Chereads / A Man in the Anime World / Chapter 8 - 8 : Merancang senjata baru

Chapter 8 - 8 : Merancang senjata baru

"Lagi-lagi aku melakukan hal yang gila…"

Akaze berbaring di kasur, memandang atap-atap kamar yang polos. Rasanya dia baru saja melakukan hal ekstrim yang bisa mengancam nyawanya.

"Kali ini bekerja sama dengan iblis. Apa sih yang kupikirkan?"

Sungguh dia bertanya-tanya tentang hal tersebut, meskipun demikian, dia menganggap kerja sama itu adalah hal yang buruk. Justru dia merasa itu diperlukan sesegera mungkin agar dirinya bisa berhubungan dengan orang-orang berpengaruh di dunia.

Hanya saja sekarang, Akaze tidak lagi memikirkan tentang uang dan bahan untuk pembuatan alat-alat atau bahkan senjata sekalipun, apalagi banyak sekali alat yang membutuhkan bahan-bahan khusus. Bekerja sama dengan Sona sangat baik untuk hal tersebut mengingat Sona dari keluarga iblis yang besar.

Sebenarnya, Akaze sendiri kurang mengerti apa yang Sona bisa dapatkan sehingga mau bekerja sama dengannya. Sona bukan iblis biasa, bukan juga dari keluarga biasa, lebih-lebih dia adalah karakter yang sangat kuat. Sona tak membutuhkan senjata karena dirinya sendiri sudah bisa dianggap senjata yang sangat kuat.

Jadi Akaze bertanya-tanya untuk apa kerja sama itu? Dia memang menyebut akan menciptakan 'senjata', senjata yang sangat kuat. Dia yakin bisa menciptakannya dengan kemampuan serta Sistem yang dia miliki, bukan mustahil untuk membuat bom atom sekalipun.

Namun, percaya pada seorang anak manusia berusia sembilan tahun yang mengatakan ingin membuat sebuah senjata adalah hal yang aneh.

'Jadi apa yang dia inginkan?'

Akaze bangkit dari kasurnya. Dia menghela nafas panjang dengan wajah lesu, "Aku terlalu banyak berpikir."

'... Setidak-tidaknya sekarang Sona berada di pihakku dan mendukungku. Ini memang sangat menguntungkan. Aku juga bisa saja mendapatkan perlindungan di bawah nama besar keluarganya.'

Akaze memandang alat-alat di mejanya yang menumpuk, bahkan di bawah meja pun ada beberapa yang diletakkan begitu saja sampai beberapa ada yang sudah berdebu. Dia mengambil jet mini dan memeriksanya sebentar.

"Mau bagaimana lagi. Aku harus menunda pembaruanmu dulu," gumam Akaze pada benda mati itu.

Dia membuka laptop, membuka buku, dan menyiapkan pena. Semalaman penuh dia berusaha fokus belajar sambil melakukan percobaan dan membuat rancangan.

***

***

***

Libur musim panas yang panjang, tapi bagi Akaze hanya sebentar, itu berakhir. Dia mau tak mau harus sekolah di tengah kesibukannya melakukan hal lain, membuat tugasnya semakin banyak dan melelahkan. Tapi dia sedikit bersyukur karena cuaca sudah tidak sepanas sebelumnya.

"... Sekarang wajahmu tampak seperti hiu mati," ucap Kana.

"Apa kau pernah melihat ikan hiu mati sebelumnya?" Akaze meletakkan kepalanya di atas meja. Dengan nada yang lemah, dia tetap menanggapi ucapan Kana.

"Pernah. Baru-baru ini ada berita yang menyiarkannya. Kemarin aku menontonnya. Tidak hanya satu hiu tapi puluhan hiu yang mati. Dan wajahmu mirip dengan mereka."

"Ah, gitukah… Kuharap aku tidak akan menjadi ikan yang ada di berita itu," Akaze menguap sebentar. Dia sudah tak berkeinginan untuk melakukan apapun selain pulang dan tidur.

"Hei. Jika kau sakit, lebih baik pulang saja," Kana mendekati Akaze. Dia sekarang sudah cukup dekat dan berani, hingga dengan santai meletakkan tangannya di dahi Akaze untuk memeriksa suhunya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya kurang tidur saja."

"Uhh, baiklah," Kana menjawab sambil mengangguk. Dia berpikir bahwa Akaze benar. Suhu Akaze normal hanya kurang istirahat saja.

"Kalau begitu, kau ke ruang UKS saja."

"Untuk apa? Aku tidak sakit tahu."

"Ya, bilang saja sakit lalu kau bisa tidur di sana sampai jam pelajaran terakhir."

"... Uhh? Kau menyuruhku membolos?"

"Aku cuma mau memberikan saran!" Kana membuang wajahnya dengan ekspresi cemberut, "Atau kau akan menjadi ikan hiu seperti di berita kemarin."

"Yahh, terima kasih untuk sarannya tapi memang lebih baik untuk belajar dengan sepenuh hati."

"Huh. Mau bagaimana lagi, kau itu keras kepala banget."

"Siapa? Aku keras kepala? Bukannya kita agak mirip pada bagian itu."

"Apanya?!"

Walaupun begitu, tidak ada yang berubah dari nilai Akaze yang selalu dapat nilai sempurna. Teman-temannya sampai heran dan ingin bertanya soal itu, tetapi setelah melihat Akaze yang murung sepanjang hari membuat mereka mengurung niat mereka.

***

***

***

Sampai rumah pun, Akaze langsung terkapar di lantai ruang tamu dan tertidur di sana selama dua jam. Jika saja tidak ada nyamuk yang mengganggunya, mungkin saja dia tertidur pulas sampai besok. Dia yang baru saja bangun, segera memulai latihan keras seperti biasanya, terutama berlatih untuk membangkitkan Chakra di dalam tubuhnya.

Sehabis latihan, lagi-lagi dia tertidur tanpa sadar ketika sedang berendam. Kali ini yang membangunnya adalah suara berisik dari luar. Saat diperiksa, ternyata suara itu berasal dari kucing yang sedang bertengkar. Dia sungguh kesal, tapi mengurungkan niatnya untuk marah karena akan membuang tenaganya.

Dia memilih untuk menyimpan tenaganya untuk malam hari. Dia begadang untuk belajar dengan keras. Dia menggunakan imajinasi untuk menggambar sebuah alat. Kertas-kertas berserakan di lantai kamarnya penuh dengan coretan.

Makin lama, Akaze menyadari bahwa tubuhnya tidak seperti manusia biasa, tubuhnya tidak normal. Karena bila dia punya tubuh seperti kebanyakan orang, pasti akan jatuh sakit akibat kurangnya istirahat. Nyatanya dia masih bisa beraktivitas penuh tanpa ada gejala-gejala penyakit. Hanya saja mental dia lah yang paling butuh istirahat.

Mentalnya tidak baik-baik saja, seolah dia bisa gila kapan saja. Apalagi, ketika dia berpikiran dan berimajinasi sambil mencoret-coret. Dia merasa seperti akan gila dan melampiaskannya pada kertas. Tapi kertas tidak membuatnya cukup puas, lalu dia memilih dinding.

"Uh, yang ini kurang. Kalau yang ini… agak bagus tapi kurang."

Menggunakan spidol yang hampir kering, dia terus mencoret-coret dinding dengan kasar. Semakin lama dia mencoret, ada sensasi yang membuatnya sangat bebas dan bisa melampiaskan ide-idenya hingga membuat imajinasinya mengalir deras seolah tak terbatas.

Esoknya Akaze masih bersekolah seperti biasa, tetapi dia sudah tidak mau berinteraksi dengan siapapun termasuk dengan Arima Kana.

Lusanya, dia memilih untuk tidak bersekolah demi memaksimalkan latihan serta proses pembelajarannya di rumah. Dia memakai waktu sekolahnya untuk istirahat diselingi latihan Chakra.

Dan dalam lima hari, seluruh bagian pada dinding kamarnya telah dipenuhi oleh coretan spidol hitam. Saking penuh sampai tidak bisa dibaca, kecuali Akaze seorang. Terdapat beberapa spidol dan pulpen yang sudah kosong, dan kertas dibiarkan begitu saja di lantai.

Akaze yang duduk di atas kasur, memegang satu spidol yang masih bisa digunakan. Matanya bergerak menyapu seluruh ruangan, membaca apa yang dia tulis di dinding. Dia ingin menulis hal lain tapi sayangnya sudah tidak ada lagi bagian pada dinding yang bisa dia isi.

"Uh?"

Tiba-tiba sebuah lingkaran sihir muncul, membawa seorang pelayan yang Akaze kenal.

Pelayan itu baru saja sampai, dikejutkan oleh ruangan yang dia pijak. Tanpa dia harus melihat keseluruhan dinding, dia sudah tahu bahwa semuanya penuh dengan coretan acak baginya. Di hadapannya terdapat Akaze yang sedang menatapnya.

"Anda…," pelayan itu agak rumit menanggapi situasi ini.

Akaze menatap pelayan itu dengan bola mata yang sedikit memerah. Wajahnya berekspresi datar, murung, disertai kantung mata hitam. Meskipun demikian, dia terlihat bersih, karena dia masih menyempatkan diri untuk mandi.

"Ada urusan apa ke sini?" tanya Akaze.

Pelayan itu merasa sedikit sesak entah kenapa, lalu dia berkata, "Saya ingin memberi kabar mengenai bahan-bahan yang Anda minta sebelumnya. Lord Sitri sudah memberikan persetujuan sehingga Sona-sama bisa membelinya untuk Anda."

"... Bagus."

"Apa ada hal lain yang Anda inginkan? Saya akan langsung menyampaikannya kepada Sona-sama."

Akaze mengamati dinding, mengambil beberapa saat untuk berpikir. Dia menunjuk ke arah meja, "Ambilkan kertas di sana."

Saat pelayan itu menoleh, dia langsung bisa melihat tiga lembar kertas yang ada di meja. Mendekati meja itu, dia bisa melihat kertas paling atas berisi sebuah gambar berbentuk silinder. Dia mengambil kertas kosong sebelum memberikannya pada Akaze.

Akaze menulis sesuatu di kertas tersebut, lalu memberikannya kembali pada pelayan itu. "Aku belum menemukan rancangan yang sempurna, tapi setidaknya sediakan barang dan alat itu untukku."

Pelayan itu membaca sebentar daftar yang dibuat oleh Akaze, "Apa hanya ini saja?"

"Iya. Itu saja."

"Baik. Saya akan menyampaikannya kepada Sona-sama. Kalau begitu, saya permisi."

Lingkaran sihir membawa pelayan itu ke suatu tempat, menghilang begitu saja dari ruangan. Sungguh praktis sampai-sampai Akaze sedikit iri melihat betapa efisiennya sebuah sihir.

Akaze menutup matanya, berusaha membangkitkan Chakra-nya tapi hasilnya nihil. Dia ingin sesegera mungkin membangkitkan Chakra di dalam tubuhnya.

Chakra, energi kehidupan yang berputar di dalam tubuh, agaknya sama seperti sihir. Chakra bisa digunakan untuk hal hebat seperti mengeluarkan Ninjutsu. Memikirkannya saja sudah membuat dia merasa bersemangat, tapi masalahnya dia belum membangkitkan Chakra.

Dia memandangi dinding kamarnya. "Apa aku memerlukan Chakra untuk melakukannya?"

Akaze mencoba membayangkan hari di mana dia mendapatkan Chakra untuk pertama kalinya. Kira-kira sebuah ide apa yang akan muncul di kepalanya saat itu?

Memang bukan perkara mudah untuk menggabungkan hal yang tak masuk akal seperti Chakra ke dalam alatnya.

Tapi dia belum pernah mencobanya sekalipun, atau bahkan mencoba membuat sebuah konsep dan rancangan saja dia belum melakukannya.

'... Aku berpikir itu mustahil dan seketika itu benar-benar menjadi mustahil bagiku, sehingga aku tidak terpikirkan mencobanya sekalipun.'

Matanya sedikit lebih cerah seolah menemukan sebuah lentera di dalam gelapnya dunia imajinasi pikirannya saat ini.

'... Aku lupa kalau aku hidup di dunia yang aneh ini.'

Secara perlahan, seperti zombie, Akaze bangkit sambil memegang spidol.

"Huh. Kesal sekali rasanya ketika imajinasiku dihentikan secara paksa oleh kenyataan bodoh ini."

***

***

***

Sona yang berada di Underworld, sedang belajar seperti biasanya, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan pelayannya yang membawa sebuah kertas. Namun, yang membuatnya semakin terkejut adalah cerita dari pelayannya.

"... Apa itu benar?" Sona memegang kertas di tangannya dengan ekspresi tak percaya.

"Sepertinya memang Akatsuki Akaze memaksakan dirinya hingga membuatnya jarang beristirahat."

Sona terdiam dan berpikir. 'Tapi kenapa?' pertanyaan itu selalu berputar di dalam kepalanya. "Dia masih punya banyak waktu, seharusnya dia tak memaksakan dirinya untuk saat ini. Kenapa…? Apa yang sedang dia rencanakan memang serumit itu?" gumamnya.

Pelayan itu menjelaskan tentang situasi kamar Akaze yang sangat mengerikan untuk seorang anak kecil, seolah Akaze mengidap gangguan jiwa tapi pelayan itu tahu kalau Akaze masih punya kesadaran.

"Apa kamu tidak tahu sesuatu? Tidak bertanya?"

"M-Maafkan saya, Sona-sama, tapi…," pelayan itu dengan sekuat tenaga menjaga ekspresi tenangnya dengan keringat menetes dari dahinya. "... Saya tidak berani."

"Hah? Tidak berani… maksudmu, kamu takut?"

Pelayan itu mengangguk dengan ragu-ragu.

"... Jelaskan padaku."

"Saya sendiri tidak begitu paham, tapi saya merasakan… itu dari matanya."

"Matanya?" Sona mengingat kembali tatapan Akaze. Harus dia akui, memang tatapan Akaze tajam dan menusuk memberikan hawa dingin yang aneh, tapi hal tersebut pasti tidak akan membuat iblis kuat seperti pelayannya ketakutan.

"... Matanya memancarkan suatu energi negatif," pelayan itu mengingat rasa sesak di dadanya ketika berada di ruangan Akaze, "Seluruh ruangan itu sudah dipenuhi energi negatif, tapi yang paling jelas adalah tatapannya."

"Apa itu sihir?"

Pelayan itu memikirkan tentang apa yang terjadi pada Akaze. Dia merasa seakan Akaze sedang menghunuskan sebuah belati di dekat lehernya pada saat itu.

"Bukan. Tidak ada bekas sihir sedikitpun di dalam ruangan maupun anak tersebut. Saya berasumsi itu pasti sesuatu yang lain. Rasanya sangat mencekam dan berputar di sekeliling tubuhnya, terutama matanya."

Sona hanya tahu soal sihir dan belajar tentang sihir. Dia tidak pernah tahu sebelumnya mengenai energi lain, paling-paling dia mendengar tentang 'emosi' yang bisa memengaruhi sihir.

'Mungkin aku harus bertanya pada Onee-sama dan yang lainnya. Mereka pasti tahu sesuatu,' pikir Sona.

"Baiklah. Tetap awasi dia untuk sekarang. Laporkan segera padaku jika terjadi kejanggalan lainnya."

"Baik, Sona-sama."

"Ah, soal bahan-bahannya…," Sona agak tidak mengerti apa yang ditulis di kertas tersebut. Bukan tidak bisa dibaca, hanya saja bahan-bahan yang diinginkan Akaze terdengar baru baginya. "Katakan padanya, aku akan mencarinya secepatnya.

"Baik."