Di dekat kediamannya terdapat sebuah bukit yang jaraknya cukup jauh dan semakin terasa jauh bagi Akaze yang mempunyai tubuh mungil. Meskipun demikian, mau tak mau dia harus pergi ke sana, di tempat yang sepi untuk menguji alatnya, agar tidak menimbulkan masalah seperti sebelumnya.
Beberapa kali ada orang lewat yang bertanya padanya, seperti 'Mau ke mana?', 'Apa kamu tersesat?', dan 'Ini sudah malam bla, bla, bla'.
Dia tidak heran banyak orang bertanya, lagi pula dia adalah anak-anak. Dan anak-anak yang berkeliaran di tengah malam sudah sangat mencurigakan.
Untungnya dia bisa memberi alasan yang masuk akal pada setiap orang yang bertanya.
Sesampainya di bukit, Akaze dihadapkan dengan rintangan lainnya, kali ini adalah pos penjaga. Pos itu menjaga jalan masuk, bukan satu-satunya jalan masuk tapi akan merepotkan bagi Akaze untuk mencari jalan masuk lain.
Pos itu agak besar, muat untuk lima orang, terdapat dua kursi dan barang-barang di dalamnya. Anehnya, para penjaganya justru tidak ada di sana.
'Apa mereka makan gaji buta?' itulah yang langsung Akaze pikiran. Namun itu kesempatan yang bagus baginya untuk menyelinap masuk ke dalam. Tanpa berlama-lama, dia masuk ke dalam bukit penuh pepohonan itu tanpa ketahuan.
Hanya ada jalan setapak yang sempit, dia melihat jejak kaki dua orang dewasa. Jadi, dia mengikuti jejak tersebut dan terus semakin dalam memasuki hutan. Setelah berjalan sejenak, dia berhenti saat menyadari hal aneh.
Dia terkejut mendapati jejak kaki itu terhapus— Lebih tepatnya digantikan oleh bekas lainnya.
'...Ini,' Akaze berjongkok dan mengamati lebih jelas. 'Seperti ada seseorang yang diseret?'
Tiba-tiba, dia mencium bau busuk yang menyengat hidungnya, membuat dia mengernyitkan keningnya dengan perasaan mual.
'Apa ini? Ada pembunuhan? Serius?'
Tergerak oleh rasa penasaran, Akaze memberanikan diri mengikuti sumber bau busuk itu, meski rasa mual menggerogoti perutnya. Bau itu membawanya ke sebuah bangunan tua yang tersembunyi di tengah-tengah hutan belantara. Bangunan itu adalah gudang terbengkalai dengan akar-akar tumbuhan yang merayap ke mana-mana.
Dengan penuh kewaspadaan, dia melangkah memasuki gudang tersebut dan berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Semakin jauh dia masuk, suara aneh semakin terdengar jelas, seperti suara daging yang dikoyak dan digigit.
'Makhluk apaan itu?!'
Dibalik dinding, Akaze mengintip, melihat sosok makhluk yang ukurannya sangat besar, lebih dari ukuran orang dewasa. Yang jelas itu bukan manusia karena bentuknya yang aneh. Punya tubuh bagian atas seorang manusia, empat lengan dan tubuh seekor ular. Benar-benar bentuk yang aneh.
'Dan dia wanita? Yang benar saja. Ah, tapi… tidak heran, DxD juga termasuk.'
Akaze memeriksa isi tasnya, melihat lima bom bulat mungil yang siap meledak. Akan tetapi, nafas berat di dekatnya yang mengganggu membuatnya menoleh. Seketika rasa ngeri menjalar ke sekujur tubuhnya saat mendapati makhluk itu sudah berdiri tegak di dekatnya.
'Sialan! Apa ini film horor?!'
Senyum lebar terbentuk pada wajah wanita tersebut. Dia menurunkan tubuhnya dengan tenang untuk bertatapan langsung dengan Akaze, tanpa harus menundukkan kepalanya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Nak? Tersesat?"
"Ah, itu…"
"Tidak boleh loh anak-anak berkeliaran malam begini, tapi…," senyuman itu menjadi seringai mengerikan. "Apa boleh buat kan kalau sudah ketemu begini. Kamu bisa menjadi santapanku selanjutnya."
Tawa mengerikan yang kencang dan melengking memekakkan telinga, menggema ke seluruh ruangan yang membuat suasana semakin tak nyaman.
"...Ah, begini. Tenang dulu…"
"Huh?" wanita itu menjadi terheran.
Akaze merasakan detak jantungnya berdegup kencang seolah bisa meledak kapan saja. Dia bisa merasakan keringat mengalir di telapak tangannya. Lalu, dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya.
"Aku… ke sini memang berniat untuk bunuh diri."
"Huh? Apa? Kamu…?" makhluk itu jadi lebih terheran. Dengan wajah bingung dia menatap wajah Akaze.
"Aku sudah muak dengan semuanya, makanya aku kemari pada tengah malam. Orang-orang bilang kalau ada hantu yang selalu memakan korban di sini, oleh karena itu aku ke sini."
"..." wanita itu terdiam sebentar, kemudian tertawa lagi dan lebih kencang dari sebelumnya. Tawanya hanya sebentar saja, langsung berganti menjadi tatapan tajam yang mengintimidasi. Dia memperlihatkan kuku-kukunya yang tajam. "... Aku tidak suka mendengar lelucon dari seorang bocah, tahu."
"Aku serius. Aku akan pergi ke sana sebagai bukti bahwa aku serius dan tidak kabur," Akaze menunjuk ke pojok ruangan di mana mayat-mayat manusia dimakan oleh makhluk itu.
Makhluk itu tampak tertarik. "Kalau begitu, lakukan."
Akaze mengangguk sebelum berjalan ke pojok ruangan tanpa ragu. Mayat yang sudah dicabik-cabik penuh darah ada di sana. Ditambah di dekat sana terdapat jendela sehingga membuat cahaya bulan yang sedang bersinar terang bisa masuk, memperlihatkan pada Akaze semuanya dengan jelas.
Perasaan mual menggerogoti perutnya, bau busuk tercium begitu jelas, tapi ekspresi Akaze tetap datar, justru tampak seperti anak laki-laki dengan tatapan kosong. Apalagi, wajahnya yang sehabis bangun tidur memperkuat aktingnya.
"Hahahaha! Tak kusangka kau benar-benar serius, ya! Baru kali ini aku mendapatkan mangsa semudah ini!"
"Tapi… sebelum aku mati, aku punya satu permintaan."
Wanita itu berhenti tertawa, menatap Akaze dengan bingung. "Hm? Apa itu?"
"Tolong bermainlah bersamaku untuk terakhir kalinya."
"Bermain?"
Akaze mengeluarkan lima bola kecil dari dalam tasnya. "Iya. Kumohon." dia mengulurkan tangannya ke depan untuk memberikannya pada makhluk itu.
"...Huh. Bocah tetaplah seorang bocah. Baiklah. Untuk yang terakhir kalinya dalam hidupmu," wanita itu menerima ke lima bola kecil di telapak tangannya. "Bagaimana cara memainkannya?"
"Bola itu akan berbunyi," Akaze menjawab sambil merogoh tasnya lagi.
—Tit.
"Huh? Lalu…?"
"Begini," Akaze mengeluarkan sebuah pulpen. Dia mengarahkan ujung pulpen itu ke arah makhluk tersebut. "Begitu bola itu berkedip semakin cepat, kamu harus menangkap pulpen ini."
"...Uh, baiklah," makhluk itu merasa aneh terhadap permainan bola tapi dia tetap mengikuti ucapan Akaze. Baginya, Akaze memang seperti seorang bocah yang berniat bunuh diri. Ekspresi datar dan wajah kusam yang dimiliki Akaze seperti sedang ditimpa masalah hingga membuatnya tak mau mengeluarkan ekspresi.
—Tit!
Wanita itu bersiap-siap menangkap pulpen yang akan dilemparkan oleh Akaze. Tapi…
—Bang!
Tiba-tiba Akaze mengubah arah ujung pulpen itu dan menekan suatu tombol. Pada saat itu juga sebuah benda meluncur dengan kecepatan tinggi menuju tepat di mata makhluk itu.
"ARGGHHHH!!!!"
"Seni adalah ledakan!!!"
—Tit!
—Tit!
—TIT!
Akaze mengayun tasnya ke arah jendela, memecahkan jendela kusam itu berkeping-keping sebelum dirinya melompat keluar dari sana. Percikan-percikan listrik menyelimuti kakinya, dengan sekali lompatan, dia bisa menempuh jarak yang jauh.
—BOOMMM!!!
"UGH!"
Ledakan yang sangat kuat menghancurkan semua benda di dekatnya dan bahkan dinding pun hancur begitu terkena ledakan. Gelombang kejut yang dihasilkan membuat tubuh kecil Akaze ikut terhempas jauh bersama bongkahan dinding yang hancur beberapa meter dari gudang itu.
'Apa dia sudah mati?'
Ledakan itu cukup kuat untuk menghancurkan beberapa tubuh manusia, tapi yang dilawan Akaze bukanlah manusia melainkan iblis.
Di dalam asap tebal yang mengepul, keluar makhluk itu yang sudah terluka parah pada bagian tangan dan sebagian besar wajahnya. Salah satu matanya sudah terluka. Mulutnya tak berbentuk. Lehernya terbakar. Benar-benar lebih mengerikan dari sebelumnya, mengingatkan Akaze pada film horor.
"ARGGHHH!!!!"
Akaze mengambil sebuah pisau lipat dari dalam tasnya. Dia mengalirkan sejumlah energi api ke pisau tersebut, menciptakan sebuah bilah api yang panjang seperti sebuah pedang.
"ARGGHHH!!!!"
Bahkan dengan tubuh besar dan lukanya sekalipun, makhluk itu masih mampu bergerak dengan sangat cepat menuju Akaze. Namun, Akaze sudah menyiapkan kuda-kudanya dan berlari ke arah makhluk itu.
"Hinokami Kagura!!!"
[ Anda belum bisa membeli— ]
'DIAMM!!'
—SRING!!!
Bilah yang tercipta dari api itu sangatlah panas, dengan mudahnya membelah tubuh makhluk yang sangat besar itu menjadi dua bagian terpisah. Tubuh bagian atasnya terjatuh ke tanah dengan darah mengalir tetapi masih bergerak-gerak.
—SRING!
Akaze langsung memotong leher makhluk tersebut, memastikan bahwa makhluk itu benar-benar mati.
"Huft. Huft…"
Akaze melepaskan genggaman dari pisaunya yang hampir meleleh sepenuhnya akibat tak mampu menahan panas sihir api miliknya. Dia tersungkur dengan nafas terengah-engah.
'...Yang barusan itu gila… tapi keren juga.'
[
[ Anda berhasil mengalahkan Iblis liar untuk pertama kalinya ! Anda mendapatkan : 3 pil, katana, 1000 SP. ]
Melihat layar hologram di depannya, Akaze merasa puas dengan pencapaiannya sekarang. Bom miliknya berhasil diledakkan dan bekerja dengan baik, sekaligus hampir membunuh iblis tadi.
'Sepertinya mulai sekarang aku harus lebih sering berlatih.'
Dia memang berhasil membunuh iblis itu dalam sekali tebasan, tapi itu beruntung karena iblis itu sudah terluka akibat terkena ledakan yang membuat penglihatan dan gerakan iblis itu terhambat. Jika saja iblis itu tidak terluka sebelumnya, maka bisa dipastikan dia akan kewalahan atau mungkin saja bisa terluka parah.
"Ugh. Aku harus cepat pergi dari sini."
"Pergi ke mana?"
Tiba-tiba Akaze mendengar suara asing dari belakangnya. Dia merasa deja vu. Dia menoleh melihat gadis kecil berambut hitam pendek di belakang.
Gadis itu memakai kacamata bulat. Gaun yang dia kenakan berwarna putih dan hitam. Di belakangnya terdapat seorang wanita yang mengenakan seragam pelayan.
"..!?" Akaze bisa merasakan dengan jelas kehadiran kuat dan mengintimidasi dari dua orang tersebut.
"Apa kamu yang membunuh iblis tadi?" gadis itu bertanya dengan ekspresi datar.
"..."
'Sialan. Dia… pasti Sona Sitri, kan?'