama lingkaran sihir.
Akaze menghela nafas panjang. "... Yah, untungnya sudah selesai," dia mengamati kertas berisi gambar tersebut. "Sekarang hanya perlu membuatnya saja."
[ Anda berhasil membangkitkan
***
***
***
Di Underworld, tepatnya di ruangan khusus milik salah satu Raja Iblis Leviathan, yang saat ini tengah bekerja. Dia memang bekerja, membaca banyak berkas, tapi kenyataannya dia menghabiskan sebagian waktunya untuk bermain-main menggunakan kostum penyihir miliknya yang menurutnya sangat lucu dan imut.
Serafall Leviathan, kakak perempuan Sona Sitri, atau dia lebih suka memanggil dirinya sendiri sebagai Gadis Penyihir. Dia juga dikenal oleh banyak orang sebagai Raja Iblis dan salah satu iblis wanita terkuat.
Jika orang lain mendengar gelar dan prestasinya pasti akan kagum dan juga merasa ngeri, tapi Serafall mempunyai kepribadian nyentrik dari kebanyakan orang atau bahkan bertolakbelakang dengan 'Raja Iblis'. Dia sangat ceria dan ramah, kepribadian seperti anak kecil, juga menyukai gadis penyihir hingga dia melakukan cosplay.
Meskipun demikian, Serafall memang adalah salah satu iblis yang sangat kuat dan pandai mengurus wilayahnya, seolah-olah dia sedang menyembunyikan keterampilannya yang mengerikan di balik kepribadiannya yang seperti anak-anak itu.
Di saat luang seperti ini, dia melakukan cosplay menjadi gadis penyihir dan mencoba melakukan gerakan-gerakan seolah-olah dia sedang menyelamatkan banyak orang.
Tiba-tiba lingkaran sihir muncul dan memunculkan Sona.
"Onee-sama."
"Ahh! Sona-chan!!!" Serafall langsung melompat ke arah adik perempuannya.
Sona yang dipeluk erat-erat oleh kakaknya, merasa sesak dan menepuk-nepuk Serafall, "O-Onee-sama. Sesak…"
"Ah! Maafkan aku."
Sona menghela nafasnya lega, merasa lelah terhadap sifat kakak perempuannya itu. Dia baru menyadari bahwa Serafall sedang mengenakan kostum penyihir yang tampak imut dan lucu baginya. Dia tak heran lagi melihat kakak perempuannya seperti itu, tapi dia justru menyukai hal tersebut, karena dengan begitu dia bisa bersikap santai di depan kakak perempuannya.
"Apa yang membawamu ke sini?" Serafall bertanya dengan penasaran. Dia tahu bahwa Sona datang menemuinya pasti ada sesuatu yang penting, bukan sekedar untuk mengunjunginya saja.
"... Ada sesuatu yang ingin kutanyakan."
"Tanyakan? Apa kamu ingin tahu tentang kostum—"
"Bukan itu!"
"Eh! Lalu apa?!"
"Apa, Onee-sama, tahu tentang semacam energi selain energi sihir?"
"Energi lain?" Serafall berpikir sebentar. Dia merasa penasaran mengapa Sona menanyakan hal tersebut.
Serafall sedikit ragu tentang keberadaan energi selain energi magis, tapi dia berpikir bahwa hal tersebut bukan berarti mustahil adanya. Hanya saja dia tidak tahu dengan pasti keberadaannya. Ada banyak sekali teknik dan variasi yang dibuat, bahkan setiap ras atau kelompok setidaknya punya beberapa yang unik, tetapi semua teknik tersebut menggunakan energi magis.
Energi magis seolah mengisi kekosongan dan membuat segalanya menjadi hal menakjubkan, tapi apakah ada energi selain itu? Serafall menjadi bertanya-tanya juga.
"Onee-sama?"
"Uh, memangnya kenapa?"
"Soalnya… Hm. Apa sebaiknya aku harus menceritakannya terlebih dahulu?"
"Boleh saja! Lebih bagus lagi kalau kita sambil meminum teh!"
"Onee-sama, aku tidak punya waktu untuk berlama-lama. Aku ingin belajar."
"Eeehh. Apa kamu tidak merindukan waktu berduaan bersama kakak perempuanmu, Sona-chan?"
Sona merasa rumit. Dia perlu mencari tahu tapi kalau perlu harus sesingkat mungkin karena dia masih punya jadwal pelajaran. Walaupun begitu, dia tetap mengangguk, "Uh, baiklah."
"Hore! Bagus, bagus! Mari ke sini!"
Mereka duduk di kursi yang besar, bersebelahan, di depan mereka terdapat meja dengan beberapa makanan ringan yang punya tampilan cantik. Serafall meminta pelayan untuk membuat teh hangat, dan dengan cepat pelayan tersebut membuatkannya.
Sona memakan makanan ringan yang rasanya manis, membuatnya tersenyum tanpa sadar.
"... Dari mana sebaiknya cerita ini dimulai, ya…"
"Dari awal supaya jelas!"
Perkataan Serafall memang tidak salah, hanya saja Sona sangat mengetahui niat di balik perkataan tersebut. Serafall ingin menghabiskan waktu selama mungkin, jika perlu, sampai berhari-hari.
"Onee-sama, tahu kan soal anak laki-laki manusia yang kubicarakan saat itu?"
"Ah, aku ingat! Kenapa lagi dia?"
Serafall tidak mungkin lupa hari di mana Sona meminta bantuannya untuk menyelidiki tentang identitas seorang bocah laki-laki di dunia manusia. Sona sebelumnya juga bercerita tentang bocah tersebut yang sangat aneh dan bisa menggunakan sihir.
Serafall tidak mau ambil pusing, mengatakan bahwa mungkin saja sihir yang dimiliki bocah tersebut berasal dari Sacred Gear. Sona sendiri setuju karena itu adalah alasan yang paling masuk akal. Namun, beberapa hari kemudian, terungkap bahwa bocah laki-laki tersebut ternyata tak memiliki Sacred Gear dalam tubuhnya.
Hal itu mengejutkan, secara tak langsung menyatakan bahwa bocah itu bukan manusia biasa. Seorang manusia yang tak memiliki Sacred Gear tapi mampu menggunakan sihir, lebih janggal lagi ketika Serafall tahu bahwa latar belakang bocah itu biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa darinya.
… Seolah-olah latar belakang keluarga, nama, dan bocah itu sendiri keberadaannya seperti dibuat-buat. Atau memang kenyataannya seperti itu. Serafall tidak mau percaya pada fakta bahwa ada seorang manusia yang bisa menggunakan sihir tanpa latar belakang yang masuk akal, jadi dia setuju dengan Sona yang akan mengawasi bocah tersebut.
"Begini. Ketika pelayanku datang ke rumahnya, dia menemukan kejanggalan."
"Apanya?"
"... Onee-sama sendiri tahu kan bahwa pelayan itu cukup kuat. Anehnya, justru dia merasa takut terhadap anak laki-laki itu."
"Takut? Apa dia mengancamnya?"
"Tidak. Bukan. Pelayan itu mengaku dia tak menemukan bekas sihir sedikitpun, baik pada ruangan maupun anak itu sendiri."
"Jadi kamu menduga bahwa itu adalah energi lain?"
"Iya. Anak itu tidak punya energi magis. Tidak pula Sacred Gear. Dia manusia biasa. Lalu apa lagi?"
Serafall terdiam. Dia tak bisa menyangkal ucapan Sona, karena itu benar. Tidak ada dugaan selain bahwa anak tersebut mempunyai energi lain. Masalahnya, energi apa itu? Dia tidak bisa menjawabnya, bagaimanapun dia harus memastikannya sendiri.
"Apa, Onee-sama, tahu sesuatu tentang itu?"
"Entah," Serafall menggelengkan kepalanya dengan wajah bingung. "Mungkin, aku harus memastikannya sendiri agar bisa tahu. Sebaiknya memang kamu awasi saja dia."
"Hmm, baiklah," Sona merasa bahwa dia harus bersabar sebentar untuk mengetahui misteri aneh itu. "Kalau begitu, urusanku di sini sudah selesai."
"Eh! Tidak! Jangan langsung pergi! Oh iya, bag—"
"Aku ingin belajar, Onee-sama."
"Kamu bahkan belum menyentuh tehmu— T-Tidak! Tunggu dulu, Sona-chan!!!"