Chereads / A Man in the Anime World / Chapter 2 - 2 : Membuat Alat?

Chapter 2 - 2 : Membuat Alat?

Seminggu sejak Akaze bangun di dunia ini, tidak banyak perkembangan darinya karena dia hanya ingin terbiasa dulu dengan kehidupan barunya ini. Mulai dari kehidupannya sebagai bocah, maupun sebagai orang aneh yang merakit mesin di kamarnya. Dia juga tak lupa untuk melatih fisiknya dengan berolahraga dan mencoba memukul-mukul udara yang entah kegunaannya untuk apa.

Berita mengejutkannya, Akaze ternyata adalah murid pindahan dari luar negeri yang akan bersekolah di dekat rumahnya. Dia baru mengetahui hal tersebut setelah menerima telepon dari pihak sekolah yang bilang kalau dia bisa langsung ke sekolah pada hari senin.

'Yah, sepertinya dia sudah mengaturnya untukku,' begitulah pikir Akaze saat ditelepon oleh pihak sekolah.

Di siang hari ini, Akaze melatih fisiknya dengan berolahraga ringan saja. Dia juga sudah mencoba sihir yang dia miliki, sihir petir dan api. Hasilnya agak memuaskan walaupun memakan banyak sekali stamina di tubuhnya, atau kemungkinan staminanya saja yang terlalu sedikit. Paling tidak dia hanya bisa menggunakan tiga kali saja untuk sekarang.

"Huft… Bagaimana? Berapa poinku?"

[ Anda mendapatkan 10 SP (Sistem Poin). Total SP Anda : 150 ]

Sistem memberikan sebuah misi kecil dan sederhana seperti 'berlari selama 10 menit', 'push up 20 kali' dan semacamnya. Makin lama, misinya juga semakin bertambah sulit… Sebenarnya sedikit lebih sulit saja. Dengan menyelesaikan misi, Akaze mendapatkan cukup poin untuk membeli sesuatu dari Sistem juga.

Sayangnya sekarang Akaze tidak bisa membeli apapun lagi setelah kemarin dia membeli sebuah pil yang meningkatkan efisiensi latihan fisiknya seharga 500 poin. Memang mahal tetapi dia bisa langsung merasakan khasiatnya.

"Apa tidak ada misi kecil yang menghasilkan banyak poin?"

[ Untuk saat ini tidak ada, Tuan. Anda yang sekarang belum memenuhi syarat dan belum cukup pantas untuk mendapatkan misi yang lebih sulit. ]

"Tidak. Misi ringan."

[ Tidak. ]

"...Yah."

[ Anda harus melatih diri Anda lagi sampai cukup kuat untuk menjalani misi yang sulit. ]

"Contohnya?"

[ Membunuh orang. Melenyapkan makhluk. Pergi ke dunia lain. ]

"Agak gila… tapi yasudah lah."

Akaze berjalan menuju kamar mandi. Tubuhnya penuh keringat yang membuat dia tak nyaman. Dia melepaskan semua pakaian, melemparnya ke keranjang penuh dengan pakaian. Dia berendam cukup lama sambil memandang dinding polos di depannya.

"...Aku harus menyempurnakannya lagi," gumam Akaze.

Dia saat ini sedang merakit sebuah bom berukuran kecil yang mudah dibawa kemana saja. Apa tujuannya? Dia pikir itu keren dan akan berguna, jadi dia membuatnya.

Bom itu punya daya ledak seperti bom berukuran telapak tangan orang dewasa…, seharusnya. Karena terkendala bahan-bahan dalam pembuatannya, bom itu mungkin hanya akan tampak seperti petasan saja. Namun, Akaze juga membuat hal lain pada bom tersebut, yaitu sebuah pengendali. Bom berukuran kecil itu bisa dikendalikan dan menggelinding sesuai arahannya.

Setelah mandi, Akaze ke kamarnya dan langsung menyalakan laptopnya. Terdapat sembilan bola kecil di sebelah yang terhubung melalui kabel hitam ke laptopnya. Dia mengetik beberapa saat, lalu mengenakan sebuah gelang hitam di tangan kirinya. Saat dia menggerakkan tangannya, beberapa bola bergerak ke kanan dan sisanya bergerak ke depan.

"Yang benar saja," Akaze mencoba menggerakkan tangannya lagi, tapi hasil dari gerakan bolanya tak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Jadi dia mengetik dan mengotak-atik semua bola-bola itu selama beberapa menit.

Dia membuka telapak tangannya lalu menggerakkannya ke kanan. Delapan bola bergerak sementara yang satu hanya diam di tempat. Merasa belum puas, dia menggerakkan tangannya secara acak, hasilnya semua bola itu menggelinding ke segala arah secara terpisah-pisah.

"Masih banyak yang perlu kuperbaiki," meski agak lelah, sebenarnya Akaze menikmati prosesnya.

Esok harinya, Akaze bersiap untuk berangkat sekolah. Rasanya agak aneh ketika menyadari bahwa dia akan bersekolah kembali sebagai murid sekolah dasar. Dia berharap kehidupan sekolahnya tidak mengalami hal-hal aneh seperti dirundung atau semacamnya, karena dia pasti tidak akan bisa menahan emosinya menghadapi bocah-bocah seumurannya.

Atau mungkin saja dia akan meledakkan para bocah itu.

Namun, yang terpenting dari itu adalah soal benda buatannya yaitu bom. Dia tidak bisa mencoba bom itu di sekitar rumahnya. Memang daya ledaknya dipastikan kecil, tapi tetap saja akan menimbulkan kerusakan. Makanya dia sengaja membawa semua bom kecil itu ke dalam tas sekolahnya dan berencana untuk mencobanya di tempat yang aman.

Dia merasa seperti akan melakukan tindakan kriminal entah kenapa.

Bom tersebut tidak akan meledak dengan guncangan, karena satu-satunya cara mengaktifkan adalah menggunakan alat kontrol yang terpasang di pergelangan tangan kiri Akaze. Dia juga membawa beberapa alat kecil lainnya jika sewaktu-waktu diperlukan. Akibatnya, tas itu menjadi lebih berat.

"Apa dengan membawa tas yang berat ini sampai ke sekolah aku bisa mendapatkan poin?"

[ Bisa, Tuan! ]

"Bagus!"

***

***

***

"Baiklah, anak-anak! Duduk di tempat kalian masing-masing!"

Kelas yang ramai oleh canda dan tawa, seketika hening begitu seorang guru perempuan memasuki ruangan. Bukan cuma itu saja, ada hal lain yang membuat mereka jauh lebih penasaran, yaitu bocah laki-laki yang masuk bersama guru itu.

"Kita kedatangan murid dari sekolah lain. Ini adalah teman baru kalian. Silakan perkenalkan dirimu."

Akaze sedikit maju ke depan.

"Err, namaku Akatsuki Akaze. Salam kenal," Akaze tidak tahu harus berkata apa lagi di depan bocah-bocah berumur sembilan tahun.

"..."

"Akatsuki-kun, apa kamu punya hobi?!" seorang gadis kecil mengacungkan tangannya penuh semangat dan bertanya dengan lantang.

"Hobi?" Akaze terdiam sejenak. Dia berpikir bahwa merakit sesuatu mungkin sebuah hobi baginya, tapi jelas dia tidak akan mengatakannya pada para anak kecil itu. Sebisa mungkin dia ingin jadi bocah normal yang biasa. "Hobiku bermain game."

"Heehh! Begitu, ya," reaksi para gadis kecil itu menunjukkan seolah hobi yang dimiliki Akaze sama seperti kebanyakan orang. Tidak ada yang spesial.

"Kalau begitu, kapan-kapan kita bisa main game bersama!" sementara para anak laki-laki menyambut dengan hangat kedatangan Akaze.

Sepertinya perkenalan diri cukup sukses. Melihat reaksi mereka yang tampak senang dengan kehadirannya, membuat dia agak lega.

"Kalau begitu, kamu bisa duduk di kursi yang kosong di sana, Akatsuki Akaze-kun."

"Baik, Sensei."

Akaze berjalan menuju kursi kosong yang terletak di paling belakang. Namun, matanya beralih ke seorang gadis cantik di sebelah kursi miliknya. Gadis yang mempunyai penampilan menonjol dibandingkan anak-anak lainnya.

"Apa?"

Hanya saja, kepribadian gadis kecil itu sungguh merepotkan. Dengan wajah dingin, gadis itu menatap Akaze.

"Ah, namaku Akatsuki Akaze. Salam kenal."

"Huh. Arima Kana," jawabnya sambil melempar wajahnya ke sisi lain tanpa senyum sama sekali.

'Sudah kuduga. Dia memang betul Arima Kana.'

Akaze mengenal Arima Kana sebagai karakter fiksi, yang saat ini di depannya menjadi nyata. Mengingat kepribadian gadis itu, apalagi semasa kecilnya, dia jadi tak heran mendapatkan tanggapan masam dari gadis itu.

"Hehh, jadi itu benar kamu, ya."

"Apa maksudmu?"

"Kamu yang ada di televisi, kan?"

Arima terdiam sesaat, lalu dia tersenyum. "Hmhp! Tentu saja!" Arima Kana tampak senang dan membusung dadanya dengan bangga. Kali ini, dia menatap Akaze dengan senyum di wajahnya. "Jadi kamu menonton film yang kumainkan?"

"Ah, iya."

"Bagaimana menurutmu… soal aktingku?"

"Uh, luar biasa," Akaze menjawab sambil memberi acungan jempol.

"Hmph! Iya, kan! Begini-begini aku dikenal sebagai gadis kecil yang berbakat dalam berakting."

"Yah, kuharap kamu bisa memainkan banyak film lainnya. Dan semoga kita akrab kedepannya."

"Huh."

Tidak ada sesuatu yang sulit selama proses pembelajaran, paling-paling Akaze harus terbiasa berinteraksi dengan anak-anak lain. Dia juga ingin membangun hubungan baik dengan Arima Kana, bagaimanapun Arima Kana merupakan karakter fiksi dengan bakat yang luar biasa hebat.

Pelajaran bisa dilewati olehnya dengan mudah dan langsung mendapatkan nilai sempurna dari sang guru. Anak-anak yang lain agak terkejut, bukan karena Akaze bisa mendapatkan nilai sempurna, melainkan seberapa cepat Akaze dalam menyelesaikannya.

Akaze tidak merasa bangga sama sekali terhadap hal tersebut, justru dia agak bersalah harus bersaing dengan anak-anak itu.

—DINGGG

Bel berbunyi sangat keras, menandakan waktunya pulang sekolah. Akaze yang paling bersemangat untuk pulang, lebih tepatnya dia ingin melakukan percobaan dengan benda-benda kecil di dalam tasnya.

Akaze memutuskan untuk berkeliling dulu sebentar sambil mencari-cari tempat yang cocok. Yang jelas dia tidak mau menimbulkan keributan atau suara-suara yang bisa mengganggu orang, sebisa mungkin dia ingin di tempat yang benar-benar sepi.

Tapi selama mencari, dia tak menemukan satupun tempat yang cocok. Wilayah itu memang cukup padat dengan banyak bangunan, seperti rumah maupun gedung bertingkat.

"Sialan. Ini sudah sore."

Langkah kakinya yang kecil juga menyulitkannya untuk berkeliling.

"Apa sebaiknya aku pulang saja? Yah, lebih baik begitu. Sekalian aku memastikan lagi benda ini bekerja atau tidak."

Ketika perjalanan pulang, Akaze melihat satu tempat yang sepi dan luas. Sebuah taman. Tempat itu sepi, mungkin karena sudah sore hari, dan luas sehingga tidak mengganggu orang-orang. Dia bergegas ke sana, menuju semak-semak yang berada di dekat perosotan anak-anak.

Tanpa berlama-lama, dia mengeluarkan ke sembilan bom itu dari tasnya ke tanah. Bola-bola menggelinding tanpa arah. Akaze menggerakkan tangannya, secara perlahan membuat ke sembilan bola itu berkumpul di satu tempat. Dia mengamatinya lebih dekat, lalu menggerakkan bola-bola itu lagi untuk memastikan semuanya bekerja dengan baik.

Dia mengambil dua bola dan melemparkannya ke depan. Dua buah bola itu hanya menggelinding saja, lalu bergerak ke satu arah secara bersamaan ketika Akaze menggerakkannya.

"Bagus! Syukurlah bekerja dengan baik. Sekarang hanya mencoba ledakan saja."

Akaze menjentikkan jarinya. Alat kontrol di pergelangan tangan kirinya berkedip-kedip dan mengeluarkan suara yang kecil. Dua bola di depannya juga bereaksi sama.

"Huh? Что ты здесь делаешь?"

"Hah?" Akaze menoleh ke belakang, melihat seorang gadis kecil berambut pirang muncul secara tiba-tiba di balik semak-semak. "Ap—!"

Akaze langsung menoleh lagi ke depan, melihat dua bola bergerak ke arahnya dengan suara 'tit' yang makin lama makin cepat.

'Brengsek! Bola yang lain juga bakal meledak!'

"Gawat! Cepat lari!!" dengan wajah ketakutan, Akaze melepaskan alat di pergelangan tangannya dan langsung mendorong gadis itu keluar dari semak-semak. Dia sekuat tenaga menarik gadis itu sejauh mungkin.

"Duh!"

—Bom!!

—Bom!

—BOM!

Ledakan beruntun yang makin lama makin keras terjadi di dalam semak belukar. Suara kencang disertai asap dan percikan api yang dihasilkan oleh ke sembilan bola kecil tadi membuat gadis itu terkejut tidak main tetapi masih terlihat bingung. Akaze hanya terdiam dan bernafas lega.

Padahal Akaze berniat untuk meledakkan beberapa saja, tapi semuanya malah meledak. Akibatnya juga menimbulkan suara kencang dan pasti akan membuat orang-orang di sekitar menyelidiki sumber suara.

'Yah, paling mereka menduga kalau itu cuma petasan saja. Masalahnya…'

Tidak ada lagi semak-semak yang menutupi karena semuanya terhempas dan hancur, sehingga membuat siapapun orang bisa melihat dampak kerusakan yang diberikan oleh ke sembilan bom buatannya. Daya ledaknya memang tak separah yang dibayangkan, tapi tetap saja meninggalkan bekas.

'Kalau begini…,' Akaze berdiri dan membantu gadis itu. "Cepat pergi dari sini! Kau akan dijadikan tersangka, loh! Ayo!!!"

Tentu saja Akaze memilih untuk pergi karena tidak mau mengurusi masalahnya sendiri. Dia berlari dan meninggalkan gadis yang semakin kebingungan oleh tingkahnya itu.