"Huft…"
Akaze terkapar lemas di lantai kayu yang mengkilap, berupaya keras mengendalikan napasnya yang semakin tak terkendali. Tanpa mengenakan baju, tubuhnya yang bermandikan keringat bersentuhan langsung dengan permukaan kayu yang dingin, meninggalkan genangan air dengan aroma tak sedap baginya.
Dia sedang melakukan latihan keras, bukan latihan ringan lagi. Dia yang sudah membeli gaya bertarung Taijutsu, langsung melakukan latihan gila-gilaan, sebagian besarnya dipaksa oleh Sistem dengan iming-iming poin banyak.
Dia memaksa tubuh mungilnya itu untuk mengangkat beban berat serta bergerak cepat, yang pastinya membebani tubuhnya. Untungnya latihan Taijutsu yang kebanyakan mempraktekkan tentang gaya bertarung dasar tidak membuatnya terlalu sulit untuk mengikuti setiap instruksi di dalam buku.
Hasil dari latihan beratnya pun tidak mengecewakan sama sekali, karena berkat itu dia mendapatkan bentuk tubuh yang dia idam-idamkan sejak lama. Dia mendapat otot-otot, yang paling menonjol ada di bagian lengan, kaki dan perut. Tubuhnya juga menjadi sedikit lebih tinggi.
Akaze sendiri tidak percaya bahwa dirinya mampu melakukan olahraga atau latihan ekstrem yang membuat tubuhnya seakan menjerit. Namun, tentunya dia berlatih dengan tujuan memperkuat dirinya..
Beberapa minggu setelah kejadian mengerikan di bukit hari itu, membuat Akaze juga tersadarkan bahwa dirinya harus menjadi semakin kuat secepat-cepatnya. Dia yang bukan seorang penyihir yang bisa mengandalkan sihir, dia bergantung pada stamina dan kekuatan fisiknya, mau tak mau harus melatih fisik tersebut sampai ke tahap monster.
… Dan otaknya. Dia tidak mau jadi orang berotot yang hanya bisa mengandalkan tinju untuk menyelesaikan masalah.
Akibat kejadian pada malam itu juga membuat perkembangan alat-alatnya, terutama senjata, menjadi semakin cepat. Akaze merasa dirinya selalu dihantui oleh ancaman, dan membuat bom-bom dalam jumlah yang banyak. Tak lupa, dia membuat semua senjatanya efektif di efektif di segala kondisi dan bisa dikombinasikan dengan sihirnya.
Pada musim panas ini, dia menjalani hari liburnya dengan berlatih seperti biasanya. Karena libur sekolah membuatnya punya banyak waktu, dia menggunakannya untuk berlatih.
Tak mengherankan jika akhir-akhir ini rutinitas sehari-harinya lebih berat akibat cuaca panas yang menyengat, tapi tetap tidak menghentikan tekadnya untuk berlatih.
"Ugh…," Akaze bangkit, membersihkan keringatnya menggunakan handuk kecil yang sudah basah. "Panas banget…"
[ Anda mempunyai misi 'berlari sejauh 5 kilometer'! ]
"Brengsek. Kau mau membunuhku, ya?!"
[ Misi telah diperbarui sesuai tingkat kekuatan Anda saat ini. ]
"Ughh…," rasanya Akaze ingin menolak keras misi tersebut. Mengingat dia membutuhkan poin, dia menghela nafas dan hanya bisa berharap hujan akan datang.
Pada akhirnya, Akaze tetap melakukannya meskipun banyak mengeluh.
Dia memakai baju putih dan celana abu-abu pendek, tak lupa menggunakan sepatu lari yang dia beli lima hari yang lalu. Di bawah teriknya matahari yang menusuk-nusuk, setiap langkah kakinya dalam kecepatan konstan seolah tak menunjukkan kelelahan sedikitpun.
Sembari mengatur nafasnya dengan benar, dia berlari menyusuri pinggir sungai di mana dia bisa melihat sedikit orang yang sedang memancing, lalu dia masuk ke dalam perkotaan yang ramai.
Banyak orang yang memandangnya, sungguh aneh melihat seseorang berlari di siang hari pada musim panas, apalagi yang melakukannya adalah anak berusia sembilan tahun. Tak mengenakan topi, sendirian, dan tak menunjukkan kelelahan.
Dia terus memaksakan dirinya untuk berlari. Dirinya sendiri bisa melihat keringat mengucur deras, menetes di jalanan. Makin lama, kecepatannya menurun dan nafasnya mulai tak teratur, bahkan penglihatannya pun sedikit samar-samar.
[ Misi telah terselesaikan! Anda mendapatkan 100 SP! ]
'Kau pelit sekali!'
Begitu mendengar suara Sistem, Akaze menghentikan langkah kakinya dan berteduh di bawah atas sebuah toko. Dengan nafas yang masih tersengal-sengal, diam-diam dia mengutuk Sistem karena hanya memberikan sedikit poin, tidak sepadan dengan apa yang dia lakukan.
Dia membeli sebotol air minum di mesin penjual otomatis, lalu meminumnya secara perlahan-lahan, tapi tentunya sebotol saja tidak cukup, jadi dia membeli lagi. Dia menghabiskan waktu di sana untuk beristirahat dan berteduh, tidak tahu sekarang pukul berapa karena saat ini dia tidak membawa perlengkapannya.
Ketika hendak pulang, dia tak sengaja melihat seseorang yang dia kenal.
"Bukankah itu… Arima Kana?"
Arima Kana sedang duduk di sebuah kursi panjang tanpa sandaran. Walau mengenakan topi sambil menunduk, masih terlihat jelas wajahnya yang sedang melamun dan cenderung terlihat murung. Tatapan mata kosong sangat berkebalikan dengan sosok yang Akaze temui saat di sekolah.
Arima Kana yang sekarang sangat rapuh.
"Hei, Kana."
Kana mendongakkan kepalanya dengan kaget. Pupil matanya melebar saat bertemu dengan tatapan Akaze. "A-Akaze?" lalu dia memalingkan wajahnya dan agak menunduk, berupaya menyembunyikan ekspresinya.
"Ini," Akaze memberikan minuman manis yang dia beli di mesin penjual otomatis tadi.
Kana memandang botol minuman di hadapan wajahnya. Dia kembali mendongak dengan wajah bingung. "... Apa?"
"Barangkali kau haus."
Tatapan kosong Kana tadi, kini bercahaya terang dan menangkap sosok Akaze dengan sangat jelas.
"... Kau tidak mau?"
"Huh! Apaan, sih?" Kana tetap menerimanya dengan wajah cemberut, lalu berubah menjadi tersenyum. "T-Terima kasih," dia berkata, sebelum meminumnya.
"Sama-sama," Akaze duduk di sebelah Kana, meminum air putih miliknya juga sambil memohon kepada udara untuk mendatangkan angin yang sejuk kepadanya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Kana.
"Jalan-jalan," jawab Akaze dengan cuek.
"...? Tapi… keringatmu banyak sekali."
Bagi Kana, penampilan Akaze sekarang seperti baru saja terkena hujan lebat karena seluruh tubuhnya benar-benar basah. Namun, berkat pakaian basah itu juga Kana bisa melihat tubuh Akaze yang berotot. Dia kagum dan bertanya-tanya dari mana Akaze mendapat semua otot-otot itu?
"Wajar kan soalnya musim panas," jawab Akaze.
Itu memang alasan yang masuk akal, Kana bisa menerimanya.
"Sama siapa kamu ke sini?" tanya Kana.
"Sendirian, sih. Aku bosan di rumah," jawab Akaze.
"Sekalian mencari aktivitas untuk mengisi tugas musim panas juga?"
"Kira-kira begitu. Rasanya, Sensei akan heran kalau melihat tugasku yang isinya aktivitasku di rumah selama sebulan penuh."
"Itu benar. Apalagi, kudengar nanti kamu harus menceritakan pengalamanmu selama musim panas di kelas."
"Kalau kamu, apa yang kamu lakukan di sini?"
"... Bekerja. Akting," tiba-tiba Kana menjadi agak murung lagi.
Melihat hal tersebut, Akaze bisa langsung menyadari alasan Kana tampak murung. Hanya saja dia tidak terlalu mengerti tentang apa yang dialami Kana.
"Ah, begitu. Kedengarannya merepotkan juga berakting di musim panas begini," Akaze mendongak ke atas, melihat cuaca yang cerah tanpa awan. "Tapi… aku tak sabar menunggu hasil kerja kerasmu."
Kana tertegun mendengar ucapan Akaze. Dia melirik ke arah Akaze dengan perasaan heran. Anehnya…, dia merasa lebih baik. Dia senang mendengar ucapan itu keluar dari mulut Akaze. Suasana hatinya benar-benar jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Benarkah?"
"Uh? Iya," Akaze menjawab sambil memberi acungan jempol.
"Pft," Kana terkekeh kecil. "Baiklah. Apa boleh buat! Aku kan aktor cilik, seorang profesional. Pastikan kamu menonton aktingku dengan baik nanti!"
"Iya," Akaze lega melihat Kana seperti itu. Meskipun dia sendiri tidak begitu mengerti mengapa Kana menjadi bersemangat, tapi yang jelas dia menyukai sisi Kana yang bersemangat dan menjengkelkan itu ketimbang sisi murungnya.
"Kira-kira berapa banyak film yang kau mainkan sejauh ini?" tanya Akaze.
"Entah. Pokoknya banyak! Dan di masa depan akan jauh lebih banyak! Aku ingin semua acara dan film di bioskop sekalipun harus ada setidaknya wajahku diperlihatkan."
"Itu impianmu?"
"Bukan, tapi akan lebih baik jika begitu."
"Kalau begitu, akan kupastikan, aku calon produser film terkenal ini, akan membuatmu makin populer di masa depan."
Kana terkekeh-kekeh, kali ini dia tidak meledek ucapan Akaze. "Pastikan aku yang jadi pemeran utamanya."
"Tentu saja."
Kemudian, mereka hanya duduk dalam diam menikmati suasana siang hari yang panas itu. Angin sejuk bertiup, membuat Akaze sadar.
"Ngomong-ngomong, aku tak punya banyak waktu. Aku ada kegiatan lain.
"Kegiatan lain?"
"Iya. Sampai jumpa!"
"Ah…, uh, iya."
Akaze langsung berlari sambil melambaikan tangannya. Kana agak kaget melihat betapa cepatnya Akaze. Dia memandang punggung Akaze yang semakin menjauh. Dia meminum minuman yang diberikan oleh Akaze, anehnya, rasa minuman itu kini menjadi lebih manis sampai-sampai membuatnya tersenyum.
***
***
***
"Akaze!!!"
Masha yang duduk di ayunan, melambaikan tangannya kepada Akaze yang baru saja sampai di taman. Wajahnya benar-benar cerah dan menggemaskan, tapi dia dibuat penasaran oleh benda yang dibawa oleh Akaze. Dan itu bukan pertama kalinya Akaze membawa benda aneh ke taman.
Akhir-akhir, Masha juga semakin mengenali Akaze karena mereka sering menghabiskan waktu bersama di taman. Salah satu sifat yang menurutnya aneh adalah Akaze membawa benda, bisa alat yang berguna atau yang aneh, ke taman untuk mencoba benda tersebut bersamanya.
Pada awalnya mungkin hanya alat penerjemah, lalu sebuah bola yang bisa menggelinding sesuai arahan, dan yang paling aneh adalah sebuah helm berat berwarna merah yang bisa membuka tutup otomatis.
Namun, alat yang menurutnya paling berguna tentu saja alat penerjemah. Alat tersebut memudahkannya berkomunikasi dengan Akaze atau bahkan orang-orang di sekitar. Apalagi, alat penerjemah sudah dikembangkan sedemikian rupa oleh Akaze, merubah bentuknya menjadi seperti earphone.
("Apa yang kamu bawa kali ini?")
("Pesawat.")
Baik Masha maupun Akaze, dua-duanya mengenakan sebuah earphone putih di telinga kanan mereka. Alat itu akan menerjemahkan bahasa secara langsung ke telinga mereka dengan proses yang lebih cepat dari sebelumnya.
("Pesawat…?")
("Iya, lebih tepatnya Jet tempur. Namanya adalah F-22 Raptor! Keren, kan?")
Masha tidak begitu paham, tapi baginya benda apapun yang dibawa oleh Akaze memang tampak mengagumkan, jadi dia mengangguk saja.
Ukuran jet tempur mini itu lebih besar dari ukuran tangan Akaze. Benda itu diletakkan di tanah yang permukaannya rata, dan dikendalikan oleh alat kontrol berbentuk persegi panjang dengan dua tuas dan lima tombol yang berbeda-beda warna.
Masha hanya diam, tidak sabar menunggunya. Namun, sepertinya pesawat itu tidak berfungsi, sampai-sampai Akaze harus memastikan pesawat dan alat kontrolnya secara bergantian. Tak berapa lama, pesawat itu mengeluarkan suara dan lampu di kedua sayapnya menyala, tapi tetap tak bergerak.
("Ada apa, Akaze? Pesawatnya rusak?")
("Tidak. Bukan rusak. Hanya ada beberapa kesalahan saja.")
Akaze mengecek lagi. Setiap kali tuasnya digerakkan, pesawat itu makin mengeluarkan suara yang kencang. Lalu, dia mengulurkan mainan jet itu kepada Masha, yang dibalas oleh tatapan bingung.
("Kamu lempar ini ke atas.")
("Lempar…?")
Masha menerima mainan jet itu dengan ragu.
("Apa tidak akan rusak?")
("Tidak. Saat kubilang 'lempar', langsung saja lempar ke atas. Jangan ragu-ragu.")
("Uh…, baiklah.")
Akaze menggerak-gerakkan tuas dan menekan tombol. Masha bisa merasakan mainan jet itu bergetar sembari mengeluarkan suara, ternyata itu berasal dari kipas kecil yang berputar cepat.
("Siap, ya.... Lempar!")
Begitu Akaze berseru, Masha melempar mainan jet yang agak besar di tangan mungilnya ke atas. Jet itu terlempar ke udara, saat akan terjatuh ke bawah, benda itu langsung melesat ke atas dengan kecepatan tinggi diikuti oleh gelombang angin tipis yang menyejukkan.
—Swoshhh!!
("Wahhh!!! Berhasil! Akaze, itu berhasil!")
Masha sangat bersemangat ketika melihat jet itu melakukan atraksi di langit. Jet itu terbang ke sana kemari dengan cepat, berputar-putar, menukik ke bawah dan meluncur lagi ke atas.
("Mau coba?")
Akaze menawarkan alat kontrol itu pada Masha.
("Apakah boleh?!")
("Tentu. Kenapa tidak? Ah, yang penting jangan pernah tekan tombol yang ini.")
("Kenapa?")
("Ya, pokoknya jangan.")
Akaze tentu tidak bisa bilang kepada Masha bahwa jet mini yang sedang mereka mainkan sebenarnya mempunyai sebuah bom yang bisa meledak dan membuat kerusuhan.
("Baik.")
Masha mengambil alat kontrol itu. Dia memainkannya, awalnya sangat kesulitan untuk mengendalikan jet mini itu, apalagi benda itu bergerak cukup cepat hingga dia kesulitan untuk mendapatkan momentum yang pas untuk melakukan manuver sempurna seperti yang dilakukan Akaze tadi.
Jadi, Akaze membantu dan mengajari Masha cara mengendalikannya dengan benar.